Selamat Menyambut Hari penuh berkah., Hari Raya Idhul Fitri

MINAL AIDIN WALFAIZIN

esok kembali bersama sesuatu yang baru
eosk saat takbir tahmid di kumandangkan tanda akhir dari perjuangan melawan hawa nafsu

esok adalah harapan yang akan membawa kita ada kenyataan yang lebih baik

 
 
esok kembali fitrah
esok saat melangkahkan napas kehidupan. kembali berjuang mengarungi gelombang kehidupan 
 
semoga esok kita menjadi lebih baik
kini saatnya berbenah diri
menyederhanakan cara berfikir
agar setiap langkah kehidupan senantiasa menjadi lebih baik

dalam kesempatan ini
dengan kemurnian hasarat jiwa
ku mohon maaf kepadamu
atasa khilaf dosa posting
semoga amal ibadah anda mendapat ridha atas maafmu

taqabbalallah........
ied mobarak

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • Twitter
  • RSS

Ahli Tafsir Golongan Sahabat

Beberapa ahli tafsir yang memiliki kemampuan baik dan cukup berpengaruh dalam perkembangan ilmu tafsir.
Imam Suyuthy dalam kitabnya Al-Itqan mengatakan: "Kalangan sahabat yang populer dengan tafsir ada sepuluh; khalifah yang empat (Abu Bakar, Umar, Utsman dan Ali), Ibnu Mas'ud, Ibnu Abbas, Ubay Ibnu Ka'ab, Zaid Ibnu Tsabit, Abu Musa Al-'Asy'ari dan Abdullah bin Zubair. Dan dari kalangan khalifah empat yang paling banyak dikenal riwayatnya tentang tafsir adalah Ali bin Abi Thalib r.a. sedang dari tiga khalifah yang lain hanya sedikit sekali, karena mereka lebih terdahulu wafatnya.
Sebab sedikitnya riwayat dari ketiga orang sahabat yaitu Abu Bakar, Umar dan Utsman, dapat ditinjau kembali dari pendapat As-Suyuthy, yaitu karena pendeknya masa jabatan mereka disamping mereka meninggal lebih dahulu. Dari segi yang lain karena mereka bertiga hidup pada suatu masa dimana kebanyakan penduduk mengetahui dan pandai tentang Kitabullah, sebab mereka selalu mendampingi Rasulullah SAW. Karenanya, mereka mengerti dasar rahasia-rahasia penurunan, lagi pula mengetahui makna dan hukum-hukum yang terkandung dalam ayatnya. Sedang Ali r.a. hidup berkuasa setelah khalifah yang ketiga, yaitu pada masa dimana daerah Islam telah meluas. Banyak orang-orang luar Arab yang memeluk Islam sebagai agama baru. Generasi keturunan shahabat banyak yang merasa perlu untuk mempelajari Al-Qur'an serta memahami rahasia-rahasia dan hikmah-hikmahnya. Karena itu wajarlah riwayat daripadanya begitu banyak melebihi riwayat yang dinukil dari tiga khalifah lainnya.
Berikut ini kami akan membicarakan sedikit terperinci tentang kalangan sahabat yang terkenal dengan tafsir Al-Qur'annya.
a. Abdullah Ibnu Abbas
Abdullah Ibnu Abbas adalah orang yang ternama dikalangan ummat Islam. Ia adalah anak paman Rasulullah SAW, yang pernah dido'akan oleh Nabi Muhammad SAW, dengan kata-kata, "Ya Allah berilah pemahaman tentang urusan agama dan berilah ilmu kepadanya lentang ta'wil". Ia dikenal sebagai ahli bahasa/penterjemah Al-Qur'an. Ibnu Mas'ud berkata, "Penterjemah Al-Qur'an yang paling baik adalah Abdullah bin Abbas." Dia adalah sahabat yang paling pandai/tahu tentang tafsir Al-Qur'an. Pada waktu beliau masih berusia muda, para pemuka sahabat mereka telah menyaksikan kebolehannya bahkan ia dapat menandingi mereka pula dapat menggugah keajaiban mereka dengan usianya yang sangal muda. Umar r.a. pernah mengikutsertakan Abdullah dalam Majelis Permusyawaratan bersama-sama dengan tokoh-tokoh Sahabat untuk bermusyawarah. Ia seringkali disodori permasalahan. Karena Umar menampilkan Ibnu Abbas maka agak sedikit mengundang perdebatan dikalangan sahabat. Diantara mereka ada yang mengatakan "Kenapa anak kecil ini dimasukkan bersama-sama kita". Kami punya anak yang lebih besar/tua umurnya dibanding dengan dia.
Dia mempunyai biografi yang diriwayatkan oleh Al-Bukhari dalam Shahihnya yang menunjukkan kebolehan ilmunya dan kedudukannya yang tinggi dalam hal penggalian secara mendalam tentang rahasia-rahasia Al-Qur'an sebagai berikut:
Riwayat Al-Bukhari
Al-Bukhari meriwayatkan dari Sa'id ibnu Jabir, dari Ibnu Abbas r.a. ia berkata: "Umar mengikutkanku bersama tokoh-tokoh perang Badar. Dikalangan mereka ada yang bertanya dalam dirinya, lalu mengemukakan pendapat; "Kenapa anak ini diikutsertakan bersama kami padahal kami sungguh mempunyai anak yang seusia dengannya?" Umar menjawab: Dia adalah seorang yang sudah kalian ketahui, ia adalah orang yang terkenal kecerdasannya dan pengetahuannya. Pada suatu ketika, Umar memanggil mereka dan mengikutkanku bersama mereka hanya sekedar diperkenalkan kepada mereka. Tiba-tiba  
Umar (memberi kesempatan pada mereka untuk bertanya) berkata: "Apakah pendapat sekalian tentang firman Allah: "Apabila telah datang pertolongan Allah dan kemenangan. (QS. An-Nashr: 1).
Sebagian mereka ada yang berpendapat: "Kami diperintah menuju Allah dan meminta ampun pada-Nya, tatkala kami dibantu oleh-Nya dan diberi kemenangan". Sebagain mereka yang lain bungkam seribu bahasa. Umar bertanya kepadaku: Bagaimana dengan pendapatmu (hai Ibnu Abbas). Aku jawab: "Tidak benar! Lalu menurut anda bagaimana?" Aku menjawab:
"Persoalannya adalah tentang ajal Rasulullah SAW dimana Allah memberitahukan kepadanya".
Ia (Ibnu Abbas) menafsirkan/penaklukan Makkah. Itu adalah suatu tanda tentang ajalmu (hai Muhammad) karena itu bertasbihlah dengan memuji Tuhanmu dan istighfarlah (mohon ampun) kepada-Nya. Sungguh ia adalah Penerima Taubat". Seraya Umar berkata: "Demi Allah, saya tidak mengetahui kandungannya sebelum engkau jelaskan".
Kisah tersebut menyatakan begitu hebatnya daya kemampuan pemahaman serta pendapat Ibnu Abbas dalam menyimpulkan petunjuk Al-Qur'an yang tidak dapat diketahui kecuali oleh orang-orang yang mendalam ilmu pengetahuannya. Tidaklah aneh kalau Ibnu Abbas menempati kedudukan yang tinggi dalam memahami rahasia kandungan Al-Qur'an karena Rasul telah mendo'akannya agar dia diberi pemahaman dan pendalaman dalam urusan Agama sebagaimana diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim dari Ibnu Abbas sendiri dimana ia berkata: Rasul menyekapku seraya beliau bersabda:
"Ya Allah berilah ia pemahaman dalam urusan Agama dan berilah ia pengetahuan tentang ta'wil".
Dalam riwayat lain redaksionalnya: "Ya Allah berilah ia pengetahuan tentang hikmah pengetahuan yang sungguh mendalam". Ibnu Abbas dikenal dengan sebutan lautan karena begitu luas ilmunya. Diriwayatkan bahwa salah seorang datang kepada Abdullah bin Umar, ia menanyakan tentang langit dan bumi semula bersatu kemudian keduanya kami belah. Ibnu Umar menjawab: "Datanglah kepada Ibnu Abbas dan tanyakanlah kepadanya." Setelah anda tanyakan, kembali lagi dan jelaskan kepadaku". Orang tersebut pergi bertanya kepada Ibnu Abbas dan ia memberikan jawaban: "Langit bersatu (ratqan) maksudnya tidak turun hujan, dan yang dimaksud dengan bumi ratqan tidak tumbuh tanaman/gersang, kemudian Ia (Allah) menurunkan hujan dan menumbuhkan tanaman-tanaman.
Setelah itu orang tersebut kembali kepada Ibnu Umar untuk memberitahukan hasilnya, seraya berkata: "Aku dulu telah mengatakan dengan geleng kepala karena keberanian Ibnu Abbas dalam hal menafsirkan Al-Qur'an, sekarang aku telah mengetahui benar bahwa ia telah dikaruniai ilmu".
Diriwayatkan pula bahwa Umar ibnu Khattab pada suatu ketika bertanya kepada Sahabat-sahabat Nabi: "Siapa yang menjadi sebab turunnya ayat di bawah ini, menurut pendapat kalian?" Seraya Umar membacakan ayat: "Apakah ada salah seorang diantaramu yang ingin mempunyai kebun kurma dan anggur......" (QS. Al-Baqarah: 66)
Mereka menjawab: "Allah Yang Maha Tahu". Umar marah seraya berkata: "Jawab! Tahu atau tidak!" Ibnu Abbas menjawab: "Ada sedikit yang tergores dalam hatiku". Umar berkata: "Hai anak saudaraku, katakanlah dan janganlah anda merasa minder/rendah diri". Ibnu Abbas berkata: "ayat itu dijadikan suatu contoh perbuatan". Umar berkata: "Perbuatan apa?". Ibnu Abbas menjawab: "Seorang yang kaya lagi taat kepada Allah, ia didatangi oleh syaitan, dan terperdaya untuk melakukan maksiat sehingga amal  
perbuatannya tenggelam". (HR. Al-Bukhari).
Semuanya itu berikut dengan contoh-contohnya adalah menyatakan tentang keistimewaan ilmu pengetahuan Ibnu Abbas dan pemahamannya yang begitu luas sejak beliau berusia muda. Oleh karena itu ia tergolong dalam barisan tokoh pembesar Sahabat, ia sebagai pemuka umat yang sangat pandai dengan disaksikan oleh kalangan Sahabat itu sendiri.
Guru-guru Ibnu Abbas
Diantara Guru-guru besar yang mengajar ilmu kepada Ibnu Abbas selain Rasulullah SAW, yang mempunyai pengaruh yang menonjol terhadap daya pikiran dan kebudayaannya, antara lain Umar Ibnu Khattab, Ubay ibnu Ka'ab, Ali Ibnu Abi Thalib, dan Zaid Ibnu Tsabit. Kelima orang tersebut adalah guru-gurunya yang tetap. Dari merekalah hampir semua ilmu dan budayanya didapat. Mereka sangat berpengaruh dalam mengarahkan Ibnu Abbas kepada masalah ilmu pengetahuan yang sangat mendalam.
Murid-murid Ibnu Abbas
Banyak dari kalangan Tabi'in yang mempelajari ilmu pengetahuan dari Ibnu Abbas. Diantara mereka yang paling terkenal adalah murid-muridnya yang menukil tafsir dan ilmunya yang melimpah ruah. yaitu: Sa'id Ibnu Jubair, Mujahid ibnu Jabar Al-Khazramy, Thawus ibnu Kysan Al-Yamany, Ikrimah Maula (hamba) yang dimerdekakan oleh Ibnu Abbas, Atha' ibnu Abi Rabbah. Mereka itu adalah murid-murid yang paling terkenal dimana mereka memindahkan lembaga ilmiah, buah pena Ibnu Abbas ke dalam tafsir yang sampai pada kita sekarang.
b. Abdullah Ibnu Mas'ud
Sahabat lain yang terkenal sebagai ahli tafsir dan menukilkan atsar (hadits) Rasul kepada kita ialah Abdullah ibnu Mas'ud r.a. Ia adalah salah seorang yang pertama untuk Islam. Usia beliau pada waktu itu enam tahun, dimana belum ada di muka bumi ini seorang anak yang masuk Islam selain dia. Ia adalah seorang pembantu Rasulullah SAW, sering memakaikan sandalnya dan sarung, pergi bersama-sama beliau sebagai penunjuk jalan. Dari segi hubungan kenabian ia adalah seorang yang sangat baik lagi pula terdidik. Karena pertimbangan itulah sahabat lain memandangnya sebagai seorang sahabat yang lebih banyak mengetahui bidang Kitabullah Al-Qur'an, mengetahui tentang muhkam dan mutasyabih, halal dan haram.
As-Suyuthy mengatakan: "Yang diriwayatkan dari Ibnu Mas'ud tentang tafsir adalah lebih banyak daripada yang diriwayatan dari Ali.......".
Al-Bukhari dan Muslim meriwayatkan dari Ibnu Mas'ud: "Demi Allah yang tiada Tuhan selain-Nya. tidak ada satu suratpun yang diturunkan oleh Allah yang tidak saya ketahui dimana turunnya. Tidak ada satu ayat Al-Qur'an pun yang tidak saya ketahui dalam kasus apa diturunkannya. Kalau aku tahu ada seorang yang lebih tahu dariku tentang Kitab Allah dan bisa ditempuh dengan kendaraan unta, niscaya akan kudatangi rumahnya.....". Diriwayatkan oleh para Tabi'in daripadanya.
  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • Twitter
  • RSS

Falsafah Wiro Sableng

Falsafah Angka Dua Satu Dua (212)

 
“Deeaarrrrrrrrrrrr....!! Heeeaaaaahh.. ahhh.. ahhh... ahhh.. aahhhh.... Taak tikk tuukk.. tiik.. taakk tikk tuukk....” Ada yang masih ingat soundtrack lagu opening senetron laga Wiro Sableng yang populer di ere tahun 90’an? Kalau ada pasti masa kecilnya bahagia. Yah, Wiro Sableng. Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212 Wiro Sableng. Sebuah film yang diangkat dari cerita fiksi novel populer karya Bastian Tito.
Apa yang menarik dari karangan fiksi ini? Selain karena pesan moral yang disampaikan serta aksi – aksi laga yang mengesankan. Ada juga filosofi yang mengandung makna cukup dalam. Makna dibalik angka 212. Angka 2 dan 2 yang melambangkan empat nafsu manusia. Aluamah, sufiah, amarah, dan mutmainah. Satu di tengah sebagai pencernya, sebagai pusatnya, sebagai intinya. Inti yang mensinergiskan keempat nafsunya.
Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212 sejatilah adalah seorang kesatria yang sedang memerangi dirinya sendiri. Dimana angka 1 (Pancer) yang tidak lain adalah hati dan nuraninya sendiri. Sedangkan 2 dan 2 (4 kiblat) adalah nafsunya sediri (aluamah, sufiah, amarah, dan mutmainah). Kalau kesatria itu menang (melawan nafsunya) maka ia akan jadi pendekar yang hebat dan tanpa tanding. Tapi kalau masih kalah (masih dikendalikan nafsunya) berarti masih harus terus mengasah ilmunya.
Sebab itu musuh terbesar dan terberat sebenarnya adalah 2 dan 2 di empat kiblat (arah) yang meliputi : Nafsu aluamah yaitu godaan selalu ingin makan, minum, dll. Nafsu sufiah yaitu haus akan pangkat, derajat, sanjungan, kesombongan, dll. Nafsu amarah yaitu selalu ingin marah, menang sendiri, dll. Terakhir nafsu mutmainah yaitu ingin selalu saja berbuat kebajikan, menolong sesama, menuntut ilmu, sedekah, dll.
Pendekar hebat bukan pendekar yang mampu menundukkan lawan – lawannya dengan ilmu dan kesaktiannya. Kebal, tahan banting, bisa terbang, punya kedikjayaan, dll. Pendekar hebat yang kuat dan tanpa tanding adalah pendekar yang mampu mengalahkan dirinya sendiri. Pendekar yang mampu mengalahkan gejolak serta ego dan nafsu yang ada dalam dirinya sendiri. (Ali Ridwan, 07/03/14)
  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • Twitter
  • RSS

Kajian Islam dan Ilmu Tasawuf

 
Seiring dengan munculnya kritik-kritik tajam terhadap tasawuf yang menimbulkan ketegangan di dalam dunia pemikiran islam, nampakya sudah timbul berbagai argumentasi tentang, apakah tasawuf benar-benar ilmu keislaman atau ia hanya sekedar pengislamisasian unsur-unsur non-islam? Kontroversi pendapat itu bermula sejak tampilnya ftasawuf falsafati dan semakin dipertajam kemudian dengan masuknya pendapatm orientalis, yang secara generalisasi mengatakan, bahwa tasawuf bersumber dari luar islam.
Mereka yang menyatakan tasawuf diluar islam bersumber dari luar islam, apakah dari Persia, Hindu, Nashrani, filsafat Yunani dan atau dari sumber lainya, atau juga mendasarkan pendapatnya hanya kaarena adanya kesamaan tipologinya belaka. Pendapat yang demikian nampaknya tidak jujur dan tidak obyektif. Sebab tidak ada satu paradigma keilmuan yang memastikan, bahwa setiap yang sama atau yang mirip adalah karena terjadi saling pengaruh atau karena plagiat untuk adanya dibenarkan adanya hubungan interaksi historis antara satu nilai dengan nilai lainya, haruslah dapat dibuktikan dengan adanya kontak yang riel antara keduanya.
  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • Twitter
  • RSS

CAHAYA TUHAN

Bismillaahir Rahmaanir Rahiim

Wahai kekasih Tuhan
Dengan menyebut namamu, rumah mana pun yang kutinggali
Tidak memerlukan lampu


Syaikhuna (semoga Allah merahmatinya) sering bercerita tentang sebuah doa yang dilantunkan oleh Syaikh Abu Yazid al Busthami,qs., : ‘Yaa Allah, saya ingin agar tidak memiliki keinginan’. Bagi kita doa ini aneh, karena manusia pada umumnya terbatas pada dua keadaan, apakah menginginkan sesuatu atau tidak. Tidak pernah menginginkan bukanlah ciri khas manusia, karena itu orang yang mengosongkan keinginan diri, sama artinya ingin berhenti menjadi manusia. Ketika Tuhan ingin menyempurnakan manusia dan mengubahnya menjadi seorang syaikh yang sempurna, Dia akan membuat manusia mampu untuk memasuki keadaan persatuan dalam keesaan. Suatu wilayah dimana tak ada dualitas maupun pemisahan. Artinya bahwa, keinginan Tuhan agar manusia mengikuti dan melaksanakan hal yang benar dan meninggalkan segala sesuatu yang dilarang, telah menjelma menjadi pakaian baginya yang tidak terpisah darinya, sehingga selaras dengan hatinya tanpa adanya pertentangan sama sekali, nah pertentangan itu timbul, manakala keinginan Tuhan berbeda dengan keinginannya. Segala penderitaan muncul karena menginginkan sesuatu yang tidak dapat diperoleh. Ketika berhenti menginginkannya, tidak akan ada lagi penderitaan. Derajat yang demikian adalah hanya dimiliki oleh orang-orang yang melakukan perjuangan dan upaya menuju suatu tempat, dimana mereka berhenti melakukan apa yang diinginkan dan dihasratkan oleh dirinya sendiri, kecuali keinginan Tuhan. Meski demikian, tindakan Tuhan mendahului tindakan manusia untuk menghapus keinginannya, kebenaran telah datang dan kebatilan dikalahkan.

Dikatakan setelah baginda Nabi Muhammad,saw., tidak ada lagi yang akan menerima wahyu. Jika sifat wahyu adalah suatu kebenaran yang datangnya dari Al Haq disampaikan kepada seorang Nabi melalui malaikat Jibril,as., maka sifat yang demikian ini tentunya masih akan ada sampai saat ini dan di kemudian hari, dengan nama yang berbeda tetapi mempunyai makna yang sama, yakni ‘Iham’. Inilah yang dimaksudkan dengan perkataan Syaikh Waasi’ Achmad Syaechudin (semoga Allah merahmatinya) : ‘Berhati-hatilah dengan firasat orang mukmin, karena dia melihat dengan Cahaya Tuhan.’ Ketika seseorang melihat dengan Cahaya Tuhan, ia mampu melihat segalanya, permulaan dan akhir, yang hadir dan yang gaib. Bagaimana mungkin ada sesuatu yang mampu menutup Cahaya Tuhan? Apabila dapat ditutup, maka itu bukanlah Cahaya Tuhan.

Ketika Sayyidina Usman bin Affan,ra., menjadi khalifah ketiga, beliau menaiki mimbar. Orang-orang menunggu dan memperhatikan apa yang akan dikatakannya, tetapi beliau tetap berdiam dan tidak mengatakan apa-apa. Orang-orang yang tengah terkuasai keadaan kebahagiaan sedemikian rupa, sampai tidak seorang pun mampu pergi atau menyadari sedang di manakah mereka. Tidak pernah ada ribuan kuliah atau ceramah yang mampu menjadikan orang-orang pada keadaan seperti itu. Sampai akhir peristiwa itu, Sayyidna Usman,ra., tetap melihat mereka dalam keheningan. Begitu akan turun dari mimbar, beliau berkata, ‘Lebih baik kalian memiliki pemimpin yang giat daripada yang suka bicara.’ Dan dia berbicara benar, karena apabila berbicara itu bermanfaat bagi pembersihan jiwa, maka orang-orang yang mendengarkan perkataan para da’i akan bersih jiwanya, nyatanya tidak. Oleh karenanya penyampaian rahasia dan perbersihan jiwa itu dapat disampaikan dengan lebih baik tanpa ucapan. Maka, tidak heran jika seseorang berada pada majlis yang dihadiri oleh seorang syaikh, maka lenyaplah segala himpitan didalam dadanya, karena syaikh diam, melihat, mendengar dengan Cahaya Tuhan.
  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • Twitter
  • RSS

Akhlaq

Kelahiran Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam
1. Allah Ta’ala berfirman:
“Sungguh Allah telah memberi karunia kepada orang-orang yang beriman ketika Allah mengutus diantara mereka seorang rasul dari golongan mereka sendiri, yang membacakan kepada mereka ayat-ayat-Nya, membersihkan (jiwa) mereka, dan mengajarkan mereka Al Kitab dan Al Hikmah dan sebelum itu, mereka benar-benar berada dalam kesesatan yang nyata.” (QS. Ali Imran:164)
2. Allah Ta’ala berfirman:
“Katakanlah: “Sesungguhnya saya ini hanyalah seorang manusia seperti kamu, yang diwahyukan kepadaku bahwa sesungguhnya Tuhan kamu adalah Tuhan yang Esa.” (QS. Al Kahfi:11)
3. Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam pernah ditanya tentang puasa pada hari Senin. Beliau menjawab: “Pada hari itulah aku dilahirkan, lalu diangkat menjadi Rasul dan diturunkan Al-Qur’an kepadaku.” (HR. Muslim)
4. Rasullauh Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam dilahirkan pada hari Senin bulan Rabi’ul Awal di Makkah Al Mukarramah tahun Al Fiil (571 M), berasal dari kedua orang tua yang sudah ma’ruf. Bapaknya bernama Abdullah bin Abdul Muthallib dan ibunya bernama Aminah binti Wahb. Kakek beliau memberinya nama Muhammad. Bapak beliau meninggal dunia sebelum kelahirannya.
5. Sesungguhnya termasuk kewajiban seorang muslim adalah hendaknya dia mengetahui kedudukan Rasul yang mulia ini, berhukum dengan Al Qur’an yang diturunkan kepadanya, berakhlak dengan akhlaknya serta mengutamakan dakwah kepada Tauhid yang mana risalahnya dimulai dengannya sesuai firman Allah Ta’ala:
“Katakan: Sesungguhnya saya hanya menyembah Rabbku dan saya tidak mempersekutukan sesuatupun dengan-Nya.” (QS. Al-Jin:20)
Nama dan Garis keturunan (Nasab) RASULULLAH Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam
1. Allah Ta’ala berfirman:
“Muhammad adalah Rasulullah.” (QS. Al Fath:29)
2. Rasullullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:
“Saya memiliki lima nama: Saya Muhammad, saya Ahmad, saya Al-Mahi yang Allah menghapus kekufuran denganku, saya Al-Hasyir yang manusia dikumpulkan di atas kedua kakiku, dan saya Al-’Aqib yang tidak ada Nabipun setelahnya.” (Muttafaq ‘Alaih)
Dan Allah menamakannya dengan “Raufur Rahim”
3. Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam mengenalkan dirinya kepada kita dengan beberapa nama: “Saya Muhammad, saya Ahmad, saya Al Muqaffy (Nabi terakhir) dan Al Hasyir, saya Nabi At Taubah, Nabi Ar Rahman.” (HR. Muslim )
4. Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:
“Tidaklah kamu heran bagaimana Allah memalingkan dari saya cacian orang-orang Quraisy dan laknat mereka? Mereka mencaci dan melaknat saya (dengan sesutu) yang sangat tercela, dan saya adalah Muhammad.” (HR. Bukhari )
5. Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda :
“Sesungguhnya Allah telah memilih dari keturunan Ismail Kinayah, dan dari Kinayah Allah memilih Quraisy, dari Quraisy Allah memilih bani Hasyim, dan dari bani Hasyim Allah memilih saya.” (HR. Muslim )
6. Dan Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda yang artinya:
“Namailah diri kalian dengan nama-nama saya, tapi janganlah kalian berkuniah (mengambil gelar) dengan kuniah saya. Karena sesungguhnya saya adalah Qasim sebagai pembagi diantara kalian.” (HR. Muslim )
RASULULLAH Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, SEOLAH-OLAH KAMU MELIHATNYA
1. Bahwasanya Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam adalah manusia yang paling tampan wajahnya, paling bagus bentuk penciptaannya, tidak terlalu tinggi dan tidak terlalu pendek. (Muttafaq ‘Alaih)
2. Bahwasanya Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam berkulit putih dan berwajah elok. (HR. Muslim)
3. Bahwasanya badan Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam tidak terlalu tinggi dan tidak terlalu pendek, dadanya bidang, jenggotnya lebat, rambutnya sampai ke daun telinga, saya (Shahabat-pent) pernah melihatnya berpakaian merah, dan saya tidak pernah melihat yang lebih indah dari padanya. (HR. Bukhari)
4. Bahwasanya Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam kepalanya besar, demikian juga kedua tangan dan kedua kakinya, serta tampan wajahnya. Saya (Shahabat-pent) belum pernah melihat orang yang seperti dia, baik sebelum maupun sesudahnya. (HR. Bukhari)
5. Bahwasanya wajah Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bundar bagaikan Matahari dan Bulan. (HR. Muslim)
6. Bahwasanya apabila Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam gembira, wajahnya menjadi bercahaya seolah-olah seperti belaian Bulan, dan kami semua mengetahui yang demikian itu. (Muttafaq ‘Alaih)
7. Bahwasanya tidaklah Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam tertawa kecuali dengan senyum, dan apabila kamu memandangnya maka kamu akan menyangka bahwa beliau memakai celak pada kedua matanya, padahal beliau tidak memakai celak. (Hadits Hasan, Riwayat At Tirmidzi)
8. Dari Aisyah Radhiyallahu ‘anha berkata: “Tidak pernah saya melihat Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam tertawa terbahak-bahak sehingga kelihatan batas kerongkongannya. Akan tetapi tertawa beliau adalah dengan tersenyum.” (HR. Bukhari)
9. Dari Jabir bin Samrah Radhiyallahu ‘anhu berkata: “Saya pernah melihat Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam pada bulan purnama. Saya memandang beliau sambil memandang bulan. Beliau mengenakan pakaian merah. Maka menurut saya beliau lebih indah daripada bulan.” (Dikeluarkan At Tirmidzi, dia berkata Hadits Hasan Gharib. Dan dishahihkan oleh Al Hakim serta disetujui oleh Adz-Dzahabi)
10. Dan betapa indahnya ucapan seorang penyair yang mensifati Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam dengan sya’irnya:
“Si Putih diminta memohon hujan dari awan dengan wajahnya. Si Pemberi makan anak-anak yatim dan pelindung para janda.”
Sya’ir ini berasal dari kalamnya Abu Thalib yang disenandungkan oleh Ibnu Umar dan yang lain. Ketika itu kemarau melanda kaum muslimin, maka Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam memohon hujan untuk mereka dengan berdo’a: Allahummasqinaa (Ya Allah turunkanlah hujan kepada kami), maka turunlah hujan. (HR. Bukhari)
Adapun makna dan sya’ir tersebut adalah Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam yang disifati dengan Si Putih diminta untuk menghadapkan wajahnya yang mulia kepada Allah dan berdo’a supaya diturunkan hujan kepada mereka. Hal itu terjadi ketika beliau masih hidup, adapun setelah kematian beliau maka Khalifah Umar bin Al Khathab bertawasul dengan Al Abbas agar dia berdo’a meminta hujan dan mereka tidak bertawasul dengan beliau.
(Dinukil dari: Mengenl Pribadi Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam , Penulis: Syaikh Muhammad Jamil Zainu. Alih bahasa: Mukhlish Zuhdi. Penerbit Yayasan Al-Madinah, Shafar 1419 H, hal. 11-16)
  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • Twitter
  • RSS

Tasawuf

Ilmu Sufi atau Tasawuf

Ilmu kasyaf atau yang lebih dikenal dengan ilmu laduni (ilmu batin) tidaklah asing ditelinga kita, lebih – lebih lagi bagi siapa saja yang sangat erat hubungannya dengan tasawuf beserta tarekat-tarekatnya.
Kata sebagian orang: “Ilmu ini sangat langka dan sakral. Tak sembarang orang bisa meraihnya, kecuali para wali yang telah sampai pada tingkatan ma’rifat. Sehingga jangan sembrono untuk buruk sangka, apalagi mengkritik wali-wali yang tingkah lakunya secara dhahir menyelisihi syariat.
Wali-wali atau gus-gus itu beda tingkatan dengan kita, mereka sudah sampai tingkatan ma’rifat yang tidak boleh ditimbang dengan timbangan syari’at lagi”. Benarkah demikian? Inilah topik yang kita kupas pada kajian kali ini.
Hakikat Ilmu Laduni

Kaum sufi telah memproklamirkan keistimewaan ilmu laduni. Ia merupakan ilmu yang paling agung dan puncak dari segala ilmu. Dengan mujahadah, pembersihan dan pensucian hati akan terpancar nur dari hatinya, sehingga tersibaklah seluruh rahasia-rahasia alam ghaib bahkan bisa berkomunikasi langsung dengan Allah, para Rasul dan ruh-ruh yang lainnya, termasuk nabi Khidhir. Tidaklah bisa diraih ilmu ini kecuali setelah mencapai tingkatan ma’rifat melalui latihan-latihan, amalan-amalan, ataupun dzikir-dzikir tertentu.
Ini bukan suatu wacana atau tuduhan semata, tapi terucap dari lisan tokoh-tokoh tenar kaum sufi, seperti Al Junaidi, Abu Yazid Al Busthami, Ibnu Arabi, Al Ghazali, dan masih banyak lagi yang lainnya yang terdapat dalam karya-karya tulis mereka sendiri.

1. Al Ghazali dalam kitabnya Ihya’ Ulumuddin 1/11-12 berkata: “Ilmu kasyaf adalah tersingkapnya tirai penutup, sehingga kebenaran dalam setiap perkara dapat terlihat jelas seperti menyaksikan langsung dengan mata kepala … inilah ilmu-ilmu yang tidak tertulis dalam kitab-kitab dan tidak dibahas … “. Dia juga berkata: “Awal dari tarekat, dimulai dengan mukasyafah dan musyahadah, sampai dalam keadaan terjaga (sadar) bisa menyaksikan atau berhadapan langsung dengan malaikat-malaikat dan juga ruh-ruh para Nabi dan mendengar langsung suara-suara mereka bahkan mereka dapat langsung mengambil ilmu-ilmu dari mereka”. (Jamharatul Auliya’: 155)

2. Abu Yazid Al Busthami berkata: “Kalian mengambil ilmu dari orang-orang yang mati. Sedang kami mengambil ilmu dari Allah yang Maha Hidup dan tidak akan mati. Orang seperti kami berkata: “Hatiku telah menceritakan kepadaku dari Rabbku”. (Al Mizan: 1/28)

3. Ibnu Arabi berkata: “Ulama syariat mengambil ilmu mereka dari generasi terdahulu sampai hari kimat. Semakin hari ilmu mereka semakin jauh dari nasab.

Para wali mengambil ilmu mereka langsung dari Allah yang dihujamkan ke dalam dada-dada mereka.” (Rasa’il Ibnu Arabi hal. 4)

Dedengkot wihdatul wujud ini juga berkata: “Sesungguhnya seseorang tidak akan sempurna kedudukan ilmunya sampai ilmunya berasal dari Allah ‘Azza wa Jalla secara langsung tanpa melalui perantara, baik dari penukilan ataupun dari gurunya. Sekiranya ilmu tadi diambil melalui penukilan atau seorang guru, maka tidaklah kosong dari sistim belajar model tersebut dari penambahan-penambahan. Ini merupakan aib bagi Allah ‘Azza wa Jalla – sampai dia berkata – maka tidak ada ilmu melainkan dari ilmu kasyaf dan ilmu syuhud bukan dari hasil pembahasan, pemikiran, dugaan ataupun taksiran belaka”.
Ilmu Laduni Dan Dampak Negatifnya Terhadap Umat
Kaum sufi dengan ilmu laduninya memiliki peran sangat besar dalam merusak agama Islam yang mulia ini. Dengannya bermunculan akidah-akidah kufur –seperti diatas – dan juga amalan-amalan bid’ah. Selain dari itu, mereka secara langsung ataupun tidak langsung terlibat dalam kasus pembodohan umat. Karena menuntut ilmu syar’i merupakan pantangan besar bagi kaum sufi. Berkata Al Junaidi: “Saya anjurkan kepada kaum sufi supaya tidak membaca dan tidak menulis, karena dengan begitu ia bisa lebih memusatkan hatinya. (Quutul Qulub 3/135)
Abu Sulaiman Ad Daraani berkata: “Jika seseorang menuntut ilmu hadits atau bersafar mencari nafkah atau menikah berarti ia telah condong kepada dunia”. (Al Futuhaat Al Makiyah 1/37)
Berkata Ibnul Jauzi: “Seorang guru sufi ketika melihat muridnya memegang pena. Ia berkata: “Engkau telah merusak kehormatanmu.” (Tablis Iblis hal. 370)

Oleh karena itu Al Imam Asy Syafi’i berkata: “Ajaran tasawuf itu dibangun atas dasar rasa malas.” (Tablis Iblis:309)
Tak sekedar melakukan tindakan pembodahan umat, merekapun telah jatuh dalam pengkebirian umat. Dengan membagi umat manusia menjadi tiga kasta yaitu: syariat, hakekat, dan ma’rifat, seperti Sidarta Budha Gautama membagi manusia menjadi empat kasta. Sehingga seseorang yang masih pada tingkatan syari’at tidak boleh baginya menilai atau mengkritik seseorang yang telah mencapai tingkatan ma’rifat atau hakekat.
Syubhat-Syubhat Kaum Sufi Dan Bantahannya

1. Kata laduni mereka petik dari ayat Allah yang berbunyi:
وَعَلَمَّنَاهُ مِنْ لَدُنَّا عِلْمًا
“Dan kami telah ajarkan kepadanya (Nabi khidhir) dari sisi Kami suatu ilmu”. (Al Kahfi: 65)
Mereka memahami dari ayat ini adanya ilmu laduni sebagaimana yang Allah anugerahkan ilmu tersebut kepada Nabi Khidhir. Lebih anehnya mereka meyakini pula bahwa Nabi Khidhir hidup sampai sekarang dan membuka majlis-majlis ta’lim bagi orang-orang khusus (ma’rifat).
Telah menjadi ijma’ (kesepakatan) seluruh kaum muslimin, wajibnya beriman kepada nabi-nabi Allah tanpa membedakan satu dengan yang lainnya dan mereka diutus khusus kepada kaumnya masing-masing. Nabi Khidhir diutus untuk kaumnya dan syari’at Nabi Khidhir bukanlah syari’at bagi umat Muhammad. Rasulullah bersabda:

كَانَ النَّبِيُّ يُبْعَثُ إِلَى قَوْمِهِ خَاصَّةً وَبُعِثْتُ إِلَى النَّاسِ عَامَّةً
“Nabi yang terdahulu diutus khusus kepada kaumnya sendiri dan aku diutus kepada seluruh umat manusia” (Muttafaqun ‘alaihi)
Allah berfirman:

وَمَا أَرْسَلْنَاكَ إِلاَّ كَافَّةً لِلنَّاسِ بَشِيرًا وَنَذِيرًا وَلَكِنَّ أَكْثَرَ النَّاسِ لاَ يَعْلَمُونَ
“Dan Kami tidak mengutus kamu (Muhammad), melainkan kepada seluruh umat manusia sebagai pembawa berita gembira dan peringatan”. (As
Saba’: 28)
Adapun keyakinan bahwa Nabi Khidhir masih hidup dan terus memberikan ta’lim kepada orang-orang khusus, maka bertentangan dengan Al Qur’an dan As Sunnah. Allah berfirman:
وَمَا جَعَلْنَا لِبَشَرٍ مِنْ قَبْلِكَ الْخُلْدَ أَفَإِنْ مِتَّ فَهُمُ الْخَالِدُونَ
(artinya) “Kami tidak menjadikan hidup abadi bagi seorang manusiapun sebelum kamu (Muhammad). (Al Anbiya’: 34)
Rasulullah bersabda:
مَا مِنْ مَنْفُوْسَةٍ اليَوْمَ تَأْتِيْ عَلَيْهَا مِائَةُ سَنَةٍ وَهِيَ يَوْمَئِذٍ حَيَّةٌ
“Tidak satu jiwapun hari ini yang akan bertahan hidup setelah seratus tahun kedepan”. (H.R At Tirmidzi dan Ahmad)
Adapun keyakinan kaum sufi bahwa seseorang yang sudah mencapai ilmu kasyaf, akan tersingkap baginya rahasia-rahasia alam ghaib. Dengan cahaya hatinya, ia bisa berkomunikasi dengan Allah, para Rasul, malaikat, ataupun wali-wali Allah. Pada tingkatan musyahadah, ia dapat berinteraksi langsung tanpa adanya pembatas apapun.

Cukup dengan pengakuannya mengetahui ilmu ghaib, sudah bisa dikatakan ia sebagai seorang pendusta. Rasul Shalallahu ‘alaihi wassalam adalah seorang yang paling mulia dari seluruh makhluk Allah, namun Nabi Shalallahu ‘alaihi wassalam tidaklah mengetahui ilmu ghaib kecuali apa yang telah diwahyukan kepadanya.
قُلْ إِنْ أَدْرِي أَقَرِيبٌ مَا تُوعَدُونَ أَمْ يَجْعَلُ لَهُ رَبِّي أَمَدًا ﴿٢٥﴾ عَالِمُ الْغَيْبِ فَلاَ يُظْهِرُ عَلَى غَيْبِهِ أَحَدًا
“Dia (Allah) yang mengetahui ilmu ghaib, maka Dia tidak memperlihatkan seseorangpun tentang yang ghaib kecuali dari para rasul yang diridhai-Nya”. (Al Jin: 25-26)
Apalagi mengaku dapat berkomunikasi dengan Allah atau para arwah yang ghaib baik lewat suara hatinya atau berhubungan langsung tanpa adanya pembatas adalah kedustaan yang paling dusta. Akal sehat dan fitrah suci pasti menolaknya sambil berkata: “Tidaklah muncul omongan seperti itu kecuali dari orang stres saja”. Kalau ada yang bertanya, lalu suara dari mana itu? Dan siapa yang diajak bicara? Kita jawab, maha benar Allah dari segala firman-Nya:

هَلْ أُنَبِّئُكُمْ عَلَى مَنْ تَنَزَّلُ الشَّيَاطِينُ ﴿٢٢١﴾ تَنَزَّلُ عَلَى كُلِّ أَفَّاكٍ أَثِيمٍ ﴿٢٢٢﴾ يُلْقُونَ السَّمْعَ وَأَكْثَرُهُمْ كَاذِبُونَ ﴿٢٢۳﴾
“Apakah akan Aku beritakan, kepada siapa syaithan-syaithan itu turun? Mereka turun kepada tiap-tiap pendusta lagi banyak dosa, mereka menghadapkan pendengaran (kepada syaithan) itu, dan kebanyakan mereka orang-orang pendusta”. (Asy Syu’ara: 221-223)
2. Sebagian kaum sufi berkilah dengan pernyataannya bahwa ilmu laduni (Al Kasyaf) merupakan ilham dari Allah (yang diistilahkan wangsit). Dengan dalih hadits Nabi Muhammad:

إِنَّهُ قَدْ كَانَ قَبْلَكُمْ فِيْ الأَمَمِ مُحَدَّثُوْنَ فَإِنْ يَكَنْ فِيْ أُمَّتِي أَحَدٌ فَعُمَر
“Dahulu ada beberapa orang dari umat-umat sebelum kamu yang diberi ilham. Kalaulah ada satu orang dari umatku yang diberi ilham pastilah orang itu Umar.” (Muttafaqun ‘alaihi)
Hadits ini sama sekali tidak bisa dijadikan hujjah bagi mereka. Makna dhohir hadits ini, menunjukkan keberadaan ilham itu dibatasi dengan huruf syarat (kalaulah ada). Maksudnya, kalaupun ada pada umat ini, pastilah orang yang mendapatkan ilham adalah Umar Ibnul Khathab. Sehingga beliau digelari al mulham (orang yang mendapatkan ilham). Dan bukan menunjukkan dianjurkannya cari wangsit, seperti petuah tokoh-tokoh tua kaum sufi. Bagaimana mereka bisa memastikan bisikan-bisikan dalam hati itu adalah ilham? Sementara mereka menjauhkan dari majlis-majlis ilmu yang dengan ilmu syar’i inilah sebagai pemisah antara kebenaran dengan kebatilan.
Mereka berkilah lagi: “Ini bukan bisikan-bisikan syaithan, tapi ilmu laduni ini merubah firasat seorang mukmin, bukankah firasat seorang mukmin itu benar? Sebagaimana sabda Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wassalam: “Hati-hati terhadap firasat seorang mukmin. Karena dengannya ia melihat cahaya Allah”. (H.R At Tirmidzi)

Hadits ini dho’if (lemah), sehingga tidak boleh diamalkan. Karena ada seorang perawi yang bernama Athiyah Al Aufi. Selain dia seorang perawi yang dho’if, diapun suka melakukan tadlis (penyamaran hadits).
Singkatnya, ilham tidaklah bisa mengganti ilmu naqli (Al Qur’an dan As Sunnah), lebih lagi sekedar firasat. Ditambah dengan adanya keyakinan-keyakinan batil yang ada pada mereka seperti mengaku mengetahui alam ghaib, merupakan bukti kedustaan diatas kedustaan. Berarti, yang ada pada kaum sufi dengan ilmu laduninya, bukanlah suatu ilham melainkan bisikan-bisikan syaithan atau firasat rusak yang bersumber dari hawa nafsu semata. Disana masih banyak syubhat-syubhat mereka, tapi laksana sarang laba-laba, dengan fitrah sucipun bisa meruntuhkan dan membantahnya.
Hadits-Hadits Dho’if Dan Palsu Yang Tersebar Di Kalangan Umat
Hadits Ali bin Abi Thalib:

عِلْمُ الْبَاطِنِ سِرٌّ مِنْ أَسْرَارِ اللهِ عَزَّ وَجَلَّ ، وَحُكْمٌ مِنْ أَحْكَامِ اللهِ ، يَقْذِفُهُ فِيْ قُلُوْبِ مَنْ يَشَاءَ مِنْ عِبَادِهِ
“Ilmu batin merupakan salah satu rahasia Allah ‘Azza wa Jalla, dan salah satu dari hukum-hukum-Nya yang Allah masukkan kedalam hati hamba-hamba-Nya yang dikehendaki-Nya”.
Keterangan:
Hadits ini diriwayatkan oleh Ibnul Jauzi di dalam kitab Al Wahiyaat 1/74, beliau berkata: “Hadits ini tidak shahih dan secara mayoritas para perawinya tidak dikenal”. Al Imam Adz Dzahabi berkata: “Ini adalah hadits batil”. Asy Syaikh Al Albani menegaskan bahwa hadits ini palsu. (Lihat Silsilah Adh Dha’ifah no 1227)
  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • Twitter
  • RSS

Tinjauan Terhadap Sejumlah Pandangan Lain


Kalangan yang berpendapat bahwa konsep universal adalah gagasan partikular yang samar dan bahwa pengertian-pengertian umum merujuk pada bentuk-bentuk samar (seolah-olah kepartikularan dan kekhasan telah tersapu bersih dari mereka) tidak akan menemukan hakikat konsep-konsep universal. Cara terbaik untuk menerangkan kekeliruan ini ialah dengan menarik perhatian mereka pada konsep-konsep yang sama sekali tidak mempunyai contoh-contoh nyata di alam luaran semisal “tiada” atau “mustahil”, atau konsep-konsep yang tidak mempunyai contoh-contoh material dan indriawi seperti Tuhan, malaikat, dan ruh, atau konsep-konsep yang sekaligus mempunyai contoh-contoh material maupun nonmaterial, seperti sebab dan akibat. Konsep-konsep tersebut tidak bisa dibilang sebagai bentuk-bentuk partikular yang rambang. Demikian pula halnya dengan konsep-konsep menyangkut hal-hal yang berlawanan seperti warna yang dapat berlaku untuk putih dan hitam. Tentu saja warna putih tidak bisa dikatakan telah sedemikian rambangnya hingga mengambil bentuk warna secara mutlak atau warna hitam telah sedemikian pudar dan pucatnya hingga dapat diterapkan pada warna putih (dan warna-warna lainnya).[1]
Seperti halnya pandangan di atas, kalangan Platonis juga menghadapi kesulitan-kesulitan serupa, mengingat sebagian besar konsep universal—seperti konsep “tiada” dan “mustahil”—tidak memiliki arketipe-arketipe kawruhan (intelligible archetypes). Oleh karena itu, pencerapan konsep-konsep universal jelas bukan merupakan pengamatan terhadap kebenaran-kebenaran intelektual dan nonmaterial. Dengan demikian, yang paling tepat ialah pendapat sebagian besar filosof Muslim dan kalangan rasionalis, yakni bahwa manusia berdaya kognitif khusus (special cognitive faculty)—yang disebut sebagai akal (intellect)—untuk menadah dan memahami (intellection) konsep-konsep mental universal, entah konsep-konsep itu memiliki contoh-contoh indriawi ataupun tidak.
Tabel 1. Pembagian Jenis Pengetahuan Representasional

Konsepsi (tashawwur)
Afirmasi (tashdiq)
Deskripsi
Makna literal: Pembentukan citra (mental);
Makna dalam logika: Penampakan mental yang sederhana, dengan sifat menyingkap sesuatu melampaui dirinya sendiri
Makna literal: Penetapan sesuatu sebagai hal yang benar;
Makna dalam logika/filsafat: proposisi logis yang mencakup subjek, predikat, dan penetapan kesatuan dari keduanya, atau penetapan kesatuan itu sendiri
Contoh-contoh
Imajinasi mental “Gunung Papandayan”.
Konsep “gunung” (sederhana), “gunung es” (majemuk)
Manusia adalah binatang rasional.
Bagian itu kurang dari keseluruhan.
Tabel 2. Pembagian Jenis Gagasan

Konsepsi (tashawwur)
Afirmasi (tashdiq)
Deskripsi
Citra/bentuk mental yang hanya mewakili/ menunjuk pada satu maujud/objek
Konsep yang dapat mewakili tak terbilang benda-benda atau orang-orang
Tipe-tipe
Gagasan Sensorik:
Fenomena sederhana di jiwa sebagai efek dari organ sensorik dan hubungan langsung dengan realitas material.
Contoh: Citra pemandangan alam ketika memandang dari kejauhan.
Gagasan imajiner:
Fenomena sederhana di jiwa sebagai efek dari organ sensorik dan hubungan dengan realitas material, namun keberadaan citra ini tetap bertahan meskipun hubungan dengan realitas eksternal telah putus.
Contoh: Fantasi
Konsep Kemahiyahan.
Konsep Filosofis.
Konsep Logis.
(Sumber: M. Taqi Mishbah Yazdi. (2003).  Buku Daras Filsafat Islam. Bandung: Mizan).
[1] Intinya barangkali adalah bahwa gagasan-gagasan partikular yang samar-samar seharusnya bisa menghimpun berbagai hal yang samar-samar mirip, persis seperti gagasan abu-abu yang cukup samar untuk bisa mencakup beragam corak warna. Akan tetapi, konsep-konsep yang berlawanan tidak begitu, lantara hitam dan putih bukanlah corak dari suatu warna yang serupa dengan corak-corak warna dalam abu-abu. Hitam dan putih adalah berlawan-lawanan, dan tidak serupa dalam batas-batas yang samar—penerj. Inggris.
  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • Twitter
  • RSS

Metodologi Filsafat

Metodologi Filsafat


Oleh karena filsafat mulai dengan rasa heran, bertanya dan memikir tentang asumsi-asumsi kita yang fundamental, maka kita perlukan untuk meneliti bagaimana filsafat itu menjawab persoalan-persoalan tersebut. problema-problema filsafat tak dapat dipecahkan dengan sekadar mengumpulkan fakta-fakta. Jadi bagaimanakah filsafat itu memecahkan problema-problema yang ditimbulkan? Apakah metoda yang dipakai oleh filsafat?
Kita telah memberikan definisi filsafat sebagai proses pemikiran dan kritik terhadap kepercayaan yang kita junjung tinggi. Untuk mencapai tujuan tersebut, kita berpendapat bahwa metoda dasar untuk penyelidikan filsafat adalah metoda dialektik.

Dialektik Socrates
Filsafat berlangsung dengan mengikuti dialektik argumentasi. Apakah arti dialektik? Istilah dialektik menunjukkan proses berpikir yang berasal dari Socrates. Jika seorang peminat filsafat membaca salah satu dari dialog karangan Plato, ia akan menemukan bahwa Socrates adalah pemegang peran yang terpenting. Dalam dialog-dialog tersebut Socrates memakai metoda dialektik. Ia melibatkan diri dalam argumentasi; dalam analisis yang tak kenal lelah tentang apa saja. Socrates yakin bahwa cara yang paling baik untuk mendapatkan pengetahuan yang diandalkan adalah dengan melakukan pembicaraan yang teratur (disciplined conversation) dengan memainkan peranan seorang “intellectual midwife” (orang yang memberi dorongan/ rangsangan kepada seseorang untuk melahirkan pengetahuan yang terpendam dalam pikirannya; Pen); metoda yang dipakai Socrates dinamakan dialektik. Ini akan nampak sebagai suatu teknik yang sederhana. Dimulai dengan diskusi tentang aspek-aspek yang biasa diterima tentang sesuatu problem. Proses dialektik adalah dialog antara dua pendirian yang bertentangan. Socrates dan filosof-filosof yang datang kemudian[1] berkeyakinan bahwa dengan proses dialog di mana setiap peserta dalam pembicaraan akan terpaksa untuk menjelaskan idenya. Hasil terakhir dari pembicaraan tersebut akan merupakan pernyataan tentang apa yang dimaksudkan. Yang penting adalah bahwa dialektik itu merupakan perkembangan pemikiran dengan memakai pertemuan (interplay) antar ide.
Pemikiran dialektik atau metoda dialektik berusaha untuk mengembangkan suatu contoh argumen yang di dalamnya terjalin implikasi bermacam-macam proses (sikap) yang saling mempengaruhi. Argumen tersebut akan menunjukkan bahwa tiap-tiap proses (sikap) tidak menyajikan pemahaman yang sempurna tentang kebenaran. Dengan begitu timbullah pandangan dan alternatif yang baru, tiap tahap dari dialektik kita memasuki lebih dalam kepada problema asli, dan dengan begitu ada kemungkinan untuk lebih mendekati kebenaran.
Biasanya mahasiswa yang mulai mempelajari suatu ilmu, akan menghafalkan fakta, mempelajari formula dan menguasai sekelompok material. Filsafat memerlukan hal yang berlainan dengan cara itu. dengan menggunakan metoda dialektik kita akan lebih mendekati kebenaran, akan tetapi sesungguhnya tidak jarang problema filsafat yang semula belum juga terpecahkan. Dan masih banyak soal-soal yang dikemukakan serta argumentasi yang ditentang. Walaupun begitu, peminat filsafat tidak boleh putus asa. Dengan metode dialektik, kita dapat sampai kepada pemecahan sementara; ada jawaban-jawaban yang nampak lebih memuaskan, tetapi ada juga jawaban yang harus kita buang.
Dengan cara Socrates, filsafat berjalan dengan berusaha mengoreksi fikiran-fikiran yang tidak sempurna atau tidak tepat, dengan memancing (coaxing) kebenaran dari situasi. Socrates masyhur karena pendapatnya bahwa kehidupan yang tidak diselidiki tak layak untuk dihayati. Begitu juga filsafat berjalan dengan keyakinan bahwa ide yang tidak diselidiki tidak layak untuk dimiliki. Dengan begitu maka dialektik memerlukan pemikiran yang kritis.
(Sumber: Harold H. Titus. (1984). Persoalan-persoalan Filsafat).
[1] Filosof-filosof seperti Plato, Aristoteles, Hegel, Kierkegaard, Nietzsche, Marx dan Heidegger; meskipun berbeda pendapat, mereka semuanya menekankan pentingnya dialektik.
  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • Twitter
  • RSS

Manusia dan Evolusi

Manusia dan Evolusi


Kemajuan dalam ilmu fisika, khususnya dengan kekuatan baru dari pecahan atau gabungan nuklir, adalah sangat besar. Tetapi barangkali kemajuan tersebut akhirnya tidak lebih penting untuk kemajuan ilmu hayat yang banyak hubungannya bagi kita untuk memahami manusia. Pengetahuan baru tentang sains kehidupan telah menyebabkan timbulnya problema-problema filsafat yang sangat penting sebagaimana akan kita lihat nanti.

Evolusi Organik
Evolusi dalam arti biologi atau evolusi organik, merupakan proses perkembangan segala bentuk kehidupan. Ini berarti bahwa “Sekarang adalah anak masa lalu, dan bapak masa akan datang”. Teori evolusi organik mengatakan bahwa tumbuh-tumbuhan dan binatang-binatang yang kita lihat sekarang ini adalah keturunan dari nenek moyang yang keadaannya lebih sederhana. Nenek moyang itu juga merupakan keturunan dari “nenek moyang” mereka yang jauh lebih sederhana, yang hidup beberapa juta tahun sebelumnya dalam bentuk kehidupan yang sederhana atau permulaan kehidupan. Jenis-jenis binatang dan tumbuh-tumbuhan sekarang telah berkembang dengan perbedaan bentuk, dari tipe yang tidak ada sebelumnya. Pada umumnya teori evolusi mengatakan bahwa kehidupan berasal dari yang sederhana menuju yang kompleks atau dari yang rendah menuju bentuk yang lebih tinggi. Kata-kata “lebih tinggi” berarti struktur yang lebih kompleks dan memiliki bermacam-macam fungsi dan kemampuan. Evolusi adalah nama proses perubahan tersebut. evolusionisme atau teori evolusi adalah interpretasi tentang bagaimana proses tersebut terjadi.
Apakah konsep evolusi itu berlaku dalam segala bidang atau hanya dalam bidang bentuk-bentuk organik? Apakah di samping evolusi biologis, ada tahap anorganik atau pra biologis, dan apakah ada pula suatu post biologis psiko-sosial atau bidang manusiawi?

Memang ada orang yang memakai istilah cosmic evolution, akan tetapi terdapat perbedaan faham apakah universal evolution itu berlaku bagi segala bentuk dan macam perubahan. Sudah tentu banyak konsep yang dipakai dalam satu bidang seperti: warisan (heredity) atau perjuangan hidup (struggle for existence) dalam bidang evolusi organik tidak tepat jika dipakai dalam membicarakan macam evolusi yang lain. Kecuali jika telah terdapat kesepakatan bahwa kita berbicara dalam suatu bidang tertentu, kita selalu harus menggunakan sifat (adjective) yang membedakan, umpamanya stellar, geological, atomic, organic atau cultural, sebelum kata-kata evolusi.

Pada bagian ini dan bagian berikutnya dalam fasal ini, kita akan membicarakan evolusi organik atau evolusi biologis. Diperkirakan terdapat lebih dari sejuta jenis binatang. Apakah tiap jenis mempunyai asalnya sendiri secara terpisah ataukah tiap jenis bermula sebagai organisme yang sederhana dan darinya berkembanglah bermacam-macam jenis yang ada sekarang? Hampir tanpa pengecualian, ahli-ahli sains dan filsafat menerima pandangan yang terakhir, yakni evolusi organik, karena bukti-buktinya meyakinkan. Memang terdapat perbedaan-perbedaan pendapat, akan tetapi hanya mengenai hal-hal yang kecil.

Doktrin evolusi organik berasal dari Yunani Purba, akan tetapi doktrin-doktrin tersebut bersifat spekulatif (tanpa bukti). Seorang mahasiswa mungkin saja membaca pendapat Anaximander (611-546 SM), Empedocles (490-430 SM), dan Anaxagoras (500-428 SM). Aristoteles (384-322 SM) telah mempelajari kurang lebih 500 jenis binatang dan mengadakan klasifikasinya. Ia mengakui ada perkembangan dan hubungan dalam jenis-jenis itu sendiri. Charles Darwin (1809-1882) mengakui berhutang budi kepada karya Aristoteles. Sesudah tahun 1859, ketika Darwin menerbitkan karangannya Origin of Species, teori evolusi organik mendapat sambutan luas. Sesungguhnya selama satu abad sebelum Darwin banyak penyelidik telah meratakan jalan seperti Linnaeus, Lyell, Erasmus, Darwin dan Lamarck. Di antara tahap-tahap penting dalam sejarah evolusi organik dapat kita sebutkan “teori warisan sifat-sifat yang diperoleh” (theory of the inheritance of acquired characteristics) ciptaan Lamarck, “teori pilihan alamiah dari variasi nasib” (natural selection of chance variations) ciptaan Darwin, “teori kelangsungan benih” (germinal continuity) ciptaan Weismann, “teori mutasi” (mutations) ciptaan DeVries, “kaidah warisan” (law of inheritance) ciptaan Mendel, “teori jenis” (theoru of the genes) ciptaan Morgan. Teks buku biologi yang baik atau ensiklopedia tentu memuat pembicaraan tentang karya cendekiawan-cendekiawan tersebut, dan sejarah karya-karya itu serta penilikan yang lebih baru.
Bukti-bukti tentang evolusi organik yang telah terkumpul selama kurang lebih 200 tahun, tak mungkin dijelaskan dalam halaman buku yang terbatas ini. Kita hanya dapat menunjukkan bidang-bidang di mana bukti-bukti itu ditemukan:
  1. Anatomi perbandingan (comparative anatomy). Ini merupakan penyelidikan tentang hubungan struktural (seperti tulang, otot, organ-organ badan dan lain-lain) yang terdapat di antara binatang-binatang.
  2. Sisa-sisa bekas (vestigial remains). Dalam bentuk binatang-binatang bersel satu sisa-sisa bekas itu anggota dan kelenjar-kelenjar (glands) tetap ada akan tetapi telah kehilangan fungsinya dalam bentuk yang lebih tinggi dan lebih baru.
  3. Embriologi, yang merupakan penyelidikan tentang organisme dalam tahap-tahap pertama dari perkembangannya dari telur yang disuburkan (fertilized). Embrio jenis binatang yang bermacam-macam menunjukkan persamaan dalam tahap-tahapnya yang pertama.
  4. Pemeriksaan darah dan cairan-cairan binatang. Pemeriksaan-pemeriksaan ini memberi konfirmasi terhadap hubungan antara jenis-jenis yang bermacam-macam.
  5. Fossil. Bentuk-bentuk fosil atau sisa-sisa binatang-binatang yang sudah musnah, atau sisa-sisa tahap-tahap permulaan dari binatang-binatang yang ada sekarang, telah terpelihara dalam bumi.
  6. Distribusi menurut geografi. Lokasi dan distribusi tumbuh-tumbuhan dan binatang di berbagai macam tempat di dunia, hanya dapat diterangkan dengan dasar evolusi.
  7. Pemeliharaan dan eksperimen (domestication and experimentation). Dengan bermacam-macam cara untuk melipat-gandakan binatang, manusia dapat melakukan dalam waktu yang singkat proses alamiah yang memakan waktu lama.
  8. Klasifikasi. Binatang-binatang ditata secara menanjak dari yang sederhana sampai yang kompleks, dari organisme satu sel sehingga manusia.
Yang biasanya dinamakan argumen yang terkuat tentang evolusi adalah fakta bahwa bukti dari bermacam-macam bidang penyelidikan yang tersebut dalam daftar di atas, sesuai dengan satu contoh. Dengan begitu ia merupakan satu teori yang terpadu.
(Sumber: Harold H. Titus. (1984). Persoalan-persoalan Filsafat).
  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • Twitter
  • RSS

Mengenal Sokrates (470-399 SM)


Sokrates adalah seorang filsuf Yunani yang hidup, karakter, dan cara berpikirnya berpengaruh besar kepada para filsuf masa kuno dan modern.meskipun Sokrates tidak menuliskan pemikirannya, ia digambarkan dalam tulisan oleh sebagian kecil pengagumnya dan yang paling adalah tulisan yang dibuat oleh muridnya, Plato. Dalam Dialog Plato, Sokrates digambarkan sebagai sosok yang berwawasan luas, memiliki integritas, penguasaan diri yang baik, dan memiliki keterampilan argumentatif.

Kehidupan dan Kepribadian
Meskipun sumber yang menuliskan kehidupannya relatif kecil, gambaran tentang tokoh ini terdapat dalam beberapa karya Plato. Ayah Sokrates bernama Sophroniscus (mungkin tukang batu), ibunya bernama Phaenarete, dan Xanthippe adalah nama istrinya; ia dikaruniai tiga orang anak. (dalam karya Plato yang berjudul Theaetetus, Sokrates mengibaratkan caranya berfilsafat seperti profesi ibunya yang seorang bidan: tidak hamil tetapi membantu orang melahirkan; tidak memiliki ide-ide sendiri, tetapi membantu orang mencari solusi atas ide orang tersebut). Sokrates memiliki hidung pesek dan mata melotot yang membuatnya selalu tampak menatap; dari segi fisik, ia tidak menarik menurut ukuran pada waktu itu. Ia menjabat sebagai hoplite (tentara bersenjata berat) dalam ketentaraan Athena dan bertempur dengan gagah berani dalam berbagai pertempuran penting. Tidak seperti banyak pemikir waktu itu, ia tidak pergi ke kota-kota lain untuk mengejar kepentingan intelektualnya.
  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • Twitter
  • RSS

Allah Swt Yang Menzahirkan Alam


Alam adalah kegelapan dan yang menerangkannya karena padanya kelihatan yang haq (tanda-tanda Allah swt). barangsiapa melihat alam tetapi dia tidak melihat Allah swt di dalamnya, di sampingnya, sebelumnya atau sesudahnya, maka dia benar-benar memerlukan wujudnya cahaya-cahaya itu dan tertutup baginya cahaya ma’rifat oleh tebalnya awan benda-benda alam.

Alam ini pada hakikatnya adalah gelap atau ‘adam, tidak wujud. Wujud Allah sw yang menerbitkan kewujudan alam. tidak ada satu kewujudan yang berpisah dari wujud Allah swt. Hubungan wujud Allah swt dengan kewujudan makhluk sekiranya dibuat ibarat (sebenarnya tidak ada ibarat yang mampu menjelaskan hakikat sebenarnya), perhatikan kepada api yang berputar dalam kecepatan. Kelihatan pada pandangan kita bulatan api. Perhatikan pula kepada orang yang berbicara, akan kedengaran suara dari mulutnya. Kemudian perhatikan pula minyak kasturi, akan terhirup baunya yang wangi. Wujud bulatan api adalah wujud yang berkaitan dengan wujud api. Wujud suara adalah wujud yang berkaitan dengan wujud orang yang berbicara. Wujud bau wangi adalah wujud yang berkaitan dengan wujud minyak kasturi. Wujud bulatan api, suara dan bau wangi pada hakikatnya tidak wujud. Begitulah ibaratnya wujud makhluk yang menjadi ada dari  wujud Allah swt. Wujud bulatan api adalah hasil dari pergerakan api. Wujud suara adalah hasil dari perbuatan orang yang berbicara. Wujud bau wangi adalah hasil dari sifat minyak kasturi. Bulatan api bkanlah api tetapi bukan pula muncul selain dari api dan tidak terpisah darinya. Suara bukanlah orang yang berbicara tetapi tidak muncul selain dari orang yang berbicara. Walaupun orang itu sudah tidak berbicara tetapi masih banyak lagi suara yang tersimpan padanya. Bau wangi bukanlah minyak kasturi tetapi tidak muncul selain dari minyak kasturi. Walaupun bulatan api kelihatan banyak, suara kedengaran banyak, dan bau dapat dinikmati orang-orang, namun api hanya satu, orang yang berbicara hanya seorang dan minyak kasturi yang mengeluarkan bau hanya satu biji.
Agak sukar memahami konsep ada tetapi tidak ada, tidak bersama tetapi tidak berpisah. Inilah konsep ketuhanan yang tidak mampu dipecahkan oleh akal tanpa penerangan nur dari lubuk hati. Mata hati yang diterangi Nur Ilahi dapat melihat kaitan antara ada dengan tidak ada, tidak bersama tetapi tidak berpisah. Atas kekuatan hatinya menerima cahaya Nur Ilahi akan menentukan kekuatan mata hatinya melihat kepada keghaiban yang tidak berpisah dengan kejadian alam ini. Ada 4 tingkatan pandangan mata hati terhadap hubungan alam dengan Allah swt yang menciptakan alam.
  1. Mereka yang melihat Allah swt dan tidak melihat alam ini. Mereka adalah ibarat orang yang hanya melihat kepada api, bulatan api yang khayali tidak menyilaukan pandangannya. Walaupun mereka berada di tengah-tengah kesibukan, namun mata hati mereka tetapi bertumpu kepada Allah swt, tidak terganggu oleh keanekaan makhluk. Lintasan makhluk hanyalah ibarat cermin yang ditembus cahaya. Pandangan mereka tidak melekat pada cermin itu.
  2. Mereka yang melihat makhluk secara zahir tetapi Allah swt pada batin. Mata hati mereka melihat alam sebagai penzahiran sifat-sifat Allah swt. Segala yang maujud merupakan kitab yang menceritakan tentang Allah swt. Tiap satu kewujudan alam ini membawa sesuatu makna yang menceritakan tentang Allah swt.
  3. Mereka yang melihat Allah swt pada zahirnya sementara makhluk tersembunyi. Mata hati mereka terlebih dahulu melihat Allah swt sebagai sumber segala sesuatu, kemudian baru mereka melihat makhluk yang menerima karuia dari-Nya. Alam tidak lain merupakan perbuatan-Nya, gubahan-Nya, lukisan-Nya atau hasil kerja kekuasaan-Nya.
  4. Mereka yang melihat makhluk terlebih dahulu kemudian baru melihat Allah swt. Mereka memasuki jalan berhati-hati dan waspada, memerlukan masa untuk menghilangkan keraguan, berdalil dengan akal sehingga akhirnya meyakini akan Allah swt yang wujud-Nya menguasai wujud makhluk.
Selain yang dinyatakan di atas tidak disebut orang yang melihat Allah swt. Gambar-gambar alam, syahwat, kelalaian dan dosa menggelapkan cermin hati mereka hingga tidak mampu menangkap cahaya yang membawa kepada ma’rifat. Mereka gagal untuk melihat Allah swt berada di dalam sesuatu, di samping sesuatu, sebelum sesuatu atau sesudah sesuatu. Mereka hanya melihat makhluk seolah-olah berdiri sendiri tanpa campur tangan Tuhan.
Elemen alam dan sekalian peristiwa yang berlaku merupakan perutusan yang membawa berita tentang Allah swt. Berita itu bukan didengar dengan telinga atau dilihat dengan mata atau dipikir dengan akal. Ia adalah berita ghaib yang menyentuh jiwa. Sentuhan tangan ghaib pada jiwa itulah yang membuat hati mendengar tanpa telinga, melihat tanpa mata dan merenung tanpa akal pikiran. Hati hanya mengerti setiap utusan yang disampaikan oleh tangan ghaib kepadanya dan hati menerimanya dengan yakin. Keyakinan itu menjadi kunci kepada telinga, mata dan akal. Apabila kuncinya telah dibuka, segala suara alam yang didengar, sekalian elemen alam yang dilihat dan seluruh alam maya yang direnungi akan membawa cerita tentang Tuhan. ‘Abid mendengar, melihat dan merenungi keperkasaan Tuhan. Asyikin mendengar, melihat dan merenungi keindahan Tuhan. Muttakhaliq mendengar, melihat dan merenungi kebijaksanaan dan kesempurnaan Tuhan. Muwahhid mendengar, melihat dan merenungi keesaan Tuhan.
(Yaitu) hari (ketika) mereka keluar (dari kubur); tiada suatupun dari keadaan mereka yang tersembunyi bagi Allah. (lalu Allah berfirman): “Kepunyaan siapakah kerajaan pada hari ini?” Kepunyaan Allah yang Maha Esa lagi Maha Mengalahkan (QS. Al-Mumin:16).
Mereka mendustakan mukjizat Kami semuanya, lalu Kami azab mereka sebagai azab dari yang Maha Perkasa lagi Maha Kuasa (QS. Al-Qamar:42).
Ayat-ayat di atas menggetarkan jiwa ‘abid. Hati abid sudah ‘berada’ di akhirat. Alam dan kehidupan ini menjadi ayat-ayat atau tanda-tanda untuknya melihat keadaan dirinya di akhirat kelak, menghadap Tuhan Yang Esa, Maha Perkasa, tiada sesuatu yang tersembunyi dari-Nya.
Yang telah menciptakan tujuh langit berlapis-lapis. Kamu sekali-kali tidak melihat pada ciptaan Tuhan yang Maha Pemurah sesuatu yang tidak seimbang. Maka lihatlah berulang-ulang, adakah kamu lihat sesuatu yang tidak seimbang? Kemudian pandanglah sekali lagi niscaya penglihatanmu akan kembali kepadamu dengan tidak menemukan sesuatu cacat dan penglihatanmu itu pun dalam keadaan payah (QS. Al-Mulk: 3-4).
Asyikin memandang kepada ciptaan dan dia mengulang-ulang pemandangannya. Semakin dia memandang kepada alam semakin dia melihat kepada keindahan dan kesempurnaan Pencipta alam. Dia asyik dengan apa yang dipandangnya.
Dialah Allah yang menciptakan, yang mengadakan, yang membentuk rupa, yang mempunyai asmaaul husna. Bertasbih kepadanya apa yang di langit dan bumi. Dan Dialah yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana (QS. Al-Hasyr:24).
Muttakhaliq menyaksikan sifat-sifat Tuhan yang dikenal dengan nama-nama yang baik. Alam adalah media untuknya mengetahui nama-nama Allah swt dan siat-sifat kesempurnaan-Nya. Setiap yang dipandang menceritakan sesuatu tentang Allah swt.
Sesungguhnya Aku ini adalah Allah, tidak ada Tuhan (yang hak) selain Aku, maka sembahlah Aku dan dirikanlah shalat untuk mengingat Aku (QS. Thaha:14).
Muwahhid fana dalam Zat. Kesadaran dirinya hilang. Melalui lidahnya muncul ucapan-ucapan seperti ayat di atas. Dia mengucapkan ayat-ayat Allah swt, bukan dia bertukar menjadi Tuhan.
Dengan menyebut nama Allah yang Maha Pemurah lagi Maha Penyayang. Segala puji bagi Allah, Tuhan semesta alam. Maha Pemurah lagi Maha Penyayang. Yang menguasai di hari pembalasan. Hanya Engkaulah yang kami sembah, dan hanya kepada Engkaulah kami meminta pertolongan. Tunjukilah kami jalan yang lurus. (Yaitu) jalan orang-orang yang telah Engkau beri nikmat kepada mereka; bukan (jalan) mereka yang dimurkai dan bukan (pula jalan) mereka yang sesat (QS. Al-Fatihah:1-7).
Mutahaqqiq kembali kepada kesadaran kemanusiaan untuk memikul tugas membimbing umat manusia kepada jalan Allah swt. Hatinya senantiasa memandang kepada Allah swt dan bergantung kepada-Nya. Kehidupan ini adalah medan dakwah baginya. Segala elemen alam adalah alat untuk dia memakmurkan bumi.
Apabila Nur Ilahi menerangi hati apa saja yang dipandang akan kelihatan Allah swt, di sampingnya atau sebelumnya atau sesudahnya.
  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • Twitter
  • RSS

Filsafat

Arti Filsafat


Setiap orang memiliki filsafat walaupun ia mungkin tidak sadar akan hal tersebut. Kita semua mempunyai ide-ide tentang benda-benda, tentang sejarah, arti kehidupan, mati, Tuhan, benar atau salah, keindahan atau kejelekan dan sebagainya. Tentu saja ide-ide tersebut kita peroleh dengan bermacam-macam cara dan mungkin pula ide-ide tersebut adalah dalam keadaan kabur dan tidak jelas. Pada tahun-tahun pertama dari kehidupan kita, kita terus menerus memperoleh pandangan dan sikap dari kehluarga kita, teman-teman atau bermacam-macam perorangan dan golongan. Sikap-sikap tersebut, dapat juga dipengaruhi oleh pertunjukan film, televisi, musik atau buku-buku. Sikap tersebut mungkin juga merupakan hasil pemikiran kita, tetapi mungkin juga hasil dari dasar yang konvensional atau emosional. Gambaran filsafat yang luas, umum dan faham orang awam (common sense) tidak cukup untuk maksud-maksud kita. Karena tidak melukiskan pekerjaan dan tugas dari ahli filsafat. Kita perlu memberikan definisi filsafat secara lebih spesifik, sebab pandangan yang luas adalah kabur, berbaur, dan dangkal.

Kata filosofi (philosophy) diambil dari perkataan Yunani: philos (suka, cinta) dan sophia (kebijaksanaan). Jadi kata itu berarti: cinta kepada kebijaksanaan. Suatu definisi filsafat dapat diberikan dari berbagai pandangan. Akan kami sajikan lima definisi, walaupun tentunya ada ahli filsafat yang menolak satu atau dua dari lima tersebut. Tiap pendekatan harus kita ingat agar kita memperoleh kejelasan dari beberapa arti filsafat dan apa yang mungkin mereka katakan tentang watak dan fungsi-fungsi filsafat.

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • Twitter
  • RSS

‘Kebetulan’ dalam Perspektif Ibn Sina

Konsep ‘Kebetulan’ dalam Perspektif Ibn Sina


Namun, klasifikasi peristiwa terkadang tidak terlalu ketat, Ibn Sina menyatakan suatu peristiwa dapat dianggap sering terjadi dan memiliki frekuensi ‘kebetulan’ yang sama terhadap hal yang lain. Misalnya, jari keenam adalah peristiwa yang jarang terjadi pada manusia, tetapi jika ada peristiwa lebih dari lima jari dan “jika daya Ilahi yang mengalir ke dalam tubuh menemukan kondisi yang lengkap (isti’dad tamm) secara alami memenuhi kepantasan bentuk (sura mustahaqqa), maka kekuatan Ilahi tidak menghilangkan bentuk materi dan menghasilkan jari keenam” dan “jika ini adalah peristiwa yang jarang ditemukan berkaitan dengan sifat universal atau bersifat anomali yang berkaitan dengan sebab-sebab yang telah disebutkan. Memang hal itu berlaku demikian.[1] Bahkan jika ada sesuatu yang umumnya dianggap peristiwa jarang terjadi dan ‘kebetulan’, hal itu akan berubah menjadi ‘memerlukan’ berdasarkan penyebabnya dan karenanya tidak memenuhi syarat sebagai peristiwa spontan. Ibn Sina menekankan bahwa untuk setiap fenomena alam, bahkan yang tampaknya tidak wajar karena tidak biasa atau jarang terjadi, tetap memerlukan penyebab. Implikasinya bahwa penyimpangan di alam memang memerlukan faktor lain dan memang harus begitu. Hal ini karena setiap peristiwa tunggal di alam ditentukan oleh penyebabnya.
Ibn Sina melanjutkan dengan mengatakan, “sepanjang eksistensi suatu hal tidak berasal dari penyebab dan tidak mengindikasikan sifat yang memungkinkan untuk muncul, maka ia tidak muncul dari bentuknya sendiri.”[2] Hal demikian merujuk kepada filsafat-pertama, metafisika. Salah satu prinsip fundamental dari ontologi mengenai kemungkinan dan yang ‘memerlukan’dalam metafisika Ibn Sina bahwa kemungkinan diperlukan manakala sesuatu menjadi eksis. Kemungkinan dan eksistensi aktual bagi Ibn Sina merupakan dua istilah yang menandakan hubungan eksklusif. Setiap eksistensi aktual adalah mungkin memerlukan: dirinya sendiri, hal lain (di luar dirinya), penyebab, dengan pengecualian Tuhan.
Jika segala sesuatu yang terjadi di alam ‘memerlukan’ faktor lain, di mana ‘kebetulan’? Apa artinya mengatakan sesuatu terjadi secara ‘kebetulan’? Menurut Aristoteles, ‘kebetulan’ ada dalam peristiwa yang jarang atau sering terjadi; pandangan ini terkadang didukung Ibn Sina sendiri.[3] Dalam al-Najat, Ibn Sina memberikan definisi mengenai peristiwa ‘kebetulan’ yang mendukung pandangan Aristotelian:
Peristiwa ‘kebetulan’ (umur ittifaqiyya) adalah peristiwa yang jarang atau sering  terjadi. Peristiwa di alam itu selalu, sering, dan tidak terjadi secara ‘kebetulan’ (ittifaqiyya). Peristiwa yang sering terjadi dengan sendirinya mengharuskan demikian kecuali ia memiliki gangguan (aiq).[4]
Ini adalah definisi standar Aristoteles mengenai ‘kebetulan’: yang tidak selalu (jarang) atau sering terjadi. Selain itu, penting untuk diperhatikan mengenai perbedaan antara alam dan ‘kebetulan’. Pada interpretasi ini, proses-proses alam adalah yang tidak selalu atau sering terjadi. Hal ini menunjukkan bahwa ‘kebetulan’ adalah sesuatu yang melampaui (beyond) alam, bersifat supernatural atau monstrous, dan tidak bisa dijelaskan oleh prinsip-prinsip ilmiah. Kita telah melihat bahwa menurut Ibn Sina peristiwa alami terjadi tanpa ketiadaan gangguan dan akibat alami yang langka juga sudah dijelaskan. Gangguan akan menentukan terhadap peristiwa yang sering terjadi daripada terhadap peristiwa yang selalu terjadi, ia mengatakan demikian dalam al-Najat. Seperti Aristoteles, Ibn Sina menyangkal bahwa ‘kebetulan’ adalah akar dari peristiwa yang selalu atau sering terjadi. Aristoteles mengklaim bahwa hal itu ditemukan dalam peristiwa yang jarang terjadi. Baginya, ‘kebetulan’ secara objektif fihubungkan dengan frekuensi dari suatu peristiwa.[5] Dengan demikian, ‘kebetulan’ ada pada peristiwa yang jarang atau konstan (terus-menerus). Peristiwa konstan misalnya gerakan bintang-bintang yang mengikuti pola tertentu dan abadi.[6]
Contoh peristiwa yang sering terjadi atau teratur adalah curah hujan di musim dingin. Dapat dengan mudah disebut peristiwa ‘kebetulan’; bandingkan dengan peristiwa hujan di musim panas, tidak diperlukan teori kausalitas secara ketat. Lebih jauh Ibn Sina menyatakan bahwa kemenjadian diperlukan pada peristiwa yang berlangsung. Dengan membingkai teori ‘kebetulan’ dalam teori memerlukan atau kausalitas sistematis, di mana setiap peristiwa memerlukan sebab, secara otomatis ‘kebetulan’ tidak termasuk penyebab atau bukan penjelasan yang dapat menjelaskan suatu peristiwa. Dengan demikian ia memenuhi teori yang mendefinisikan bahwa ‘kebetulan’ ditentukan oleh frekuensi kejadian, dan hal ini awalnya dari teori Aristoteles. Penjelasan Ibn Sina mengenai peristiwa yang selalu, sering, atau jarang terjadi merupakan bentuk penolakan terhadap model statistik yang menyatakan bahwa ‘kebetulan’ ada dalam peristiwa yang jarang terjadi tanpa kualifikasi apapun. Bahkan, ‘kebetulan’ tidak secara objektif terhubung dengan frekuensi terjadinya satu peristiwa. Contoh jari keenam berfungsi untuk menunjukkan bahwa semua peristiwa, substansi, dan alam secara umum adalah tidak mungkin; bukan memerlukan faktor lain yang ditentukan oleh tujuan dan karenanya harus begitu. Setiap peristiwa alami atau substansi diperlukan jika seseorang menganalisa penyebab utama untuk itu.[7] Jika semua  peristiwa diperlukan, mengapa Ibn Sina kesulitan untuk menjelaskan ‘kebetulan’ dengan menggunakan klasifikasi Aristoteles mengenai peristiwa yang sesuai frekuensi? Dia tampaknya mengecualikan ‘kebetulan’ dari semua peristiwa alami, bukan hanya peristiwa yang selalu dan sering terjadi saja tetapi juga menyangkut peristiwa yang jarang terjadi. Ia menyangkal bahwa ‘kebetulan’ ada pada peristiwa yang jarang terjadi. Namun, itu bukan berarti bahwa ia menyangkal ‘kebetulan’ sama sekali. Ini adalah salah satu definisi yang diberikan dalam Physics mengenai The Healing:
‘Kebetulan’ merupakan penyebab peristiwa alami dan tiada kehendak (amr) yang tidak mengharuskan selalu atau sering terjadi, berkaitan dengan demi sesuatu (tujuan) dan tidak memiliki penyebab yang mengharuskan secara esensial.[8]
Argumen di atas secara eksplisit menyatakan bahwa ‘kebetulan’ ada pada peristiwa yang memiliki sebab final, sebanyak ia memiliki sebab final itu. Artinya, ‘kebetulan’ tidak muncul pada peristiwa yang tidak memiliki tujuan. Selain itu, Ibn Sina mengikuti pandangan Aristotelian bahwa ‘kebetulan’ tidak muncul pada peristiwa yang selalu atau sering terjadi, seperti yang dilakukannya dalam bagian al-Najat yang dikutip di atas. Dia juga tampaknya menerima bahwa tidak ada penyebab esensial untuk peristiwa ‘kebetulan.’ Juga, menurut definisi ini, ‘kebetulan’ menjadi penyebab yang tidak selalu atau sering memerlukan faktor lain. Dalam argumen-argumennya, Ibn Sina tampak berbeda-beda dan bertentangan dalam mendefinisikan ‘kebetulan’; kadang-kadang menerima model statistik, pada kesempatan lain menolaknya. Pada kutipan berikut, ia tampak menolaknya:
Kita dapat mengatakan bahwa [peristiwa] ini dan itu terjadi secara ‘kebetulan’ bahkan jika peristiwa (al-amr) digunakan untuk peristiwa yang sering terjadi; seperti perkataan seseorang, “Aku mencari Zaid untuk berbisnis dan ia ditemukan di rumah.” Fakta bahwa Zaid sering ditemukan di rumah tidak mencegah [orang ini] untuk melontarkan perkataan di atas. Jawabannya adalah orang ini mengatakan hal itu tidak berkaitan dengan apa yang diucapkannya, melainkan dengan apa yang dia percaya tentang hal itu. Karena jika pendapat umum bahwa Zaid harus di rumah, orang tersebut tidak akan mengatakan bahwa ia ‘kebetulan’ [menemukan Zaid]. Sebaliknya, akan dikatakan terjadi secara ‘kebetulan’ jika orang tersebut tidak menemukannya.[9]
Dalam contoh di atas, Ibn Sina mempertahankan ‘kebetulan’ yang tidak objektif dihubungkan dengan frekuensi dari suatu peristiwa, tetapi hanya subjektif. ‘Kebetulan’ terjadi dalam situasi di mana subjek bertindak dengan hasil yang spesifik dan hasil dari tindakan adalah hal lain dari apa yang diharapkan.
[1] Ibn Sina, al-Sama’ al-Tabi’i, hal: 63. Bacalah idha, bagian 1 hal: 14, dan wujud, bagian 1 hal: 15 dengan Zayid dan Madkur. (Al-Yasin, hal: 119-120). Pada bagian lain, Ibn Sina menyatakan bahwa kebanyakan orang terlahir kidal. Lihat: Ibn Sina, al-Hayawan, hal: 172.
[2] Ibn Sina, al-Sama’ al-Tabi’i, hal: 63. (Al-Yasin, hal: 120).
[3] Aristoteles, Physics, 197a31-197a35. Oposisi antara ‘kebetulan’ dan peristiwa yang selalu atau sering terjadi juga dinyatakan dalam: Ibn Sina, al-Syifa tentang al-Burhan (On Demonstration) sehubungan dengan pandangannya tentang eksperimentasi.
[4] Ibn Sina, al-Najat, hal: 251-252.
[5] Aristoteles, Physics, 197a19-197a20. Lihat juga bagian: 198b34-198b36.
[6] Aristoteles terlihat berhati-hati dalam membedakan antara realitas di bumi dan alam ghaib yang berhubungan dengan ‘kebetulan’; ia menekankan bahwa peristiwa ‘kebetulan’ hanya dapat diamati dalam bentuk.
[7] Ketika Ibn Sina berbicara tentang peristiwa-peristiwa “yang sering terjadi”, ia tidak lepas dari teori “memerlukan”. Adapun pengecualian terhadap keteraturan alam, karena gangguan dalam hal itu dapat dijelaskan secara kausal. Marmura, The Metaphysics of Efficient Causality in Avicenna, hal: 185.
[8] Ibn Sina, ­al-Sama’ al-Tabi’i, hal: 65. (Al-Yasin, hal: 120). Aristoteles menyatakan bahwa ‘kebetulan’ merupakan penyebab peristiwa yang memiliki tujuan dalam peristiwa yang tidak mengharuskan selalu atau sering terjadi. Lihat terjemahan dalam bahasa Arab untuk: Physics, 197a13-197a14, 197a31-197a32, masing-masing hal: 122 dan 124.
[9] Ibid, hal: 65. (Al-Yasin, hal: 120).
  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • Twitter
  • RSS

Berpegang kepada Maqam

Berpegang kepada Maqam


Jangan meminta kepada Allah swt supaya dipindahkan dari satu hal kepada hal yang lain, sebab jika Allah swt menghendaki kamu dipindahkan tanpa merubah keadaan yang lama.
Hal adalah pengalaman hati tentang hakikat. Hal tidak boleh didapat melalui amal dan juga ilmu. Tidak boleh dikatakan bahwa amalan menurut tarikat tasawuf menjamin seorang murid memperoleh hal. Latihan secara tarikat tasawuf hanya menyucikan hati agar hati itu menjadi bekas yang sesuai untuk menerima kedatangan hal-hal (ahwal). Hal hanya diperoleh karena anugreah Allah swt. Mungkin timbul pertanyaan mengapa ditekankan soal amal seperti yang dinyatakan dalam Hikmah yang sebelumnya sedangkan amal itu sendiri tidak menyampaikannya kepada Tuhan?
Perlu difahami bahwa seorang hamba tidak mungkin berjumpa dengan Tuhan jika Tuhan tidak mau bertemu dengannya. Tetapi, jika Tuhan mau menemui seorang hamba maka dia akan dipersiapkan agar layak berhadapan dengan Tuhan pada pertemuan yang sangat suci dan mulia. Jika seorang hamba didatangi kecenderungan untuk menyucikan dirinya, itu adalah tanda bahwa dia diberi kesempatan untuk dipersiapkan agar layak berjumpa dengan Tuhan. Hamba yang bijaksana adalah yang tidak melepaskan kesempatan tersebut, tidak menunda-nunda kepada waktu yang lain. Dia tahu bahwa dia menerima undangan dari Tuhan Yang Maha Mulia, lalu dia menyerahkan dirinya untuk dipersiapkan sehingga kepada tahap dia layak menghadap Tuhan sekalian alam. maqam di mana hamba dipersiapkan ini dinamakan aslim atau menyerahkan diri sepenuhnya kepada Tuhan. Tuhan yang tahu bagaimana mempersiapkan para hamba agar bersiap sedia dan layak untuk berjumpa dengan Tuhan (memperoleh ma’rifat Allah swt). Walaupun hal merupakan anugerah Allah swt semata-mata, tetapi hal hanya mendatangi hati para hamba yang bersedia menerimanya.
Murid atau salik yang memperoleh hal akan meningkatkan ibadahnya sehingga suasana yang dicetuskan oleh hal itu sehati dengannya dan membentuk kepribadian yang sesuai dengan cetusan hal tersebut. Hal yang menetap itu dinamakan maqam. Misalnya, Allah swt mengijinkan seorang salik mendapat hal di mana dia merasakan bahwa dia senantiasa berhadapan dengan Allah swt, Allah swt melihatnya zahir dan batin, mendengar ucapan lidahnya dan bisikan hatinya. Salik memperteguhkan daya rasa tersebut dengan cara memperkuatkan amal ibadah yang sedang dilakukannya sewaktu hal tersebut datang kepadanya seperti shalat, pasa, atau zikir, sehingga daya rasa tadi menjadi sehati dengannya. Dengan demikian dia mencapai maqam ihsan.
Salah satu sifat manusia adalah tergesa-gesa, bukan saja dalam perkara duniawi tetapi juga dalam perkara ukhrawi. Salik yang ruhaninya belum mantap masih dibaluti sifat-sifat kemanusiaan. Apabila dia mengalami satu hal, dia akan merasakan nikmatnya. Dia merasa rindu untuk menikmati hal yang lain pula. Lalu dia memohon kepada Allah swt supaya ditukarkan halnya. Sekiranya hal yang datang tidak diperteguhkan ia tidak menjadi maqam. Bila hal berlalu, ia menjadi kenangan, tidak menjadi kepribadian. Meminta perubahan kepada hal yang lain adalah tanda kekeliruan dan dapat merusak perkembangan keruhanian.
Kekuatan yang paling utama adalah berserah diri kepada Allah swt, ridha dengan segala ketentuan-Nya. Biarkan Allah Yang Maha Mengerti menguruskan kehidupan kita. Sebaik-baik perbuatan adalah menjaga maqam yang kita sedang berada di dalamnya. Jangan meminta maqam yang lebih tinggi atau lebih rendah. Semakin dekat dengan Allah swt, semakin dekat dengan bahaya yang besar, yaitu dicampakkan keluar dari majlis-Nya; siapa yang tidak tahu menjaga kesopanan berjamlis dengan Tuhan Yang Maha Mulia dan Maha Tinggi. Oleh karena itu, tunduklah kepada kemuliaan-Nya dan berserahlah kepada kebijaksanaan-Nya, niscaya Dia akan mengurus keselamatan dan kesejahteraan para hamba-Nya.
  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • Twitter
  • RSS

Hijab yang Menghalangi Perjalanan

Hijab yang Menghalangi Perjalanan


Bagaimana hati akan dapat disinari ketika gambar-gambar alam maya melekat pada cerminnya, bagaimana mungkin berjalan kepada Allah swt ketika masih dibelenggu oleh syahwat, bagaimana akan masuk ke hadirat Allah swt ketika masih belum suci dari kelalaian, atau bagaimana mengharap untuk memahami rahasia-rahasia yang lembut ketika belum bertaubat dari dosa.

Hikmah 12 memberi penekanan tentang uzlah yaitu mengasingkan diri. Hikmah 13 ini memperingatkan bahwa uzlah tubuh saja tidak memberi kesan yang baik jika hati tidak ikut beruzlah. Walaupun tubuh beruzlah, hati masih dapat diganggu oleh empat perkara:
  1. Gambaran, ingatan, tarikan dan keinginan terhadap benda-benda seperti harta, perempuan, pangkat dan lain-lain.
  2. Kehendak atau syahwat yang mengarahkan perhatian kepada apa yang dikehendaki.
  3. Kelalaian yang menutup ingatan terhadap Allah swt.
  4. Dosa yang tidak dibasuh dengan taubat masih dapat mengotorkan hati.
Tubuh manusia tersusun dari elemen tanah, air, api, dan angin. Ia juga dimasuki unsur-unsur alam seperti tumbuhan, hewan, setan, dan malaikat. Tiap-tiap elemen dan unsur itu menarik hati kepada masing-masingnya. Tarik-menarik itu akan menimbulkan kekacauan di dalam hati. Kekacauan itu pula menyebabkan hati menjadi keruh. Hati yang keruh tidak dapat menerima nur yang melahirkan iman dan tauhid. Mengobat kekacauan hati adalah penting untuk membukakan penerimaan maklumat dari Alam Malakut. Hati yang kacau dapat distabilkan dengan cara menundukkan semua elemen dan unsur tadi kepada syariat. Syariat menjadi tali yang dapat mengikat musuh-musuh yang mencoba menawan hati. Penting sekali bagi seorang murid yang menjalani jalan keruhanian menjadikan syariat sebagai payung yang mengharmonikan perjalanan elemen-elemen dan daya-daya yang menyerap ke dalam tubuh agar cermin hatinya bebas dari gambar-gambar alam maya. Bila cermin hati sudah bebas dari gambar-gambar dan tarikan tersebut, hati dapat menghadap ke hadirat Ilahi.
  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • Twitter
  • RSS

Cinta Kepada Allah

Cinta Kepada Allah



Kecintaan kepada Allah adalah topik yang paling penting dan merupakan tujuan akhir pembahasan kita sejauh ini. Kita telah berbicara tentang bahaya-bahaya ruhaniah karena mereka menghalangi kecintaan kepada Allah di hati manusia. Telah pula kita bicarakan tentang berbagai sifat baik yang diperlukan untuk itu. penyempurnaan kemanusiaan terletak di sini, yaitu bahwa kecintaan kepada Allah mesi menaklukkan hati manusia dan menguasai sepenuhnya. Kalaupun kecintaan kepada Allah tidak menguasai sepenuhnya, maka hal itu mesti merupakan perasaan yang paling besar di dalam hatinya, mengatasi kecintaan kepada yang lain-lain. Meskipun demikian, mudah dipahami bahwa kecintaan kepada Allah adalah sesuatu yang sulit dicapai, sehingga suatu aliran teologi telah kenyataan sama sekali menyangkal, bahwa manusia bisa mencintai suatu wujud yang bukan merupakan spesiesnya sendiri. Mereka telah mendefinisikan kecintaan kepada Allah sebagai sekadar ketaatan belaka. Orang-orang yang berpendapat demikian sesungguhnya tidak tahu apakah agama itu sebenarnya.
Seluruh Muslim sepakat bahwa cinta kepada Allah adalah suatu kewajiban. Allah berfirman berkenaan dengan orang-orang mukmin: “Ia mencintai mereka dan mencintai-Nya”. Dan Nabi saw bersabda, “Sebelum seseorang mencintai Allah dan Nabi-Nya lebih daripada mencintai yang lain, ia tidak memiliki keimanan yang benar”. Ketika Malaikat Maut datang untuk mengambil nyawa Nabi Ibrahim, Ibrahim berkata: “Pernahkah engkau melihat seorang sahabat mengambil nyawa sahabatnya?” Allah menjawabnya, “Pernahkah engkau melihat seorang kawan yang tidak suka untuk melihat kawannya?” Maka Ibrahim pun berkata, “Wahai Izrail, ambillah nyawaku!”
Doa berikut ini diajarkan oleh Nabi saw kepada sahabatnya: “Ya Allah, berilah aku kecintaan kepada-Mu dan kecintaan kepada orang-orang yang mencintai-Mu, dan apa saja yang membawaku mendekat kepada cinta-Mu. Jadikanlah cinta-Mu lebih berharga bagiku daripada air dingin bagi orang-orang yang kehausan”. Hasan Basri seringkali berkata: “Orang yang mengenal Allah akan mencintai-Nya dan orang yang mengenal dunia akan membencinya”.
Sekarang kita akan membahas sifat esensial cinta. Cinta bisa didefinisikan sebagai suatu kecenderungan kepada sesuatu yang menyenangkan. Hal ini tampak nyata berkenaan dengan lima indera kita. Masing-masing indera mencinta segala sesuatu yang memberinya kesenangan. Jadi, mata mencintai bentuk-bentuk yang indah, telinga mencintai musik, dan seterusnya. Ini adalah sejenis cinta yang juga dimiliki oleh hewan-hewan. Tetapi ada indera keenam, yakni fakultas persepsi, yang tertanamkan dalam hati dan tidak dimiliki oleh hewan-hewan. Dengannya kita menjadi sadar akan keindahan dan keunggulan ruhani. Jadi, seseorang yang hanya akrab dengan kesenangan-kesenangan inderawi tidak akan bisa memahami apa yang dimaksud oleh Nabi saw ketika bersabda bahwa ia mencinta shalat lebih daripada wewangian dan wanita, meskipun keduanya itu juga menyenangkan baginya. Tetapi orang yang mata-hatinya terbuka untuk melihat keindahan dan kesempurnaan Allah akan meremehkan semua penglihatan-penglihatan luar, betapa pun indah tampaknya semua itu.
Manusia yang hanya akrab dengan kesenangan-kesenangan inderawi akan berkata bahwa keindahan ada pada warna-warni merah putih, anggota-anggota tubuh yang serasi dan seterusnya, sedang ia buta terhadap keindahan moral yang dimaksudkan oleh orang-orang ketika mereka berbicara tentang orang ini dan orang itu yang memiliki tabiat baik. Tetapi orang-orang yang memiliki persepsi yang lebih dalam merasa sangat mungkin untuk bisa mencintai orang-orang besar yang telah jauh mendahuluo kita—seperti Khalifah Umar dan Abu Bakar—berkenaan dengan sifat-sifat mulia mereka, meskipun jasad-jasad mereka telah sejak dahulu sekali bercampur dengan debu. Kecintaan seperti itu tidak diarahkan kepada bentuk luar melainkan kepada sifat-sifat ruhaniah. Bahkan ketika kita ingin membangkitkan rasa cinta di dalam diri seorang anak kepada orang lain, kita tidak menguraikan keindahan luar bentuk itu atau yang lainnya, melainkan keunggulan-keunggulan ruhaniahnya.
Jika kita terapkan prinsip ini untuk kecintaan kepada Allah, maka akan kita dapati bahwa Ia sendiri sajalah yang pantas dicintai. Dan jika seseorang tidak mencintai-Nya, maka hal itu disebabkan karena ia tidak mengenali-Nya. Karena alasan inilah, maka kita mencintai Muhammad saw, karena ia adalah Nabi dan kecintaan Allah; dan kecintaan kepada orang-orang berilmu dan bertakwa adalah benar-benar kecintaan kepada Allah. Kita akan melihat hal ini lebih jelas kalau kita membahas sebab-sebab yang bisa membangkitkan kecintaan.
Sebab pertama adalah kecintaan seseorang atas dirinya dan kesempurnaan sifatnya sendiri. Hal ini membawanya langsung kepada kecintaan kepada Allah, karena kemaujudan asasi dan sifat-sifat manusia tidak lain adalah anugerah Allah. Kalau bukan karena kebaikan-Nya, manusia tidak akan pernah tampil dari balik tirai ketidak-maujudan ke dunia kasat-mata ini. Pemeliharaan dan pencapaian kesempurnaan manusia juga sama sekali tergantung pada kemurahan Allah. Sungguh aneh jika seseorang mencari perlindungan dari panas matahari di bawa bayangan sebuah pohon dan tidak bersyukur kepada pohon yang tanpanya tidak akan ada bayangan sama sekali. Sama seperti itu, kalau bukan karena Allah, manusia tidak akan maujud (ada) dan sama sekali tidak pula mempunyai sifat-sifat. Oleh sebab itu, ia akan mencintai Allah kalau saja bukan karna kemasabodohan terhadap-Nya. Orang-orang bodoh tidak bisa mencintai-Nya, karena kecintaan kepada-Nya memancar langsung dari pengetahuan tentang-Nya. Dan sejak kapankah seorang bodoh mempunyai pengetahuan?
Sebab kedua dari kecintaan ini adalah kecintaan manusia kepada sesuatu yang berjasa kepadanya dan sebenarnya satu-satunya yang berjasa kepadanya hanyalah Allah; karena, kebaikan apa pun yang diterimanya dari sesama manusia disebabkan oleh dorongan langsung dari Allah. Motif apa pun yang menggerakkan seseorang memberikan kebaikan kepada orang lain, apakah itu keinginan untuk memperoleh pahala atau nama baik, Allah-lah yang mempekerjakan motif itu.
Sebab ketiga adalah kecintaan yang terbangkitkan oleh perenungan tentang sifat-sifat Allah, kekuasaan dan kebijakan-Nya, yang jika dibandingkan dengan kesemuanya itu kekuasaan dan kebijakan manusia tidak lebih daripada cerminan-cerminan yang paling remeh. Kecintaan ini mirip dengan cinta yang kita rasakan terhadap orang-orang besar di masa lampau, seperti Imam Malik dan Imam Syafi’i, meskipun kita tidak pernah mengharap untuk menerima keuntungan pribadi dari mereka. Dan oleh karenanya, cinta ini merupakan jenis cinta yang lebih tak berpamrih. Allah berfirman kepada Nabi Daud, “Abdi-Ku yang paling cinta kepada-Ku adalah yang tidak mencariku karena takut untuk dihukum atau berharap mendapatkan pahala, tetapi hanya demi membayar hutangnya kepada Ketuhanan-Ku.” Di dalam Injil tertulis: “Siapakah yang lebih kafir daripada orang yang menyembah-Ku karena takut neraka atau mengharapkan surga? Jika tidak Kuciptakan semuanya itu, tidak akan pantaskah Aku untuk disembah?”
Sebab keempat dari kecintaan ini adalah “persamaan” antara manusia dan Allah. Hal inilah yang dimaksudkan dalam sabda Nabi saw: “Sesungguhnya Allah menciptakan manusia dalam kemiripan dengan diri-Nya sendiri.” Lebih jauh lagi Allah telah berfirman: “Hambaku mendekat kepada-Ku sehingga Aku menjadikan sahabat-Ku. Aku pun menjadi telinganya, matanya dan lidahnya.” Juga Allah berfirman kepada Musa as: “Aku pernah sakit tapi engkau tidak menjenguk-Ku!” Musa menjawab: “Ya Allah, Engkau adalah Rabb langit dan bumi, bagaimana Engkau bisa sakit?” Allah berfirman: “Salah seorang hamba-Ku sakit dan dengan menjenguknya berarti engkau telah mengunjungi-Ku”.
Memang ini adalah suatu masalah yang agak berbahaya untuk diperbincangkan, karena hal ini berada dibalik pemahaman orang-orang awam. Seseorang yang cerdas sekalipun bisa tersandung dalam membicarakan soal ini dan percaya pada inkarnasi dan ketersekutuan dengan Allah. Meskipun demikian, “persamaan” yang maujud di antara manusia dan Allah menghilangkan keberatan pada ahli Ilmu Kalam yang telah disebutkan di atas itu, yang berpendapat bahwa manusia tidak bisa mencintai suatu wujud yang bukan dari spesiesnya sendiri. Betapa pun jauh jarak yang memisahkan mereka, manusia bisa mencintai Allah karena “persamaan” yang disyaratkan di dalam sabda Nabi: “Allah menciptakan manusia dalam kemiripan dengan diri-Nya sendiri”.
  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • Twitter
  • RSS
Copyright 2009 LOVERS of WISDOM
Free WordPress Themes designed by EZwpthemes
Converted by Theme Craft
Powered by Blogger Templates