Dunia Islam

KEADILAN, PEREMPUAN, DAN ROK MINI

Oleh: Muhammad Alifuddin*)
Akhir-akhir ini, publik masyarakat dan media sedang marak me (di) ributkan soal “rok mini”. Persoalan ini tidak jarang menimbulkan stigmatisasi dan keresahan-keresahan, yang tentu saja menyudutkan perempuan. Meski memang, persoalan ini muncul kemuka bukan tanpa sebab, sebagaimana diketahui, sudah sering sekali terjadi tindak pelecehan terhadap perempuan, mulai dari tindak perkosaan di angkot (angkutan kota), sampai pada fenomena rok mini oleh sebagian anggota DPR perempuan, yang kemudian dikaitkan dengan tindak amoral oknum (sebagian) anggota DPR, dan seterusnya. Menanggapi persoalan ini, kontan saja banyak menuai tanggapan dan respon dari pelbagai lapisan masyarakat, tanggapan dan responnyapun beragam, yang pada akhirnya menyisakan pro dan kontra.
Pertama, bagi kalangan yang cenderung kontra, pemakaian rok mini ini adalah penyebab utama yang memicu maraknya perkosaan dan berbagai aksi pelecehan seksual lainnya terhadap perempuan. Alasannya, karena dengan memakai rok mini dapat memancing birahi para lelaki, dengan kata lain, lelaki siapa yang tidak jengah melihat perempuan ber-rok mini, berparas cantik, dan seterusnya. Namun perlu dicatat, ada yang luput dari pandangan kalangan ini, ibarat pepatah mengatakan “sudah jatuh tertimpa tangga”, perempuan yang menjadi korban perkosaan, bukan malah dilindungi, tetapi justru disumpah serapah sebagai akibat (kata mereka) dari keengganannya “berbusana Muslim” dan menutup aurat.
Kedua, berbeda dengan pandangan kalangan pertama diatas, kalangan kedua ini berkecenderungan pro, mereka umumnya berdalih bahwa pemakaian rok mini atau apapun model pakaian “seksi” lainnya adalah hak seorang perempuan. Oleh karena termasuk hak perempuan, memakai rok mini adalah bagian dari kebebasan (ekspresi) yang dilindungi undang-undang. Dan, memakai rok mini sama sekali tidak ada keterkaitannya dengan penyebab tingginya pelecehan seksual terhadap perempuan. Sehingga, kalaupun pelecehan seksual begitu marak akhir-akhir ini, penyebabnya bukan karena perempuan memakai rok mini, melainkan karena ulah para hidung belang, yang pikirannya “kurang waras”. Sungguhpun demikian, yang agak luput dari kalangan ini adalah bahwa tren “buka-bukaan” selain tak senada dengan budaya bangsa agama, juga tetap dapat memicu hal-hal yang tidak diinginkan.
Ketiga, adalah kalangan yang bersikap acuh. Keacuhan sikapnya juga bukan tanpa alasan, menurut kalangan ini, isu rok mini atau isu-isu “kecil” lainnya, hanyalah sebuah pengalihan isu dari persoalan-persoalan lama yang sangat pelik. Isu rok mini hanya salah satu bentuk pengalihan isu atas ketidakmampuan pemerintah dalam memberantas kasus-kasus korupsi, contohnya. Dengan lain kata, ini hanyalah kepentingan politik yang hanya akan menguntungkan segelintir orang tertentu, dan tidak akan berlangsung lama. Meskipun begitu, tetap ada yang lekang dari kelompok ini, bahwa sekecil apapun persoalan yang mendera bangsa ini, yakinlah bahwa persoalan tersebut harus diberikan solusi baik, secara bersama, untuk kepentingan bersama, sebagai wujud kepedulian sosial.
Lepas dari itu, saya tidak hendak mengkonfrontir apalagi mempersalahkan ketiga pandangan diatas. Namun saya hanya ingin mencoba menceburkan diri, (sekali lagi) bukan untuk memperkeruh suasana (minimal saya berharap demikian), melainkan ingin mengajukan beberapa cara pandang—yang dalam hemat saya—merupakan bentuk upaya dalam menyikapi persoalan ini secara dingin, tidak emosional, dan tekun.
Pertama, prinsip kesetaraan. Saya hendak menggarisbawahi bahwa perempuan merupakan manusia yang sama kedudukannya sebagaimana laki-laki, bukan hanya karena keduanya bersumber dari ayah dan ibu yang sama, tetapi juga ini merupakan pernyataan Allah Swt dalam QS. ali-‘Imran [3]: 39, dimana keduanya sebagai makhluk yang diciptakan dari jiwa yang satu (nafs al-Wahidah). Oleh karena itu konsekuensinya adalah, keduanya berhak dan patut memperoleh penghormatan dan pembelaan yang sama dan setara, sebagaimana manusia pada galibnya
Kedua, prinsip sosio-kultur. Ini berkenaan dengan rok mini yang sering dikaitkan dekat dengan term aurat, sekurangnya menurut beberapa cendekiawan muslim disebutkan diantaranya; M. Quraish Shihab, Husein Muhammad, dan Nasaruddin Umar, sampai pada kesimpulan bahwa aurat bukan terminologi agama. Oleh karena batas-batas aurat tersebut tidak disebutkan al-Qur’an secara jelas, sehingga dengan demikian, yang berhak menentukan batas-batas aurat tersebut disesuaikan dengan terminologi sosio-kultural masyarakat tertentu yang beragam dan berbeda satu sama lain.
Ketiga, prinsip perlindungan dan keadilan. Perempuan sebagai objek penderita tindak perkosaan atau pelecehan seksual lainnya, sudah semestinya mendapatkan perlindungan dan keadilan. Perlindungan dan keadilan dalam bentuk motivasi psikologis dan advokasi keadilan berlandaskan payung hukum yang berlaku. Sehingga dengan ini, yang ada bukan menyumpah serapah korban, akan tetapi sebaliknya harus dapat mengurangi beban mental dan psikologis yang dideritanya.
Keempat, prinsip kesantunan. Ya, apapun pandangan anda terhadap persoalan ini, hendaknya disampaikan secara santun, tidak menghakimi, tidak mau menang sendiri, apalagi menyumpah separah. Merubah apa yang patut anda rubah dengan perlahan, bertahap, dan santun.
Empat upaya diatas, diajukan untuk meminimalisir stigmatisasi ataupun keresahan-keresahan lainnya yang selama ini menggejala di sebagian masyarakat dalam menyoal perempuan, aurat, dan rok mini. Wal hasil, dengan empat upaya ini saya berharap, apapun pandangan yang mengemuka tidak lain akan merupa keadilan dan kesantunan yang berpihak kepada orang-orang yang terdholimi, terutama berpihak pada perempuan korban perkosaan atau korban pelecehan seksual lainnya. Wallahu ‘alam bi al-Shawab.http://www.as-salafiyyah.com
 
 
 
 

Sejarah Islam Madinah 
BAB I
PENDAHULUAN
A.Latar Belakang Masalah
Madinah atau Madinah Al Munawwarah: مدينة رسول الله atau المدينه, (juga Madinat Rasul Allah, Madīnah an-Nabī) adalah kota utama di Arab Saudi. Merupakan kota yang ramai diziarahi atau dikunjungi oleh kaum Muslimin. Di sana terdapat Masjid Nabawi yang memiliki pahala dan keutamaan bagi kaum Muslimin. Pada zaman Nabi Muhammad SAW, kota ini menjadi pusat dakwah, pengajaran dan pemerintahan Islam. Dari kota ini Islam menyebar ke seluruh jazirah Arabia lalu ke seluruh dunia.
Pada masa sebelum Islam berkembang, kota Madinah bernama Yatsrib, dikenal sebagai pusat perdagangan. Kemudian ketika Nabi Muhammad SAW hijrah dari Mekkah, kota ini diganti namanya menjadi Madinah sebagai pusat perkembangan Islam sampai beliau wafat dan dimakamkan di sana. Selanjutnya kota ini menjadi pusat kekhalifahan sebagai penerus Nabi Muhammad. Terdapat tiga khalifah yang memerintah dari kota ini yakni Abu Bakar, Umar bin Khattab, dan Utsman bin Affan. Pada masa AlAli bin Abi Thalib pemerintahan dipindahkan ke Kufah di Irak karena terjadi gejolak politik akibat terbunuhnya khalifah Utsman oleh kaum pemberontak. Selanjutnya ketika kekuasaan beralih kepada bani Umayyah, maka pemerintahan dipindahkan ke Damaskus dan ketika pemerintahan berpindah kepada bani Abassiyah, pemerintahan dipindahkan ke kota Baghdad. Pada masa Nabi Muhammad SAW, penduduk kota Madinah adalah orang yang beragama Islam dan orang Yahudi yang dilindungi keberadaannya. Namun karena pengkhianatan yang dilakukan terhadap penduduk Madinah ketika perang Ahzab, maka kaum Yahudi diusir ke luar Madinah.

B.PERUMUSAN   MASALAH
Agar tidak terjadi kesimpang siuran dalam penyusunan makalah ini, maka saya merumuskan masalah sebagai berikut:
1) Rasulallah Hijrah ke madinah
2.Perkembangan Islam masa Rasulullah di Madinah
3.Rasulullah SAW Membangun Masyarakat Islam di Madinah
4.ciri-ciri pokok pada periode ini
5. Strategi dan metode dakwah di madinah
6. peperangan yang terjadi pada periode madinah

C.TUJUAN PENULISAN
Adapun tujuan penulisan dalam membahas masalah ini adalah untuk mengetahui bagaimana :
1) Rasulallah Hijrah ke madinah
2. Islam masa Rasulullah di Madinah
3. Rasulullah SAW Membangun Masyarakat Islam di Madinah
4. ciri-ciri pokok pada periode ini
5. Strategi dan metode dakwah di madinah
6.peperangan yang terjadi pada periode madinah
D.METODE PENULISAN
Metode yang digunakan penulis adalah metode kepustakaan yaitu memberikan gambaran tentang materi-materi yang berhubungan dengan permasalahan melalui literatur buku-buku yang tersedia, tidak lupa juga penulis ambil sedikit dari media massa/internet.


BAB II
PEMBAHASAN
PERKEMBANGAN AGAMA ISLAM PADA MASA
NABI MUHAMMAD SAW

A.Rasullah Hikrah ke Madinah
Selama perjalanan hijrah ke Madinah Rasulullah membangun 4 masjid yang bersejarah.Beliau melakukan perjalanan menunggu tertidurnya pasukan Quraisj yang mengepung rumah beliau, namun dengan beraninya Ali Bin Abu Tholib menggantikan posisi tidurnya Rasulullah SAW.Akhirnya beliau bisa melaksanakan perjalanan hijrah atas perintah Allah SWT.Tahu Muhammad tidak ada ditempat pasukan Quraisj mengejar Rosulullah SAW.saat itu beliu berlindung bersama sahabatnya Abubakar Assidiq r.a. di Jabal Tsur disebelah selatan dari Majidil haram sejauh kurang lebih 6 km. Kaum kafir dalam mengejar Rosulullah Saw. tidak menemukan, maka mereka terus mencari dimana-mana, tetapi tidak dapat menemukannya pula.
Pembesar-pembesar kaum kafir Quraisj telah membuat maklumat dalam keadaan hidup ataupun mati, akan diberi hadiah 100 ekor unta, dengan demikian nafsu mengejar Muhammad semakin besar. Sebenarnya kaum kafir Quraisj sudah sampai di gua Jabal Tsur, mereka mendapatkan gua tersebut tertutup dengan sarang laba-laba, dan nampak disitu burung merpati yang sedang menelor disarangnya. Dengan melihat kadaaan tersebut Nabi Muhammad saw. tidak mungkin bersembunyi di gua tersebut. Hati sahabat Abubakar Assidiq r.a. cemas dan gelisah kemudian turunlah Wahyu Allah surat Attaubah ayat 40.
Setelah orang kafir Quraisj pergi beberapa hari kemudian Nabi Muhammad saw. dan sahabatnya meneruskan perjalanan ke Madinah
Ketika beliau sampai di Madinah, disambut dengan syair-syair dan penuh kegembiraan oleh penduduk Madinah. Hijrah dari Makkah ke Madinah bukan hanya sekedar berpindah dan menghindarkan diri dari ancaman dan tekanan orang kafir Quraisy dan penduduk Makkah yang tidak menghendaki pembaharuan terhadap ajaran nenek moyang mereka, tetapi juga mengandung maksud untuk mengatur potensi dan menyusun srategi dalam menghadapi tantangan lebih lanjut, sehingga nanti terbentuk masyarakat baru yang didalamnya bersinar kembali mutiara tauhid warisan Ibrahim yang akan disempurnakan oleh Nabi Muhammad SAW melalui wahyu Allah SWT[1]
B. Perkembangan Islam masa Rasulullah di Madinah
Sejak hijrah ke Madinah,Nabi Muhammad saw dan Para sahabat selalu berdakwah kepada penduduk. tanpa mengenal lelah dan putus asa. Mereka terus berusaha menyebarkan ajaran Islam kepada seluruh penduduk termasuk orang-orang Yahudi,Nasrani dan Kaum Pagan. Mayoritas penduduk Madinah , terutama suku Aus dan suku Khazraj , menyambut baik ajakan  Nabi Muhammad saw, menyatakan kesetiannya kepada Nabi Muhammad saw dan bersedia membantu beliau menyebarkan ajaran Islam. Padahal  sebelum menerima ajaran Islam,kedua suku ini selalu berperang. Hal ini menambah semangat Nabi Muhammad saw dalam berdakwah.
            Sementara , orang-orang Yahudi merasa tidak senang kepada Nabi Muhammad saw dan para sahabat mereka. Mereka merasa tersingkir sejak   kehadiran suku Aus dan Khazraj untuk kembali ke Agama lama mereka.Bahkan mereka mulai menyusun kekuatan untuk melemahkan umat Islam.
           
C.Rasulullah SAW Membangun Masyarakat Islam di Madinah
Setiap musim haji tiba, banyak kabilah yang datang ke Mekah.Begitu juga nabi Muhammad SAW. Dengan giat menyampaikan dakwah islam. Diantara Kabilah yang menerima Islam adalah Khajraj dari Yatrib (Madinah).Setelah kembali ke negerinya, mereka mengabarkan adanya Nabi terakhir.
Pada tahun ke 12 kenabiannya, datanglah orang-orang Yastrid di musim haji ke Mekah dan menemui nabi di Bai’atul Akabah. Di tempat ini mereka mengadakan bai’at (perjanjian) yang isinya bahwa mereka setia pada nabi, tidak menyekutukan Allah, tidak mencuri, tidak berzina, tidak membunuh anak kecil, tidak memfitnah, dan ikut menyebarkan islam. Perjanjian ini dikenal dengan Bai’atul Akabah Ula (Perjanjian Akabah Pertama) karena dilaksanakan di bukit akabah atau disebut Bai’atun Nisa’ (perjanjian wanita) karena didalamnya terdapat seorang wanita ‘Afra binti ‘Abid bin Tsa’labah.
            Islam mendapat lingkungan baru di kota Madinah. Lingkungan yang memungkinkan bagi Nabi Muhammad SAW untuk meneruskan dakwahnya, menyampaikan ajaran Islam dan menjabarkan dalam kehidupan sehari-hari (Syalaby,1997:117-119). Setelah tiba dan diterima penduduk Yastrib, Nabi diangkat menjadi pemimpin penduduk Madinah.Sehingga disamping sebagai kepala/ pemimpin agama, Nabi SAW juga menjabat sebagai kepala pemerintahan / Negara Islam.Kemudian, tidak beberapa lama orang-orang Madinah non Muslim berbondongbondong masuk agama Islam. Untuk memperkokoh masyarakat baru tersebut mulailah Nabi meletakkan dasar-dasar untuk suatu masyarakat yang besar, mengingat penduduk yang tinggal di Madinah bukan hanya kaum muslimin, tapi juga golongan masyarakat Yahudi dan orang Arab yang masih menganut agama nenek moyang, maka agar stabilitas masyarakat dapat terwujudkan Nabi mengadakan perjanjian dengan mereka, yaitu suatu piagam yang menjamin kebebasan beragama bagi kaum Yahudi. Setiap golongan masyarakat memiliki hak tertentu dalam bidang politik dan keagamaan.Di samping itu setiap masyarakat berkewajiban mempertahankan keamanan negeri dari serangan musuh. Adapun dasar-dasar tersebut adalah:

1.Mendirikan Masjid
              Setelah agama Islam datang Rasulullah SAW mempersatukan seluruh suku-suku di Madinah dengan jalan mendirikan tempat peribadatan dan pertemuan yang berupa masjid dan diberi nama masjid “Baitullah”. Dengan adanya masjid itu, selain dijadikan sebagai tempat peribadatan juga dijadikan sebagai tempat pertemuan, peribadatan, mengadiliperkara dan lain sebagainya.

2.Mempersaudarakan antara Anshor dan Muhajirin
               Orang-orang Muhajirin datang ke Madinah tidak membawa harta akan tetapi membawa keyakinan yang mereka anut. Dengan itu Nabi mempersatukan golongan Muhajirin dan Anshor tersebut dalam suatu persaudaraan dibawah satu keyakinan yaitu bendera Islam.

3.Perjanjian bantu membantu antara sesama kaum Muslim dan non Muslim
Setelah Nabi resmi menjadi penduduk Madinah, Nabi langsung mengadakan perjanjian untuk saling bantu-membantu atau toleransi antara orang Islam dengan orang non Islam. Selain itu Nabi mengadakan perjanjian yang berbunyi “kebebasan beragama terjamin buat semua orang-orang di Madinah”.
4.Melaksanakan dasar politik, ekonomi dan sosial untuk masyarakat baru
              Pada tahun 9 H dan 10 H (630–632 M) banyak suku dari berbagai pelosok mengirim delegasi kepada Nabi bahwa mereka ingin tunduk kepada Nabi, serta menganut agama Islam, maka terwujudlah persatuan orang Arab pada saat itu. Dalam menunaikan haji yang terakhir atau disebut dengan Haji Wada tahun 10 H (631 M) Nabi menyampaikan khotbahnya yang sangat bersejarah antara lain larangan untuk riba, menganiaya, perintah untuk memperlakukan istri dengan baik, persamaan dan persaudaraan antar manusia harus ditegakkan dan masih banyak lagi yang lainnya. Setelah itu Nabi kembali ke Madinah, ia mengatur organisasi masyarakat, petugas keamanan dan para da’i dikirim ke berbagai daerah, mengatur keadilan, memungut zakat dan lain-lain.  [2]
D. Ciri-ciri pokok pada periode ini
Di dalam  periode Makkah ciri pokok pembinaan pendidikan islam adalah pendidikan tauhid, maka pada periode madinah ini ciri pokok pembinaan pendidikan islam dapat dikatakan sebagai pendidikan sosial dan politik. Tetapi sebenarnya antara dua ciri tersebut bukanlah merupakan dua hal yang dipisahkan satu dengan yang lain. Kalau pembinaan pendidikan di Makkah titik pokoknya adalah menanamkan nilai-nilai tauhid kedalam jiwa tiap individu muslim, agar dari jiwa mereka terpancar sinar tauhid dan tercermin dalam perbuatan dan tingkah laku dalam kehidupan sehari-hari. Sedangkan pembinaan pendidikan di Madinah pada hakikatnya ialah merupakan lanjutan dari pendidikan tauhid di Makkah, yaitu pembinaan di bidang pendidikan sosial dan politik agar dijiwai oleh ajaran tauhid, sehingga akhirnya tingkah laku sosial politiknya merupakan cermin dan pantulan sinar tauhid tersebut
Cara Nabi melakukan pembinaan dan pengajaran pendidikan agama islam di Madinah adalah sebagai berikut:
1.                  Pembentukan dan pembinaan masyarakat baru, menuju satu kesatuan sosial dan politik.
Masalah pertama yang di hadapi Nabi Muhammad SAW dan kaum Muhajirin adalah tempat tinggal. Untuk sementara para kaum Muhajirin bisa menginap dirumah-rumah kaum Anshor. Tetapi beliau sendiri memerlukan suatu tempat khusus ditengah-tengah ummatnya sebagai pusat kegiatan, sekaligus sebagai lambang persatuan dan kesatuan diantara kedua kelompok masyarakat yang mempunyai latar belakang kehidupan yang berbeda.]Oleh
karena itu Nabi memerintahkan untuk membangun masjid. Masjid itu telah menjadi pusat pendidikan dan pengajaran.
E.  Strategi dan metode dakwah di madinah
Strategi
Dengan terbentuknya negara Madinah Islam bertambah kuat sehingga perkembangan yang pesat itu membuat orang Makkah risau, begitu juga dengan musuh–musuh Islam.
Untuk menghadapi kemungkinan gangguan–gangguan dari musuh, Nabi Muhammad SAW sebagai kepala pemerintahan mengatur siasat dan membentuk pasukan tentara.
             Banyak hal yang dilakukan Nabi dalam rangka mempertahankan dan memperkuat kedudukan kota Madinah diantaranya adalah mengadakan perjanjian damai dengan berbagai kabilah di sekitar Madinah, mengadakan ekspedisi keluar kota sebagai aksi siaga melatih kemampuan calon pasukan yang memang mutlak diperlukan untuk melindungi dan mempertahankan negara yang baru dibentuk tersebut. Akan tetapi, ketika pemeluk agama Islam di Madinah semakin bertambah maka persoalan demi persoalan semakin sering terjadi, diantaranya adalah rongrongan dari orang Yahudi, Munafik dan Quraisy.Namun berkat keteguhan dan kesatuan ummat Islam, mereka dapat mengatasinya.[3]
Metode Dakwah
Sejak tiba di Madinah, Rasulullah memerintahkan para sahabatnya membangun masjid sebagai tempat sholat, berkumpul, bermusyawarah serta mengatur berbagai urusan ummat.Sekaligus memutuskan perkara yang ada di antara mereka.Beliau menunjuk Abu Bakar dan Umar sebagai pembantunya.Beliau bersabda “dua (orang) pembantuku di bumi adalah Abu Bakar dan Umar.”Dengan demikian Beliau berkedudukan sebagai kepala negara, qlodi dan panglima militer.Beliau menyelesaikan perselisihan yang terjadi di antara penduduk Madinah dengan hukum Islam, mengangkat komandan ekspedisi dan mengirimkannya ke luar Madinah.Negara Islam oleh Rasulullah ini dijadikan pusat pembangunan masyarakat yang berdiri di atas pondasi yang kokoh dan pusat persiapan kekuatan militer yang mampu melindungi negara dan menyebarkan dakwah.Setelah seluruh persoalan dalam negeri stabil dan terkontrol, Baliau mulai menyiapkan pasukan militer untuk memerangi orang-orang yang menghalangi penyebaran risalah Islam. Wallah’alam.
Skema Metode Dakwah Rasulullah
     PERIODE  MADINAH
 Tahapan Penerapan Syarat Islam (tathbiq ahkam al Islam)
1.  Membangun Masjid
2.  Membina Ukhuwah Islamiyah
3.  Mengatur urusan masyarakat dengan syariat Islam
4.  Membuat Perjanjian dengan warga non muslim
5.  Menyusun strategi politik dan militer
6.  Jihad
TAHAPAN DA’WAH RASULULLAH SAW
1.  Da’wah Secara Rahasia (Sirriyatud Da’wah)
Nabi mulai menyambut perintah Allah dengan mengajak manusia untuk menyembah Allah semata dan meninggalkan berhala.Tetapi da’wah Nabi ini dilakukannya secara rahasia untuk menghindari tindakan buruk orang-orang Quraisy yang fanatik terhadap kemusyrikan dan paganismenya. Nabi saw tidak menampakan da’wah di majelis-majelis umum orang-orang Quraisy, dan tidak melakukan da’wah kecuali kepada orang-orang yang memiliki hubungan kerabat atau kenal baik sebelumnya.
Orang-orang pertama kali masuk Islam ialah Khadijah binti Khuwailid ra, Ali bin Abi Thalib, Zaid bin Haritsah mantan budak Rasulullah saw dan anak angkatnya, Abu bakar bin Abi Quhafah, Utsaman bin Affan, Zubair bin Awwan, Abdur-Rahman bin Auf, Sa’ad bin Abi Waqqash dan lainnya.
Mereka ini bertemu dengan Nabi secara rahasia. Apabila diantara mereka ingin melaksanakan salah satu ibadah, ia pergi ke lorong-lorong Mekah seraya bersembunyi dari pandangan orang Quraisy.
Ketika orang-orang yang menganut Islam lebih dari tiga puluh lelaki dan wanita, Rasulullah memilih rumah salah seseorang dari mereka, yaitu rumah al-Arqam bin Abil Arqam, sebagai tempat pertama untuk mengadakan pembinaan dan pengajaran. Da’wah pada tahap ini menghasilkan sekitar empat puluh lelaki dan wanita telah menganut Islam.Kebanyakan mereka adalah orang-orang fakir, kaum budak dan orang-orang Quraisy yang tidak memiliki kedudukan.
Dakwah Islam dimulai di Mekah dengan cara sembunyi-sembunyi. Dan Ibnu Ishaq menyebutkan, dakwah dengan cara ini berjalan selama tiga tahun.  Demikian pula dengan Abu Naim: ia mengatakan dakwah tertutup ini berjalan selama tiga tahun.
2. Da’wah Secara Terang-terangan (Jahriyatud Da’wah)
Ibnu Hisyam berkata: kemudian secara berturut-turut manusia, wanita dan lelaki, memeluk Islam, sehingga berita Islam telah tersiar di Mekah dan menjadi bahan pembicaraan orang. Lalu Allah memerintahkan Rasul-Nya menyampaikan Islam dan mengajak kepadanya secara terang-terangan, setelah selama tiga tahun Rasulullah saw melakukan da’wah secara tersembunyi, kemudian Allah berfirman kepadanya:
“Maka siarkanlah apa yang diperintahkan kepdamu dan janganlah kamu pedulikan orang musyrik.”(al-Hijr : 94)
“Dan berilah peringatan kepada kerabatmu yang terdekat, dan rendahkanlah dirimu terhadap orang-orang yang mengikutimu, yaitu orang-orang yang beriman.” (Asy-Syu’ara: 214-215)
Dan katakanlah, “sesungguhnya aku adalah pemberi peringatan yang menjelaskan.” (al-Hijr: 89)
Pada waktu itu pula Rasulullah saw segera melaksanakan perintah Allah, kemudian menyambut perintah Allah, “Maka siarkanlah apa yang diperintahkan kepadamu dan janganlah kamu pedulikan orang-orang musyrik” dengan pergi ke atas bukit Shafa lalu memanggil, “Wahai Bani Fihir, wahai Bani ‘Adi,“ sehingga mereka berkumpul dan orang yang tidak bisa hadir  mengirimkan orang untuk melihat apa yang terjadi. Maka Nabi saw berkata, “Bagaimanakah pendapatmu jika aku kabarkan bahwa di belakang gunung ini ada sepasukan kuda musuh yang datang akan menyerangmu, apakah kamu mempercayaiku?”Jawab mereka, “Ya, kami belum pernah melihat kamu berdusta. “ kata Nabi, “Ketahuilah, sesungguhnya aku adalah seorang pemberi peringatan kepada kalian dari sisksa pedih.” Kemudian Abu lahab memprotes, “Sungguh celaka kamu sepanjang hari, hanya untuk inikah kamu mengumpulkan kami. “Lalu turunlah firman Allah:
”Binasalah kedua belah tangan Abu Lahab, dan sesungguhnya dia akan binasa.”
Kemudian Rasulullah saw turun dan melaksanakan firman Allah, ”Dan berilah peringatan kepada kerabatmu yang terdekat” dengan mengumpulkan semua keluarga dan kerabatnya, lalu berkata kepada mereka, “Wahai Bani Ka’b bin Lu’ai, selamatkanlah dirimu dari api neraka! Wahai Bani Murrah bin Ka’b, selamatkanlah dirimu dari api neraka! Wahai Bani Abdi Syams, selamatkanlah dirimu dari api neraka! Wahai Bani Abdul Muthalib, selamatkanlah dirimu dari api neraka! Wahai Fatimah, selamatkanlah dirimu dari api neraka! Sesungguhnya aku tidak bisa dapat membela kalian di hadapan Allah, selain bahwa kalian mempunyai tali kekeluargaan yang akan aku sambung dengan hubungannya.”
Da’wah Nabi saw secara terang-terangan ini ditentang dan ditolak oleh bangsa Quarisy, dengan alasan bahwa mereka tidak dapat meninggalkan  agama yang telah mereka warisi dari nenek moyang mereka, dan sudah menjadi bagian dari tradisi kehidupan mereka. Pada saat itulah Rasullulah mengingatkan mereka akan perlunya membebaskan pikiran dan akal mereka dari belenggu taqlid. Selanjutnya di jelaskan oleh Nabi saw bahwa tuhan-tuhan yang mereka sembah itu tidak dapat memberi faidah atau bahaya sama sekali. Dan, bahwa turun-temurunya nenek moyang mereka dalam menyembah  tuhan-tuhan itu tidak dapat dijadikan alasan untuk mengikuti mereka secara taqlid buta. Firman Allah menggambarkan mereka:
Dan apabila dikatakan kepada mereka, “Ikutilah apa yang telah diturunkan Allah,”mereka menjawab,”(Tidak), tetapi kami hanya mengikuti apa yang telah kami dapati dari (perbuatan) nenek moyang kami.” (Apakah mereka akan mengikuti juga,) walaupun nenek moyang mereka itu tidak mengetahui suatu pun, dan tidak mendapat petunjuk? (al-Baqarah: 170)
Ketika Nabi saw mencela tuhan mereka, membodohkan mimpi mereka, dan mengecam tindakan taqlid buta kepada nenek moyang mereka dalam menyembah berhala, mereka menentang dan sepakat untuk memusuhinya, kecuali pamannya, Abu Thalib, yang membelanya.[4]
PRINSIP-PRINSIP DA’WAH RASULULLAH
Prinsip dakwah Rasulullah saw dapat diturunkan dari fase atau pembabakan kehidupan Muhammad saw. Banyak ahli  yang merumuskan kehidupan Rasulullah dalam beberapa fase, yakni fase pertamaMuhammad saw sebagai pedagang, fase kedua Muhammad saw sebagai nabi dan rasul. Kedua fase ini berlangsung dalam periode Mekah. Fase ketiga Muhammad saw sebagai politisi dan negarawan, danfase keempat Muhammad saw sebagai pembebas. Fase ketiga dan keempat berlangsung dalam periode Madinah.
Dari keempat fase tersebut, terlihat bahwa perjuangan Rasululllah saw dalam menegakan amanat risalahnya, mengalami perkembangan dan peningkatan yang cukup penting, strategis, dan sistimatis, menuju keberhasilan dan kemenangan yang gemilang, terutama dengan terbentuknya masyarakat muslim di Madinah dan terjadinya futuh Mekah. Juga sebagai dasar bagi perkembangan dan perjuangan untuk menegakan dan menyebarkan ajaran Islam ke segala penjuru dunia.
Dilihat dari langkah-langkah dan sudut pandang pengembangan dan pembangunan masyarakat, terdapat tiga posisi penting fungsi Rasulullah saw sebagai figur pemimpin umat, yakni: Pertama, Rasulullah saw sebagai peneliti masyarakat, kedua, Rasulullah saw sebagai pendidik masyarakat,ketiga Rasulullah saw sebagai negarawan dan pembangun masyarakat.
Rasulullah saw sebagai peneliti masyarakat, berlangsung ketika beliau menjadi pedagang. Ketika itu beliau sering kali melakukan perjalanan ribuan mil ke sebelah utara jazirah Arab. Dalam perjalannya, Rasulullah saw berhubungan dengan berbagai ragam orang dari berbagai bangsa, suku, agama, bahasa, tradisi, dan kebudayaan, dengan bermacam watak dan sifatnya. Beliau berinteraksi dan berkomunikasi dengan berbagai agama dan kepercayaan yang dianut; yaitu Yahudi, Nasrani, Majusi, dan orang-orang Romawi.
Dalam perjalannya ini, beliau mengadakan fact-finding, (menghimpun data dan fakta) mengenai berbagai aspek hidup dan kehidupan berbagai bangsa.Hal ini menjadi pengalaman dan pengetahuan beliau tentang geografis, sosiologis, etnografis, religius, psikologis, antropologis, karakter dan watak dari berbagai bangsa.Pengeahuan tentang situasi dan kondisi ini sangat bermanfaat dalam menentukan taktik, strategi, dan metode perjuangannya.
Dari data dan fakta yang menjadi pengetahuan dan pengalamannya itu, Rasulullah saw sering mengadakan tafakur (merenung), dan kadang-kadang berkhalwat, bersemedi (tahannus) di suatu tempat sunyi yang terkenal dengan Gua Hira. Di tempat inilah beliau mengolah, menganalisis, mengklarifikasi, dan mengambil kesimpulan yang akan menjadi bahan pertimbangan dalam sikap, langkah, dan pendekatan strategi perjuangan hidup dan kehidupannya. Objektivitas, akurasi, dan validitas hasil penelitian dan perenungan itu tidak diragukan lagi karena beliau termasyhur sebagai orang jujur (al-amin). Kesimpulan utama dari hasil penelitian dan perenungan adalah masyarakat Arab harus diselamatkan  dari jurang kehancuran serta membangun landasan yang baru. Upaya kerja keras Rasulullah saw dalam mencari solusi dari masalah yang sedang dihadapinya itu, kemudian dijemput oleh hidayah ilahi dengan turunnya wahyu pertama, lima ayat surat al-alaq. Dengan ayat Al-Qur’an yang mulia inilah, dimulai kegiatan dakwah dan risalah Islamiyah yang ditugaskan kepada Muhammad Ibn Abdillah untuk disampaikan kepada segenap manusia, melalui pembinaan dan pendidikan yang berdasarkan la ilaha illa al-llah (nilai dasar ketahuidan).
Dengan demikian, dari turunnya wahyu pertama ini, Rasulullah saw mulai berfungsi sebagai pendidik dan pembimbing masyrakat (social educator), melalui perombakan dan revolusi mental masyarakat Arab dari kebiasaan menyembah berhala yang merendahkan derajat kemanusiaan dan tidak menggunakan akal pikiran yan sehat, tidak memiliki peri kemanusiaan dan menghinakan kaum wanita dan sebagainya, menuju sikap mental yang mengangkat derajat kemanusiaan yang penuh percaya diri dan hanya menyembah dan memohon perlindungan kepada Allah SWT.
Adapun sistim pembinaan dan pendidikan yang dikembangkan Rasulullah saw adalah sistim kaderisasi dengan membina beberapa orang sahabat. Kemudian para sahabat ini mengembangkan Islam ke berbagai penjuru dunia.Dimulai dari Khulafa Ar-Rasyidin, kemudian generasi berikutnya. Dimulai dari pembinaan dan kaderisasi di Mekah yang agak terbatas, kemudian dikembangkan di Madinah dengan membentuk komunitas muslim di tengah-tengah masyrakat Madinah yang cukup heterogen. Pembinaan dan pendidikan di Mekah lebih dioerientasikan pada pembinaan ketauhidan sehingga ayat Al-Qur’an yang turun dalam periode ini lebih ditekankan pada pembinaan akidah dan ibadah. Ayat-ayat dan surat yang turun biasanya pendek-pendek dan diawalii ungkapan “Ya ayyuha an-nasa”.
Adapun di Madinah, pembinaan yang dilakukan Rasulullah saw lebih banyak ditekankan pada pembentukan masyarakat muslim di tengah-tengah masyarakat nonmuslim. Ayat-ayat Al-Qur’an yang turun di periode ini lebih ditekankan pada masalah muamalah, sistim kemasyarakatan, kenegaran, hubungan sosial, hubungan antaragama (toleransi), ta’awun, ukhuwah, dan sebagainya.Ayat-ayat yang turun pada periode ini biasanya panjang-panjang dan diawali ungkapan “Ya ayyuha al-ladzina amanu”.
Pada peride Madinah ini, lahirlah suatu peristiwa yang monumental dan sangat penting sebagai cermin bagi kehidupan beragama dan bermasyarakat di masa mendatang, yakni terumuskannya suatu naskah perjanjian dan kerja sama antara kaum muslimin dan masyarakat Madinah (nonmuslim), yang kemudian terkenal dengan sebutan Piagam Madinah
Di Madinah itulah Rasulullah saw mulai membangun sistim hukum, tatanan masyarakat, dan kenegaraan. Fungsi Rasulullah saw meningkat dari fungsi pendidik menjadi negarawan pembangun masyarakat (community builder) atau pembangun Negara (state builder). Di bawah pembinaan dan kepemimpinan Rasulullah saw, kota Madinah menjadi sebuah kota masyarakat yang beradab, sadar hukum, penuh toleran, bersikap saling tolong menolong, dihiasi persaudaraan dan semangat kerja sama antara warga masyarakat. Gambaran masyarakat seperti itu, kemudian dikenal dengan sebutan masyarakat madani.
Pada masa awal-awal perkembangan Islam, masyarakat Islam menampilkan diri sebagai masyarakat alternative, yang memberi warna tertentu pada kehidupan manusia.Karakter yang paling penting yang ditampilkan oleh masyarakat Islam ketika itu adalah kedamaian dan kasih sayang.
Masyarakat model seperti ini tampil di tengah kehadiran Rasulullah saw, baik di Mekah atau Madinah, yang banyak disebut sejarawan sebagai model masyarakat ideal dalam level masyarakat Arab yang masih sangat sederhana. Sejumlah karakteristik penting yang diperlihatkan masyarakat Islam pada masa Rasulullah saw ini, diantaranya adalah: memiliki akidah yang kuat dan konsisten dalam beramal (berkarya). Semua itu dipandu oleh kepemimpinan yang penuh wibawa.
Dari uraian di atas, dapat disimpulkan beberapa prinsip dakwah Rasulullah saw, yaitu sebagai berikut:
1.Mengetahui medan (mad’u) melalui penelitian dan perenungan.
2.Melalui perncanaan pembinaan, pendidikan, dan pengembangan serta pembangunan masyarakat.
3.Bertahap, diawali dengan cara diam-diam (marhalah sirriyah), kemudian cara terbuka (marhalah  alaniyyah). Diawali dari keluarga dan teman terdekat, kemudian masyarakat secara umum.
4.Melalui cara dan strategi hijrah, yakni menghindari siutasi yang negative untuk menguasai suasana yang lebih positif.
5.Melalui syiar dan pranata Islam, antara lain melalui khotbah, adzan, iqamah, dan shalat berjamaah, ta’awun, zakat, dan sebagainya.
6.Melalui musyawarah dan kerja sama, perjanjian dengan masyarakat sekitar, seperti dengan Bani Nadhir, Bani Quraidzah, dan Bani Qainuqa.
7.Melalui cara dan tindakan yang akomodatif, toleran, dan saling menghargai.
8.Melalui nilai-nilai kemanusiaan, kebebasan, dan demokratis.
9.Menggunakan bahasa kaumnya, melalui kadar kemampuan pemikiran masyarakat (ala qadri uqulihim).
10.Melalui surat. Sebagaimana yang telah dikirim ke raja-raja berpengaruh pada waktu itu, seperti pada Heraklius.
11.Melalui uswah hasanah dan syuhada ala an-nas, dan melalui peringatan, dorongan dan motivasi (tarhib wa targhib).
12.Melalui Kelembutan dan pengampunan. Seperti pada peristiwa Fathul Mekah disaksikan para pemimpin kafir Quraisy sambil memendam kemarahan dan kebencian.Begitu pula isi hati Fadhalah, yang begitu dalam kebenciaanya kepada Rasulullah sehingga ingin membunuhnya. Tanpa ia duga, Rasulullah mengetahui suara hatinya tersebut. ketika ditegur dengan lembut, fadhalah menjadi ketakutan dan mencoba berbohong untuk membela diri. Tetapi Rasulullah tidak marah, bahkan melempar dengan senyumnya.Seketika Fadhalah terpesona dengan reaksi orang yang hendak dibunuhnyatersebut.Ia yang berada dalam puncak ketakutan merasakan kelegaan luar biasa. Tumbuh simpatinya dan kebenciannya mulai surut.Hatinya benar-benar berbalik ketika Rasulullah meletakan tangan kanan tepat di dadanya.Sentuhan fisik refleksi dari kasih sayang Rasulullah ini benar-benar mengharubiru perasaan Fadhalah.Kedengkian dan kebenciaan berubah menjadi kecintaan yang mendalam.
KAIDAH-KAIDAH DA’WAH RASULULLAH
Dari prinsip dan langkah-langkah perjuangan  Rasulullah saw di atas, dapat diturunkan kaidah-kaidah dakwah Rasulullah saw sebagai berikut:
1) Tauhidullah, yakni sikap mengesakan Allah dengan sepenuh hati, tidak menyekutukan-Nya, hanya mengabdi, memohon, dan meminta pertolongan kepada Allah SWT. Sebagai pencipta dan pemelihara alam semesta. Kaidah ini bertujuan untuk membersihkan akidah (tathir al-i’tiqad) masyrakat dari berbagai macam khurajat dan kepercayaan yang keliru, menuju satu landasan, motivasi, tujuan hidup dan kehidupan dari Allah dan dalam ajaran Allah menuju mardhatillah (min al-Lah, fi al-Allah, dan ila Allah).
2) Ukhuwah Islamiah, yakni sikap persaudaraan antarsesama muslim karena adanya kesatuan akidah, pegangan hidup, pandangan hidup, sistim sosial, dan peradaban sehingga terjalinlah kesatuan hati dan jiwa yang melahirkan persaudaraan yang erat dan mesra, dan terjalin pula kasih sayang, perasaan senasib sepenanggungan, serta memperhatikan kepentingan orang lain, seperti mementingkan kepentingan diri sendiri. Dengan demikian, terhindar dari sikap individualisme, fanatisme golongan, fir’aunisme, materialisme, dan dari segala penyakit jiwa lainnya.
3) Muswah, yakni sikap persamaan antar sesama manusia, tidak arogan, tidak saling merendahkan dan meremehkan orang lain, tidak saling mengaku paling tinggi. Ini karena perbedaan dan penghargaan di sisi Allah adalah dilihat prestasi pengabdian dan ketakwaannya.
4) Musyawarah, yakni sikap kompromis dan menghargai pendapat orang lain, tidak menonjolkan kepentingan kelompok, memperhatikan kepentingan bersama untuk meraih kemaslahatan dan kebaikan bersama. Hal ini dilakukan oleh Rasulullah saw, antara lain di Madinh, yaitu dengan munculnya Piagam Madinah. Ayat-ayat yang dapat dirujuk dalam kaitannya dengan kaidah ini, antara lain: Q.S. Ali-Imran: 159, Q.S. Asu’ara: 38.
5) Ta’awun, yakni sikap gotong-royong, saling membantu, kebersamaan dalam menghadapi persoalan dan tolong-menolong dalam hal-hal kebaikan. Ayat-ayat yang dapat dirujuk dalam kaitannya dengan kaidah ini, antara lain: Q.S. Al-Maidah: 2, Q.S. At-Taubah: 71, q.s. Al-Anfal: 46.
6) Takaful al-ijtima, yakni sikap pertanggungjawaban bersama senasib sepenanggungan, kebersamaan dan sikap solidaritas sosial. Ayat-ayat yang dapat dirujuk dalam kaitannya dengan kaidah ini, antara lain: Q.S. At-Tahrim: 6, Q.S. Al-Baqarah:195.
7) Jihad dan Ijtihad, yakni sikap dan semangat kesungguh-sungguhan, serius menunjukan etos kerja yang tinggi, kreatif, inovatif dalam penyelesaian yang dihadapi. Ayat-ayat yang dapat dirujuk dalam kaitannya dengan kaidah ini, antara lain: Q.S. Ash-Shaff: 4, 10-13.
8) Fastahiq al-khayrat, yakni sikap dan semangat berlomba-lomba dalam kebaikan, pada berbagai lapangan hidup dan kehidupan. Ayat-ayat yang dapat dirujuk dalam kaitannya dengan kaidah ini, antara lain: Q.S. Ali-Imran: 114, Q.S. Al-Mu’minun: 57,61, Q.S. Al-Hadid: 21.
9) Tasamuh, yakni silap toleransi, tenggang rasa, tidak memaksakan kehendak, mengikuti dan melaksanakan sesuatu dengan landasan ilmu, saling menghargai perbedaan pandangan. Ayat-ayat yang dapat dirujuk dalam kaitannya dengan kaidah ini, antara lain: Q.S. Az-Zumar: 18, Q.S. Al-Baqarah: 256, Q.S. Al-Ankabut: 46, Q.S. An-Nahl: 125, 109, 1-6.
10) Istiqamah, yakni sikap dan semangat berdisiplin, tidak goyah, berjalan terus di atas ajaran yang benar dengan penuh kesabaran. Ayat-ayat yang dapat dirujuk dalam kaitannya dengan kaidah ini, antara lain Q.S. Fushshilat: 6, 30, 32, Q.S. Al-Ahqaff: 13-14, Q.S. Asy-Syu’ara: 13-15.[5]
KEBERHASILAN DAN PENGARUH DA’WAH ISLAM
Sebelum kita melangkah untuk melihat masa-masa terakhir kehidupan Rasulullah saw, sepatutnya kita memberikan perhatian sekilas terhadap aktivitas agung yang menjadi inti kehidupan beliau dan yang membedakan beliau dari seluruh Nabi dan Rasul, sehingga Allah mengangkat beliau sebagai pemimpin orang-orang terdahulu maupun orang-orang di kemudian hari.
Dikatakan kepada Rasulullah saw: “Wahai orang yang berselimut, bangunlah (untuk shalat), di malam hari, kecuali sedikit (daripadanya).” (al-Muzzamil: 1-2)
“Wahai orang yang berselimut, bangunlah, lalu berilah peringatan!” (al-Muddatstsir: 1-2)
Maka, beliau pun bangkit dan terus bangkit lebih dari dua puluh tahun, memikul beban amanat ````` besar di bumi ini, seluruh beban aqidah, beban perjuangan dan jihad di berbagai medan.
Beliau memikul beban perjuangan dan jihad di medan perasaan manusia yang tenggelam dalam angan-angan dan konsepsi jahiliyah serta terbelenggu oleh kehidupan dunia dan syahwat. Ketika perasaan manusia berhasil dibersihkan dari noda-noda jahiliyah dan kehidupan dunia, mulailah peperangan lain di medan yang lain pula, bahkan peperangan ini tiada putus-putusnya. Yaitu, peperangan melawan musuh-musuh da’wah Islam yang bersekongkol untuk menghancurkan da’wah ini sampai ke akarnya sebelum berkembang dan kokoh akarnya.Peperangan di jazirah Arab hampir saja berakhir, Romawi sudah mempersiapkan diri untuk menghadapi umat yang baru ini serta menghadangnya di perbatasan bagian utara.
Ketika semua ini berlangsung, peperangan pertama yaitu peperangan perasaan tidaklah berhenti, karena peperangan ini bersifat abadi, peperangan melawan syaithan. Sesaat pun syaithan tidak akan pernah meninggalkan aktivitasnya di dalam hati manusia. Di sanalah, Muhammad saw bangkit menyerukan da’wah Allah, dan melakukan peperangan yang tiada henti-hentinya di berbagai medan. Beliau berjuang menghadapi kesulitan hidup, padahal dunia berada di hadapannya.Beliau berjuang keras tidak kenal lelah, ketika orang-orang mu’min beristirahat menikmati ketenangan dan ketentraman.Semua itu beliau lakukan dengan semangat yang tak pernah kendor dan kesabaran tinggi.Beliau berjuang dalam melakukan qiyamul lail dan beribadah kepada Rab-Nya, membaca Al-Qur’an, dan bermunajat kepada-Nya sebagaimana yang diperintah-Nya.
Demikianlah, beliau hidup dalam perjuangan dan peperangan yang tiada henti-hentinya lebih dari dua puluh tahun. Selama itu, tidak pernah melalaikan suatu urusan karena sibuk dengan urusan yang lain. Sehingga, da’wah meraih suatu keberhasilan yang gemilang, sulit dicerna oleh akal manusia.Jazirah Arab tunduk kepada da’wah Islam, debu-debu jahiliyah tidak berhamburan lagi di kawasan jazirah Arab, dan akal yang menyimpang telah lurus kembali.Sehingga, berhala-berhala ditinggalkan, bahkan dihancurkan.Udarapun dipenuhi oleh gema suara tauhid. Suara adzan terdengar membelah angkasa di celah-celah padang pasir yang telah dihidupkan oleh iman yang baru. Para da’i bertolak ke arah utara dan selatan membacakan ayat-ayat Al-Qur’an dan menegakkan hukum-hukum Allah.
Berbagai bangsa dan kabilah bertebaran di mana-mana bersatu padu.Manusia pun keluar dari penyembahan terhadap hamba menuju peribadatan kepada Allah. Di sana, tidak ada pihak yang memaksa dan dipaksa, tidak ada tuan dan hamba, penguasa dan rakyat, orang yang zhalim dan terzhalimi. Semuanya adalah hamba Allah, bersaudara dan saling mmencintai, dan melaksanakan hukum-hukum Allah.Allah telah menyingkirkan penyaki-penyakit jahiliyah dan pengagungan terhadap nenek moyang dari diri mereka. Di sana, tidaka ada kelebihan yang dimiliki oleh orang yang berkulit merah atas orang berkulit hitam, kecuali ketaqwaannya. Seluruh manusia adalah anak keturunan Adam, dan adam tercipta dari tanah.
Berkat da’wah Islam, terwujudlah kesatuan Arab, keadilan sosial, kebahagiaan manusia dalam segala urusan dunia dan akhirat.Perjalanan hari dan wajah bumi pun berubah, demikian garis sejarah dan pola pikir.
Sebelum ada da’wah Islam, dunia di kuasai oleh semangat kejahiliyahan, sehingga perasaannya memburuk, jiwanya membusuk, nilai-niali moral dan norma-norma sosialnya jadi kacau, dipenuhi kezhaliman dan perbudakan, dirongrong oleh gelombang kemewahan dan kemiskinan, diliputi oleh kekufuran, kesesatan dan kegelapan, meskipun pada saat itu sudah terdapat agama-agama langit. Namun, agama itu telah jauh diselewengkan oleh manusia, sehingga menjadi lumpuh, tidak berdaya menguasai manusia dan berubah menjadi beku, tidak hidup dan tidak memiliki ruh.
Setelah da’wah Islam tampil dan memainkan perannya dalam kehidupan manusia, jiwa manusia menjadi bersih dari khayalan dan khurafat, perbudakan, kerusakan dan kebusukan, kekotoran dan kemerosotan.Masyarakat pun menjadi bersih dari kezhaliman dan kesewenang-wenangan, perpecahan dan kehancuran, perbedaan kelas, kediktatoran penguasa, dan pelecehan para dukun. Da’wah ini tampil membangun dunia di atas kesucian dan kebersihan, hal-hal yang bersifat positip dan membangun, kebebasan dan pembaruan, pengetahuan dan keyakinan, kepercayaan, keadilan, kehormatan, serta kinerja yang berkesinambungan untuk meningkatkan taraf kehidupan dan menjamin setiap orang untuk memperoleh hak-hak dalam kehidupan.
Berkat perkembangan-perkembangan ini, jazirah Arab mengalami suatu kebangkitan yang penuh berkah, yang belum pernah dialaminya sejak adanya bangunan di atas jazirah tersebut.
F.Peperangan yang terjadi pada periode madinah
Dalam perjalanan dakwahnya , Nabi Muhammad saw banyak menemui rintangan. Rintangan itu muncul sebagai akibat adanya masyarakat Madinah yang tidak dapat menerima kepemimpinan Nabi Muhammad saw.
Dibawah pimpinan Abdullah bin Ubay bin Salul, mereka menjalin hubungan rahasia dengan kaum kafir Qurasiy di Mekkah. Mereka selalu melaporkan perkembangan umat Islam di Madinah dengan Maksud menekankan kekuasaan Nabi Muhammad saw. Hal ini merupakan awal terjadinya peperangan dengan kaum kafir quraisy.Peperangan yang kemudian terjadi adalahPerang Badar, Perang Uhud, dan Perang Khandak.
1.perang badar
            Terjadinya Perang Badar dipicu oleh  rasa iri  orang-orang kafir Quraisy terhadap keberhasilan Nabi Muhammad saw, menguasai dan mempersatukan masyarakat Madinah. Peperangan ini terjadi pada 17 Ramadhan tahun ke -2 H atau 8 Januari 623 M disalah satu sumber mata air  yaitu Badar.
Dalam Perang Badar kaum muslimin hanya berjumlah 313 orang yang dipimpin langsung oleh Nabi Muhammadsaw, sedangkan pasukan kafir Quraisy berjumlah 1.000 orang yang dipimpin oleh Abu Sufyan. Sebelum perang dimulai , terjadi perang tanding antara kedua belah pihak. Pihak umat Islam diwakili Ubaidah bin Harits,Hamzah bin Abdul Muttalib dan Ali bin Abi Thalib.  Pasukan Quraisy diwakili Syaibah bin Rabi'ah dan Utbah bin Rabi'ah dan Walid bin Utbah. Dalam perang ini pasukan kaum muslimin mengalami kemenangan dengan gemilang.Abu Jahal terbunuh dan 14 muslimin gugur sebagai syahid.
2.Perang uhud
        Setelah mengalami kekalahan dalam perang Badar , Abu Sufyan menyiapkan pasukan dengan persenjataan lengkap. Bahkan mengundang pasukan Badui untuk bergabung. Terbentuklah pasukan kafir Quraisy dengan rincian  3.000 pasukan tempur yang didalamnya terdapat 700 pasukan bertameng dan 200pasukan berkuda. Pada tahun 3 H, dibawah komando Abu Sufyan,pasukan itu bergerak menuju Madinah. Pada hari  Kamis 21 Maret 625 M,mereka berada dihilir Lembah Uhud. Pasukan Islam berjumlah 1.000 orang,akan tetapi ditengah perjalanan, 300 orang membelot dibawah pimpinan Abdullahbin Ubay bin Salul. Kedua pasukan bertemu di BukitUhud , pada awal peperangan, tentara muslim memperoleh kemenangan . Akan tetapi , ketika perang hampir selesai pasukan Pemanah umat islam meninggalkan posisinya untuk mengambil harta rampasan. Akibatnya pasukan Islam mendapat serangan dari pasukan kafir yang dipimpin oleh Khalid bin Walid dari belakang. Akhirnya , pasukan Islam tidak mampu bertahan dan mengundurkan diri dari medan perang. Akibat perang ini ,70 orang pasukan Islam gugur, sedangkan 23 pasukan kafir tewas. Seusai perang ,Hindun istri Abu Sufyan mengoyak-koyak isi perut Hamzah , paman Nabi Muhammad saw, yang gugur dalam pertempuran itu. Ia melampiaskan dendam atas terbunuhnya ayahnya, Utbah bin rabi'ah, oleh Hamzah bin Abdul Muttalib dalam perang Badar.
3..perang khandak
            Perang yang terjadi berikutnya adalah Perang Khandak. Setelah mengalami kekalahan dalam perang Uhud , pasukan Islam sekarang lebih kuat . Pada tahun 327 M, orang-orang kafir Quraisy, Yahudi dan Suku Badui mampu membentuk pasukan yang berkekuatan 10.000 personil.Diantaranya 600 pasukan berkuda yang dipimpin Abu Sufyan. Untuk menghadapi musuh, Nabi Muhammad saw mengerahkan 3.000 pasukan tempur. Berdasarkan saran dari SalmanAl Farisi, kaum muslimin membuat sistim pertahanan berupa parit yang mengitari perbatasan Kota Madinah.Penggalian dilakukan oleh pasukan Islam sendiri .Abu Sofyan sebagai pemimpin pasukan Quraisy memutuskan mundur karena tidak sanggup lagi menghadapi perang.Peperangan dimenangkan oleh Kaum muslimin. Kemenangan ini membuat nama umat Islam dan Kota Madinah makin harum. Hali in menyebabkan para pembesar negara tetangga tertarik untuk bekerja sama dengan pemerintah Kota Madinah.
       Setelah 6 tahun menetap di Kota Madinah, timbul keinginan kaum Muhajirin untuk menunaikan ibadah haji sekaligus mengunjungi tanah kelahiran mereka. Nabi Muhammad saw mengunjungi Mekkah bersama para sahabat pada bulan Zulkaidah tahun ke-6 H atau 628 M untuk menunaikan ibadah haji. Para pemuka kafir quraisy berusha menghadang rombongan umat Islam ,ketika mengetahui keberangkatan tersebut.Dalam tradisi Arab, bulan Zulkaidah diharamkan untuk mengadakan peperangan,kebencian telah membuat mereka mengabaikan tradisi itu.[6]
            Ketika rombongan umat Islam sampai di sebuah tempat bernama Hudaibiyah yang berjarak sekitar 6 mil dari kota Mekkah ,mereka berhenti . Nabi Muhammad saw mengutus Usman bin Affan untuk mengabarkan kepada kaum kafir Quraisy maksud dan tujuan mereka. Kaum kafir quraisy bersikeras tidak mengizinkan rombongan umat Islam memasuki Mekkah,Perundingan sangat alot . Walaupuun demikian ,mereka berhasil membuat kesepakatan yang dikenal dengan perjanjian Hudaibiyah . Diantaranya isinya sebagai berikut :
1.                  Kedua belah pihak mengadakan gencatan senjata selama 10 tahun.
2.                  Setiap orang diberi kebebasan untuk memilih menjadi pengikut Nabi Muhammad saw atau kaum kafir quraisy.
3.                  Kaum muslimin wajib mengembalikan orang Mekkah yang menjadi pengikut Nabi Muhammad saw. di Madinah tanpa alasan yang benar kepada walinya,sedangkan kaum kafir qurasiy tidak wajib mengembalikan orang Madinah yang menjadi pengikut mereka.
4.                  Kunjungan rombongan umat Islam untuk menunaikan ibadah haji ditangguhkan pada tahun berikutnya. Lama kunjungan paling lama adalah 3 hari dan tidak boleh membawa senjata.
            Setelah perjanjian Hudaibiyah situasi menjadi aman dan tidak ada peperangan. Pengikut Nabi Muhammad saw yang semula hanya berjumlah sekitar 1.400 orang bertambah menjadi hampir 10.000 orang. Hal ini disebabkan orang-orang Qurasisy banyak bersimpati terhadap Nabi Muhammad saw. Sebelumnya,para sahabat tidak menyetujui isi perjanjian Hudaibiyah. Mereka menganggap perjanjian itu hanya merugikan umat Islam. Akan tetapi , Nabi Muhammad saw, menyikapi Perjanjian Hudaibiyah secara arif . Nabi Muhammad saw memanfaatkan situasi aman dan damai setelah Perjanjian Hudaibiyah.Beliau mengirimkan duta-dutanya ke negara tetangga untuk mengajak mereka memeluk agama Islam. Ajakan itu diterima oleh beberapa penguasa negeri tetangga dan ditolak oleh beberapa  negeri tetangga lainnya, Sebagian menolak ajaran itu adalah raja Persia. Penolakan itu menyebabkan munculnya permusuhan dan peperangan yang besar antar kedua belah pihak di kemudian hari.
G.AHIR HAYAT  NABI MUHAMMAD SAW
Sesudah melaksanakan hajji wada’ (hajji perpisahan) Rosululloh kembali ke Madinah. Beliau mengatur kabilah-kabilah yang telah masuk islam sampai habis sisa masa hidupnya. Beliau mengirim pada Da’i ke berbagai daerah untuk mengajarkan agama Islam.Ia juga mengatur peradilan islam serta mengatur cara-cara pemungutan zakat.
            Salah satu mubaligh yang dikirim adalah Muaz bin Jabal ke negeri Yaman, beliau terkenal sebagai ulama yang pertama kali menggunakan ijtihad jika tidak ada dasar hukum di dalam al-Qur’an maupun al-Hadis.
            Nabi Muhammad Saw menyiapkan pasukan untuk memerangi orang Romawi di Balqa (Yordania), yang dipimpin oleh Usamah bin Zaid bin Harisah yang baru berusia 18 tahun. Akan tetapi tidak jadi berangkat karena Rosul mendadak sakit.
            Rosululloh Saw, pada waktu itu juga menerima wahyu yang terakhir, yaitu: surat al-Maidah ayat 3.
Artinya:....... pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Ku-cukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah Ku-ridhai Islam itu Jadi agama bagimu. ......
                Dua bulan setelah hajji wada’ kesehatan Rosululloh berangsur-angsur memburuk, badannya panas. Walaupun demikian, ia tetap mengimami sholat. Dalam khotbahnya yang terakhir beliau bersabda:”Akuu berwasiat kepada kalian untuk berbuat baik terhadap orang Anshor. Sesungguhnya orang-orang Ansor adalah orang dekatku dimana aku berlindung kepada mereka. Mereka telah melalui apa yang menjadi beban mereka dan masih tersisa apa yang menjadi hak mereka. Oleh karena itu, berbuat baiklah kepada siapa saja diantara mereka yang berbuat baik dan maafkan siapa saja diantara mereka yang berbuat kesalahan”.
            Tiga hari menjelang wafat, beliau tidak dapat mengimami sholat, dan menunjuk Abu Bakar As-Shidiq sebagai pengganti imam sholat.Sehari sebelum wafat beliau memerdekakan para budak lelakinya; beliau juga menyedekahkan uang sisa sebanyak 7 Dinar.Beliau memberikan senjata-senjatanya kepada kaum muslimin.
            Pada waktu dluha beliau memanggil putrinya (Fatimah); dan membisikan kepadanya bahwa beliau akan segera dipanggil menghadap Alloh Swt. Menndengar hal itu Fatimah menangis. Kemudian, beliau berbisik lagi bahwa anggota keluarga yang pertama akan menyusulnya adalah Fatimah; kemudian Fatimah tersenyum.
            Setelah itu Nabi memanggil cucunya (Hasan dan Husain); beliau juga memanggil istri-istrinya dan anggota keluarga yang lain. Beliau memberikan wasiat yang terakhir:”Ingatlah sholat dan Taubatlah”.Tidak berapa lama kemudian beliau menghembuskan nafasnya yang terakhir.Beliau wafat pada hari Senin tanggal 12 Rabi’ul awwal 11 H. Atau 8 Juni 632 M.
            Rosululloh berdakwah mensyiarkan agama Islam selama 23 tahun.Ketika meninggal beliau hanya mewariskan 2 harta pusaka yang besar yaitu al-Quran dan al-Hadis.Beliau berjuang tak kenal lelah sehingga berhasil mendirikan negara Islam yang pertama di Madinah; serta mampu menyatukan suku-suku Arab di bawah naungan syariat Islam.[7]
           
            Berita wafatnya Nabi Muhammad tersebar luas ke seluruh penjuru Madinah. Suasana sedih, haru menyelimuti kota itu. Ketika Umar bin Khotob mendengar berita kematian Rosul, beliau berdiri dan termenung seakan tidak bisa menerima atas kematian Sang Rosul. Ia berkata:”Sesungguhnya beberapa orang munafiq menganggap bahwa Nabi Muhammad Saw telah wafat. Sesungguhnya beliau tidak wafat, tetapi pergi ke hadapan Tuhannya, seperti yang dilakukan Musa bin Imron yang pergi dari kaumnya. Demi Alloh dia benar-benar akan kembali. Barang siapa yang beranggapan bahwa beliau wafat, kaki dan tangannya akan kupotong”.[8]
            Setelah mendengar berita wafatnya Nabi, Abu Bakar As-Shidiq segera menemui Aisyah. Ia membuka kain kafan dan berkta:”Kalau kematian sudah menjadi ketetapan Engkau, berarti engkau benar-benar telah meninggal dunia”. Abu Bakar menerima atas kematian Sang Rosul; kemudian ia menemui Umar bin Khotob dan berkata:”Barang siapa menyembah Muhammad, sesungguhnya Muhammad sudah mati. Barang siapa menyembah Alloh, sesungguhnya Alloh Maha Hidup dan tidak mati”.



BAB III
PENUTUP
1.KESIMPULAN
 Dari beberapa pembahasan mengenai Perkembangan Islam Pada Masa Nabi Muhammad SAW diatas maka dapat diambil beberapa kesimpulan yang diantaranya :
Pada masa sebelum Islam berkembang, kota Madinah bernama Yatsrib, dikenal sebagai pusat perdagangan. Kemudian ketika Nabi Muhammad SAW hijrah dari Mekkah, kota ini diganti namanya menjadi Madinah sebagai pusat perkembangan Islam sampai beliau wafat dan dimakamkan di sana.
Setibanya di Madinah, Nabi Muhammad segera menyusun rencana pengembangan dakwah agar lebih efektif dan cepat. Agama Islam harus segera menyebar keberbagai penjuru dunia,, khususnya jazilah Arabia
Selanjutnya kota ini menjadi pusat kekhalifahan sebagai penerus Nabi Muhammad. Terdapat tiga khalifah yang memerintah dari kota ini yakni Abu Bakar, Umar bin Khattab, dan Utsman bin Affan. Pada masa Ali bin Abi Thalib pemerintahan dipindahkan ke Kufah di Irak karena terjadi gejolak politik akibat terbunuhnya khalifah Utsman oleh kaum pemberontak.



              
Dakwah pertama beliau adalah pada keluarga dan sahabat-sahabatnya. Orang pertama yang beriman kepada-Nya ialah Siti Khodijah (isteri Nabi), disusul Ali bin Abi Thalib (putra paman Nabi) dan Zaid bin Haritsah (budak Nabi yang dijadikan anak angkat). Setelah itu beliau menyeru Abu Bakar (sahabat karib Nabi). Kemudian dengan perantaraan Abu Bakar banyak orang-orang yang masuk Islam.

               Pada tahun ke 12 kenabiannya, datanglah orang-orang Yastrid di musim haji ke Mekah dan menemui nabi di Bai’atul Akabah. Di tempat ini mereka mengadakan bai’at (perjanjian) yang isinya bahwa mereka setia pada nabi, tidak menyekutukan Allah, tidak mencuri, tidak berzina, tidak membunuh anak kecil, tidak memfitnah, dan ikut menyebarkan islam. Perjanjian ini dikenal dengan Bai’atul Akabah Ula (Perjanjian Akabah Pertama) karena dilaksanakan di bukit akabah atau disebut Bai’atun Nisa’ (perjanjian wanita) karena didalamnya terdapat seorang wanita ‘Afra binti ‘Abid bin Tsa’labah
.
2.SARAN
Adapun saran yang bisa penulis berikan :

1.Kepada semua pembaca bila mendapat kekeliruan dalam makalah ini harap bisa meluruskannya.
2.Untuk supaya bisa membaca kembali literatur-literatur yang berkenaan dengan pembahasan ini sehingga diharapkan akan bisa lebih menyempurnakan kembali pembahasan materi dalam makalah
ini.

DAFTAR PUSTAKA

Al-Islam II “Muamalah dan Akhlaq”, CV. Pustaka Setia, Bandung, 1999.
Dr. Badri Yatim, M.A, Sejarah Peradaban Islam “Dirasah Islamiyah”, PT. Raja Grapindo Persada, Jakarta, 2007.
Prof. Dr. H. Samsul Nizar, M. Ag. Sejarah Pendidikan Islam: Menelusuri Jejak Sejarah Era Rasulullah Sampai Indonesia, Prenada Media Group, Jakarta, 1999.
Nasution, Harun : Filsafat Pendidikan Islam 1982 Jakarta.
Sejarah Peradaban Islam, Buku Panduan Madrasah Aliyah Kelas XII



[2] Nasution, Harun : Filsafat Pendidikan Islam 1982 Jakarta.
[3] Buku Panduan Madrasah Aliyah Kelas XII
[5] Prof. Dr. H. Samsul Nizar
[6] Dodikasuma.blogspot.com
[7] Al-Islam II “Muamalah dan Akhlaq
[8] Nasution, Harun


Teologi Islam Rasional dalam Pemikrian Harun Nasution

Teologi Islam Rasional
dalam Pemikrian Harun Nasution


A. Pendahuluan

Dalam sejarah Islam, mulanya berkembang pemikiran rasional, tetapi kemudian berkembang pemikiran tradisional. Pemikiran rasional berkembang pada zaman klasik Islam, sedangkan pemikiran tradisional berkembang pada zaman pertengahan Islam (1250-1800 M).
Pemikiran rasional dipengaruhi oleh persepsi tentang bagaimana tingginya kedudukan akal seperti terdapat dalam Al-Quran dan Hadits. Pertemuan Islam dan peradaban Yunani ini melahirkan pemikiran rasional di kalangan ulama Islam zaman klasik. Oleh karena itu, kalau di Yunani berkembang pemikiran rasional yang sekular, maka dalam Islam zaman klasik berkembang pemikiran rasional yang agamis. Pemikiran ulama filsafat dan ulama sains, sebagaimana halnya pada para ulama dalam bidang agama sendiri, terikat pada ajaran-ajaran yang terdapat dalam kedua sumber utama tersebut. Dengan demikian, dalam sejarah peradaban Islam, pemikiran para filosof dan penemuan-penemuan ulama sains tidak ada yang bertentangan dengan Al-Quran dan Hadits (Harun, 1995, hal. 7).
Di zaman Klasik, Eropa sedang berada pada zaman pertengahan yang terbelakang. Tidak mengherankan kalau orang-orang Eropa dari Italia, Prancis, Inggris dan lain-lain datang ke Andalusia untuk mempelajari sains dan filsafat yang berkembanga dalam Islam. Kemudian mereka pulang ke tempat masing-masing membawa ilmu-ilmu yang mereka peroleh itu. Buku-buku ilmiah Islam mereka terjemahkan ke dalam bahasa Latin.
Melalui mereka pemikiaran rasional Islam yang agamis itu beserta sains dan filsafatnya di bawa ke Eropa, tetapi disana mendapat tantangan dari pihak Gereja. Pertentangan itu membuat sains dan Filsafat melepaskan diri dari gereja dan pemikiran rasional di sana berkembang terlepas dari ikatan agama. Pemikiran rasional di Eropa pada zaman renaisans dan zaman modern kembali menjadi sekuler seperti zaman Yunani sebelumnya. Pemikiran rasional sekuler itu membawa kemajuan pesat dalam bidang filsafat, sains, dan teknologi di Eropa sebagaimana saat ini.
Sementara di dunia Islam zaman pertengahan berkembang pemikiran tradisional, menggantikan pemikiran rasional agamis yang ada sebelumnya. Dalam pemikiran tradisional ini, para ulama bukan hanya terikat pada Al-Qur’an dan Hadits, tetapi juga pada ajaran hasil ijtihad ulama klasik yang amat banyak jumlahnya. Oleh karena itu, ruang lingkup pemikiran ulam zaman pertengahan sangat sempit. Mereka tidak punya kebebasan berpikir. Akibatnya sains dan Filsafat, bahkan juga ilmu-ilmu agama tidak berkembang.
Ketika umat Islam Timur Tengah menjalin kontak dengan barat pada abad ke 18 M. mereka amat terkejut melihat kemajuan Eropa. Mereka tidak menyangka bahwa Eropa yang belajar pada mereka pada abad ke 12 dan 13 M telah begitu maju.
Hal ini membuat ulama-ulama abad ke 19 merenungkan apa yang perlu mereka dilakukan umat Islam untuk mencapai kemajuan kembali seperti zaman Islam klasik dulu. Meka lahirlah tokoh pembaharuan di Mesir seperti Al-Thahtawi, Jamaluddin Al Afgani dan Muhammad Abduh. Di Turki ada Mehmet Shidik Rifat, Nemik Kamal dan Zia Gokalp. Di India seperti Ahmad Khan, Ameer Ali. Pakistan ada Muhammad Iqbal. Semua pembaharu ini berpendapat bahwa untuk mengejar ketertinggalan umat Islam harus menghidupkan lagi pemikiran rasional agamis zaman klasik dengan perhatian yang besar pada sains dan teknologi.
Sejak abad kesembilan belas ini kembali tumbuh di dunia Islam pemikiran rasional yang agamis dengan perhatian pada filsafat, sains, dan teknologi. Di abad kedua puluh perkembangan itu lebih maju lagi, lahir interpretasi rasional dan baru atas Al-Qur’an dan hadits. Pemikiran tradisional Islam segera mendapat tantangan dari pemikiran rasional agamis ini.
Dalam pemikiran rasional agamis manusia punya kebebasan dan akal mempunyai kedudukan tinggi dalam memahami ajaran-ajaran Al-Qur’an dan hadits. Kebebasan akal hanya terikat pada ajaran-ajaran absolut kedua sumber utama Islam itu, yakni ajaran-ajaran yang disebut dalam istilah qath‘iy al-wurud dan qath’iy al-dalalah. Maksud ayat Al-Qur’an dan hadits ditangkap sesuai dengan pendapat akal.

B. Riwayat Hidup Harun Nasution

Harun Nasution lahir selasa, 23 September 1919 di Pematang Siantar, Sumatera Utara. Putra dari Abdul Jabbar Ahmad, seorang pedagang asal mandailing dan qadhi (penghulu) pada masa pemerintahan Belanda di kabupaten Simalungun, Pematang Siantar. Ayah Harun juga seorang ulama yang menguasai kitab-kitab Jawi dan suka membaca kitab kuning berbahasa melayu. Sedangkan, ibunya seorang boru Mandailing Tapanuli, Maimunah keturunan seorang ulama, pernah bermukim di Mekkah, dan mengikuti beberapa kegiatan di masjidil haram. Harun berasal dari keturunan yang taat beragama, keturunan orang terpandang, dan mempunyai strata ekonomi yang lumayan. Kondisi keluarganya yang seperti itu membuat Harun bisa lancar dalam melanjutkan cita-citanya mendalami ilmu pengetahuan.
Harun memulai pendidikannya di sekolah Belanda, Hollandsch Inlandche School (HIS) pada waktu berumur 7 tahun. Selama tujuh tahun, Harun belajar bahasa Belanda dan ilmu pengetahuan umum di HIS itu. Dia berada dalam lingkungan disiplin yang ketat. Di lingkungan keluarga, Harun memulai pendidikan agama dari lingkungan keluarganya dengan belajar mengaji, shalat dan ibadah lainnya. Selama 7 tahun ia belajar di HIS dan tamat pada tahun 1934 ketika berumur 14 tahun. Pelajaran yang disenanginya adalah ilmu pengetahuan alam dan sejarah.
Harun melanjutkan pendidikan ke sekolah agama yang bersemangat modernis, Moderne Islamietische Kweekschool (MIK). Setelah sekolah di MIK, ternyata sikap keberagamaan Harun mulai tampak berbeda dengan sikap keberagamaan yang selama ini dijalankan oleh orang tuanya, termasuk lingkungan kampungnya. Harun bersikap rasional sedang orang tua dan lingkungannya bersikap tradisional. Karena desakan orang tua kemudian ia meninggalkan MIK dan melanjudkan ke Saudi Arabia. Di negeri gurun pasir itu, Harun tidak lama dan memohon pada orang tuanya agar mengizinkannya pindah studi ke Mesir. Di Mesir, dia mulai mendalami Islam pada Fakultas Ushuluddin, Universitas Al-Azhar, di Kairo.
Pada usia 24 tahun beliau rnenikahi gadis Mesir, Sayedah. Pada saat itu pula Harun telah menyelesaikan studinya di Uninversitas Amerika di Cairo yang berhasil mendapatkan gelar B. A (serjana muda) tahun 1952. Pada 1953 Ia kembali ke Indonesia dan bertugas di Departemen Luar Negeri bagian Timur Tengah. Tugas diplomatnya di luar negeri berlanjut kembali sejak ia bekerja di Kedutaan Republik Indonesia di Brussels mulai akhir Desember 1955.
Karena pengaruh komunis semakin kuat di Indonesia, Harun yang antikomunis memutuskan untuk keluar dari kedutaan. Untuk kedua kalinya, ia ke Mesir untuk melanjutkan studinya. Harun memilih belajar di lembaga Ad-Dirasat al-Islamiyah (1960). Studinya di Mesir, lagi-lagi, tidak dapat diteruskan akibat kekurangan biaya. Ketika itulah ia menerima tawaran dari Prof Rasjidi -orang yang kemudian menjadi partner polemiknya di bidang pembaharuan dan pemikiran Islam- untuk menerima beasiswa dari Institute of Islamic Studies McGill, Montreal, Kanada. Pada 1965, Harun memperoleh gelar Magister dari Universitas tersebut dengan judul tesis yang masih dekat dengan sejarah tanah airnya: The Islamic State in Indonesia: The Rise of The Ideology, The Movement for Its Creation and the Theory of the Masjumi. Tiga tahun berikutnya (1968), Ia memperoleh gelar Doktor (PhD) dalam bidang studi Islam pada Universitas yang sama, dengan disertasi The Place of Reason in 'Abduh's Theology: Its Impact on His Theological System and Views. Setahun kemudian (1969), Ia kembali ke Indonesia. Berbagai jabatan pernah ia pegang, baik akademis maupun pemerintahan.

C. Pemikiran Harun Nasution
Dari segi pemikiran, gagasan Prof Harun tak lepas dari petualangan panjangnya. Yang paling menonjol tentu saat ia menuntut ilmu di Makkah dan Mesir. Di kedua negeri inilah, ia terkagum dengan pemikiran tokoh dan pembaru Muhammad Abduh, terutama sekali tentang paham Mu'tazilah yang banyak menganjurkan sikap-sikap qadariah. Di kemudian hari, Harun dikenal sebagai intelektual Muslim yang banyak memperhatikan pembaharuan dalam Islam, meliputi pemikiran teologi, filsafat, mistisisme (tasawuf), dan hukum (fikih) saja, hingga masalah segi kehidupan kaum Muslim. Berikut pemikiran dan gagasan Harun Nasution terkait dengan term teologi rasional yang penulis nukil dari bukunya yang berjudul Islam Rasional dan dari berbagai sumber:

1. Teologi Islam dan Upaya Peningkatan Produktivitas
Dalam agama terdapat dua ajaran yang erat kaitannya dengan produktivitas. Pertama, agama mengajarkan bahwa sesudah hidup pertama di dunia yang bersifat materialini, ada hidup kedua nanti di akhirat yang bersifat spiritual. Bagaimana ajaran ini terhadap produktivitas dari penganut agama bersangkutan sangat bergantung dari kedua corak hidup tersebut. Apabila kehidupan duniawi dipandang penting, maka produktivitas akan meningkat. Tetapi, sebaliknya, kalau hidup akhirat yang diutamakan, produktivitas akan menurun.
Kedua agama memiliki ajaran mengenai nasib dan perbuatan manusia. Kalau nasib manusia telah ditentukan Tuhan sejak semula, dalam arti bahwa perbuatam manusia adalah ciptaan Tuhan. Maka produktivitas masyarkat yang menganut paham keagamaan seperti demikian akan sangat rendah sekali. Tetapi dalam masyarkat yang menganut paham bahwa manusialah yang menciptakan perbuatannya, produktivitas akan tinggi. Paham pertama dikenal dengan filsafat fatalisme (Jabariyah) dan paham kedua disebut Qodariyah atau kebebasan manusia dalam kemauan dan perbuatan.
Di dalam Al-Qur’andan hadis, hidup di dunia yang bersifat material dam hidup di akhirat yang bersifat spiritual sama pentingnya.
Carilah apa yang dianugerahkan Allah bagimu di akhirat dan jangan lupakan bagianmu di dunia.(QS 28:77)
Suatu doa yang diambil dari bunyi al-Qur’an berbunyi:
Tuhan kami, berilah kami kebaikan di dunia dan kebaikan di akhirat. (QS 2: 201).
Sebuah hadis menyatakan:
Berbuatlah untuk duniamu seolah-olah engkau akan hidup selama-lamanya, dan berbuatlah untuk kahiratmu seolah-olah engkau akan mati esok hari.
Al-Qur’an sendiri mengandung ajaran-ajaran yang dapat melahirkan baik filsafat fatalism (Jabariyah) maupun Qodariyyah. Yang dapat membawa orang pada faham fatalisme dapat ditemukan misalnya pada ayat-ayat berikut:
Tiada suatu bencanapun yang menimpa di bumi dan (tidak pula) pada dirimu sendiri melainkan telah tertulis dalam kitab (Lauhul Mahfuzh) sebelum Kami menciptakannya. (QS 57:22).
Maka (yang sebenarnya) bukan kamu yang membunuh mereka, akan tetapi Allahlah yang membunuh mereka, dan bukan kamu yang melempar ketika kamu melempar, tetapi Allah-lah yang melempar (QS 8: 17)
Sementara itu yang dapat membawa orang pada paham Qodariyah, dapat dilihat misal dalam ayat berikut:
Dan katakanlah: "Kebenaran itu datangnya dari Tuhanmu; maka barangsiapa yang ingin (beriman) hendaklah ia beriman, dan barangsiapa yang ingin (kafir) biarlah ia kafir" (QS 18:29).
Pada sejarah Islam, yang bisanya dibagi ke dalam tiga periode yakni periode Klasik (650-1250 M) Periode pertengahan (1250-1800) dan Periode Modern (1800-seterusnya). Kedua macam ajaran pernah mempengaruhi Islam untuk masa tertentu. Sebagaimana telah penulis jelaskan secara singkat di atas.

a. Periode Klasik
Pada Periode Klasik bekembang teologi sunnatullah. Sunnatullah adalah hukum alam, yang di barat disebut dengan natural laws. Bedanya natural laws adalah ciptaan alam, sedangkan sunnatullah adalah ciptaan Tuhan.
Ciri-ciri Teologi Sunnatullah adalah:
1. Kedudukan akal yang tinggi.
2. Kebebasan manusia dalam kemauan dan perbuatan
3. Kebebasan berfikir hanya diikat oleh ajaran-ajaran dasar Al-Qur’an dan hadis yang sedikit sekali jumlahnya.
4. Percaya adanya sunnatullah dan kausalitas
5. Mengambil arti metamorphosis dari teks wahyu
6. Dinamika dalam sikap dan berfikir.
Ulama Periode Klasik itu memakai metode berfikir rasional, ilmiah dan filosofis. Dan yang cocok dengan metode berfikir ini adalah filsafat Qodariyah, yang menggambarkan kebebasan manusia dalam kehendak dan perbuatan. Oleh kerena itu sikap umat Islam zaman itu adalah dinamis, orietasi dunia mereka tidak dikalahkan oleh orientasi akhirat. Keduanya berjalan berimbang. Tidak mengherankan kalau pada periode klasik itu, soal dunia dan akhirat sama-sama dipentingkan, dan produktifitas meningkat pesat.
Sekiranya ulama Islam pada zaman klasik itu hanya berorientasi pada akhirat saja, tanpa orietasi dunia, dan memakai filsafat fatalisme (Jabariyah), kemajuan dalam berbagai bidang tidak akan tercapai.
Teologi sunnatullah dengan filsafat Qodariyahnya serta orientasi duniawi disamping akhirat, juga membuat umat Islam produktif dalam bidang ekonomi dan peradaban pada zaman klasik tersebut. Mesir, Suriah, Irak dan Persia pada waktu itu menjadi pusat perdangangan di Timur Tengah. Kemajuan juga ada dalam bidang pertanian.
Pada periode klasik ini, dalam bidang sains juga mengalami kemajuan yang pesat. Ilmu kedokteran, Kimia, Matematika, Astronomi dan ilmu-ilmu lain. Ulama-ulama klasik bukan hanya produktif dalam soal keduniaan. Sejalan dengan sikap tidak meninggalkan hidup spiritual, ilmu agama juga berkembang pada zaman itu, seperti Ilmu Tafsir, Fiqih, Akidah, Tasawuf dan lan-lain.
Demikianlah teologi sunnatullah zaman klasik dengan pemikiran rasional agamais, filosofis dan ilmiahnya, yang membuat ulama dan umat Islam produktif dalam hidup keduniawian di bidang politik, ekonomi, industry, pertanian, sains. Juga produktif dalam bidang hidup keakhiratan di bidang akidah, teologi, tafsir, filsafat, tasawuf dan lain-lain.

b. Periode Pertengahan
Teologi sunnatullah dengan pemikiran rasional, filosofis dan ilmiah zaman klasik tidak dapat dipertahankan oleh umat Islam dan gantikan oleh teologi kehendak mutlak Tuhan (Jabariyah atau Fatalisme) yang besar pegaruhnya bagi umat Islam di dunia, mulai dari pertengahan abad 12 sampai zaman kita sekarang ini.
Ciri-ciri teologi fatalisme itu adalah:
1. Kedudukan akal yang rendah
2. Ketidak bebasan manusia dalam kemauan dan perbuatan.
3. Kebebasan berpikir yang diikat banyak dogma.
4. Ketidak percayaan pada sunnatullah dan kausalitas.
5. Terikat pada arti tekstual dariAL-Quaran dan Hadis
6. Statis dalam sikap dan berfikir.
Sikap-sikap yang dimiliki oleh orang-orang berteologi fatalisme itu mempengaruhi umat secara umum. Di kalangan mereka terdapat sikap lebih mementingkan hidup spiritual dan sikap tawakal serta menunggu dengan sabar datangnya rahmat Tuhan. Sikap ini di kalangan awam di perkuat lagi oleh paham fatalisme dengan teologi kehendak mutlak Tuhan. Akibatnya berbagai sektor yang sebelumnya sangat maju pada periode klasik menjadi sangat mundur. Produktifitas ulama dan umat Islam periode pertengahan statis jalan ditempat.

c. Periode Modern
Abad ke 19, dimana orang Eropa yang dahulu mundur sekarang terlah maju itu, datang ke Dunia Islam. Dunia Islam terkejut dan tidak menyangka bahwa Eropa yang telahmereka kalahkan pada Periode Klasik dahulu, pada zaman modern menguasai mereka. Kerajaan turki utsmani, adikuasa pada zaman pertengahan mulai mengalami kekalahan-kekalahan dalam peperangannnya di Eropa. Napoleon Bonaparte dalam waktu tiga minggu mampu menguasai seluruh Mesir pada 1798 M. Inggris memasuki India dan menghancurkan kerajaan Mughal pada 1857 M.
Hal ini membuat ulama-ulama abad ke 19 merenungkan apa yang perlu mereka dilakukan umat Islam untuk mencapai kemajuan kembali seperti zaman Islam klasik dulu. Maka lahirlah tokoh pembaharuan di Mesir seperti Al-Thahtawi, Jamaluddin Al Afgani dan Muhammad Abduh. Di Turki ada Mehmet Shidik Rifat, Nemik Kamal dan Zia Gokalp. Di India seperti Ahmad Khan, Ameer Ali. Pakistan ada Muhammad Iqbal. Semua pembaharu ini berpendapat bahwa untuk mengejar ketertinggalan umat Islam harus menghidupkan lagi pemikiran rasional agamis zaman klasik dengan perhatian yang besar pada sains dan teknologi.
Mulailah abad ke 19 didirikan sekolah-sekolah model barat di Mesir, Turki dan India. Disini di ajarkan metode berfikir rasional, filosofis dan Ilmiah. Sains di sekolah-sekolah ini sangat dipentingkan, sehingga timbullah di dunia Islam golongan terpelajar barat di samping ulama-ulama lulusan sekolah agama. Inilah keadaan umat Islam zaman modern di timur tengah. Adapaun di Indonesia keadaanya berbeda. Islam mungkin telah datang ke Indonesia pada abad-abad pertama Hijriah, yaitu abad ke 7 dan 8 M. tetapibaru berkembang pada abad ke 13 M. dengan kata lain, bersamaan dengan pada periode pertengahan Islam. Maka yang berkembang bukanlan permikiran terologi sunnatullah zaman klasik. Tetapi teologi kehedak mutlak Tuhan (Jabariyah) dengan pemikiran tradisional, nonfilosofis, dan nonilmiahnya.
Teologi ini sangat besar pengaruhnya terhadap umat Islam di Indonesia sejak semula. Banyak umat Islam indoensia yang sangat percaya bahwa nasib secara mutlak terletak di tangan Tuhan. Manusia tak berdaya dan hanya menyerah kepada qadha dan qadar Tuhan.
Sekolah-sekolah model barat, seperti halnya di Dunia Islam timur tengah, juga telah berkembang di Indonesia, meskipun seabad lebih terlambat, yaitu abad 20 M. Pemikiran rasional, filosofis dan ilmiah ini masuk pula ke dalam masyarakat Indonesia. Tetapi, pemikiran ini tidak menimbulkan teologi sunnatullah di Indonesia, kecuali di kalangan kecil umat. Kaum terpelajar yang berpendidikan barat sendiri, masih banyak dipengaruhi paham qodha dan qodar, dan kelihatannya kurang mantap dengan pendapat adanya sunnatullah atau hokum alam, ciptaan Tuhan,dan kausalistik. Kaum terpelajar kelihatannya terombang-ambing antara keyakinan kepada qadha dan qodar yang diperoleh dari pendidikan agama dan pengalaman sunnatullah yang diperoleh dari pendidikan model barat. Kaum terpelajar masih belum yakin bahwa kesuksesan dan ketidaksuksesan dalam usaha, tergantung pada ikhtiarnya. Tapi mereka merasa bahwa qadha dan qodar Tuhan mempunyai peran di dalamnya.
Pada saat yang sama kaum terpelajar agama yang dikenal dengan nama ulama tidak kenal dengan teologi sunnatullah dengan pemikiran rasional, filosofis dan ilmiahnya. Yang mereka kenal sejak semula adalah teologi tradisional. Sejarah perkembangan pemikiran Islam tidak diajrakan baik di madarasah maupun pesantren. Mereka memandang teologi sunnatullah tidaklah Islami. Yang berkembang di Indonesia sampai dewasa ini adalah kehendak mutlak Tuhan dengan qodha dan qodar-nya yang menyokong bagi peningkatan produktifitas. Juga tradisi tarekat berkembang subur di Indonesia yang mengajarkan orientasi pada keakhiratan mengakibatkan orang hanya berorientasi pada kepentingan akhirat saja.
Oleh kerena itu, kalau produktifitas di kalangan umat Islam di Indoensia kurang meningkat, padangan keagamaan itulah (teologi kehendak mutlak Tuhan dengan paham qadha dan qodar-Nya dan orientasi kehidupan keakhirantan) yang antara lain menjadi penyebabnya.
Untuk meningkatkan produktifitas itu, teologi sunatullah dengan pemikiran rasional, filosofis dan ilmiahnya perlu dikembangkan di kalangan umat Islam di Indonesia, sebagai pengganti teologi fatalisme. Sementara itu perlu juga dikembangkan keseimbangan antara orientasi spiritual dan orientasi keduniaan.
Dalam hal ini, ada dua obsesi Harun yang paling menonjol.
Pertama, bagaimana membawa umat Islam Indonesia ke arah rasionalitas. Kedua, terkait dengan yang pertama, bagaimana agar di kalangan umat Islam Indonesia tumbuh pengakuan atas kapasitas manusia qadariah.
Harun sering menyatakan bahwa salah satu sebab kemunduran umat Islam Indonesia adalah akibat dominasi Asy'arisme yang sangat bersifat Jabariah (terlalu menyerah pada takdir). Untuk itu, dalam berbagai tulisannya Harun selalu menghubungkan akal dengan wahyu, dan lebih tajam lagi melihat fungsi akal itu dalam pandangan Al-Quran yang demikian penting dan bebas. Harun memang sangat tersosialisasi dalam tradisi intelektual dan akademis cosmopolitan (Barat). Tapi, sesungguhnya hampir sepenuhnya dia mewarisi dasar-dasar pemikiran Islam abad pertengahan. Penguasaannya yang mendalam terhadap pemikiran-pemikiran para filusuf Islam, termasuk pengetahuannya yang luas terhadap dunia Tasawuf, membuat Ia dapat merumuskan konsep yang akurat tentang terapinya untuk membangun masyarakat Muslim Indonesia. Ia selalu mengatakan bahwa kebangkitan umat Islam tidak hanya ditandai dengan emosi keagamaan yang meluap-luap, tapi harus berdasarkan pemikiran yang dalam, menyeluruh, dan filosofis terhadap agama Islam itu sendiri.
Semua itu dia buktikan dengan mewujudkan tiga langkah, yang kerap disebut sebagai ''Gebrakan Harun''.
1. Gebrakan pertama, dia meletakkan pemahaman yang mendasar dan menyeluruh terhadap Islam. Menurutnya, dalam Islam terdapat dua kelompok ajaran. Ajaran pertama bersifat absolut dan mutlak benar, universal, kekal, tidak berubah, dan tidak boleh diubah. Ajaran yang terdapat dalam Alquran dan Hadis mutawatir berada dalam kelompok ini. Kedua, bersifat absolut, namun relatif, tidak universal, tidak kekal, berubah dan boleh diubah. Ajaran yang dihasilkan melalui ijtihad para ulama berada dalam kelompok ini. Dalam ajaran Islam, lanjutnya seperti ditulis dalam Islam Rasional (Mizan), yang maksum atau terpelihara dari kesalahan hanyalah Nabi Muhammad SAW. Karena itu, kebenaran hasil ijtihad para ulama bersifat relatif dan bisa direformasi. Menurutnya, kedinamisan suatu agama justru ditentukan oleh sedikit banyaknya kelompok pertama itu. Semakin sedikit kelompok ajaran pertama, semakin lincahlah agama tersebut menghadapi tantangan zaman dan sebaliknya. Kenyataannya, kata Harun, jumlah pertama sedikit.
2. Gebrakan kedua dilakukan saat dia menjabat rektor IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 1973 (kini Universitas Islam negeri/UIN). Saat itu, secara revolusioner dia merombak kurikulum IAIN seluruh Indonesia. Pengantar ilmu agama dimasukkan dengan harapan akan mengubah pandangan mahasiswa. Demikian pula filsafat, tasawuf, ilmu kalam, tauhid, sosiologi, dan metodologi riset. Menurut dia, kurikulum IAIN yang selama ini berorientasi fikih harus diubah karena hal itu membuat pikiran mahasiswa jumud.
3. Gebrakan ketiga, bersama menteri agama, Harun mengusahakan berdirinya Fakultas Pascasarjana pada 1982. Menurutnya, di Indonesia belum ada organisasi sosial yang berprestasi melakukan pimpinan umat Islam masa depan. Baginya pimpinan harus rasional, mengerti Islam secara komprehensif, tahu tentang ilmu agama, dan menguasai filsafat. Filsafat, ujarnya, sangat penting untuk mengetahui pengertian ilmu secara umum. Pimpinan seperti itulah yang diharapkannya lahir dari Fakultas Pascasarjana. Dampak dari usaha Harun sungguh luar biasa. Ciputat jadi hidup.

Berbagai gagasan Harun yang dikenal amat menjunjung tinggi rasionalitas dan metode ilmiah itu, tak sedikit kalangan menuduhnya sebagai pelopor gerakan Mu'tazilah dan salah seorang penyokong sekularisme di Indonesia. Ini jelas terlihat dari karyanya berjudul Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya. Toh demikian, Harun tetap melaju membumikan Islam. Menurut Nurcholish Madjid, Harun telah memberikan sumbangan nyata bagi bangsa Indonesia dalam hal menumbuhkan ''tradisi intelektual'' yang dirintis di IAIN Jakarta, dan kemudian menghasilkan suatu gejala umum bahwa doktrin bukan sebagai taken for granted, justru di saat doktrin itu sudah mapan. Dia mempertanyakan relevansi doktrin itu kepada sejarah, bagaimana kaitannya dulu dan sebagainya. Inilah yang menghasilkan suatu kemampuan tertentu yang secara teknis disebut learning capacity. Menurut Cak Nur, Ia telah berhasil menciptakan intellectual capacity sekaligus learning capacity.
Pola pemikiran Harun, dalam pandangan Cak Nur, sangat Abduhis. Etos atau penghargaannya terhadap Muhammad Abduh sangat tinggi. Obsesi Harun kepada Mu'tazilah mempunyai relevansi terhadap dua hal. Pertama, rasionalitas, sebab dampak dari etos kerasionalan itu ialah pembukaan yang mempunyai efek pembebasan. Kedua, pengakuan atas kapasitas manusia qadariah. Kemunduran kaum Muslim, kata Harun, salah satunya lantaran dominasi Asy'ariyah yang Jabbari. Betapapun, Harun telah menanamkan fondasi Islam modern Indonesia. Perjuangan panjangnya itu berakhir pada 18 September 1998, ketika Sang Khaliq memanggilnya untuk selama-lamanya. Kini, persis 5 tahun wafatnya, Harun seakan terus 'hidup' melalui gagasan dan pemikirannya.

Sumber bacaan:
1. Islam Rasional: Gagasan dan Pemikiran Prof. Dr. Harun Nasution, 1996, Mizan. Jakarta.
2. Muhammad Abduh dan Teologi Rasional Mu’atazillah, 1987, UI Press, Jakarta.
3. Sumber-sumber artikel di internet.

Melacak Sejarah Penerjemahan Alquran


Tadarus Al Quran
Pertama kali penerjemahan surah Alquran dilakukan ke dalam bahasa Persia.

Alquran diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW sebagai mukjizat dan petunjuk. Kitab suci umat Islam itu berfungsi sebagai petunjuk hidup bagi seluruh umat manusia.  Allah SWT berfirman dalam surah Al-Baqarah [2]:2, ‘’Kitab Alquran ini tak ada keraguan padanya; petunjuk bagi mereka yang beriman.’’
   
Kitab suci Alquran diturunkan dalam bahasa Arab, namun agama Islam tak hanya berkembang di Jazirah Arab, namun hingga ke seantero dunia. Sejatinya, Alquran – sebagai kitab suci – tak hanya wajib dibaca, namun juga dikaji, dipahami, dan diamalkan.

Perintah untuk mengkaji, memahami dan mengamalkan ayat-ayat Alquran itu tercantum dalam surah Al-Qamar [54];17,  ‘’Dan sesungguhnya telah kami mudahkan Alquran untuk pelajaran, maka adakah orang yang mengambil pelajaran.’’

Seiring berkembangnya ajaran Islam, maka muncullah keinginan dan kesadaran untuk menerjemahkan Alquran ke dalam berbagai bahasa yang ada di dunia. Upaya untuk menerjemahkan Alquran itu telah dimulai beberapa belas abad silam – ketika Islam mulai menyebar ke berbagai benua -- bahkan pada saat Rasulullah SAW masih hidup.
Menerjemahkan Alquran ke dalam bahasa lain bukanlah pekerjaan mudah. Betapa tidak. Alquran merupakan mukjizat yang menggunakan bahasa ilahiyah, yang tak mungkin dapat ditandingi manusia manapun.

‘’Menerjemahkan Alquran selalu menjadi sebuah problematika dan isu  yang sulit dalam teologi Islam. Karena Muslim menghormati Alquran sebagai mukjizat dan tak bisa ditiru,’’ ujar Afnan Fatani (2006) dalam "Translation and the Qur'an". Terlebih,  kata-kata dalam Alquran memiliki berbagai arti tergantung pada konteks, sehingga untuk membuat sebuah terjemahan yang akurat amatlah sulit.

Menerjemahkan Alquran bukanlah usaha untuk menduplikasi atau mengganti teks Alquran yang asli. Kedudukan terjemahan dan tafsir yang dihasilkan manusia tidak sama dengan Alquran itu sendiri. Keaslian dan kemurnian Alquran dijaga oleh tangan Ilahi.

‘’Sesungguhnya Kami-lah yang menurunkan Alquran, dan sesungguhnya kami benar-benar memeliharanya.’’ (QS Al-Hijr [15]:9). ‘’Usaha manusia dalam menterjemahkan bahasa ilahiyah sangat tergantung pada kapasitas manusia itu sendiri,’’ ungkap Ziyadul Ul Haq dalam bukunya Psikologi Qurani.

Lalu sejak kapan upaya penerjemahan Alquran ke dalam bahasa lain mulai dilakukan? Menurut Afnan Fatani (2006) dalam "Translation and the Qur'an". Upaya menerjemahkan ayat-ayat Alquran boleh dibilang pertama kali dilakukan pada era Rasulullah SAW. Suatu hari, Nabi Muhammad pernah berkirim surat kepada dua penguasa, yakni Kaisar Negus dari Abysssinia dan Kaisar Heraclius dari Bizantium.

‘’Dalam surat itu, Rasulullah mencantumkan ayat-ayat dari Alquran,’’ papar Afnan. Dalam sebuah sarasehan ilmiah bertajuk ‘’Melacak Sejarah Penerjemahan Alquran’’ yang diselenggarakan Universitas Islam Madinah Al Munawwarah akhir 2007 lalu, terungkap bahwa pertama kali penerjemahan surah Alquran  dilakukan ke dalam bahasa Persia.
Guru Besar Sastra Arab Universitas Islam Madinah Al Munawwarah, Syekh Tamir Salum, mengungkapkan, berdasarkan data sejarah, permintaan untuk menerjemahkan Alquran diajukan oleh umat Islam dari Persia. Mereka memohon kepada Salman Al-Farisi untuk menerjemahkan kepada mereka beberapa ayat Alquran.

‘’Salman kemudian menerjemahkan untuk Muslim Persia tersebut surat Al-Fatihah. Salman merupakan salah seorang sahabat Nabi SAW yang berasal dari non-Arab. Ia berasal dari desa Ji di Isfahan, Persia,’’ papar Syekh Salum. Menurut dia, terjemahan yang terbanyak dan diulang berkali-kali adalah ke bahasa Melayu, Indonesia dan Turki.

Versi lengkap
Sedangkan, penerjemahan Alquran secara lengkap pertama kali dilakukan pada  884 M di Alwar (Sindh, India sekarang bagian dari Pakistan). Terjemahan Alquran tersebut, sebagaimana dikutip dari laman Wikipedia, dibuat atas perintah Khalifah Abdullah bin Umar bin Abdul Aziz. Saat itu, penguasa Hindu, Raja Mehruk memohon agar kitab suci umat Islam itu diterjemahkan.

Sebuah terjemahan Alquran berbahasa Persia dari abad ke-11 M juga telah ditemukan. Namun hingga saat ini tidak diketahui siapa pemilik karya terjemahan yang diberi judul Qur'an Quds ini. Afnan menambahkan, seorang cendekiawan terkemuka Shah Waliullah juga pernah menerjemahkan Alquran secara lengkap kedalam bahasa Persia.
Sedangkan, Shah Rafiuddin dan Shah Abdul Qadir menerjemahkan Alquran secara lengkap ke dalam bahasa Urdu. ‘’Pada 1936, barulah terdapat terjemahan Alquran ke dalam 102 bahasa yang ada di dunia,’’ papar Afnan.

Syekh Salum memaparkan, Alquran  telah diterjemahkan ke berbagai bahasa Eropa dan disusul ke dalam bahasa bangsa-bangsa Asia. Namun, kata dia, sangat disayangkan masih adanya perbedaan antara terjemahan Alquran di negara-negara Asia dan Eropa.

‘’Perbedaan tersebut terjadi karena di Eropa banyak terjadi distorsi, baik berupa penambahan atau pun pengurangan. Selain itu, orang-orang Eropa menganggap Alquran sebagai teks biasa, tidak sama dengan orang-orang Asia yang sangat menjunjung tinggi kesucian Alquran,’’ tutur Syekh Salum.

Penerjemahan Alquran ke berbagai bahasa Afrika, ungkap Salum, baru dilakukan pada saat para penjajah Barat datang ke benua hitam itu. Yang melatarbelakangi upaya penerjemahan tersebut, kata dia, adanya desakan dan permintaan kaum Muslimin Afrika karena kebutuhan yang mereka rasakan.

Dibukukan
Upaya pembukuan karya terjemahan Alquran mulai dilakukan oleh orang-orang Eropa pada abad ke-12 M. Adalah Kepala biara Gereja Cluny, Petrus Agung atau Peter The Venerable asal Prancis, menurut el-Hurr dalam tulisannya yang berjudul "Barat dan Alquran: Antara Ilmu dan Tendensi", yang pertama kali menerjemahkan Alquran secara tertulis pada 1143 M.

Dibantu seorang teolog abad pertengahan berkebangsaan Inggris, Robertus Ketenensis atau juga dikenal dengan nama Robert dari Ketton, dan Hermannus Dalmatin atau juga dikenal dengan nama Herman dari Carinthia, Petrus Agung kemudian menerjemahkan teks Alquran ke dalam bahasa Latin yang diberi judul 'Lex Mahumet Pseudoprophete'.
Menurut el-Hurr, Petrus Agung menerjemahkan Alquran untuk mendapatkan pengetahuan tentang kitab suci umat Islam yang pada zamannya menjadi agama yang berkembang pesat di Andalusia, Spanyol. Salinan terjemahan tersebut sekitar empat abad lamanya hanya dimiliki oleh pihak gereja untuk dipelajari dan tidak diizinkan dicetak di luar gereja dengan alasan supaya umat Kristen tidak mempunyai kesempatan mempelajari Alquran terjemahan tersebut, hingga tidak akan ada penganut Kristen yang murtad dari agamanya.

Pertengahan abad ke-16 M, tepatnya 1543, di bawah pengawasan seorang berkebangsaan Swiss bernama Theodor Bibliander, terjemahan ini kemudian dicetak ulang untuk pertama kalinya. Pada 1550, untuk kedua kalinya terjemahan Alquran ini dicetak ke dalam tiga jilid, meskipun terdapat banyak kesalahan dan kekeliruan yang tidak sedikit dalam terjemahan karya Petrus itu.

Meski begitu, terjemahan Alquran karya Petrus tersebut dapat diterima oleh bangsa Eropa, dan dalam waktu singkat menyebarluas di tengah-tengah masyarakat non-Muslim.


KENABIAN DALAM AL-QUR’AN

Pendahuluan Salah satu rukun iman yang wajib diimani oleh umat Islam adalah percaya kepada para nabi yang telah diutus oleh Allah kepada umat manusia. Sebab, merekalah yang menyampaikan risalah ketuhanan dari Allah. Mereka berperan sebagai Hermes, yang menyampaikan dan menafsirkan pesan-pesan Tuhan yang absolut dan mutlak kepada manusia sebagai makhluk relatif dengan menggunakan bahasa yang mudah dimengerti oleh mereka. Dengan demikian, posisi seorang nabi sangat decisive dalam agama, khususnya agama Islam. Artikel ini mencoba mengkaji terma kenabian yang terdapat dalam al-Qur’an, terutama berkaitan dengan fungsi kenabian, dengan menggunakan pendekatan tematik (mawdlu’y). Ayat-ayat yang memuat materi tentang nabi dan misinya diambil dan dikumpulkan kemudian dipilih dan dicari hubungan maknanya yang mengacu pada persoalan fungsi diutusnya seorang nabi dan rasul. Selain itu, dilihat bagaimana penafsiran yang telah dilakukan oleh para mufasir terdahulu berkaitan dengan ayat-ayat tersebut. Ada beberapa hal yang menjadi pertimbangan dalam membahas persoalan ini. Pertama, nabi merupakan sosok sentral dalam agama yang menjadi figur perantara antara pikiran Tuhan dengan pikiran manusia.[2] Kedua, ada berbagai penafsiran tentang terma nabi sehingga memunculkan adanya perbedaan pendapat tentang apa dan siapa yang disebut nabi itu. Sebagai contoh beberapa pendapat menganggap bahwa Sang Budha adalah sebagai nabi, sementara yang lain menganggap tidak. Ketiga, dalam tubuh umat Islam sendiri pun ada aliran yang memaknai terma nabi secara berbeda. Sebagai misal Gerakan Ahmadiyah Qadliyan yang menganggap masih ada nabi setelah Muhammad, yakni Mirza Ghulam Ahmad. Dengan beberapa pertimbangan tersebut, maka artikel ini akan mengkaji terma nabi yang terdapat dalam al-Qur’an. Beberapa persoalan yang akan dikaji dalam hal ini yaitu pengertian Nabi, sejarah kenabian, istilah nabi dalam al-Qur’an, fungsi dan misi kenabian.
Kenabian dalam Sejarah Dalam kepercayaan Islam, sebelum Muhammad saw, orang yang bertugas sebagai nabi memang banyak. Dalam cerita yang banyak menghiasi tafsir al-Qur’an, ada pendapat yang mengatakan bahwa jumlah nabi sekitar 124.000 orang, di antaranya 315 orang berkedudukan sebagai rasul.[3] Tetapi al-Qur’an sendiri hanya mengatakan, “Kami mengutus beberapa utusan sebelum engkau (Muhammad). Di antara mereka itu ada yang telah Kami ceritakan kepadamu, dan ada pula yang tidak Kami ceritakan kepadamu.”[4] Kandungan ayat ini memang bisa ditafsirkan, bahwa jumlah nabi itu memang banyak dan hanya sebagian saja yang disebut dalam al-Qur’an.
Meskipun jumlah nabi mencapai ratusan ribu dan rasul mencapai ratusan, namun di dalam al-Qur’an, yang disebut secara eksplisit hanya 25 nabi dan rasul saja yang tersebar di berbagai surat. Mereka itu adalah Adam,[5] Idris,[6] Nuh,[7] Hud,[8] Shalih,[9] dan Ibrahim.[10] Selain itu, terdapat juga nama-nama seperti Luth,[11] Ismail,[12] Ishaq,[13] Ya’qub,[14] Yusuf,[15] Ayyub,[16] Syu’ayb,[17] Musa,[18] Harun,[19] Dzu ‘l-Kifl,[20] Dawud,[21] Sulayman,[22] Ilyas,[23] Ilyasa’,[24] Yunus,[25] Zakariya,[26] Yahya,[27]
‘Isa,[28] dan Muhammad.[29] Di antara nabi itu terdapat 5 orang rasul yang mempunyai kelebihan yang disebut ulu al-‘azm, yang berarti “orang yang berhati teguh” dan memiliki kesabaran yang tangguh.[30] Mereka adalah Muhammad, Ibrahim, Musa, ‘Isa, dan Nuh. Daftar nama nabi-nabi secara tidak berurutan disebutkan dalam al-Qur’an dalam surat alAn’am (6): 84-86, yang artinya : Dan itulah hujjah Kami yang diberikan kepada Ibrahim untuk menghadapi kaumnya. Kami tinggikan siapa yang Kami kehendaki beberapa derajat. Sesungguhnya Tuhanmu Maha Bijaksana dan Maha Mengetahui. Dan Kami telah menganugerahinya Ishaq dan Ya’qub. Kepada keduanya masing-masing telah Kami berikan petunjuk dan kepada Nuh di masa sebelumnya juga telah Kami beri petunjuk, dan kepada sebahagian dari keturunannya (Nuh), yakni Dawud, Sulayman, Ayyub, Yusuf, Musa, dan Harun.
Demikianlah Kami memberi balasan kepada orang-orang yang berbuat baik. Dan Zakariya, Yahya, ‘Isa dan Ilyas. Semuanya termasuk orang-orang yang saleh. Dan Ismail, Ilyasa’, Yunus dan Luth. Masing-masing Kami lebihkan derajatnya di atas umat umumnya di masanya. Tentang ayat tersebut Muhammad Rasyid Ridla memberikan ulasan menarik mengenai maksud Allah mengurutkan nama demikian. Ridla membagi kelompok nabi tersebut ke dalam tiga bagian. Bagian pertama, yaitu terdiri dari Dawud, Sulaiman, Ayyub, Yusuf, Musa, dan Harun. Kelompok ini diberikan oleh Allah kerajaan dan kedudukan dalam pemerintahan, bersama dengan nubuwwah dan risalah. Dawud dan Sulaiman merupakan raja yang kaya dan penuh dengan nikmat.[31] Ayyub dan Yusuf masing-masing adalah menjadi seorang amir yang kaya, besar, dan muhsin dan menjadi seorang wazir agung. Nabi Musa dan Harun menjadi seorang hakim namun bukan seorang raja. Keduanya, menurut Ridla lebih utama dalam hal hidayah agama daripada Ayyub dan Yusuf, dan Ayyub dan Yusuf lebih utama daripada Dawud dan Sulaiman.[32] Kelompok kedua yakni terdiri dari Zakariya, Yahya, ‘Isa, dan Ilyas. Mereka sama-sama terkenal dalam kezuhudannya di dunia dan tidak menyukai kesenangan perhiasan, kekuasaan, dan harta. Dan, bagian yang terakhir yaitu kelompok Isma’il, Ilyasa’, Yunus, Luth, dan yang lainnya disebutkan tidak termasuk kelompok yang pertama maupun kedua. Selain itu, sebagian daftar nama para nabi disebut juga terdapat dalam surat lain, yaitu dalam al-Qur’an surat al-Nisa’ (4): 163. Sedangkan nama nabi-nabi lain disebut secara terpencar di berbagai ayat dan surat. Menurut Hadiyah Salim, Khaidlr termasuk salah seorang nabi yang ilmunya lebih tinggi dari Musa.[33] Namun, ia bukanlah seorang rasul. Bey Arifin[34] bahkan menyebut ‘Uzair yang ada dalam al-Qur’an[35] sebagai nabi. Muhammad Ali menyebut nama lain, yaitu Luqman dari Ethiopia dan Dzu al-Qarnayn sebagai nabi.[36] Hal yang masih diperdebatkan hingga kini adalah apakah Adam itu seorang nabi, rasul, manusia pertama, atau ketiga-tiganya ? Bahkan muncul pertanyaan apakah Adam itu tokoh historis ataukah hanya simbolis saja ? Sebagian pendapat mengatakan bahwa alQur’an tidak secara tegas menyebut Adam sebagai nabi, melainkan sebagai khalifah fi alardl, wakil Tuhan di bumi.[37] Namun, karena alasan bahwa ia seorang khalifah di muka bumi itulah, maka ia dapat digolongkan sebagai seorang nabi atau rasul. Pengertian Nabi Istilah nabi berasal dari kata naba’, yang berarti warta (news), berita (tidings), cerita (story), dan dongeng (tale).[38] Ini tentu saja dimengerti sebagai kata yang berasal dari bahasa Arab. Dalam al-Qur’an, kata nabi, yang jamaknya nabiyun atau anbiya’, berasal dari satu akar kata yang sama yaitu naba’ (n-b-‘), bersama dengan beberapa kata yang lain seperti nubuwah (prophecy, ramalan dan prophethood, kenabian), nabba’a dan anba’a (to tell atau bercerita) dan istanba’a (meminta untuk diceritakan).[39] Kata nabi disebut sebanyak 75 kali dalam 20 surat, sedangkan kata naba’ sendiri disebut sebanyak 29 kali dalam 21 surat. Salah satu ayat yang menyebut kata nabi adalah terdapat dalam surat Maryam (19): 3031, yang artinya : Berkata ‘Isa: “Sesungguhnya, aku adalah hamba Allah. Dia memberikan sebuah Kitab dan Dia menjadikan aku seorang nabi. Dan Dia menjadikan aku seorang yang diberkati di mana saja aku berada, dan Dia memerintahkan kepadaku mendirikan shalat dan menunaikan zakat selama aku hidup; dan memberkati ibuku, dan Dia tidak menjadikan aku seorang yang sombong lagi celaka; Dan kesejahteraan semoga dilimpahkan kepadaku, pada hari aku dilahirkan, dan pada hari aku meninggal dan pada hari aku dibangkitkan hidup kembali.” Dalam ayat ini ‘Isa menjelaskan dirinya sendiri sebagai seorang hamba Allah biasa, maksudnya bukan putra Allah, dia telah pula diberi Kitab, yakni Injil dan ditetapkan sebagai seorang nabi. Dengan begitu, ‘Isa adalah orang yang diberkati Allah dan ia merasakan berkat itu. Tetapi ia mendapat misi kenabian, yang tujuannya adalah untuk menegakkan shalat dan menunaikan zakat. Seperti dijelaskan sebelumnya bahwa pengertian tentang istilah nabi, berkaitan dengan kata naba’ yang maknanya berita, kabar, warta atau cerita. Makna sesungguhnya dari kata naba’ ini perlu dilihat dalam konteks ayat-ayat al-Qur’an sendiri,[40] seperti misalnya dalam surat Alu Imran (3): 43, yang artinya: Inilah sebagian berita (naba’) yang Kami wahyukan kepadamu. Dan engkau tidak berada di antara mereka tatkala mereka melemparkan pena mereka (untuk menentukan) siapa di antara mereka yang akan memelihara Maryam, dan engkau tidak berada di antara mereka tatkala mereka bertengkar satu sama lain. Dalam penjelasan ensiklopedia karya Cyril Glasse, The Concise Encyclopedia of Islam, makna nabi adalah seorang yang menjalankan tugas kenabiannya dalam kerangka wahyu yang telah ada, berlawanan dengan rasul, yang membawa wahyu baru.[41] Rasul, secara harfiah berarti pesuruh atau diutus. Kata jamaknya adalah rusul. Al-Qur’an sering pula menyebut para rasul itu dengan istilah al-mursalin, yaitu “mereka yang diutus”. Seorang rasul, menurut Glasse mengemban misi membawa religi baru atau wahyu baru dalam konteks masyarakatnya. Mereka itu disebut juga ulu al-‘azm.[42] Menurut al-Tabary, disebut ulu al-‘azm karena mereka mempunyai kesabaran dan keuletan dalam menghadapi berbagai cobaan ketika menyampaikan amr al-ma’ruf nahy al-munkar.[43] Al-Qur’an tidak secara spesifik menyebut para rasul ini di antara para nabi. Tetapi para ahli tafsir menyebut Nabi-nabi seperti Nuh a.s., Ibrahim a.s., Musa a.s., ‘Isa a.s., dan Muhammad s.a.w. sebagai Nabi-nabi dengan kualitas itu.[44] Rasul, biasanya berkaitan atau dekat dengan umatnya, seperti yang dijelaskan dalam al-Qur’an s. Yunus/10:47, yang artinya: Tiap-tiap umat mempunyai rasul; maka apabila telah datang rasul mereka, diberikanlah keputusan di antara mereka dengan adil dan mereka (umat) itu sedikit pun tidak dianiaya. Berkaitan dengan ayat tersebut Ibn Kathir dalam tafsirnya mengatakan bahwa diutusnya seorang rasul oleh Allah dengan membawa ajaran dari Tuhan sebagaimana yang tertuang dalam kitab yang dibawanya. Di dalamnya terkandung ajaran mengenai hal-hal yang baik untuk dikerjakan dan yang jelek untuk ditinggalkan. Ketika membawa ajaran ini, nabi senantiasa dijaga oleh Allah melalui utusannya yang bernama malaikat.[45] Menurut al-Tabary, berkaitan dengan ayat tersebut, seorang rasul diutus oleh Allah untuk mengajak kepada agama Allah dan mentaati-Nya. Maka, ketika di akhirat kelak tidak ada alasan bagi umat manusia (suatu kaum) untuk mengatakan bahwa mereka (manusia) belum pernah diajak untuk taat kepada Tuhan, sebab pada saat itulah Tuhan akan membalas setiap amal perbuatan manusia. Bagi yang beramal kebajikan akan dibalas dengan surga. Golongan ini oleh al-Tabary disebut sebagai orang beriman. Sedangkan bagi mereka yang beramal kejelekan akan dibalas dengan siksa di neraka. Golongan ini oleh al-Tabary disebut dengan orang kafir. Inilah letak keadilan Tuhan dalam ayat tersebut.[46] Sebagai contoh dari ayat tersebut adalah Nabi Musa dan Harun yang dikirim oleh Allah pada bangsa Israil yang ditindas oleh Fir’awn. Misi utamanya adalah untuk membebaskan bangsa Isra’il dari penindasan dan membangun suatu umat baru yang berdasarkan pada syari’at Allah di tempat lain yang dijanjikan. Bagi mereka yang mengikuti ajaran Musa dan Harun maka akan selamat dari siksa neraka, sedangkan bagi mereka yang tidak taat akan dimasukkan ke neraka. Hanya saja, sebelum era Muhammad, mayoritas umat yang membangkang dan tidak taat terhadap ajaran yang dibawa oleh para nabi langsung diberi peringatan oleh Allah berupa bencana atau semacamnya.[47] Sedangkan bagi umat Muhammad tampak berbeda dengan kaum sebelumnya, di mana masih “diberi kesempatan” oleh Allah untuk bertobat, atau siksa akan diberikan ketika di akhirat, meskipun ada indikasi bahwa Allah juga memberikan siksa secara langsung kepada mereka yang tidak mau membaca ayat-ayat-Nya, seperti kasus penyakit AIDS yang belum ada obatnya bagi mereka yang tidak mau menjaga kemaluannya. Kata nabi berasal dari kata naba’ (jamaknya: anbiya’) yang artinya, menurut Mawlana Muhammad ‘Ali adalah “pemberitahuan yang besar faedahnya,” yang menyebabkan orang mengetahui sesuatu.[48] Imam al-Raghib al-Asfahany dalam kitabnya al-Mufradat fi Gharib al-Qur’an menambahkan bahwa berita itu bukanlah sembarang berita, tetapi berita yang tidak mungkin salah. Tentang istilah nabi ini, Gibb dan Kramers memberikan keterangan lain.[49] Mereka mengatakan bahwa istilah ini merupakan pinjaman dari kata Ibrani, nabi dan Aram n-b-a. Istilah ini baru muncul pada ayat-ayat dalam periode Makkah kedua. Tetapi keduanya tidak menjelaskan apa arti kata itu. Memang, al-Qur’an sering meminjam istilah-istilah non-Arab, seperti bahasa Ibrani. Tetapi setelah ditampilkan dalam al-Qur’an, istilahistilah itu selalu mengandung muatan makna baru yang berbeda dari arti lamanya. Dalam al-Qur’an, kata nabi dan rasul memang dipergunakan secara bergantian. Untuk membedakan artinya, ulama melihat pada arti katanya. Dari asal katanya, istilah nabi menekankan segi kesanggupannya menerima berita Ilahi (wahyu), sedangkan kata rasul menekankan pada misinya untuk menyampaikan risalah atau nubuwah pada manusia, walaupun rasul, atau utusan, adakalanya bukan manusia, melainkan juga malaikat.[50] Dengan demikian seorang nabi menerima wahyu hanya untuk dirinya sendiri, sedangkan seorang rasul menerima wahyu untuk disampaikan kepada umat manusia. Salah satu keterangan tentang terma nabi dan rasul dalam al-Qur’an diberikan oleh alQur’an surat al-An’am (6): 89, yang artinya: Mereka adalah orang-orang yang telah Kami beri kitab, hukum dan ramalan (nubuwah). Karena itu jika mereka menolak hal (tiga kriteria) itu, niscaya Kami akan menyerahkannya kepada kaum yang sekali-kali tidak mengingkarinya. Ayat di atas memberikan penjelasan bahwa nabi itu mempunyai tiga kriteria. Pertama, menerima wahyu yang kemudian terhimpun dalam suatu kitab. Kedua, membawa hukum atau syari’at sebagai pedoman cara hidup, karena itu maka teladan nabi dan rasul itu merupakan sumber hukum. Dan ketiga, berkemampuan memprediksi berbagai hal di masa yang akan datang, sebagaimana terlihat pada Nabi Nuh, Ibrahim atau Luth yang telah memperingatkan umatnya, sekalipun telah didustakan. Nabi Muhammad sendiri, berdasarkan wahyu Ilahi pernah meramalkan dengan tepat kekalahan Persi dalam berperang melawan Roma. Karena itu maka ayat selanjutnya mengatakan: “mereka itulah orang-orang yang telah diberi petunjuk oleh Allah, maka ikutilah petunjuk mereka.”[51] Nabi Muhammad s.a.w. sendiri juga belajar dari pengalaman nabi-nabi dan rasul-rasul sebelumnya dalam perjuangannya.
Menurut al-Tabary, ayat dari surat al-An’am tersebut sangat terkait dengan ayat sebelumnya[52] yang membicarakan tentang diutusnya para nabi untuk menyampaikan risalah dari Tuhan yang berupa agama Islam kepada umat manusia.[53] Risalah tersebut tertuang dalam kitab-kitab para nabi seperti suhuf Ibrahim dan Musa, kitab Zabur (Nabi Dawud), kitab Injil (Nabi Isa), dan kitab al-Qur’an (Nabi Muhammad). Di dalam kitab- kitab tersebut terdapat hukum-hukum dari Tuhan. Al-hukm dalam ayat tersebut diartikan dengan al-lubb dan al-‘aql. Sedangkan al-nubuwah diartikan dengan persaksian.[54]
Nabi dan Rasul Utusan-utusan Allah kepada umat manusia oleh al-Qur’an dinamakan nabi dan rasul.[55] Tidak seperti yang terdapat dalam Bibel, di dalam al-Qur’an Nabi yang “menyampaikan khabar” tidak berarti “yang menerangkan keadaan di masa mendatang”, tetapi “yang menyampaikan khabar dari Allah”. Nabi diutus Allah untuk mencegah kejahatan dan menyampaikan kabar gembira kepada orang-orang yang saleh. Itulah sebabnya mengapa istilah-istilah “yang menyampaikan kabar gembira” dan “yang menyampaikan peringatan” sering dinyatakan al-Qur’an, terutama sekali di masa-masa awal kenabian Muhammad.[56] Rasul berarti “utusan”, yang diutus oleh Allah kepada umat manusia walaupun di dalam al-Qur’an perkataan rasul kadang-kadang dikenakan juga kepada malaikat yang menyampaikan wahyu dari Allah kepada Nabi; di dalam pengertian yang terakhir ini istilah sufara’ (plural dari safir yang berarti “duta”) hanya dipergunakan sekali saja, yaitu di dalam surat ‘Abasa (80): 15.[57] Secara tradisional para mufasir Muslim membuat sebuah perbedaan di antara nabi dengan rasul: nabi adalah utusan Allah yang tidak membawakan hukum (syari’ah) dan, mungkin pula, kitab Allah kepada manusia; sedang rasul adalah utusan Allah yang membawakan hukum dan kitab Allah. Walaupun perbedaan yang tegas ini masih dapat diragukan kebenarannya karena alQur’an menyebutkan tokoh-tokoh religius tertentu sebagai nabi dan rasul (misalnya lihat Q.S. al-A’raf (7): 158;[58] Q.S. Maryam (19): 51,[59] 54[60]), namun jelas sekali di antara keduanya ada perbedaan; misalnya seperti yang terlihat di dalam ayat-ayat: “Dan Kami tidak mengutus rasul atau nabi sebelum engkau.”[61] Kemudian perbedaan inipun terlihat di dalam kenyataan bahwa perkataan nabi semakin sering dipergunakan di dalam al-Qur’an sejak periode Makkah yang terakhir dan periode Madinah.[62] Kesimpulannya, sebutan rasul menunjukkan peranan yang lebih penting daripada seorang nabi. Seorang nabi dapat berperan sekedar sebagai pembantu rasul, misalnya Harun yang berperan sebagai pembantu Musa (Q.S. Maryam (19): 51, 53[63]), walaupun rasul-rasul (atau lebih tepatnya : mursal, “yang diutus”) dapat ditugaskan Allah secara bersama-sama.[64] Menurut Ibn Kathir, yang dimaksud dengan para rasul ditugaskan secara bersama-sama adalah dalam rangka menyampaikan keimanan kepada Allah. Semua nabi dan rasul mempunyai misi yang sama yang satu sama lain saling menguatkan. Hal ini dapat dilihat dari ajaran yang terkandung dalam kitab-kitab yang diberikan kepada mereka tidak ada yang saling bertentangan, kecuali yang telah ada campur tangan manusia untuk merubah kitab tersebut.[65] Walaupun kenabian itu tidak dapat dipecah-pecah,[66] namun tidak semua nabi mempunyai tingkatan yang sama, karena di dalam al-Qur’an dikatakan “Kami telah membuat nabi-nabi tertentu lebih tinggi daripada yang lain-lainnya”[67] dan Nabi Muhammad disuruh “bersabar (di dalam menghadapi cobaan-cobaan) seperti kesabaran rasul-rasul yang teguh.”[68]
Misi Kenabian Menurut Muthahari, secara garis besar ada dua misi utama dari seorang Nabi.[69] Pertama, mengajak umat manusia ke arah pengakuan terhadap Tuhan dan pendekatan diri kepada-Nya. Kedua, menegakkan keadilan dan kesederajatan dalam masyarakat manusia. Misi pertama mengacu pada surat al-Ahzab (33): 45-46, yang artinya, “Wahai Nabi, sesungguhnya Kami mengutusmu untuk menjadi saksi, dan pembawa kabar gembira serta pemberi peringatan, dan untuk menjadi penyeru kepada agama Allah dengan izin-Nya, dan sebagai cahaya yang menerangi.” Sedangkan misi kedua mengacu pada surat alHadid (57): 25, yang berarti, “Sesungguhnya Kami telah mengutus rasul-rasul Kami dengan membawa bukti-bukti yang nyata, dan telah kami turunkan bersama mereka al- Kitab dan neraca supaya manusia dapat melaksanakan keadilan.” Berkaitan dengan misi nabi yang pertama, yakni mengajak kepada ketauhidan, sebagaimana tersirat dalam surat al-Ahzab: 45 tersebut, Ibn Kathir dalam tafsirnya mengatakan bahwa ayat tersebut berkaitan dengan sifat yang dimiliki oleh Nabi Muhammad yang terdapat dalam Kitab Taurat.[70] Menurut al-Qurtuby, ayat ini dimaksudkan untuk memulyakan nabi dan kaum mukmin. Nabi mempunyai enam nama atau sebutan, yakni Muhammad, Ahmad, al-Mahiy, al-Hashir, dan al-‘Aqib.[71] Berkaitan dengan surat al-Hadid: 25, al-Tabattaba’i menyatakan bahwa tujuan Allah mengutus seorang rasul dan menurunkan al-Kitab serta Mizan adalah untuk menegakkan keadilan bagi sesama manusia atau untuk menegakkan masyarakat yang adil. Selain itu, ayat tersebut juga mengandung pengertian bahwa diutusnya seorang rasul oleh Allah adalah untuk menguji mereka dalam mempertahankan kebenaran dalam masyarakat.[72] Yang dimaksud dengan mizan di sini adalah agama Islam itu sendiri yang mengatur persoalan akidah dan muamalah. Dengan demikian, tujuannya tidak lain kecuali untuk mencari kebahagiaan hidup baik secara sosial maupun individual ketika di dunia dan di akhirat.[73] Menurut al-Tabattaba’i lebih lanjut bahwa diutusnya seorang rasul disertai dengan bukti yang berupa kitab dan mizan yang dengan itu mereka dapat menegakkan keadilan di antara umat manusia. Ini berarti bahwa para rasul datang untuk menyampaikan ajaran tauhid serta muamalah. Dengan demikian, misi seorang rasul mempunyai dua dimensi, yaitu dimensi horizontal dan dimensi vertikal. Dimensi yang pertama berkaitan dengan aturan bagaimana melakukan muamalah antar sesama makhluk termasuk manusia.
Dimensi ini diperlukan agar ketika manusia melakukan muamalah dengan sesamanya bisa berbuat adil, tidak saling merugikan antara satu dengan yang lain.[74] Sedangkan dimensi yang kedua berkaitan dengan bagaimana berhubungan dengan Tuhan, yakni menyangkut persoalan ibadah. Al-Maraghy ketika menafsirkan surat al-Hadid tersebut mengatakan bahwa alasan para rasul diberi al-bayyinat, al-kitab, dan al-mizan, adalah ingin menunjukkan dan membuktikan bahwa mereka memang diutus oleh Allah untuk menyampaikan kebenaran.
[75] Adapun yang terkandung di dalam kitab dan mizan tersebut adalah ajaran dari Allah untuk menegakkan ketauhidan dan keadilan sehingga tercapai kebahagiaan hidup di dunia dan di akhirat. Senada dengan Mutahari, Afzalur Rahman berpendapat bahwa fungsi utama para nabi dan rasul adalah untuk memperkenalkan ajaran tauhid dan memperingatkan manusia agar melaksanakan tugas dan tanggung jawabnya terhadap Allah dan sesama manusia.[76] Secara umum, menurut Rahman, ada dua tugas seorang nabi, yaitu tugas terhadap Tuhan dan tugas terhadap sesama manusia. Tugas yang pertama dapat dicermati dari berbagai ayat al-Qur’an seperti Q.S. al-Mu’minun (23): 23,[77] Q.S. al-Zukhruf (43): 26-27,[78] dan Q.S. al-Baqarah (2): 21.[79] Sedangkan tugas yang kedua yaitu untuk membebaskan pikiran manusia dari semua takhayul dan mengajak manusia untuk mengamati, menganalisa, dan mengambil kesimpulan/pelajaran dari penalaran deduktif.[80] Tugas yang kedua ini sangat terkait dengan bagaimana membentuk character building. Untuk itu, ada dua hal penting mengenai hal ini, yaitu taqwa dan tazkiyah. Misi yang kedua, yaitu misi kepada sesama manusia jika dilihat dari surat al-Baqarah (2): 151[81] maupun al-Jum’ah (62): 2,[82] ada tiga hal yang menjadi tugas seorang rasul. Pertama, membacakan ayat-ayat[83] Tuhan. Kedua, mensucikan, tazkiyah, hati manusia. Ketiga, mengajarkan kepada umat manusia tentang Kitab dan Hikmah.[84] Secara umum misi seorang nabi/rasul ada dua. Pertama adalah mengajak manusia kepada Tuhan, mengenal-Nya dan mendekatkan diri kepada-Nya adalah monotheisme teoritis dan monotheisme praktis yang bersifat individual. Monoteisme teoritis berkaitan dengan ilmu bagaimana bertauhid, sedangkan monoteisme praktis sangat terkait dengan bagaimana menerapkan ilmu tersebut. Misi kedua adalah menegakkan keadilan di tengah-tengah masyarakat, yang berarti menegakkan monotheisme praktis yang bersifat sosial. Munculnya wacana pemikiran kontemporer tentang terma tauhid individual dan tauhid sosial tampaknya sangat sejalan dengan misi seorang rasul tersebut.
Pasca Kenabian : Tugas Siapa ?
Di antara para nabi dan rasul, Nabi Muhammad dianggap sebagai nabi dan rasul yang terakhir (khatam al-anbiya’ wa al-mursalin). Sesudahnya sudah tidak ada lagi nabi. Hal ini didasarkan pada Q.S. al-Ahzab (33): 40, yang artinya: “Dan Muhammad bukanlah ayah seorang dari orang-orang kamu, melainkan dia adalah utusan Allah dan pamungkas para nabi (khatam al-nabiyin). Dan Allah senantiasa Yang Maha Tahu akan segala sesuatu.” Kata khatam dipakai dalam ayat ini dan bukannya khatim, karena yang dimaksud adalah bahwa Nabi Muhammad bukan sekedar nabi terakhir atau penutup, melainkan juga mengandung arti menggenapi, melengkapi atau menyempurnakan. Hal ini dapat dilihat dari surat al-Ma’idah (5); 3[85] yang merupakan wahyu terakhir yang diturunkan kepada Nabi Muhammad. Berkaitan dengan berakhirnya rangkaian jalur kenabian pada diri Muhammad, maka yang menjadi persoalan selanjutnya adalah siapa yang berhak dan bertanggung jawab meneruskan misi kenabian sebagaimana yang tertuang dalam kitab alQur’an ? Menurut hadis Rasulullah dikatakan bahwa sebagai pewaris para nabi adalah para ulama (al-‘ulama warathat al-anbiya’).[86] Yang diwariskan oleh para nabi kepada ulama tidak lain adalah misinya. Dalam hal ini, karena Nabi Muhammad merupakan nabi terakhir dan telah mengajarkan agama yang sempurna, maka tugas para ulama adalah meneruskan misi kenabian Muhammad tersebut sebagaimana yang telah terkandung di dalam kitab al-Qur’an. Selain itu, mengingat posisi dan fungsi Rasulullah sendiri sebagai suri tauladan bagi umat manusia, maka konsekuensinya semua yang datang dari diri Rasulullah harus diikuti, dalam hal ini yaitu sunnah, atau meminjam istilah Fazlur Rahman yakni living sunnah, -nya. Mengingat konteks masa yang dihadapi oleh Rasulullah dengan umatnya sangat berbeda, maka ulama dituntut kejelian dan kepandaiannya untuk menafsirkan apa yang terkandung dalam al-Qur’an dan al-Sunnah sehingga ajaran Islam senantiasa aktual dengan perkembangan zaman, salih likulli zaman wa makan. Inilah yang barangkali disebut dengan peran ulama sebagai pembaharu, bukan dalam pengertian membuat ajaran baru, namun memperbarui pemahaman terhadap ajaran al-Qur’an dan al-Sunnah. Ulama tidak harus dimaknai secara sempit sebagai orang yang hanya mengetahui ajaran agama sebagaimana yang terkandung dalam aspek fiqh saja, namun ulama harus mempunyai wawasan yang luas selain agama. Sebab, agama Islam tidak hanya menyangkut persoalan ritual saja, namun juga mengembangkan, menyebarkan, dan melestarikan aspek-aspek non-ritual. Dalam istilah sekarang, para cendekiawan termasuk ke dalam kelompok ulama, sebab mereka adalah orang yang terlibat dalam data dan gagasan analitis, orang yang bergelut dalam penerapan praktis, dan orang yang berjuang untuk menyebarkan dan menegakkan gagasan normatif.[87] Mereka bukan saja harus mengandung pengertian sejenis pemikiran tertentu, tetapi juga ada hubungannya dengan socio-cultural dissent, bahwa dengan pencerahan ilmiah, mereka terdorong untuk memberikan kontribusi praktis bagi masyarakatnya, dan karena keterikatannya pada nilainilai yang dimuliakannya (ajaran Islam), mereka cenderung kecewa terhadap kemapanan yang dianggap statis. Inilah orang yang oleh Ali Syariati disebut dengan raushan fikr, orang tercerahkan. berkaitan dengan pendapat di atas, meminjam istilah Iqbal, bahwa ulama harus mempunyai kesadaran kenabian (prophetic consciousness), di mana cakrawala larut dalam dirinya, bukan kesadaran mistik (mystical consciousness), yakni ketika ia larut dalam cakrawala.[88] Hal ini menuntut keaktifan seorang ulama untuk selalu responsif terhadap perkembangan dan tuntutan jaman dalam kerangka mengkontekstualisasikan ajaran Islam.
Penutup Berdasarkan uraian di atas, dapat diambil beberapa catatan :
  1. Istilah nabi berbeda dengan istilah rasul, terutama dalam hal misinya. Tidak semua nabi ketika menerima wahyu dari Allah tidak dituntut untuk menyampaikannya kepada umat, sedangkan seorang rasul ketika menerima wahyu harus disampaikan kepada umat manusia.
  2. Ada dua misi yang diemban oleh seorang nabi, yaitu misi ketauhidan dan misi sosial. Misi yang pertama terkait dengan mengajak umat manusia untuk menyembah Tuhan dan tidak menjadikan sesembahan lain selain Allah. Sedangkan misi yang kedua sangat terkait dengan bagaimana mewujudkan rasa keadilan dalam masyarakat.
  3. Berakhirnya jalur kenabian yang ditutup oleh kerasulan Muhammad saw bukan berarti bahwa misi kenabian untuk menyampaikan risalah juga berhenti, namun tugas tersebut diteruskan oleh para ulama yang merupakan pewaris para nabi dalam meneruskan fungsi kenabian tersebut. Untuk itu, mereka dituntut untuk memahami dan menafsirkan bahasa nas, baik yang terkandung dalam al-Qur’an maupun al-Sunnah, agar kontekstual dengan perkembangan dan perubahan zaman. Untuk itu, para ulama dituntut untuk membekali diri dengan piranti ilmu agama yang tekstual dengan ilmu umum yang kontekstual.
Wallahu a’lam bi al-sawab
DAFTAR PUSTAKA
Abdullah Yusuf Ali, The Holy Qur’an, Text, Translation and Commentary, New York: The Tabrike Tarsile Qur’an, 1988.
Al-Azdy, Abu Dawud Sulayman b. al-Ash’ath al-Sijistany, Sunan Abu Dawud, Beirut: al-Maktabah al-‘Asriyah, t.t.
Al-Bukhary, al-Imam Sahih al-Bukhary, Beirut: Dar al-Qalam, 1987.
J.M.S. Baljon, Modern Muslim, Koran Interpretation (1880-1960), Leiden: E.J. Brill, 1968.
Cyril Glasse, The Concise Encyclopedia of Islam, San Fransisco: Harper & Row, Publishers, Inc, 1989.
Al-Darimy, Abu Muhammad, Sunan al-Darimy, t.tp.: Dar al-Kutub al-‘Araby, 1987.
Dawam Rahardjo, Ensiklopedi Al-Qur’an Tafsir Sosial Berdasarkan Konsep-konsep Kunci, Jakarta: Paramadina, 1996.
Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahannya, Jakarta: CV. Kathoda, 1993.
Fazlur Rahman, Tema Pokok Al-Qur’an, Bandung: Pustaka, 1996.
G. R. Hawting and Abdul Kader A. Shareef (ed.), Approaches to the Qur’an, London and New York: Routledge, 1993.
Hanbal, Ahmad bin, Musnad al-Imam Ahmad, Mesir: Dar al-Ma’arif, 1949-1980.
Ibn Kathir, Abu al-Fida’ Isma’il, Tafsir ibn Kathir, dalam CD-ROM dengan terjemahan dan komentar dalam bahasa Inggris oleh A. Yusuf Ali dan terjemah dalam bahasa Indonesia oleh Departemen Agama R.I., versi 6.5, Kairo: Sakhr, 1993-1997.
Al-Isfahanay, al-Raghib, Mu’jam Mufradat al-Alfaz al-Qur’an, Beirut: Dar al-Fikr, 1981.
Al-Maraghy, Ahmad Mustafa, Tafsir al-Maraghy, Semarang: CV. Toha Putra, 1989.
Murtadha Muthahari, Falsafah Kenabian, Jakarta: Pustaka Hidayah, 1991.
Al-Qurtuby, Abu ‘Abd Allah Muhammad b. Ahmad al-Anshari, Al-Jami’ li Ahkam alQur’an, dalam CD-ROM dengan terjemahan dan komentar dalam bahasa Inggris oleh A. Yusuf Ali dan terjemah dalam bahasa Indonesia oleh Departemen Agama R.I., versi 6.5, Kairo: Sakhr, 1993-1997.
Al-Quzwayny, al-Hafiz Abu ‘Abdullah Muhammad b. Yazid, Sunan Ibn Majah, Beirut: Dar Ihya’ al-Kutub al-‘Arabiyah, 1987.
Rahman, Afzalur, Islam Ideology and the Way of Life, London: The Muslim Schools Trust, 1995.
Rakhmat, Jalaluddin, Islam Aktual, Bandung: Mizan, 1992.
Ridla, Muhammad Rashid, Tafsir al-Qur’an al-Hakim, Beirut: Dar al-Fikr, t.t., vol. VI.
Al-Tabary, Abu Ja’far Muhammad b. Jarir, Jami’ al-Bayan ‘an Ta’wil ay al-Qur’an, Beirut: Dar al-Fikr, 1988, vol. V, VII, XII, XIII.
Al-Tabattaba’i, al-Allamah al-Sayyid Muhammad Husayn, Al-Mizan fi Tafsir al-Qur’an, Beirut: Mu’assasat al-A’lamy lil-matbu’at, 1991, vol. XIX.
Al-Tirmidhy, Abu ‘Isa Muhammad b. ‘Isa b., Surah Sunan al-Tirmidhy, Beirut: Dar Ihya’ al-Turath al-‘Araby, t.t.
Wehr, Hans, A Dictionary of Modern Written Arabic, Beirut: Librairie du Liban, 1974.
[1] Dilahirkan pada tanggal 10 Maret 1973 di Karanganyar, Solo. Alumni Fakultas Tarbiyah Jurusan Pendidikan Agama Islam IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta tahun 1996 ini melanjutkan studinya di PPs IAIN yang sama dengan mengambil Program Studi Pendidikan Islam dengan konsentrasi Pemikiran Pendidikan Islam dan lulus tahun 1999. Pada tahun itu juga ia meneruskan studinya pada Program Doktor (S3) pada PPs yang sama. Sejak tahun 1998 ia diangkat sebagai dosen Fakultas Tarbiyah IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta.
[2] J.M.S. Baljon, Modern Muslim, Koran Interpretation (1880-1960) (Leiden: E.J. Brill, 1968), 53.
[3] M. Dawam Rahardjo, Ensiklopedi Al-Qur’an (Jakarta: Paramadina, 1997)
[4] Q.S. al-Ma’un/40:78.
[5] Dalam al-Qur’an kata Adam disebut sebanyak 31 kali, sedangkan ayat yang berkaitan dengan Adam sebanyak 63. Di antara ayat tersebut dapat dilihat dalam Q.S. Alu. Imran (3): 33-34 dan Q.S. al-Baqarah (2): 34.
[6] Kata Idris disebut sebanyak dua kali dalam al-Qur’an, yakni terdapat dalam Q.S. Maryam (19): 56-57.
[7] Kata Nuh disebut sebanyak 72 kali dalam al-Qur’an, sedangkan ayat-ayat yang berhubungan dengan Nabi Nuh ada 105 tempat. Sebagian dari ayat-ayat tersebut adalah sebagai berikut: Q.S. Alu Imran (3): 33; Q.S. al-Nisa’ (4): 163; Q.S. al-An’am (6): 64; Q.S. al-A’raf (7): 59-64; Q.S. Yunus (10): 71-73; Q.S. Hud (11): 24-34, 36-49; Q.S. alAnbiya’ (21): 76; Q.S. al-Furqan (25): 37; Q.S. al-Syura (26): 105-122; Q.S. al-‘Ankabut (29): 14-15; Q.S. al-Saffat (37): 71-83; Q.S. Nuh (71): 1-28; Q.S. al-Qamar (54): 9-16; Q.S. al-Mu’minun (23): 23-31; dan, Q.S. al-Mu’min (40): 5-6.
[8] Kata Hud disebutkan dalam al-Qur’an sebanyak 6 kali, sedangkan yang membicarakan tentang Nabi Hud terdapat dalam 63 ayat, di antaranya dalam Q.S. alSyura’ (26): 123-140 dan Q.S. al-Ahqaf (46): 21-26.
[9] Istilah Shalih disebut sebanyak 17 kali dalam al-Qur’an, sedangkan ayat yang membicarakan tentangnya ada 75 tempat. Di antaranya dapat dilihat dalam Q.S. al-A’raf (7): 73-79; Q.S. Hud (11): 61-68; dan, Q.S. al-Syura’ (26): 141-159.
[10] Kata Ibrahim terdapat 121 kali, sedangkan yang membicarakan tentangnya ada dalam 135 ayat. Di antaranya dapat dilihat dalam Q.S. al-Zukhruf (43): 26-28; Q.S. alAn’am (6): 74-89; dan, Q.S. Alu Imran (3): 95.
[11] Nama ini disebut sebanyak 41 kali, sedangkan yang membahas tentangnya ada 82 ayat. Di antara ayat yang disebutkan adalah dalam Q.S. al-A’raf (7): 80-84; Q.S. al-Naml (27): 54-58; dan, Q.S. Hud (11): 77-83.
[12] Kata Ismail terdapat dalam 10 tempat. Sedangkan ayat yang membicarakan tentang Ismail terdapat dalam 13 tempat, di antaranya Q.S. al-An’am (6): 86-87; Q.S. Sad (38): 48; dan Q.S. Maryam (19): 54-55.
[13] Kata Ishaq disebutkan sebanyak 12 kali, sedangkan yang membicarakan tentangnya ada sebanyak 16 ayat.
[14] Kata Ya’qub disebut sebanyak 11 kali dalam al-Qur’an. Sedangkan ayat yang membahas tentang kenabiannya sebanyak 25 ayat.
[15] Kata Yusuf disebut 78 kali dalam al-Qur’an, di antaranya Q.S. al-Qalam (68): 48-49; Q.S. Yusuf (12): 3; dan, Q.S. al-Mu’min (40): 34.
[16] Kata Ayyub disebut sebanyak satu kali, sedangkan yang membicarakan kenabiannya terdapat dalam 7 ayat, di antaranya Q.S. al-An’am (6): 84; Q.S. al-Anbiya’ (21): 83-84; dan, Q.S. Sad (38): 41-44.
[17] Kata Syu’aib disebut 11 kali, antara lain terdapat dalam Q.S. al-A’raf (7): 85-93; Q.S. Hud (11): 84-85; dan, Q.S. al-‘Ankabut (29): 36-37.
[18] Kata Musa disebut 226 kali, sedang yang berhubungan dengan kenabiannya terdapat dalam 479 ayat, antara lain terdapat dalam Q.S. al-Qassas (28): 3-43; Q.S. Taha (20): 9; dan, Q.S. Yunus (10): 75-92.
[19] Kata Harun disebut 25 kali dalam 18 ayat. Lihat Q.S. al-Nisa’ (4): 163 dan Q.S. alFurqan (25): 35-36.
[20] Kata Dhu ‘l-Kifl disebut satu kali, yakni dalam Q.S. Sad (38): 48.
[21] Al-Qur’an menyebut kata Dawud sebanyak 21 kali dalam 23 ayat. Kata tersebut dapat dilihat dalam Q.S. al-Baqarah (2): 249-251; Q.S. al-Nisa’ (4): 163; dan Q.S. al-Isra’ (17): 55.
[22] Al-Qur’an menyebut kata Sulaiman sebanyak 26 kali, sedangkan kenabiannya dibahas dalam 47 ayat. Lihat Q.S. al-An’am (6): 84; Q.S. al-Anbiya’ (21): 81-82; dan, Q.S. Saba’ (34): 12-14.
[23] Kata Ilyas disebut sebanyak 4 kali, antara lain Q.S. al-An’am (6): 85 dan Q.S. alSaffat (37): 123-132.
[24] Kata Ilyasa’ disebut sebanyak 1 kali, yakni Q.S. al-An’am (6): 86 dan Q.S. Sad (38): 48.
[25] Kata Yunus disebut 7 kali, antara lain dapat dilihat dalam Q.S. al-An’am (6): 86-87; Q.S. Yunus (10): 98; dan Q.S. al-Anbiya’ (21): 87-88.
[26] Kata Zakariya ditemukan 12 kali dalam al-Qur’an.
[27] Kata Yahya ditemukan 5 kali, walaupun yang membicarakan tentang kenabiannya sebanyak 7 ayat. Ayat yang berkaitan dengannya antara lain dapat dilihat dalam Q.S. alAnbiya’ (21): 89-90; Q.S. Alu Imran (3): 38-41; dan, Q.S. Maryam (19): 2-15.
[28] Kata Isa disebut sebanyak 44 kali, sedangkan yang membicarakan tentang kenabiannya terdapat dalam 71 ayat. Lihat antara lain dalam Q.S. Maryam (19): 16-34; Q.S. al-Baqarah (2): 87; dan, Q.S. Alu Imran (3): 45-60.
[29] Kata Muhammad tidak ditemukan dalam al-Qur’an. Walaupun demikian banyak ayat yang membicarakan tentang Muhammad, yakni sekitar 135 ayat. Kata Ahmad, yang juga nama lain dari Muhammad saw, terdapat satu kali dalam al-Qur’an.
[30] Q.S. al-Ahqaf/46:35.
[31] Muhammad Rasyid Ridla, Tafsir al-Qur’an al-Hakim (t.tp: Dar al-Fikr, t.t.), jilid 6, 587.
[32] Ibid.
[33] Hidayah Salim, Qishashul Anbiya (Bandung: PT. Al-Ma’arif, 1962), 54.
[34] Bey Arifin, Rangkaian Cerita dalam al-Qur’an (Bandung: PT. Al-Ma’arif, 1971), 62.
[35] Q.S. al-Tawbah (9): 30.
[36] Muhammad Ali, The Religion of Islam, 1980, 35.
[37] Keith Crim, The Perennial Dictionary of World Religion, 1989, 187.
[38] M. Dawam Rahardjo, Ensiklopedi, 302.
[39] Hans Wehr, A Dictionary of Modern Written Arabic (Beirut: Librairie du Liban, 1974), 937.
[40] M. Dawam R., Ensiklopedi, 303.
[41] Cyril Glasse, The Concise Encyclopedia of Islam (San Francisco: Harper & Row, Publishers, Inc, 1989), 342.
[42] Q. S. al-Ahqaf (46): 35.
[43] Abu Ja’far Muhammad b. Jarir al-Tabary, Jami’ al-Bayan ‘an Ta’wil ay al-Qur’an (Beirut: Dar al-Fikr, 1988), vol. 13, 37.
[44] Ibid., 35.
[45] Ibn Kathir, Kitab Suci al-Qur’an dalam CD-ROOM versi 6.5 (Kairo: Sakhr, 19931997).
[46] Muhammad b. Jarir al-Tabary, Jami’ al-Bayan, vol. 7, 121.
[47] Tentang persoalan ini dapat dilihat dalam beberapa kisah yang terdapat dalam alQur’an, seperti kaum ‘Ad dalam Q.S. al-Qamar (54): 18-21 dan Q.S. al-Furqan (25): 3839, dan kaum Tsamud yang dikisahkan dalam Q.S. al-Haqqah (69): 1-7 dan Q.S. alDzariyat (51): 4-46.
[48] M. Dawam R., Ensiklopedi, 303.
[49] H.A.R. Gibb dan J.H. Kramers, Shorter Encyclopedia of Islam (Leiden: E.J. Brill, 1974)
[50] Q. S. al-Fathir (35): 1.
[51] Q.S. al-Rum (30): 2
[52] Q.S. al-An’am : 83-87.
[53] Al-Tabary, Jami’ al-Bayan, vol. 5, 263.
[54] Ibid. Bandingkan dengan penafsiran yang dikemukakan oleh Ibn Kathir dalam ayat ini. Ia mengatakan bahwa kitab, hukum, dan nubuwah merupakan nikmat dari Allah kepada manusia. Maka, bagi manusia yang kufur terhadap nikmat tersebut, maka nikmat tersebut akan dialihkan kepada kaum lain yang tidak kufur. Lihat Ibn Kathir dalam CD- ROOM versi 6.5, 1993-1997.
[55] Fazlur Rahman, Tema Pokok al-Qur’an, terj. Ahsin Muhammad (Bandung: Mizan, 1996), 119.
[56] Ibid.
[57] Artinya: Di tangan para penulis (malaikat).
[58] Artinya: Katakanlah: “Hai manusia sesungguhnya aku adalah utusan Allah kepadamu semua, yaitu Allah Yang mempunyai kerajaan langit dan bumi; tidak ada Tuhan selain Dia, Yang menghidupkan dan mematikan, maka berimanlah kamu kepada Allah dan Rasul-Nya, Nabi yang ummi yang beriman kepada Allah dan kepada kalimatkalimat-Nya (kitab-kitab-Nya) dan ikutilah dia, supaya kamu mendapat petunjuk.
[59] Artinya: Dan ceritakanlah (hai Muhammad kepada mereka), kisah Musa di dalam al- Kitab (al-Qur’an) ini. Sesungguhnya ia adalah seorang yang dipilih dan seorang rasul dan nabi.
[60] Artinya: Dan ceritakanlah (hai Muhammad kepada mereka) kisah Ismail (yang tersebut) di dalam al-Qur’an. Sesungguhnya ia adalah seorang yang benar janjinya, dan dia adalah seorang rasul dan nabi.
[61] Q.S. al-Hajj (22): 52.
[62] Fazlur Rahman, Tema, 120.
[63] Artinya: Dan Kami telah menganugerahkan kepadanya sebagian rahmat Kami, yaitu saudaranya, Harun menjadi seorang nabi.
[64] Lihat Q.S. al-Ahzab (33): 13 dan 16.
[65] Tafsir Ibn Kathir dalam CD-ROOM versi 6.5, Sakhr, 1993-1997.
[66] Lihat Q.S. al-Baqarah (2): 136, yang artinya: Katakanlah (hai orang-orang mukmin): “Kami beriman kepada Allah dan apa yang diturunkan kepada kami, dan apa yang diturunkan kepada Ibrahim, Isma’il, Ishaq, Ya’qub dan anak cucunya, dan apa yang diberikan kepada Musa dan Isa serta apa yang diberikan kepada nabi-nabi dari Tuhannya. Kami tidak membeda-bedakan seorang pun di antara mereka dan kami hanya tunduk patuh kepada-Nya.”
[67] Q.S. al-Baqarah (2): 253. Bandingkan dengan Q.S. al-Isra (17): 55.
[68] Lihat Q.S. al-Ahqaf (46): 35.
[69] Murtadha Muthahhari, Falsafah Kenabian (Jakarta: Pustaka Hidayah, 1991), 29.
[70] Hal ini didasarkan pada hadis yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad dari Musa b. Dawud dari Fulaih b. Sulaiman dari Hilal b. Ali dari Atho’ b. Yasar. Ia bertemu dengan Abdullah b. ‘Amru b. al-‘As. Lihat Tafsir Ibn Kathir dalam CD-ROOM versi 6.5.
[71] Tafsir al-Qurtubiy dalam CD-ROM versi 6.5, 1993-1997. Bandingkan dengan hadits yang berasal dari Jabir b. Mut’am dalam Sahih Muslim di mana Allah menyebut Nabi dengan ra’ufa rahima. Sedangkan Abu Musa al-Ash’ariy menyatakan bahwa nabi bersabda mempunyai nama Muhammad, Ahmad, al-Muqaffa, al-Hashir, Nabi al-Tawbah, dan Nabi al-Rahmah.
[72] al-Tabattaba’i, Mizan, 19, 177.
[73] Ibid., 178.
[74] Al-Tabattaba’i, 178.
[75] Ahmad Mustafa al-Maraghy, Tafsir al-Maraghy, terj. Bahrun Abu Bakar, Hery Noer Aly dan Anshori Umar Sitanggal (Semarang: CV. Toha Putra, 1989), 320-1.
[76] Afzalur Rahman, Islam Ideology and the Way of Life (London: The Muslim School Trust, 1995), 36.
[77] Artinya : Dan sesungguhnya Kami telah mengutus Nuh kepada kaumnya, lalu ia berkata: “Hai kaumku, sembahlah oleh kamu Allah, (karena) sekali-kali tidak ada Tuhan begimu selain Dia. Maka, mengapa kamu tidak bertaqwa (kepada-Nya) ?”
[78] Artinya : Dan ingatlah ketika Ibrahim berkata kepada bapaknya dan kaumnya : “Sesungguhnya aku tidak bertanggung jawab terhadap apa yang kamu sembah.” Tetapi, (aku menyembah) Tuhan Yang menjadikanku, karena sesungguhnya Dia akan memberi taufik kepadaku.”
[79] Artinya : Hai manusia, sembahlah Tuhanmu yang telah menciptakanmu dan orang- orang yang sebelummu agar supaya kamu bertaqwa.
[80] Afzalur Rahman, Islam, 38.
[81] Artinya: Sebagaimana (Kami telah menyempurnakan nikmat Kami kepadamu) Kami telah mengutus kepadamu Rasul di antara kamu yang membacakan ayat-ayat Kami kepada kamu dan mensucikan kamu dan mengajarkan kepadamu al-Kitab dan hikmah (al-Sunnah) serta mengajarkan kepada kamu apa yang belum kamu ketahui.
[82] Artinya: Dia-lah yang telah mengutus kepada kaum yang buta huruf seorang rasul di antara mereka, yang membacakan ayat-ayat-Nya kepada mereka, mensucikan mereka dan mengajarkan kepada mereka Kitab dan hikmah (al-Sunnah). Dan sesungguhnya mereka sebelumnya benar-benar dalam kesesatan yang nyata.
[83] Ayat bisa dimaknai dengan ayat qawliyah, yakni apa yang tersurat dalam Kitab suci, dan ayat kawniyah, yakni fenomena alam yang ada dalam masyarakat, terutama ayat kawniyah yang ada pada masa sebelumnya yang berupa kisah umat terdahulu.
[84] A. Rahman, Islam, 45. Dalam al-Qur’an yang diterjemahkan oleh Depag, hikmah dimaknai dengan al-Sunnah, sedangkan menurut al-Raghib al-Asfahaniy, al-hikmah diartikan dengan ketelitian, kecermatan, dan mengerjakan sesuatu dengan tepat. Sehingga oleh Majid Irsal al-Kaylani, al-hikmah diartikan dengan keterampilan.
[85] Artinya: Pada hari ini telah Aku sempurnakan bagi kamu agama kamu dan Aku lengkapkan nikmat-Ku kepadamu dan Aku tetapkan untuk kamu Islam sebagai agamamu.
[86] Dalam hadis, setidaknya ada enam matan yang menunjukkan bahwa para ulama adalah pewaris para nabi. Lihat dalam al-Imam al-Bukhary, Sahih al-Bukhary (Beirut: Dar al-Qalam, 1987), dalam Kitab al-‘Ilm; Abu ‘Isa Muhammad b. ‘Isa b. Surah alTirmidhy, Sunan al-Tirmidhy (Beirut: Dar Ihya’ al-Turath al-‘Araby, t.t.), dalam Kitab al-‘Ilm hadis nomor 2606; Abu Dawud Sulayman b. al-Ash’ath al-Sijistany al-Azdy, Sunan Abu Dawud (Beirut: al-Maktabah al-‘Asriyah, t.t.), dalam Kitab al-‘Ilm hadis nomor 3157; al-Hafiz Abu ‘Abdullah Muhammad b. Yazid al-Quzwayny, Sunan Ibn Majah (Beirut: Dar Ihya’ al-Kutub al-‘Arabiyah, 1987), dalam Kitab al-Muqaddimah hadis nomor 219; Ahmad b. Hanbal, Musnad al-Imam Ahmad (Mesir: Dar al-Ma’arif, 1949-1980), dalam al-Kitab al-Ansar hadis nomor 2023; dan Abu Muhammad al-Darimy, Sunan al-Darimy (t.tp.: Dar al-Kutub al-‘Araby, 1987), dalam Kitab al-Muqaddimah hadis nomor 346.
[87] Lihat Jalaluddin Rakhmat, Islam Aktual (Bandung: Mizan, 1992), 105-6.
[88] Lihat Muhammad Iqbal, The Development of Metaphysic in Persia: A Contribution in the History of Muslim Philosophy, terj. Joebaar Ayoeb (Bandung: Mizan, 1990), 15; lihat juga puisi Iqbal dalam Bal-I-Jibril sebagaimana dikutip oleh K.G. Saiyidain dalam Iqbal’s Educational Philosophy, terj. M.I. Soelaeman (Bandung: CV. Diponegoro, 1981), 172.


Kisah Tabi’in: Hasan al-Bashri

Hasan al-Bashri

tokoh tabi'in hasan al-basriTelah datang berita gembira kepada istri Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, Ummu Salamah, bahwa budaknya yang bernama Khairah telah melahirkan seorang bayi laki-laki.
Ummul Mukminin hanyut dalam kegembiraan dan wajahnya tampak ceria dan berseri-seri. Dia mengutus seseorang untuk membawa ibu dan bayinya ke rumah selama masa-masa pemulihan pasca melahirkan. Khairah adalah budak yang paling beliau sayangi dan beliau telah rindu menantikan kelahiran bayi pertama dari budaknya itu.
Tak lama setelah itu Khairah pun datang dengan bayi di gendongannya. Ketika Ummu Salamah memandangnya, beliau langsung menyukai bayi itu karena wajahnya yang tampan dan cerah, menarik hati siapapun yang memandangnya.
Ummu Salamah bertanya kepada budaknya: “Sudahkah engkau memberikan nama untuknya wahai Khairah?” Khairah menjawab: “Belum, aku ingin Anda-lah yang memilihkan nama untuknya sesuka Anda.”
Ummu Salamah berkata, “Kita akan memberi nama yang diberkahi Allah Subhanahu wa Ta’ala yaitu Hasan.” Lalu beliau mengangkat tangannya untuk mendoakan kebaikan bagi sang bayi.
Kebahagiaan atas kelahiran Hasan itu tidak hanya dirasakan oleh keluarga Ummul Mukminin Ummu Salamah saja. Namun juga dirasakan oleh seisi rumah di Madinah, yaitu di rumah sahabat utama yang juga penulis wahyu Rasulullah, Zaid bin Tsabit. Sebab ayah si bayi, yakni Yasaar, adalah budak Zaid bin Tsabit yang paling disayangi dan diutamakan di antara budak yang lain.
Hasan bin Yassar (yang pada akhirnya lebih terkenal dengan sebutan Hasan al-Bashri) tumbuh di salah satu rumah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, besar di pangkuan salah satu istri beliau, yaitu Hindun binti Suhail yang lebih sering dipanggil dengan Ummu Salamah.
Adapun Ummu Salamah –kalau pembaca belum tahu- adalah seorang wanita Arab yang termasuk paling sempurna akalnya, banyak keutamaannya, dan teguh pendiriannya. Beliau juga termasuk istri nabi yang paling luas pengetahuannya dan paling banyak meriwayatkan hadis dari Rasulullah. Beliau meriwayatkan sebanyak 387 hadis. Beliau juga termasuk dari sedikit bilangan wanita di masa jahiliyah yang mampu baca-tulis.
Hubungan bayi yang beruntung itu dengan Ummu Salamah tidak hanya sebatas itu. Lebih jauh lagi, karena seringkali ibunda beliau, Khairah, harus keluar dari rumah untuk mengurus kebutuhan Ummul Mukminin sehingga harus meninggalkan bayinya. Bila sang bayi menangis karena lapar, maka Ummul Mukminin meletakkan bayi itu di pangkuannya, lalu disusui supaya diam. Karena rasa cintanya terhadap bayi itu, Ummul Mukminin bisa mengeluarkan air susu yang kemudian diminum oleh si bayi hingga merasakan kenyang dan diam dari tangisnya. Dengan demikian, kedudukan Ummu Salamah bagi Hasan al-Bashri adalah sebagai ibu dalam dua sisi. Pertama karena Hasan al-Bashri adalah seorang dari mukminin sedang Ummu Salamah adalah Ummul Mukminin. Kedua Ummu Salamah adalah ibu susuan bagi beliau.
Anak ini meraih kesempatan emas untuk bergaul dengan istri-istri Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, sebab rumah-rumah mereka berdekatan sehingga ia bisa bermain dari satu rumah ke rumah yang lain. Sudah barang tentu akhlak beliau terwarnai oleh para penghuni rumah itu dan mendapatkan bimbingan dari mereka.
Seperti yang diceritakan oleh Hasan al-Bashri sendiri, dia mengisi rumah Ummul Mukminin dengan ketangkasannya yang menyenangkan. Sering dia naik ke atap rumah lalu berpindah-pindah dengan lincahnya.
Hasan dibesarkan dalam suasana yang diterangi oleh cahaya nubuwah dan meneguk sumber air jernih (ilmu) yang tersedia di rumah-rumah ummahatul mukminin. Beliau juga berguru kepada sahabat-sahabat utama di Masjid Nabawi. Beliau meriwayatkan dari Utsman bin Affan, Ali bin Abi Thalib, Abu Musa al-Asy’ari, Abdullah bin Umar, Abdullah bin Abbas, Anas bin Malik, Jabir bin Abdillah dan lain-lain.
Meski demikian, kekaguman yang paling menonjol jatuh kepada Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu. Dia mengagumi keteguhan agamanya, ketekunan ibadahnya, kezuhudannya terhadap kesenangan dunia, kefasihan lidahnya, hikmah-hikmahnya yang berkesan di hatinya, kemantapan tutur katanya dan nasihat-nasihatnya yang menggetarkan hati. Sehingga beliau berusaha berakhlak dengannya dalam hal takwa dan ibadah serta mengikuti jejaknya dalam memberikan keterangan dan kefasihan bahasanya.
Menginjak usia 14 tahun, ketika memasuki usia remaja, beliau berpindah bersama kedua orang tuanya ke Bashrah dan menetap di sana. Dari sinilah muncul julukan al-Bashri, yang dinisbahkan pada kota Bashrah. Lalu keutamaan beliau mulai dikenal orang-orang di Bashrah.
Di saat Hasan al-Bashri menjadi imam, kota Bashrah merupakan benteng Islam yang terbesar dalam bidang ilmu pengetahuan. Masjidnya yang agung penuh dengan para sahabat dan tabi’in yang hijrah ke sana dan halaqah-halaqah keilmuan dengan beraneka ragam dan coraknya memakmurkan masjid-masjid dan suraunya.
Hasan al-Bashri tinggal di masjid itu dan menekuni halaqah Abdullah bin Abbas, Habru umati Muhammad (Ustadnya umat Muhammad). Dia mengambil pelajaran tafsir, hadis, qiraah, fiqh, adab, bahasa dan sebagainya. Hingga beliau menjadi seorang ulama besar dan fuqaha yang terpercaya.
Maka, umat banyak menggali ilmunya, mendantangi majelisnya serta mendengarkan ceramahnya yang mampu melunakkan jiwa-jiwa yang keras dan mencucurkan air mata orang-orang yang terlanjur berbuat dosa. Banyak orang terpikat dengan hikmahnya yang mempesona.
Nama Hasan al-Bashri telah menyebar di seluruh daerah dan dikenal di mana-mana.
Para gubernur dan khalifah menanyakan dan mengikuti beritanya.
Khalid bin Shafwan bercerita. “Aku bertemu dengan Maslamah bin Abdul Malik di daerah Hirah, beliau berkata, ‘Wahai Khalid, ceritakan kepadaku tentang Hasan al-Bashri, aku rasa engkau lebih mengenalnya dari yang lain.”
Aku berkata, “Semoga Allah menjaga Anda. Saya sebaik-baik orang yang akan memberikan keterangan tentang Hasan al-Bashri wahai Amir, karena saya adalah tetangga sekaligus muridnya yang setia. Saya lebih mengenal beliau daripada orang Bashrah lainnya’.”
Beliau berkata, “Ceritakan apa yang Anda ketahui tentangnya.” Saya berkata, ‘Beliau adalah orang yang hatinya sama dengan lahiriyahnya, perkataannya serasi dengan perbuatannya. Jika menyuruh perkara yang ma’ruf, maka beliau pula yang paling sanggup melakukannya. Jika melarang yang mungkar, beliau pula yang paling mampu meninggalkannya. Saya mendapatinya sebagai orang yang tidak memerlukan pemberian; dan zuhud terhadap apa yang ada di tangan orang lain. Sebaliknya saya dapati betapa orang-orang memerlukan dan menginginkan apa yang dimilikinya.”
Maslamah berkata, “Cukup wahai Khalid, cukup. Bagaimana kaum itu bisa sesat, bila ada orang semisal dia di tengah-tengah mereka?”
Ketika Hajjaj bin Yusuf ats-Tsaqafi berkuasa di Irak, bertindak sewenang-wenang dan kejam di wilayahnya, Hasan al-Bashri adalah termasuk dalam bilangan sedikit orang yang berani menentang dan mengecam keras akan kezaliman penguasa itu secara terang-terangan.
Suatu ketika, Hajjaj membangun istana yang megah untuk dirinya di kota Wasit. Ketika pembangunan selesai, diundangnya orang-orang untuk melihat dan mendoakannya. Hasan al-Bashri tak mau menyia-nyiakan kesempatan yang baik di mana banyak orang sedang berkumpul. Dia tampil memberikan ceramah, mengingatkan mereka agar bersikap zuhud di dunia dan menganjurkan manusia untuk mengejar apa yang ada di sisi Allah Subhanahu wa Ta’ala.
Begitulah, ketika Hasan al-Bashri tiba di tempat itu dan melihat begitu banyak orang-orang mengelilingi istana yang megah dan indah dengan halamannya yang luas, beliau berdiri untuk berkhutbah. Di antara yang beliau sampaikan adalah: “Kita mengetahui apa yang dibangun oleh manusia yang paling kejam dan kita dapati Fir’aun yang membangun istana yang lebih besar dan lebih megah daripada bangunan ini. Namun kemudian Allah membinasakan Fir’aun beserta apa yang dibangunnya. Andai saja Hajjaj bahwa penghuni langit telah membencinya dan penduduk bumi telah memperdayakannya…”
Beliau terus mengkritik dan mengecam hingga beberapa orang mengkhawatirkan keselamatannya dan memintanya berhenti: “Cukup Wahai Abu Sa’id, cukup.”
Namun Hasan al-Bashri berkata, “Wahai saudaraku, Allah Subhanahu wa Ta’ala telah mengambil sumpah dari ulama agar menyampaikan kebenaran kepada manusia dan tak boleh menyembunyikannya.”
Keesokan harinya Hajjaj menghadiri pertemuan bersama para pejabatnya dengan memendam amarah dan berkata keras: “Celakalah kalian! Seorang dari budak-budak Basrah itu memaki-maki kita dengan seenaknya dan tak seorang pun dari kalian berani mencegah dan menjawabnya. Demi Allah, akan kuminumkan darahnya kepada kalian wahai para pengecut!”
Hajjaj memerintahkan pengawalnya untuk menyiapkan pedang beserta algojonya dan menyuruh polisi untuk menangkap Hasan al-Basri.
Dibawalah Hasan al-Basri, semua mata mengarah kepadanya dan hati mulai berdebar menunggu nasibnya. Begitu Hasan al-Basri melihat algojo dan pedangnya yang terhunus dekat tempat hukuman mati, beliau menggerakkan bibirnya membaca sesuatu. Lalu berjalan mendekati Hajjaj dengan ketabahan seorang mukmin, kewibawaan seorang muslim, dan kehormatan seorang da’i di jalan Allah.
Demi melihat ketegaran yang demikian, mental Hajjaj menjadi ciut. Terpengaruh oleh wibawa Hasan al-Basri, dia berkata ramah: “Silahkan duduk di sini wahai Abu  Sa’id, silahkan..”
Seluruh yang hadir menjadi bengong dan terheran-heran melihat perilaku amirnya yang mempersilahkan Hasan al-Basri duduk di kursinya. Sementara itu, dengan tenang dan penuh waibawa Hasan al-Basri duduk di tempat yang disediakan. Hajjaj menoleh kepadanya lalu menanyakan berbagai masalah agama, dan dijawab Hasan al-Basri dengan jawaban-jawaban yang menarik dan mencerminkan pengetahuannya yang luas.
Merasa cukup dengan pertanyaan yang diajukan, Hajjaj berkata, “Wahai Abu Sa’id, Anda benar-benar tokoh ulama yang hebat.” Dia semprotkan minyak ke jenggot Hasan al-Basri lalu diantarkan sampai di depan pintu.
Sesampainya di luar istana, pengawal yang mengikuti Hasan al-Basri berkata, “Wahai Abu Sa’id sesungguhnya Hajjaj memanggil Anda untuk suatu urusan yang lain. Ketika Anda masuk dan melihat algojo dengan pedangnya yang terhunus, saya lihat Anda membaca sesuatu, apa sebenarnya yang Anda lalukan ketika itu?”
Beliau berkata, (Aku berdoa) “Wahai Yang Maha Melindungi dan tempatku bersandar dalam kesulitan, jadikanlah amarahnya menjadi dingin dan menjadi keselamatan bagiku sebagaimana Engkau jadikan api menjadi dingin dan keselamatan bagi Ibrahim.”
Kejadian serupa sering dialami Hasan al-Basri berhubungan dengan para wali negeri dan amir, di mana beliau selalu lolos dari setiap kesulitan tanpa menjatuhkan wibawanya di mata para penguasa tersebut dengan lindungan dan pemeliharaan Allah Subhanahu wa Ta’ala.
Setelah wafatnya khalifah yang zuhud Umar bin Abdul Aziz, kekuasaan beralih ke tangan Yazid bin Abdul Malik. Khalifah baru ini mengangkat Umar bin Hubairah al-Faraqi sebagai gubernur Irak sampai Khurasan. Yazid ditengarai telah berjalan tidak seperti jalannya kaum salaf yang agung. Dia senantiasa mengirim surat kepada walinya, Umar bin Hubairah agar melaksanakan perintah-perintah yang ada kalanya melenceng dari kebenaran.
Untuk memecahkan problem itu, Umar bin Hubairah memanggil para ulama di antaranya asy-Sya’bi dan Hasan al-Basri. Dia berkata: “Sesungguhnya Amirul Mukminin, Yazid bin Abdul Malik telah diangkat oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala sebagai khalifah atas hamba-hamba-Nya. Sehingga wajib ditaati dan aku diangkat sebagai walinya di negeri Irak sampai kupandang tidak adil. Dalam keadaan yang demikian, bisakah kalian memberikan jalan keluar untukku, apakah aku harus menaati perintah-perintahnya yang bertentangan dengan agama?”
Asy-Sya’bi menjawab dengan jawaban yang lunak dan sesuai dengan jalan pikiran pemimpinnya itu, sedangkan Hasan al-Basri tidak berkomentar sehingga Umar menoleh kepadanya dan bertanya, “Wahai Abu Sa’id, bagaimana pendapatmu?”
Beliau berkata, “Wahai Ibnu Hubairah, takutlah kepada Allah atas Yazid dan jangan takut kepada Yazid karena Allah. Sebab ketahuilah bahwa Allah Subhanahu wa Ta’ala bisa menyelamatkanmu dari Yazid, sedangkan Yazid tak mampu menyelamatkanmu dari murka Allah. Wahai Ibnu Hubairah, aku khawatir akan datang kepadamu malaikat maut yang keras dan tak pernah menentang perintah Rabb-nya lalu memindahkanmu dari istana yang luas ini menuju liang kubur yang sempit. Di situ engkau tidak akan bertemu dengan Yazid. Yang kau jumpai hanyalah amalmu yang tidak sesuai dengan perintah Rabb-mu dan Rabb Yazid.”
“Wahai Ibnu Hubairah, bila engkau bersandar kepada Allah dan taat kepada-Nya, maka Dia akan menahan segala kejahatan Yazid bin Abdul Malik atasmu di dunia dan akhirat. Namun jika engkau lebih suka menyertai Yazid dalam bermaksiat kepada Allah, niscaya Dia akan membiarkanmu dalam genggaman Yazid. Dan sadarilah wahai Ibnu Hubairah, tidak ada ketaatan bagi makhluk, siapapun dia, bila untuk bermaksiat kepada Allah.”
Umar bin Hubairah menangis hingga basah jenggotnya karena terkesan mendengarnya. Dia berpaling dari asy-Sya’bi kepada Hasan al-Basri, Umar semakin bertambah hormat dan memuliakannya. Setelah kedua ulama itu keluar dan menuju ke masjid, orang-orang pun datang berkerumun ingin mengetahui berita pertemuan mereka dengan amir Irak tersebut.
Asy-Sya’bi menemui mereka dan berkata; “Wahai kaum barangsiapa mampu mengutamakan Allah atas makhluk-Nya dalam segala keadaan dan masalah, maka lakukanlah. Demi yang jiwaku ada di tangan-Nya, semua yang dikatakan Hasan al-Basri kepada Umar bin Hubairah juga aku ketahui. Tapi yang kusampaikan kepadanya adalah untuk wajahnya, sedangkan Hasan al-Basri menyampaikan kata-katanya demi mengharap wajah Allah Subhanahu wa Ta’ala. Maka aku disingkirkan Allah Subhanahu wa Ta’ala dari Ibnu Hubairah, sedangkan Hasan al-Basri didekati dan dicintai…”
Allah memberikan karunia umur kepada Hasan al-Basri hingga berusia lebih dari 80 tahun dan telah memenuhi dunia ini dengan ilmu, hikmah dan fiqih. Warisan yang diunggulkannya bagi generasi kini di antaranya adalah kehalusan dan nasihat-nasihatnya yang mampu menyegarkan jiwa  dan mampu menyentuh hati, menjadi petunjuk bagi mereka yang lalai akan hakikat kehidupan dunia serta ihwal manusia dalam menyikapi dunia.
Beliau pernah ditanya oleh seseorang tentang dunia dan keadaannya. Beliau berkata, “Anda bertanya tentang dunia dan akhirat. Sesungguhnya perumpamaan dunia dan akhirat adalah seperti timur dan barat, bila satu mendekat, maka yang lain akan menjauh.”
Dan Anda memintaku supaya menggambarkan tentang keadaan dunia ini. Maka aku katakan bahwa dunia diawali dengan kesulitan dan diakhiri dengan kebinasaan, yang halal akan dihisab dan yang haram akan berujung siksa. Yang kaya akan menghadapi ujian dan fitnah, sedang yang miskin selalu dalam kesusahan.”
Adapun jawaban terhadap pertanyaan orang lain tentang keadaannya dan keadaan orang lain dalam menyikapi dunia beliau berkata, “Duhai celaka, apa yang telah kita perbuat atas diri kita? Kita telah menelantarkan agama kita dan menggemukkan dunia kita, kita rusak akhlak kita dan kita perbaharui rumah, ranjang serta pakaian kita. Bertumpu pada tangan kiri, lalu memakan harta yang bukan haknya.
Makanannya hasil menipu, amalnya karena terpaksa, ingin yang manis setelah yang asam, ingin yang panas setelah yang dingin, ingin yang basah setelah yang kering, hingga manakala telah penuh perutnya ia berkata, “Wahai anakku, ambill obat pencerna.” Hai orang yang dungu, sesungguhnya yang kau cerna itu adalah agamamu.
Mana tetanggamu yang lapar?
Mana yatim-yatim kaummu yang lapar?
Mana orang miskin yang menantikan uluranmu?
Mana nasihat Allah Subhanahu wa Ta’ala dan rasul-Nya?
Kalau saja engkau sadari hisabmu. Tiap kali terbenam matahari, berkuranglah satu hari usiamu dan lenyaplah sebagian yang ada padamu.”
Kamis malam di bulan Rajab 110 H, Hasan al-Basri pergi memenuhi panggilan Rabb-nya. Pagi harinya menjadi pagi duka cita bagi kota Bashrah.
Jenazahnya dimandikan, dikafani dan dishalatkan setelah shalat Jumat di masjid Jami Basrah, masjid tempat di mana beliau menghabiskan banyak waktu hidupnya, belajar dan mengajar serta menyeru ke jalan Allah.
Orang-orang mengiringkan jenazahnya dan hari itu tak ada shalat ashar di Masjid Jami tersebut karena tak ada yang menegakkannya. Dan shalat jamaah ashar tidak pernah absen sejak dibangunnya masjid itu kecuali di hari itu. Hari di mana Hasan al-Basri berpulang ke haribaan Rabb-nya.
Sumber: Mereka adalah Para Tabi’in, Dr. Abdurrahman Ra’at Basya, At-Tibyan, Cetakan VIII, 2009



Kisah Hikmah: Jangan Dekati Zina, Zina adalah Hutang

Zina adalah utang…, taruhannya adalah keluarga anda. Lelaki yang berzina dengan wanita, sejatinya dia telah mencabik-cabik kehortaman semua lelaki kerabat wanita ini.
jangan dekati zinaBismillah was shalatu was salamu ‘ala rasulillah, amma ba’du,
Kita awali dengan sebuah kisah. Kisah nyata yang memberikan pelajaran kepada kita bahwa kesalahan manusia tidak akan disia-siakan, semua tinggal menunggu balasan.
trans Kisah Hikmah: Jangan Dekati Zina, Zina adalah Hutang
Tersebutlah dua orang pemuda…(sebut saja: Qird dan Kalb). Keduanya akrab karena sama-sama rajin maksiat. Saling membantu untuk berpetualang di dunia gemblung (dugem). Celakanya, keduanya telah menikah.
Suatu ketika, Qird melakukan perjalanan. Setelah berinteraksi dengan orang sekitar, dia berkenalan dengan seorang wanita. Terjadilah hubungan gelap diantara mereka. Qird berjanji, suatu hari akan menemui sang wanita, setidaknya bisa bermalam bersama.
Tiba saatnya untuk memenuhi janjinya. Suasana keluarga juga mendukung. Diapun pamit ke istrinya, karena ada tugas penting yang harus dia selesaikan. Dia memohon agar sang istri untuk tinggal sementara di rumah orang tuanya.
Berangkatlah sang istri yang malang ke rumah ortunya, dan berangkatlah serigala penipu untuk menjemput wanita simpanan idamannya.
Wanita itu berpesan: ‘Saya ingin kita ngobrol sebentar di taman, kemudian nanti baru ke rumah.’ ‘Oke, saya setuju.’ Sambut si Qird.
Sepulang dari taman, keduanya melaju ke rumah Qird yang telah dikosongkan penghuninya. Sesampainya di rumah, ‘Tunggu, tolong carikan makan – minum dulu.’ pinta si wanita.
Keluarlah Qird dengan penuh semangat menuju rumah makan. Setelah membeli beberapa makanan dan minuman, diapun bergegas pulang menuju rumah untuk melampiaskan kenangan indahnya. Segera melaju dengan mobilnya.
“Priii..tt” ternyata mobil Pak polisi telah menghadang.
“Permisi pak, anda melanggar lalu lintas. Anda melanggar lampu merah.” “Parkir mobil anda, dan ikut kami.”
Setelah sampai di kantor polisi, dia minta izin untuk menghubungi teman akrabnya. Berdirilah dia di sudut kantor, dan mulai menghubungi Kalb.
“Sudah… di rumah saya ada tamu istimewa… makan malamnya di mobil. Mobilnya ada di tempat X..” Lanjut, “Ambil makanan itu, antarkan ke rumahku…, dan lanjutkan rencana kita.” “Kalo kamu sudah selesai bersamanya, kembalikan dia ke rumahnya. Saya khawatir istri saya pulang ke rumah, dan terbongkar semua rahasia ini.”
“Siap, santai saja… selama di sana ada yang istimewa.” Jawab Kalb.
Berangkatlah Kalb, teman yang setia ke rumah Qird.
Setelah menjalani proses sidang yang rumit…, akhirnya Qird berhasil keluar kantor polisi. Dia bergegas melaju mobilnya dan menuju rumah..
Apa yang dia jumpai…?? Setelah dia pupus untuk mendapatkan impiannya.
Dia segera menggayuh pintu rumah dan memasukinya. Ternyata istrinya telah di rumahnya. Dan semalam dia bersama teman dekatnya, Kalb. Dia kaget setengah mati, “Kamu saya cerai tiga…, cerai empat…, cerai seribu kali..”
Apa yang bisa anda renungkan dari kisah ini…
Ya, karena zina adalah utang…, taruhannya adalah keluarga anda. Itulah yang dinasehatkan Imam As-Syafii.
Dalam Bait Syairnya beliau mengatakan,
عفوا تعف نساءكم في المحْرَمِ ****وتجنبـوا مـا لايليق بمسلـم
إن الزنـا دين إذا أقرضــته **** كان الوفا من أهل بيتك فاعلم
من يزنِ في قوم بألفي درهم **** في أهله يُـزنى بربـع الدرهم
من يزنِ يُزنَ به ولو بجـداره **** إن كنت يا هذا لبيباً فـافهـم
ياهاتكا حُـرَمَ الرجال وتابعـا**** طرق الفسـاد عشت غيرَ مكرم
لو كنت حُراً من سلالة ماجـدٍ**** ما كنت هتـّـاكاً لحرمة مسلمِ
Maaf, jaga kehormatan para wanita yang menjadi mahram kalian *** Hindari segala yang tidak layak dilakukan seorang muslim.
Sesungguhnya zina adalah utang. Jika kamu sampai berani berutang *** Tebusannya ada pada anggota keluargamu, pahami.
Siapa yang berzina dengan wanita lain dan membayar 2000 dirham *** bisa jadi di keluarganya akan dizinai dengan harga ¼ dirham
Siapa yang berzina akan dibalas dizinai, meskipun dengan tebusan tembok *** jika anda orang cerdas, pahamilah hal ini.
Wahai mereka yang merampas kehormatan keluarga seorang *** dan menyusuri jalan maksiat. Anda hidup tanpa dimuliakan.
Jika anda benar-benar bebas dari belenggu pengikat *** tak selayaknya engkau mencabik kehormatan seorang muslim.

DIALOG IBNU ABBAS DENGAN KAUM KHAWARIJ


Wajibnya kembali kepada sahabat dalam memahami Islam
Jauh dari jalan sahabat Rasulullah n dalam memahami Al-Kitab dan As-Sunnah, adalah pertanda kesesatan dan alamat kebinasaan. Dalam sebuah wasiatnya yang agung, Rasulullah n mewanti-wanti umat ini agar selalu berjalan di atas jalan mereka yang lurus. Beliau n bersabda:
فَإِنَّهُ مَنْ يَعِشْ مِنْكُمْ فَسَيَرَى اخْتِلَافًا كَثِيرًا فَعَلَيْكُمْ بِسُنَّتِي وَسُنَّةِ الْخُلَفَاءِ الرَّاشِدِيْنَ الْمَهْدِيِّيْنَ تَمَسَّكُوا بِهَا وَعَضُّوا عَلَيْهَا بِالنَّوَاجِذِ
“Maka sungguh, siapa yang hidup di antara kalian akan menyaksikan perselisihan yang banyak, maka wajib atas kalian mengikuti sunnahku dan sunnah Al-Khulafa yang mendapat bimbingan dan petunjuk, pegang eratlah sunnah itu dan gigitlah dengan geraham-geraham kalian.”[1]
Nasihat ini ternyata tidak dihiraukan oleh orang-orang yang mengikuti hawa nafsunya, kaum Khawarij misalnya. Meski mereka orang yang rajin ibadah, tekun berzikir bahkan jidat-jidat mereka hitam terluka karena banyaknya shalat malam, namun tatkala jalan yang mereka tempuh bukan jalan sahabat Rasulullah n –salaf (pendahulu) umat ini– mereka pun Allah l sesatkan hingga terjerumus dalam jurang kebinasaan. Demikianlah ketentuan Allah l atas mereka yang menentang Rasul n dan meninggalkan jalan sahabat-sahabatnya.

“Dan barangsiapa menentang Rasul sesudah jelas kebenaran baginya, dan mengikuti jalan yang bukan jalan orang-orang mukmin, Kami biarkan ia leluasa terhadap kesesatan yang telah dikuasinya itu dan Kami masukkan ia ke dalam Jahanam, dan Jahanam itu seburuk-buruk tempat kembali.” (An-Nisa: 115)
Rentetan peristiwa tarikh adalah mata rantai-mata rantai bersambung yang tak terpisahkan. Wafatnya Khalifah Ar-Rasyid Utsman bin Affan z dan Ali bin Abi Thalib z dalam keadaan syahid dan terzalimi adalah bagian dari akibat buruk pemahaman Khawarij yang jauh dari sahabat Rasulullah n. Mereka memang ahli baca Qur’an, bahkan menghafalnya. Mereka ahli ibadah, bahkan di sebagian besar waktunya. Namun ketika mereka telah tinggalkan sahabat dalam memahami wahyu Allah l, mereka pun terjatuh dalam jurang kebinasaan.
Bukti kebodohan Khawarij dan jauhnya mereka dari salaf umat ini terlalu banyak untuk disebutkan. Cukuplah dalam lembar berikut kita simak dialog mereka bersama Ibnu Abbas z, putra paman Rasulullah n, habrul ummah (ulama umat ini). Dalam dialog tersebut kita bisa menyimak sejauh mana mereka menyimpang dari jalan sahabat, dan bagaimana mereka lebih mengedepankan ra’yu(logika) dan perasaan ketimbang jalan lurus yang telah Rasulullah n gariskan.
Kita tinggalkan Abul Faraj Ibnul Jauzi t meriwayatkan dialog tersebut dalam bukunya, Talbis Iblis, dengan sanadnya hingga Abdullah bin ‘Abbas bin Abdul Muththalib c….

Cermin kebodohan Khawarij dalam memahami agama
Ibnu ‘Abbas z berkata: “Orang-orang Khawarij memisahkan diri dari Ali z, berkumpul di satu daerah untuk keluar dari ketaatan (memberontak) kepada khalifah. Mereka ketika itu berjumlah enam ribu orang.
Semenjak Khawarij berkumpul, tidaklah ada seorang yang mengunjungi Ali z melainkan dia berkata –mengingatkan beliau–: “Wahai Amirul Mukminin, mereka kaum Khawarij telah berkumpul untuk memerangimu.”
Beliau menjawab: “Biarkan mereka, aku tidak akan memerangi mereka hingga mereka memerangiku, dan sungguh mereka akan melakukannya.”
Hingga di suatu hari yang terik, saat masuk waktu dhuhur aku menjumpai Ali z. Aku berkata: “Wahai Amirul Mukminin, tunggulah cuaca dingin untuk shalat dhuhur, sepertinya aku akan mendatangi mereka (Khawarij) berdialog.”
‘Ali bin Abi Thalib z berkata: “Wahai Ibnu Abbas, sungguh aku mengkhawatirkanmu!”
Ibnu Abbas z: “Wahai Amirul Mukminin, janganlah kau khawatirkan diriku. Aku bukanlah orang yang berakhlak buruk dan aku tidak pernah menyakiti seorang pun.” Maka Ali z mengizinkanku.
“Jubah terbaik dari Yaman segera kupakai, kurapikan rambutku, dan kulangkahkan kaki ini hingga masuk di barisan mereka di tengah siang.”
Ibnu Abbas z berkata: “Sungguh aku dapati diriku masuk di tengah kaum yang belum pernah sama sekali kujumpai satu kaum yang sangat bersemangat dalam ibadah seperti mereka. Dahi-dahi penuh luka bekas sujud, tangan-tangan menebal bak lutut-lutut unta. Wajah-wajah mereka pusat pasi karena tidak tidur, menghabiskan malam untuk beribadah.”
Kuucapkan salam pada mereka. Serempak mereka menyambutku: “Marhaban, wahai Ibnu ‘Abbas z. Apa gerangan yang membawamu kemari?”
Aku berkata: “Sungguh aku datang pada kalian dari sisi sahabat Muhajirin dan sahabat Anshar, juga dari sisi menantu Rasulullah n,[2] yang kepada merekalah Al-Qur’an diturunkan dan merekalah orang-orang yang paling mengerti makna Al-Qur’an daripada kalian.”
Pembaca rahimakumullah, sebelum kita lanjutkan penuturan Ibnul Jauzi t, perhatikan sejenak jawaban Ibnu ‘Abbas z yang sarat makna dan penuh keindahan. Kata-kata itu sesungguhnya mutiara yang sangat berharga, yang mengingatkan akan kedudukan sahabat Muhajirin dan Anshar sekaligus nasihat bagaimana seharusnya prinsip seorang muslim dalam memahami Al-Kitab dan As-Sunnah yaitu: mengembalikan kepada pemahaman sahabat yang kepada merekalah Al-Qur’an diturunkan, dan merekalah orang yang paling mengerti Al-Kitab dan As-Sunnah. Dalam jawaban ini, beliau juga ingin tegaskan besarnya kedudukan Ali bin Abi Thalib z di sisi Allah l, sebagai menantu Rasulullah n. Mungkin dengan ini mereka menyadari kesesatan yang mereka berada di atasnya dan segera bertaubat untuk tidak memerangi Ali z.
Begitu mendengar ucapan Ibnu Abbas z yang penuh makna dan merupakan prinsip hidup –yang tentunya tidak mereka sukai karena menyelisihi prinsip sesat mereka–, berkatalah sebagian Khawarij memberi peringatan: “Jangan sekali-kali kalian berdebat dengan seorang Quraisy (yakni Ibnu ‘Abbas z, pen.). Sesungguhnya Allah l berfirman:
ﯬ ﯭ ﯮ ﯯ ﯰ
“Sebenarnya mereka adalah kaum yang suka bertengkar.” (Az-Zukhruf: 58)
Betapa bodohnya mereka gunakan ayat ini untuk mencela Ibnu Abbas z, padahal beliau lebih mengerti Al-Qur’an, sebagaimana Rasulullah n berdoa untuknya: “Ya Allah, faqihkan ia dalam agama dan ajarkanlah ia tafsir.”
Ibnul Jauzi t kembali melanjutkan riwayat kisah ini: Berkata dua atau tiga orang dari mereka: “Biarlah kami yang akan mendebatnya!”.
Aku berkata: “Wahai kaum, datangkan untukku alasan, mengapa kalian membenci menantu Rasulullah n beserta sahabat Muhajirin dan Anshar, padahal kepada merekalah Al-Qur’an diturunkan, Tidak ada pula seorang pun dari sahabat yang bersama kalian, dan ia (Ali z adalah orang) yang paling mengerti dengan tafsir Al-Qur’an?”
Mereka berkata: “Kami punya tiga alasan.”
Aku berkata: “Sebutkan (tiga alasan kalian).”
Mereka berkata: “Pertama: Sungguh dia telah jadikan manusia sebagai hakim (pemutus perkara) dalam urusan Allah l, padahal Allah l berfirman:

“…Keputusan itu hanyalah kepunyaan Allah l...” (Yusuf: 40)
Hukum manusia tidak ada artinya di hadapan firman Allah l.[3]
Aku berkata: “Ini alasan kalian yang pertama. Lalu apa lagi?”
Mereka berkata: “Adapun yang kedua, sesungguhnya dia telah berperang dan membunuh[4] tapi kenapa tidak mau menawan dan mengambil ghanimah? Kalau mereka (Aisyah dan barisannya) itu mukmin tentu tidak halal bagi kita memerangi dan membunuh mereka. Tidak halal pula tawanan-tawanannya.”
Ibnu Abbas z berkata: “Lalu apa alasan kalian yang ketiga?”
Mereka berkata: “Ketiga: Dia telah hapus sebutan Amirul Mukminin dari dirinya. Kalau dia bukan amirul mukminin (karena menghapus sebutan itu) berarti dia adalah amirul kafirin(pemimpin orang-orang kafir).”
Ibnu ‘Abbas z berkata: “Adakah pada kalian alasan selain ini?” Mereka berkata: “Cukup sudah bagi kami tiga perkara ini!”

Bantahan Ibnu ‘Abbas z atas kebodohan Khawarij
Pembaca rahimakumullah, lihatlah bagaimana Khawarij bermudah-mudah mengambil vonis kafir, dan mengambil sikap memberontak bahkan kepada khalifah Ar-Rasyid yang penuh keutamaan dan kemuliaan. Alasan-alasan mereka adalah syubhat yang sangat lemah dan menunjukkan kebodohan mereka dalam memahami Al-Kitab dan As-Sunnah serta an jauhnya mereka dari pemahaman sahabat.
Selanjutnya, mari kita simak bagaimana Ibnu Abbas z mendudukkan syubhat-syubhat tersebut.
Ibnu ‘Abbas z berkata: “Ucapan kalian bahwa Ali z telah menggunakan manusia dalam memutuskan perkara (untuk mendamaikan persengketaan antara kaum muslimin -pen), sebagai jawabannya akan kubacakan ayat yang membatalkan syubhat kalian. Jika ucapan kalian terbantah, maukah kalian kembali (kepada jalan yang benar)?”
Mereka berkata: “Ya, tentu kami akan kembali.”
Ibnu ‘Abbas z berkata: “Ketahuilah, sesungguhnya Allah l telah menyerahkan di antara hukum-Nya kepada hukum (keputusan) manusia, seperti dalam menentukan harga kelinci (sebagai tebusan atas kelinci yang dibunuh saat ihram[5].) Allah l berfirman:

“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu membunuh binatang buruan, ketika kamu sedang ihram. Barangsiapa di antara kamu membunuhnya dengan sengaja, maka dendanya ialah mengganti dengan binatang ternak seimbang dengan buruan yang dibunuhnya, menurut putusan (hukum) dua orang yang adil di antara kamu, sebagai hadyu yang dibawa sampai ke Ka’bah, atau (dendanya) membayar kafarat dengan memberi makan orang-orang miskin, atau berpuasa seimbang dengan makanan yang dikeluarkan itu, supaya dia merasakan akibat buruk dari perbuatannya. Allah telah memaafkan apa yang telah lalu. Dan barangsiapa yang kembali mengerjakannya, niscaya Allah akan menyiksanya. Allah Maha Kuasa lagi mempunyai (kekuasaan untuk) menyiksa.” (Al-Maidah: 95)
Demikian pula dalam perkara perempuan dan suaminya yang bersengketa, Allah l juga menyerahkan hukumnya kepada hukum (keputusan) manusia untuk mendamaikan antara keduanya. Allah l berfirman:

“Dan jika kamu khawatirkan ada persengketaan antara keduanya, maka kirimlah seorang hakam dari keluarga laki-laki dan seorang hakam dari keluarga perempuan. Jika kedua orang hakam itu bermaksud mengadakan perbaikan, niscaya Allah memberi taufik kepada suami-istri itu. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha mengenal.” (An-Nisa: 35)
Maka demi Allah l, jawablah oleh kalian. Apakah diutusnya seorang manusia untuk mendamaikan hubungan mereka dan mencegah pertumpahan darah di antara mereka[6] lebih pantas untuk dilakukan, atau hukum manusia perihal darah seekor kelinci dan urusan pernikahan wanita? Menurut kalian manakah yang lebih pantas?”
Mereka katakan: “Bahkan inilah (yakni mengutus manusia untuk mendamaikan manusia dari pertumpahan darah) yang lebih pantas.”
Ibnu ‘Abbas z berkata: “Apakah kalian telah keluar dari masalah pertama?” Mereka berkata: “Ya.”
Ibnu Abbas melanjutkan: “Adapun ucapan kalian bahwa Ali z telah memerangi tapi tidak mau mengambil ghanimah dari yang diperangi dan tidak menjadikan mereka sebagai tawanan, sungguh (dalam alasan kedua ini) kalian telah mencerca ibu kalian (yakni Aisyah). [7]
Demi Allah l! Kalau kalian katakan bahwa Aisyah bukan ibu kita (yakni kafir), kalian sungguh telah keluar dari Islam (karena mengingkari firman Allah l). Demikian pula kalau kalian menjadikan Aisyah sebagai tawanan perang dan menganggapnya halal sebagaimana tawanan lainnya (sebagaimana layaknya orang-orang kafir), maka kalianpun keluar dari Islam. Sesungguhnya kalian berada di antara dua kesesatan, karena Allah l berfirman:

“Nabi itu lebih utama bagi orang-orang mukmin dari diri mereka sendiri dan istri-istrinya adalah ibu-ibu mereka.” (Al-Ahzab: 6)
Ibnu Abbas z berkata: “Apakah kalian telah keluar dari masalah ini?”
Mereka menjawab: “Ya.”
Ibnu Abbas z berkata lagi: “Adapun ucapan kalian bahwasanya Ali z telah menghapus sebutan Amirul Mukminin dari dirinya, maka (sebagai jawabannya) aku akan kisahkan kepada kalian tentang seorang yang kalian ridhai, yaitu Rasulullah n. Ketahuilah, bahwasanya beliau di hari Hudaibiyah (6 H) melakukan shulh (perjanjian damai) dengan orang-orang musyrikin, Abu Sufyan dan Suhail bin ‘Amr. Tahukah kalian apa yang terjadi?
Ketika itu Rasulullah n bersabda kepada Ali z: “Wahai Ali, tulislah perjanjian untuk mereka.” Ali menulis: “Inilah perjanjian antara Muhammad Rasulullah…
Segera orang-orang musyrik berkata: “Demi Allah l! Kami tidak tahu kalau engkau rasul Allah l. Kalau kami mengakui engkau sebagai rasul Allah l tentu kami tidak akan memerangimu.”
Rasulullah n bersabda: “Ya Allah l, sungguh engkau mengetahui bahwa aku adalah Rasulullah. Wahai Ali tulislah: Ini adalah perjanjian antara Muhammad bin Abdilah…’.” (Rasulullah memerintahkan Ali untukmenghapus sebutan Rasulullah dalam perjanjian, pen.)
Ibnu Abbas z berkata: “Demi Allah l, sungguh Rasulullah n lebih mulia dari Ali z. Meskipun demikian, beliau menghapuskan sebutan Rasulullah dalam perjanjian Hudaibiyah…” (Apakah dengan perintah Rasul menghapuskan kata Rasulullah dalam perjanjian kemudian kalian mengingkari kerasulan beliau? Sebagaimana kalian ingkari keislaman Ali karena menghapus sebutan Amirul Mukminin?)
Ibnu Abbas z berkata: “Maka kembalilah dua ribu orang dari mereka, sementara lainnya tetap memberontak (dan berada di atas kesesatan), hingga mereka diperangi dalam sebuah peperangan besar (yakni perang Nahrawan).”[8]
Demikian tiga syubhat Khawarij yang mereka jadikan sebagai alasan memberontak dan memerangi Ali z. Semua syubhat tersebut terbantah dalam dialog mereka dengan Ibnu ‘Abbas z. Maka selamatlah mereka yang mau mendengar sahabat dan menjadikan mereka sebagai rujukan dalam memahami Al-Kitab dan As-Sunnah. Sedangkan mereka yang tidak mau kembali pada sahabat Rasulullah n tetap dalam kebinasaan.
Hingga terjadilah pertempuran Nahrawan. Fitnah pun berlanjut dan terjadilah pembunuhan Khalifah Ar-Rasyid Ali bin Abi Thalib z.

[1] HR. Abu Dawud no. 4607 dan At-Tirmidzi no. 2676.
[2] Yakni Amirul Mukminin Ali bin Abi Thalib z.
[3] Maksud mereka: Kenapa Ali z melakukan tahkim (berhukum) dengan keputusan Abu Musa Al-Asy’ari z dari pihak beliau dan ‘Amr bin Al-Ash z dari pihak Mu’awiyah bin Abi Sufyan z untuk melakukan shulh (perdamaian), demi menjaga darah-darah muslimin setelah sebelumnya terjadi perang Shiffin di bulan Shafar tahun 37 H.
[4] Yaitu perang Jamal tahun 36 H. Perang antara barisan ‘Ali bin Abi Thalib z dan barisan Aisyah x. Hal yang harus diketahui tentang perang Jamal, bahwasanya dalam perang tersebut sama sekali Ali bin Abi Thalib maupun Aisyah tidak menginginkan adanya peperangan. Yang terjadi adalah keinginan Aisyah untuk melakukan ishlah (perbaikan hubungan) antara dua barisan kaum muslimin. Berangkatlah Aisyah menuju Bashrah bersama Thalhah, Az-Zubair dan sejumlah kaum muslimin dengan tujuan ishlah. Perdamaian pun terjadi di antara kedua belah pihak. Namun para penyulut fitnah tidak tinggal diam dengan ketenangan dan perdamaian yang terwujud. Mereka melakukan makar dengan memunculkan penyerangan dari dua kubu sekaligus. Maka Ali menyangka beliau diserang, sehingga harus membela diri. Demikian pula Aisyah menyangka diserang sehingga harus membela diri, hingga terjadilah peperangan yang sesungguhnya tidak diinginkan. Yang harus diketahui pula, bahwasanya tidak ada seorang sahabat pun yang ikut dalam fitnah tersebut. (Lihat Tasdid Al-Ishabah Fima Syajara Bainash-Shahabah, oleh Dziyab bin Sa’d Al-Ghamidi)
[5] Haji atau ‘umrah.
[6] Sebagaimana dilakukan Ali bin Abi Thalib z mengirim Abu Musa Al-Asy’ari z untuk menghentikan perang Shiffin.
[7] Karena konsekuensinya adalah menjadikan Aisyah x sebagai tawanan perang, budak yang boleh dinikahi, padahal beliau adalah Ummul Mukminin yang haram bagi siapapun menikahi beliau sesudah wafatnya Rasulullah n.
[8] Talbis Iblis Ibnul Jauzi dengan beberapa perubahan.



Sejarah Singkat  Imam Tirmizi


Khazanah keilmuan Islam klasik mencatat sosok Imam Tirmizi sebagai salah satu periwayat dan ahli Hadits utama, selain Imam Bukhari, Imam Muslim, Imam Abu Daud, dan sederet nama lainnya. Karyanya, Kitab Al Jami’, atau biasa dikenal dengan kitab Jami’ Tirmizi, menjadi salah satu rujukan penting berkaitan masalah Hadits dan ilmunya, serta termasuk dalam Kutubus Sittah (enam kitab pokok di bidang Hadits) dan ensiklopedia Hadits terkenal. Sosok penuh tawadhu’ dan ahli ibadah ini tak lain adalah Imam Tirmizi.
Dilahirkan pada 279 H di kota Tirmiz, Imam Tirmizi bernama lengkap Imam Al-Hafiz Abu Isa Muhammad bin Isa bin Saurah bin Musa bin Ad-Dahhak As-Sulami At-Tirmizi. Sejak kecil, Imam Tirmizi gemar belajar ilmu dan mencari Hadits. Untuk keperluan inilah ia mengembara ke berbagai negeri, antara lain Hijaz, Irak, Khurasan, dan lain-lain.
Dalam lawatannya itu, ia banyak mengunjungi ulama-ulama besar dan guru-guru Hadits untuk mendengar Hadits dan kemudian dihafal dan dicatatnya dengan baik. Di antara gurunya adalah; Imam Bukhari, Imam Muslim, dan Imam Abu Daud. Selain itu, ia juga belajar pada Imam Ishak bin Musa, Mahmud bin Gailan, Said bin Abdurrahman, Ali bin Hajar, Ahmad bin Muni’, dan lainnya.
Perjalanan panjang pengembaraannya mencari ilmu, bertukar pikiran, dan mengumpulkan Hadits itu mengantarkan dirinya sebagai ulama Hadits yang sangat disegani kalangan ulama semasanya. Kendati demikian, takdir menggariskan lain. Daya upaya mulianya itu pula yang pada akhir kehidupannya mendapat musibah kebutaan, dan beberapa tahun lamanya ia hidup sebagai tuna netra. Dalam kondisi seperti inilah, Imam Tirmizi meninggal dunia. Ia wafat di Tirmiz pada usia 70 tahun.
Di kemudian hari, kumpulan Hadits dan ilmu-ilmunya dipelajari dan diriwayatkan oleh banyak ulama, di antaranya; Makhul ibnul-Fadl, Muhammad bin Mahmud Anbar, Hammad bin Syakir, Abd bin Muhammad An-Nasfiyyun, Al-Haisam bin Kulaib Asy-Syasyi, Ahmad bin Yusuf An-Nasafi, Abul-Abbas Muhammad bin Mahbud Al-Mahbubi, yang meriwayatkan kitab Al-Jami’ daripadanya, dan lain-lain. Mereka ini pula murid-murid Imam Tirmizi.
Banyak kalangan ulama dan ahli Hadits mengakui kekuatan dan kelebihan dalam diri Imam Tirmizi. Selain itu, kesalehan dan ketakwaannya pun tak dapat diragukan lagi. Salah satu ulama itu, Ibnu Hibban Al-Busti, pakar Hadits, mengakui kemampuan Tirmizi dalam menghafal, menghimpun, menyusun, dan meneliti Hadits, sehingga menjadikan dirinya sumber pengambilan Hadits para ulama terkenal, termasuk Imam Bukhari.
Sementara kalangan ulama lainnya mengungkapkan, Imam Tirmizi adalah sosok yang dapat dipercaya, amanah, dan sangat teliti. Kisah yang dikemukakan Al-Hafiz Ibnu Hajar dalam Tahzib At-Tahzibnya, dari Ahmad bin Abdullah bin Abu Dawud, berikut adalah salah satu bukti kelebihan sang Imam :
Saya mendengar Abu Isa At-Tirmizi berkata, “Pada suatu waktu dalam perjalanan menuju Mekkah, dan ketika itu saya telah menulis dua jilid buku berisi Hadits-hadits berasal dari seorang guru. Guru tersebut berpapasan dengan kami. Lalu saya bertanya-tanya mengenai dia, mereka menjawab bahwa dialah orang yang kumaksudkan itu. Kemudian saya menemuinya. Dia mengira bahwa ‘dua jilid kitab’ itu ada padaku. Ternyata yang kubawa bukanlah dua jilid tersebut, melainkan dua jilid lain yang mirip dengannya. Ketika saya bertemu dengannya, saya memohon kepadanya untuk mendengar Hadits, dan ia mengabulkan permohonan itu. Kemudian ia membacakan Hadits yang telah dihafalnya. Di sela-sela pembacaan itu ia mencuri pandang dan melihat bahwa kertas yang kupegang ternyata masih putih bersih tanpa ada tulisan sesuatu apa pun. Melihat kenyataan itu, ia berkata, ‘Tidakkah engkau malu kepadaku?’ Lalu aku bercerita dan menjelaskan kepadanya bahwa apa yang ia bacakan itu telah kuhafal semuanya. ‘Coba bacakan!’ perintahnya. Aku pun membacakan seluruhnya secara beruntun. Ia bertanya lagi, ‘Apakah telah engkau hafalkan sebelum datang kepadaku?’ Aku menjawab, ‘Tidak.’ Kemudian saya meminta lagi agar dia meriwayatkan Hadits yang lain. Ia pun kemudian membacakan 40 Hadits yang tergolong Hadits-hadits sulit atau gharib lalu berkata, ‘Coba ulangi apa yang kubacakan tadi!’ Lalu aku membacakannya dari pertama sampai selesai, dan ia berkomentar, ‘Aku belum pernah melihat orang seperti engkau.’ “
Selain dikenal sebagai ahli dan penghafal Hadits, mengetahui kelemahan-kelemahan dan perawi-perawinya, Imam Tirmizi juga dikenal sebagai ahli fiqh dengan wawasan dan pandangan luas. Pandangan-pandangan tentang fiqh itu misalnya, dapat ditemukan dalam kitabnya Al-Jami’.
Kajian-kajiannya mengenai persoalan fiqh ini pula mencerminkan dirinya sebagai ulama yang sangat berpengalaman dan mengerti betul duduk permasalahan yang sebenarnya. Sebagai tamsil, penjelasannya terhadap sebuah Hadits mengenai penangguhan membayar piutang yang dilakukan si berutang yang sudah mampu, sebagai berikut: “Muhammad bin Basysyar bin Mahdi menceritakan kepada kami. Sufyan menceritakan kepada kami, dari Abi Az-Zunad, dari Al-Arai dari Abu Hurairah, dari Nabi SAW, bersabda: Penangguhan membayar utang (yang dilakukan oleh si berutang) yang mampu adalah suatu kezaliman. Apabila seseorang di antara kamu dipindahkan utangnya kepada orang lain yang mampu membayar, hendaklah pemindahan utang itu diterimanya.”
Bagaimana penjelasan sang Imam? Berikut ini komentar beliau, “Sebagian ahli ilmu berkata: ‘Apabila seseorang dipindahkan piutangnya kepada orang lain yang mampu membayar dan ia menerima pemindahan itu, maka bebaslah orang yang memindahkan (muhil) itu, dan bagi orang yang dipindahkan piutangnya (muhtal) tidak dibolehkan menuntut kepada muhil.’ Sementara sebagian ahli lainnya mengatakan: ‘Apabila harta seseorang (muhtal) menjadi rugi disebabkan kepailitan muhal ‘alaih, maka baginya dibolehkan menuntut bayar kepada orang pertama (muhil). Alasannya adalah, tidak ada kerugian atas harta benda seorang Muslim. Menurut Ibnu Ishak, perkataan ‘Tidak ada kerugian atas harta benda seorang Muslim’ ini adalah ‘Apabila seseorang dipindahkan piutangnya kepada orang lain yang dikiranya mampu, namun ternyata orang lain itu tidak mampu, maka tidak ada kerugian atas harta benda orang Muslim (yang dipindahkan utangnya) itu’.” demikian penjelasan Imam Tirmizi.
Ini adalah satu contoh yang menunjukkan kepada kita, betapa cemerlangnya pemikiran fiqh Imam Tirmizi dalam memahami nash-nash Hadits, serta betapa luas dan orisinal pandangannya itu. Hingga meninggalnya, Imam Tirmizi telah menulis puluhan kitab, diantaranya: Kitab Al-Jami’, terkenal dengan sebutan Sunan at-Tirmizi, Kitab Al-’Ilal, Kitab At-Tarikh, Kitab Asy-Syama’il an-Nabawiyyah, Kitab Az-Zuhd, dan Kitab Al-Asma’ wal-Kuna.
Selain dikenal dengan sebutan Kitab Jami’ Tirmizi, kitab ini juga dikenal dengan nama Sunan At-Tirmizi. Di kalangan muhaddisin (ahli Hadits), kitab ini menjadi rujukan utama, selain kitab-kitab hadits lainnya dari Imam Bukhari maupun Imam Muslim.
Kitab Sunan Tirmizi dianggap sangat penting lantaran kitab ini betul-betul memperhatikan ta’lil (penentuan nilai) Hadits dengan menyebutkan secara eksplisit Hadits yang sahih. Itu sebabnya, kitab ini menduduki peringkat ke-4 dalam urutan Kutubus Sittah, atau menurut penulis buku Kasyf Az Zunuun, Hajji Khalfah (w. 1657), kedudukan Sunan Tirmizi berada pada tingkat ke-3 dalam hierarki Kutubus Sittah.
Tidak seperti kitab Hadits Imam Bukhari, atau yang ditulis Imam Muslim dan lainnya, kitab Sunan Tirmizi dapat dipahami oleh siapa saja, yang memahami bahasa Arab tentunya. Dalam menyeleksi Hadits untuk kitabnya itu, Imam Tirmizi bertolak pada dasar apakah Hadits itu dipakai oleh fuqaha (ahli fikih) sebagai hujjah (dalil) atau tidak. Sebaliknya, Tirmizi tidak menyaring Hadits dari aspek Hadits itu dhaif atau tidak. Itu sebabnya, ia selalu memberikan uraian tentang nilai Hadits, bahkan uraian perbandingan dan kesimpulannya.
Diriwayatkan, bahwa ia pernah berkata: “Semua Hadits yang terdapat dalam kitab ini adalah dapat diamalkan.” Oleh karena itu, sebagian besar ahli ilmu menggunakannya (sebagai pegangan), kecuali dua Hadits, yaitu: Pertama, yang artinya: “Sesungguhnya Rasulullah SAW menjamak shalat Dhuhur dengan Ashar, dan Maghrib dengan Isya, tanpa adanya sebab takut dan dalam perjalanan.” Juga Hadits, “Jika ia peminum khamar, minum lagi pada yang keempat kalinya, maka bunuhlah dia.” Hadits mengenai hukuman untuk peminum khamar ini adalah mansukh (terhapus) dan ijma’ ulama pun menunjukkan demikian. Sedangkan mengenai shalat jamak, para ulama berbeda pendapat atau tidak sepakat untuk meninggalkannya. Sebagian besar ulama berpendapat boleh hukumnya melakukan shalat jamak di rumah selama tidak dijadikan kebiasaan. Pendapat ini adalah pendapat Ibn Sirin dan Asyab serta sebagian besar ahli fiqh dan ahli Hadits juga Ibn Munzir.
Beberapa keistimewaan Kitab Jami’ atau Sunan Tirmizi adalah, pencantuman riwayat dari sahabat lain mengenai masalah yang dibahas dalam Hadits pokok (Hadits al Bab), baik isinya yang semakna maupun yang berbeda, bahkan yang bertentangan sama sekali secara langsung maupun tidak langsung.
Selain itu, keistimewaan yang langsung kaitannya dengan ulum al Hadits (ilmu-ilmu Hadits) adalah masalah ta’lil Hadits. Hadits-hadits yang dimuat disebutkan nilainya dengan jelas, bahkan nilai rawinya yang dianggap penting. Kitab ini dinilai positif karena dapat digunakan untuk penerapan praktis kaidah-kaidah ilmu Hadits, khususnya ta’lil Hadits tersebut.



Inilah Kajian Al Ghazali tentang Konsep Ketuhanan Yesus


Imam Al GhazaliImam al-Ghazali adalah salah seorang ulama klasik yang berusaha keras mematahkan hujjah ketuhanan Yesus. Melalui bukunya yang berjudul al-Raddul Jamil li Ilahiyati `Isa, al-Ghazali membantah ketuhanan Yesus dengan mengutip teks-teks Bibel. Buku ini menarik untuk dikaji karena diterbitkan oleh UNESCO dalam bahasa Arab.

Imam al-Ghazali adalah ulama yang sangat terkenal di zamannya sampai zaman sekarang ini. Nama lengkapnya, Abu Hamid Muhammad bin Muhammad bin Muhammad bin Ahmad At-Thusi Asy-Syafii (pengikut mazhab Syaf'i). AlGhazali lahir 450 H/1058 M dan wafat pada tahun 505H/1111M dalam usia 55 tahun.

Karyanya tidak kurang dari 200 buku, dan di antara karyanya yang sangat monumental adalah "Ihya `Ulumiddin" (Revival of Religious Sciences). Ia dikenal sebagai seorang filosof, ahli tasawwuf, ahli fikih, dan juga bisa dikatakan sebagai seorang Kristolog. Ini terbukti lewat karyanya al-Raddul Jamil, yang ditulisnya secara serius dan mendalam.

Dalam bukunya, Al-Ghazali memberikan kritik-kritik terhadap kepercayaan kaum Nasrani yang bertaklid kepada akidah pendahulunya, yang keliru. Kata al-Ghazali dalam mukaddimah bukunya: "Aku melihat pembahasan-pembahasan orang Nasrani tentang akidah mereka memiliki pondasi yang lemah. Orang Nasrani menganggap agama mereka adalah syariat yang tidak bisa di takwil" Imam al-Ghazali juga berpendapat bahwa orang Nasrani taklid kepada para filosof dalam soal keimanan. Misalnya dalam masalah al-ittihad, yaitu menyatunya zat Allah dengan zat Yesus.

Al-Ghazali membantah teori al-ittihad kaum Nasrani. Menurutnya, anggapan bahwa Isa AS mempunyai keterkaitan dengan Tuhan seperti keterkaitan jiwa dengan badan, kemudian dengan keterkaitan ini terjadi hakikat ketiga yang berbeda dengan dua hakikat tadi, adalah keliru. Menurutnya, bergabungnya dua zat dan dua sifat (isytirak), kemudian menjadi hakikat lain yang berbeda adalah hal yang mustahil yang tidak diterima akal.

Dalam pandangan al-Ghazali, teori alittihad ini justru membuktikan bahwa Yesus bukanlah Tuhan. Al-Ghazali menggunakan analogi mantik atau logika. Ia berkata, ketika Yesus disalib, bukankah yang disalib adalah Tuhan, apakah mungkin Tuhan disalib? Jadi, Yesus bukanlah Tuhan. Penjelasannya dapat dilihat pada surat an-Nisa ayat 157: "Dan tidaklah mereka membunuhnya (Isa AS) dan tidak juga mereka menyalibnya akan tetapi disamarkan kepada mereka".

Selain al-ittihad, masalah al-hulul tak kalah pentingnya. Menurut Al-Ghazali, makna al-hulul, artinya zat Allah menempati setiap makhluk, sebenarnya dimaksudkan sebagai makna majaz atau metafora. Dan itu digunakan sebagai perumpamaan seperti kata "Bapa" dan "Anak". Misalnya seperti dalam Injil Yohannes pasal 14 ayat 10: "Tidak percayakah engkau, bahwa Aku di dalam Bapa dan Bapa di dalam Aku. Apa yang Aku katakan kepadamu, tidak Aku katakan dari diriKu sendiri tetapi Bapa yang diam di dalam Aku, Dia-lah yang melakukan pekerjaanNya."

Dalam melakukan kajiannya, Imam alGhazali merujuk kepada Bibel kaum Nasrani. Dalam al-Raddul Jamil, al-Ghazali mencantumkan enam teks Bibel yang menurutnya menafikan ketuhanan Yesus, dan dikuatkan dengan teks-teks Bibel lainnya sebagai tafsiran teks-teks yang enam tadi.

Di antara teks yang dikritisi oleh alGhazali adalah Injil Yohannes pasal 10 ayat 30-36, "Aku dan Bapa adalah satu. Sekali lagi orang-orang Yahudi mengambil batu untuk melempari Yesus. Kata Yesus kepada mereka: "banyak pekerjaan baik yang berasal dari Bapa-ku yang kuperlihatkan kepadamu; pekerjaan manakah di antaranya yang menyebabkan kamu mau melempari aku? Jawab orang-orang Yahudi itu: "bukan karena suatu pekerjaan baik maka kami mau melempari engkau, melainkan karena engkau menghujat Allah dan karena engkau, sekalipun hanya seorang manusia saja, menyamakan dirimu dengan Allah. Kata Yesus kepada mereka: "tidakkah ada tertulis dalam kitab Taurat kamu: Aku telah berfirman: kamu adalah Allah? Jikalau mereka, kepada siapa firman itu disampaikan, disebut Allah ­ sedangkan kitab suci tidak dapat dibatalkan, masihkah kamu berkata kepada dia yang dikuduskan oleh Bapa dan yang telah diutus-Nya ke dalam dunia." (Teks dikutip dari Bibel terbitan Lembaga Al-kitab Indonesia; Jakarta 2008.)

Teks ini, menurut al-Ghazali, menerangkan masalah al-ittihad (menyatunya Allah dengan hamba-Nya). Orang Yahudi mengingkari perkataan Yesus "aku dan Bapa adalah satu". Al-Ghazali berpendapat, perkataan Yesus, Isa AS "..aku dan Bapa adalah satu" adalah makna metafora.

Al Ghazali mengkiaskannya seperti yang terdapat dalam hadits Qudsi, dimana Allah berfirman: "Tidaklah mendekatkan kepadaKu orang-orang yang mendekatkan diri dengan yang lebih utama dari pada melakukan yang Aku fardhukan kepada mereka. Kemudian tidaklah seorang hamba terus mendekatkan diri kepadaKu dengan hal-hal yang sunnah sehingga Aku mencintainya. Apabila Aku telah mencintainya maka Aku adalah pendengaran yang ia mendengar dengannya, penglihatan yang ia melihat dengannya, lisannya yang ia berbicara dengannya dan tangannya yang ia memukul dengannnya."

Menurut Al-Ghazali, adalah mustahil Sang Pencipta menempati indra-indra tersebut atau Allah adalah salah satu dari indra-indra tersebut. Akan tetapi seorang hamba ketika bersungguh-sungguh dalam taat kepada Allah, maka Allah akan memberikannya kemampuan dan pertolongan yang ia mampu dengan keduanya untuk berbicara dengan lisan-Nya, memukul dengan tangan-Nya, dan lain-lainnya. Makna metafora dalam teks Bibel dan hadis Qudsi itulah yang dimaksudkan bersatunya manusia dengan Tuhan, bukan arti harfiahnya.

Demikianlah, di abad ke-12 M, Imam al-Ghazali telah melalukan kajian yang serius tantang agama-agama selain Islam. Kajian ini tentu saja sesuatu yang jauh melampaui zamannya. Kritiknya terhadap konsep Ketuhanan Yesus jelas didasari pada keyakinannya sebagai Muslim, berdasarkan penjelasan Alquran.

Al-Ghazali bersifat seobjektif mungkin saat meneliti fakta tentang konsep kaum Kristen soal Ketuhanan Yesus. Tapi, pada saat yang sama, dia juga tidak melepaslan posisinya sebagai Muslim saat mengkaji agama-agama.


Dengan nama Allah yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang

Suatu hari, seorang Arab Dusun mendatangi Rasulullah Saw. Ia menyatakan iman kepadanya, dan bertekad mengikutinya. Kepada Rasulullah Saw ia berkata, “Aku akan hijrah bersamamu.” Selanjutnya Nabi berpesan kepada sahabatnya untuk memperhatikan orang itu.
Pada waktu perang Khaibar, Rasulullah Saw membagikan ghanimah. Beliu mengambil bagiannya dan membagikan sisanya kepada para sahabatnya. Orang Dusun itu menunggu di belakang mereka.
Ketika ia datang, orang-orang memberikan bagiannya. Ia berkata, “Ini apa?” Mereka berkata, “Ini bagian yang diberikan Rasulullah untukmu.” Ia berkata: “Aku mengikuti engkau bukan karena ini. Aku mengikuti engkau supaya dikenai panah pada bagian ini (seraya menunjuk tenggorokannya), kemudian mati dan masuk surga.” Nabi Saw bersabda, “Jika engkau membenarkan Allah, Dia akan membenarkanmu.”
Kemudian ia bangkit memerangi musuh. Tidak lama kemudian dia dibawah ke hadapan Rasulullah. Anak panah menembus tempat yang ditunjuknya. Nabi bersabda, “Diakah ini?” Orang-orang berkata, ”Benar.” Rasulullah Saw bersabda, “ Ia membenarkan Allah dan Dia membenarkannya.”
Beliau lalu mengafaninya dengan jubahnya sendiri, meletakkannya di hadapannya dan menshalatkannya. Beliau terdengar berdoa, “Ya, Allah, inilah hamba-Mu. Keluar berhijrah di jalan-Mu. Terbunuh sebagai syahid. Aku menjadi saksi untuknya.” (Hayat al-Shahabat 1:510)
Berbeda dengan orang Arab Dusun itu, ada laki-laki aneh yang dikenal bernama Quzman.
Ia sering berperang bersama Rasulullah Saw. Tetapi apabila Nabi mendengar namanya, beliau bersabda, “Orang itu penghuni neraka!”
Pada perang Uhud, ia berperang dengan penuh semangat. Ia berhasil membunuh tujuh atau delapan orang musyrik. Ia punya kekuatan besar. Kemudian ia terluka dan dibawah ke rumah Bani Zhafr. Kaum muslim berkata kepadanya, “Demi Allah, Anda mendapat bala hari ini, hai Quzman. Berbahagialah.” Ia menjawab, “Untuk apa aku harus berbahagia? Demi Allah, aku berperang hanya semata-mata untuk kehormatan kaumku. Kalau bukan karena itu, aku tidak mau berperang.” Ketika luka makin parah, ia mengambil anak panah dari wajahnya dan membunuh diri.
Orang itu beramal besar, tetapi ia berangkat hanya untuk kehormatan kaumnya. Ia tidak berangkat dengan nama Allah.
Amal besarnya hanya membawanya kepada kebinasaan di dunia dan di akhirat.
Tetapi, amal, sekalipun kecil dan tidak luar biasa, akan membuahkan hasil yang abadi apabila dilakukan dengan nama Allah.
Disebutkan oleh Thabathabai, bahwa Allah ingin mengajarkan hamba-hamba-Nya untuk memulai segala pekerjaan dengan nama Allah Yang Agung. Melakukan amal dengan nama Allah, artinya kita melakukannya hanya karena Dia semata.
Allah Rabbul izzati memulai kitab-Nya dengan kalimat: Dengan nama Allah yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang.


Syaikh Ali bin Hasan Al-Halabi Al-Atsari

AL-QUR’AN DAN SUNNAH ADALAH SUMBER PERBAIKAN HATI
Kita, kaum muslimin, harusnya tidak menulis, atau tidak menyampaikan ceramah maupun khutbah, kecuali berisi ayat-ayat Al-Qur’an, hadits-hadits yang shahih dan kisah-kisah yang benar. Tidak perlu membawakan hadits-hadits yang dha’if (lemah), maudhu dan kisah-kisah batil. Dalam hal ini Allah Subhanahu wa Ta’ala memperingatkan.
“…Maka dengan perkataan manakah lagi mereka akan beriman sesudah (kalam) Allah dan keterangan-keterangan-Nya” [Al-Jatsiyah : 6]
Maksudnya, barangsiapa tidak mengimani Al-Qur’an dan Sunnah, tidak terobati hatinya dengan Al-Qur’an dan Sunnah, niscaya tidak akan pernah memperoleh penawar dengan apapun. Apakah seseorang bisa membenahi hatinya dengan kisah-kisah yang berderajat lemah dan palsu?
Memang, terkadang cerita-cerita palsu bisa mengguratkan pengaruh bagus kepada pendengarnya. Akan tetapi, hanya bersifat temporer (sementara) saja. Syaikh Al-Albani rahimahullah pernah mendengarkan ceramah dari orang yang beliau kagumi gaya bicaranya. Ia seorang penceramah ulung. Ia membawakan hadits-hadits lemah dan palsu dengan cara yang sangat menarik. Ternyata, beliau tersentuh, sampai menangis saat menyimaknya, meski mengetahui kisah itu palsu. Demikianlah tabiat hati manusia, rentan terpana oleh cerita-cerita yang mengharukan.
Ini mengingatkan kepada yang diriwayatkan dari Imam Ahmad rahimahullah. Beliau pernah ditanya perihal Al-Harits Al-Muhasibi, seputar jati dirinya, hukum menimba ilmu dan mendatangi majlisnya. Imam Ahmad rahimahullah memilih untuk langsung mendatangi majlis Al-Harits bin Al-Muhasibi untuk mencari tahu.
Beliau tidak duduk di bagian depan Al-Harits, tetapi menyembunyikan diri di balik penutup. Dari situ, beliau mendengar ceramah. Murid-murid menjumpai Imam Ahmad rahimahullah. Tak disangka, kedepatan air matanya bercucuran. Meski demikian, beliau melarang murid-murid mengambil hadits darinya. Begitulah, ceramahnya hanya mempermainkan perasaan, mempengaruhi emosi saja. Bukan lantaran tersulut oleh pengaruh yang syar’i, yaitu melalui Al-Qur’an dan Sunnah.
Menilik fenomena ini, praktek membawakan kisah-kisah yang tidak bisa dipertanggung jawabakan tidak hanya sampai di sini saja. Bahkan sekarang ini, salah seorang muballigh tidak hanya mengisahkan cerita-cerita palsu produk zaman dulu, tetapi juga membuatnya sendiri.
Saya pernah memperoleh cerita yang sempat populer pada waktu lampau dari seseorang. Dimana-mana, sang muballigh membawakan kisah taubat murni dari seorang lelaki bernama Ahmad yang sangat mengharukan, setelah bergelimang kesalahan demi kesalahan. Ternyata, sang pencerita itu mengakui, bahwa dialah kreator cerita yang dimaksud, untuk mengingatkan dan melembutkan hati manusia. Jadi, siapa saja yang belum merasa cukup dengan kandungan Al-Qur’an dan Sunnah, maka bacaan-bacaan lain tidak bisa mewakilinya.
Alhamdulillah, kaidah-kaidah (Al-Qur’an dan Sunnah sebagai rujukan utama untuk menarik hati manusia, pent) seperti ini, tidak banyak orang yang mengetahuinya. Kalaupun ada yang mengetahuinya, tidak terlalu menekankannya. Bahkan, di sebagian golongan terdapat unsur kesengajaan untuk menyembunyikan masalah ini. Berbeda dengan Ahli Sunnah, Ahlul Hadits yang memegang manhaj Salaf. Urusan-urusan mereka sangat jelas, saling memberi nasihat dengan hal-hal yang berdasarkan pada kebenaran. Ini merupakan sebuah keutamaan yang dianugerahkan Allah Subhanahu wa Ta’ala kepada Ahli Sunnah.
Kesimpulannya, kita tidak boleh menyebutkan, baik dalam mengajar, khutbah, berceramah, maupun tulisan, kecuali nash-nash yang jelas tsabit dan hadits-hadits yang shahih.

HAKIKAT MAU’IZAH (CERAMAH)
Sebagian orang yang berasumsi bahwa mau’izhah (lebih dikenal oleh masyarakat kita dengan mau’izhah hasanah, pent) hanya berbentuk menyajikan kisah-kisah semata, untaian kata yang mampu melembutkan dan mengharukan hati. Namun, sesuai dengan tekstual Al-Qur’an, mau’izhah (hasanah) adalah pembicaraan tentang tauhid. Allah Subhanahu wa Ta’ala menyatakan tentang Luqman dalam firman-Nya.
“Dan (ingatlah) ketika Luqman berkata kepada anaknya, di waktu ia memberi mau’izhah kepadanya : “Hai anakku, janganlah kamu mempersekutukan Allah, sesungguhnya mempersekutukan (Allah) adalah benar-benar zhalim yang besar” [Luqman : 13]
Ayat di atas menyebutkan bahwa ra’sul mau’izhah (inti mau’izhah) adalah pembicaraan tentang tauhid. Dalam hadits Al-Irbadh bin Sariyah Radhiyallahu ‘anhu, ia menceritakan.
“Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah menyampaikan mau’izhah kepada kami, air mata bercucuran karenanya dan hati-hati menjadi takut. Seakan-akan itu merupakan mau’izhah orang yang mau pergi meninggalkan (kami). “Wahai Rasulullah, sampaikan wasiat kepada kami”, maka Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Aku berwasiat kepada kalian agar bertakwa kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala, mendengar dan taat kepada penguasa, walaupun seorang budak hitam memimpin kalian. Sesungguhnya orang yang hidup (panjang) dari kalian akan menyaksikan perselisihan yang banyak. Maka, kewajiban kalian adalah memegangi Sunnahku….” [HR At-Tirmidzi, Ibnu Majah dan Ahmad]
Dengan memperhatikan hadits diatas, ternyata mau’izhah (hasanah) itu berupa pesan ketakwaan (tauhid) pembicaraan tentang manhaj dan perintah memegang Sunnah yang terangkum dalam mau’izhah.
Jadi, penceramah sejati, ialah orang yang melembutkan hati manusia dengan dakwah kepada tauhid dan berpegang teguh dengan Sunnah. Membersihkan hati mereka dengan Al-Qur’anul Karim, Sunnah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan biografi generasi Salafush Shalih dan mengajak hati mereka menuju cara pemahaman Islam yang benar (manhaj shahih). Inilah mau’izhah yang sebenarnya. Bukan dengan cara membawakan kisah-kisah dan hikayat-hikayat yang lemah, maupun kata-kata yang dibuat-buat dan jauh dari cahaya Al-Kitab dan Sunnah.
Masih banyak berkembang fenomena para da’i yang membawakan hadits-hadits dan riwayat-riwayat palsu untuk merebut hati manusia. Mungkin saja ada yang berkata “bukankah diperbolehkan bertumpu pada hadits dha’if dalam urusan fadhailul a’mal dan at-targhib wa-tarhib? Jawabannya, berdasarkan pendapat yang rajih, hukumnya tidak boleh. Bahkan ulama yang memperbolehkannya, telah menetapkan beberapa syarat yang sebenarnya hampir mustahil untuk dipenuhi, dan dijadikan pedoman serta berkumpul dalam sebuah hadits dha’if.
Al-Hafizh Ibnu Hajar rahimahullah dalam Tabyiniil-Ajab fi ma Warada fi Fadhil Rajab dan muridnya Ash-Shakawi rahimahullah dalam Al-Qaulul Badi Fish-Shalati was-Salami Alasl Habibi Asy-Syafi’ telah menggariskan empat syarat, yaitu : kelemahannya tidak parah, berada dalam konteks amalan yang syar’i, tidak boleh diyakini dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam saat mengamalkan atau menggunakannya sebagai dalil (istidlal), dan hendaklah diriwayatkan dengan bentuk tamridh (lafazh yang menunjukkan kelemahan riwayat), bukan dengan bentuk ketegasan mengenai kepastian kebenaran riwayat itu. Seperti qila, yuqalu, yurwa, (dikatakan, diriwayatkan, dan lafazh-lafazh lain yang menunjukkan kelemahan derajatnya. pent)
Imam Abu Syamah Al-Maqdisi rahimahullah dalam kitab Al-Ba’its fi Inkaril Bida’ wal Hawadits, bahkan menilai syarat terakhir belum sempurna, sehingga harus ditambah dengan keterangan “wajib diterangkan kelemahannya secara terang-terangan”. Sebab, tidak semua orang mengetahui istilah-istilah di atas. Empat syarat ini cukup sulit terpenuhi seorang pembicara, muballigh atau pengajar.
Para ulama telah memperingatkan umat dari para tukang dongeng (al-qashshash). Mereka ini berada pada masa tertentu, dan akhirnya akan lenyap begitu saja ; karena modal yang mereka miliki telah habis.
PERINGATAN ULAMA TERHADAP MUBALLIGH-MUBALIGH YANG MENGUSUNG CERITA-CERITA PALSU
Keberadaaan muballigh yang membawakan kisah-kisah dan hikayat-hikayat palsu telah diperingatkan oleh ulama dalam kitab-kitab mereka. Orang-orang yang ceramahnya berisi cerita-cerita yang tidak bisa dipertanggung jawabkan ini tetap selalu ada di tengah masyarakat. Namun masa popularitas mereka tidak bertahan lama. Karena modal yang mereka miliki tidak banyak. Hanya mempunyai 10 atau 100 cerita. Oleh karena itu, kalau kita mau mendata nama-nama muballigh model ini untuk kurun waktu sepuluh tahun sebelumnya, ternyata sudah jauh dari hati masyarakat. Karena pengaruh mereka hanya sementara. (Ini) berbeda dengan ulama-ulama Rabbaniyyun, pengaruh positif dari mereka tetap bertahan, mereka pun masih eksis dan nama mereka selalu dikenang di tengah masyarakat.
Sekilas, saya terkadang menyaksikan seorang muballigh yang sedang berdo’a di televisi. Melalui caranya memanjatkan doa, seakan-akan ia sedang memainkan peran dalam sebuah sandiwara, memejamkan mata, mencucurkan air mata, hingga tidak nampak sedang berdakwah.
Sedangkan seorang alim hakiki, ketika ia berbicara, maka kandungannya adalah qalallah dan qala Rasulullah (ayat-ayat dan hadits-hadits Rasulullah yang shahih), sebagaimana yang dilantunkan Imam Syafi’i dalam salah satu bait syairnya.
“Ilmu (yang benar) itu ilmu yang berisi periwayatan haddatsana.
Dan (yang) selain itu, hanyalah hasil bisikan dari setan-setan”.
Wallahu a’lam
[Disalin dari Majalah As-Sunnah Edisi 01/Tahun XII/1429H/2008M. Penerbit Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Alamat Jl. Solo – Purwodadi Km. 8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183. telp. 0271-5891016]


99 LANGKAH MENITI KESEMPURNAAN IMAN

.
Sungguh keliru, jika mengaku Muslim masih salah dalam menentukuan tujuan dan arah hidup.
Apalagi secara lalai, abai, atau bahkan sengaja mengesampingkan aspek iman-taqwa dan lebih memprioritaskan aspek lain yang sifatnya kenikmatan-kenikmatan semu.

Kenikmatan Semu

203. 99 Langkah Menuju Kesempurnaan ImanKenikmatan-kenikmatan jasadiah (semu) sesungguhnya bukanlah sumber kebahagiaan sebagaimana anggapan kebanyakan manusia baik dari zaman Nabi Adam hingga kelak di masa akhir zaman.
Anggapan itu muncul tidak lain karena manusia lebih mengedepankan kekuatan indera (pragmatisme) dan menafikan kekuatan mata hati (batin)
Bagi mereka kebahagiaan itu adalah melimpahnya harta, tingginya kekuasaan, dan banyaknya wanita yang berada dalam kehidupannya. Mereka sama sekali tidak mampu melihat realita di balik indera. Baginya hidup ini adalah dunia dan tidak ada kehidupan setelah dunia ini. Allah mengkategorikan orang-orang seperti itu sebagai orang kafir.
Secara bahasa, makna kafir atau kufur berarti kafara yang artinya ‘tertutup’ atau terhapus. Sedang yang dimaksudkan dengan orang kafir adalah orang yang tertutup mata hatinya dari kemampuannya untuk melihat hakikat kebenaran dan karena itu akan selalu sesat dalam melihat arti kebahagiaan.
Ketika mata hati seorang manusia tertutup maka akal sehatnya, batinnya, dan perasaannya tidak akan berfungsi dengan baik. Inilah yang menyebabkan mengapa banyak orang berani melawan kebenaran dari Allah Subhanahu Wata’ala. Jiwa raganya telah diselimuti oleh kekuatan setan yang pasti akan selalu berbuat keruasakan dan kesesatan.
وَإِخْوَانُهُمْ يَمُدُّونَهُمْ فِي الْغَيِّ ثُمَّ لاَ يُقْصِرُونَ
“Mereka yang selalu menyesatkan manusia dari jalan kebenaran ini ada dua yaitu orang yang kafir dan orang yang fasik. Seperti dalam firman-Nya, “Dan teman-teman mereka (orang-orang kafir dan fasik) membantu syaitan-syaitan dalam menyesatkan dan mereka tidak henti-hentinya (menyesatkan).” … (QS.7 Al-A’raf : 202)
Bagi orang yang demikian itu, dan biasanya kelompok ini selalu ada di setiap zaman, keimanan bukanlah hal penting. Bagi mereka kebahagiaan sama seperti anggapan kebahagiaan yang dimiliki oleh Fir’aun, Namrudz, Qarun, dan Tsa’labah memandang kebahagiaan. .. Na’udzubillahi min dzalik.
|

Jaga iman dan sempurnakan

Setiap Muslim berkewajiban untuk menjaga keimanannya dan ketaqwaannya kepada Allah Subhanahu Wata’ala agar mata hati, akal sehat, dan perasaannya tetap berada diliputi oleh cahaya kebenaran dari Allah SWT, sehingga terhindar dari mengikuti langkah-langkah setan.
Mengenai hal ini Rasulullah Shallallahu ‘alaihi Wassalam senantiasa mengajarkan umatnya untuk berupaya semaksimal mungkin menyempurnakan imannya setiap saat, dimana dan kapan pun juga. Oleh karena itu tidak semestinya seorang Muslim memprioritaskan hal lain selain sempurnanya iman dalam jiwa dan raga secara terus-menerus sepanjang hidup.
Menjaga iman apalagi menyempurnakannya bukanlah perkara mudah namun juga tidak berarti tidak bisa diupayakan. Hanya ada satu syarat seorang Muslim bisa menyempurnakan iman dengan sebaik-baiknya, yaitu menjadi Muslim secara kaffah.
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُواْ ادْخُلُواْ فِي السِّلْمِ كَآفَّةً وَلاَ تَتَّبِعُواْ خُطُوَاتِ الشَّيْطَانِ إِنَّهُ لَكُمْ عَدُوٌّ مُّبِينٌ
“Hai orang-orang yang beriman, masuklah kamu ke dalam Islam secara keseluruhan, dan janganlah kamu turut langkah-langkah setan. Sesungguhnya setan itu musuh yang nyata bagimu.… (QS.2 Al-Baqarah : 208)
Muslim kaffah ialah Muslim yang senantiasa mengikuti Rasulullah dalam segala hal dalam kehidupannya. Hal itu tergambar dalam beberapa ayat Al-Qur’an.
Satu di antaranya adalah;
‘Katakanlah: “Jika kamu (benar-benar) mencintai Allah, ikutilah aku, niscaya Allah mengasihi dan mengampuni dosa-dosamu.” Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” … (QS.3 Ali Imran : 31)
Hal inilah yang mendorong Umar bin Khaththab selalu gelisah dengan kondisi rakyatnya. Oleh karena itu dia mengharamkan kemewahan bagi diri dan keluarganya. Selain itu Umar merelakan seluruh hidupnya demi kebahagiaan seluruh rakyatnya yang menjadi amanah tertinggi baginya sebagai seorang pemimpin.
Kerusuhan, kericuhan, dan kesemrawutan yang terjadi hari ini boleh jadi dikarenakan sudah sangat banyak orang yang meninggalkan ajaran Islam. Dalam hal apapun; memimpin, berdagang, belajar, bekerja, hidup dll.
|

Kesempurnaan Iman

Dunia ini akan tetap aman dan tentram manakala semua elemen masyarakat, bangsa dan negara mampu memperagakan nilai-nilai Islam secara kaffah dalam kehidupan sehari-hari.
Seorang Muslim yang baik (imannya) adalah Muslim yang benar-benar mengikuti risalah Rasulullah. Di antaranya adalah senantiasa berkata baik atau diam, menghormati tetangga, dan memuliakan tamu.
Dari Abu Hurairah ra., sesungguhnya Rasulullah Saw. bersabda,
 ”Siapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir hendaklah dia berkata baik atau diam, siapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir hendaklah dia menghormati tetangganya dan barangsiapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir maka hendaklah dia memuliakan tamunya.”
(HR. Bukhori – Muslim)
Satu contoh kecil. Sekarang tidak jarang orang terjebak oleh suasana hati yang kurang bersih, sehingga banyak juga di antara umat Islam yang perkataannya sering melukai perasaan saudara sesama Muslim.
Belum lagi akhlaq dan amalan-amalan mulia Islam yang banyak ditinggalkan. Menerima tamu, menghormati tetangga, bekerja, mengurus keluarga (termasuk suami/istri dan anak), mendidik yang benar, yang kesemuanya menuju satu kesempurnaan iman.
Contoh lain. Tak sedikit gadis-gadis Islam tergila-gila pria hanya karena ia ganteng dan cakep. Bukan karena agamanya. Akibatnya, setelah setahun dua tahun menikah, ujungnya tak lain perceraian belaka.
Tak sedikit orangtua depresi di hari tua, karena anak-anak yang mereka lahirkan dan diidam-idamkan, akhirnya tidak memiliki kecintaan dan rasa sayang padanya. Di kala anaknya sudah sukses dan makmur, mereka jarang datang menjenguknya, kecuali hanya kiriman uangnya tiap bulan.
“Di saat saya sakit dan menderita, mengjengukpun tidak pernah. Ia hanya mengirimkan uang saja.”
Sesungguhnya tak ada yang salah. Ketika orangtua mengajarkan dan mendidik anak-anak mereka dengan sentuhan finansial semata, di kala besar, pendekatan mereka juga finansial dan uang.
Mungkin jika ditanya, anak-anak itu bisa berkata. “Dulu semua dihitung dengan uang. Kini, ketika saya sukses, telah aku kembalikan uangnya secara perlahan-lahan.”
Banyak orangtua salah mendidik anaknya. Padahal, aset berharga sebagai bekal hidup di dunia fana adalah amal jariyah dan anak yang sholeh.
”Jika anak Adam meninggal, maka amalnya terputus kecuali dari tiga perkara, sedekah jariyah (wakaf), ilmu yang bermanfaat, dan anak shaleh yang berdoa kepadanya.” … (HR. Muslim)
Itulah sesungguh-sungguhnya aset berharga para orangtua untuk bekal ke aherat. Akhirnya, marilah kita kembalikan semuanya pada al-Quran dan Sunnah (tuntunan Rasulullah), semata-mata agar kita mendapatkan kemulian dan kesempurnaan iman.  */Imam Nawawi
|

99 Langkah Menuju Kesempurnaan Iman

01. Bersyukur apabila mendapat nikmat;
02. Sabar apabila mendapat kesulitan;
03. Tawakal apabila mempunyai rencana/program;
04. Ikhlas dalam segala amal perbuatan;
05. Jangan membiarkan hati larut dalam kesedihan;
06. Jangan menyesal atas sesuatu kegagalan;
07. Jangan putus asa dalam menghadapi kesulitan;
08. Jangan usil dengan kekayaan orang;
09. Jangan hasad dan iri atas kesuksessan orang;
10. Jangan sombong kalau memperoleh kesuksessan;
11. Jangan tamak kepada harta;
12. Jangan terlalu ambitious akan sesuatu kedudukan;
13. Jangan hancur karena kezaliman;
14. Jangan goyah karena fitnah;
15. Jangan berkeinginan terlalu tinggi yang melebihi kemampuan diri.
16. Jangan campuri harta dengan harta yang haram;
17. Jangan sakiti ayah dan ibu;
18. Jangan usir orang yang meminta-minta;
19. Jangan sakiti anak yatim;
20. Jauhkan diri dari dosa-dosa yang besar;
21. Jangan membiasakan diri melakukan dosa-dosa kecil;
22. Banyak berkunjung ke rumah Allah (masjid);
23. Lakukan shalat dengan ikhlas dan khusyu;
24. Lakukan shalat fardhu di awal waktu, berjamaah di masjid;
25. Biasakan shalat malam;
26. Perbanyak dzikir dan do’a kepada Allah;
27. Lakukan puasa wajib dan puasa sunat;
28. Sayangi dan santuni fakir miskin;
29. Jangan ada rasa takut kecuali hanya kepada Allah;
30. Jangan marah berlebih-lebihan;
31. Cintailah seseorang dengan tidak berlebih-lebihan;
32. Bersatulah karena Allah dan berpisahlah karena Allah;
33. Berlatihlah konsentrasi pikiran;
34. Penuhi janji apabila telah diikrarkan dan mintalah maaf apabila karena sesuatu sebab tidak dapat dipenuhi;
35. Jangan mempunyai musuh, kecuali dengan iblis/syaitan;
36. Jangan percaya ramalan manusia;
37. Jangan terlampau takut miskin;
38. Hormatilah setiap orang;
39. Jangan terlampau takut kepada manusia;
40. Jangan sombong, takabur dan besar kepala;
41. Berlakulah adil dalam segala urusan;
42. Biasakan istighfar dan taubat kepada Allah;
44. Hiasi rumah dengan bacaan Al-Quran;
45. Perbanyak silaturrahim;
46. Tutup aurat sesuai dengan petunjuk Islam;
47. Bicaralah secukupnya;
48. Beristeri/bersuami kalau sudah siap segala-galanya;
49. Hargai waktu, disiplin waktu dan manfaatkan waktu;
50. Biasakan hidup bersih, tertib dan teratur;
51. Jauhkan diri dari penyakit-penyakit bathin;
52. Sediakan waktu untuk santai dengan keluarga;
53. Makanlah secukupnya tidak kekurangan dan tidak berlebihan;
54. Hormatilah kepada guru dan ulama;
55. Sering-sering bershalawat kepada nabi;
56. Cintai keluarga Nabi saw;
57. Jangan terlalu banyak hutang;
58. Jangan terlampau mudah berjanji;
59. Selalu ingat akan saat kematian dan sedar bahawa kehidupan dunia adalah kehidupan sementara;
60. Jauhkan diri dari perbuatan-perbuatan yang tidak bermanfaat seperti mengobrol yang tidak berguna;
61. Bergaul lah dengan orang-orang soleh;
62. Sering bangun di penghujung malam, berdoa dan beristighfar;
63. Lakukan ibadah haji dan umrah apabila sudah mampu;
64. Maafkan orang lain yang berbuat salah kepada kita;
65. Jangan dendam dan jangan ada keinginan membalas kejahatan dengan kejahatan lagi;
66. Jangan membenci seseorang karena pahaman dan pendiriannya;
67. Jangan benci kepada orang yang membenci kita;
68. Berlatih untuk berterus terang dalam menentukan sesuatu pilihan
69. Ringankan beban orang lain dan tolonglah mereka yang mendapatkan kesulitan.
70. Jangan melukai hati orang lain;
71. Jangan membiasakan berkata dusta;
72. Berlakulah adil, walaupun kita sendiri akan mendapatkan kerugian;
73. Jagalah amanah dengan penuh tanggung jawab;
74. Laksanakan segala tugas dengan penuh keikhlasan dan kesungguhan;
75. Hormati orang lain yang lebih tua dari kita
76. Jangan membuka aib orang lain;
77. Lihatlah orang yang lebih miskin daripada kita, lihat pula orang yang lebih berprestasi dari kita;
78. Ambilah pelajaran dari pengalaman orang-orang arif dan bijaksana;
79. Sediakan waktu untuk merenung apa-apa yang sudah dilakukan;
80. Jangan sedih karena miskin dan jangan sombong karena kaya;
81. Jadilah manusia yang selalu bermanfaat untuk agama,bangsa dan negara;
82. Kenali kekurangan diri dan kenali pula kelebihan orang lain;
83. Jangan membuat orang lain menderita dan sengsara;
84. Berkatalah yang baik-baik atau tidak berkata apa-apa;
85. Hargai prestasi dan pemberian orang;
86. Jangan habiskan waktu untuk sekedar hiburan dan kesenangan;
87. Akrablah dengan setiap orang, walaupun yang bersangkutan tidak menyenangkan.
88. Sediakan waktu untuk berolahraga yang sesuai dengan norma-norma agama dan kondisi diri kita;
89. Jangan berbuat sesuatu yang menyebabkan fisikal atau mental kita menjadi terganggu;
90. Ikutilah nasihat orang-orang yang arif dan bijaksana;
91. Pandai-pandailah untuk melupakan kesalahan orang dan pandai-pandailah untuk melupakan jasa kita;
92. Jangan berbuat sesuatu yang menyebabkan orang lain terganggu dan jangan berkata sesuatu yang dapat menyebabkan orang lain terhina;
93. Jangan cepat percaya kepada berita jelek yang menyangkut teman kita sebelum dipastikan kebenarannya;
94. Jangan menunda-nunda pelaksanaan tugas dan kewajiban;
95. Sambutlah huluran tangan setiap orang dengan penuh keakraban dan keramahan dan tidak berlebihan;
96. Jangan memforsir diri untuk melakukan sesuatu yang diluar kemampuan diri;
97. Waspadalah akan setiap ujian, cobaan, godaan dan tentangan. Jangan lari dari kenyataan kehidupan;
98. Yakinlah bahwa setiap kebajikan akan melahirkan kebaikan dan setiap kejahatan akan melahirkan merusakan;
99. Jangan sukses di atas penderitaan orang dan jangan kaya dengan memiskinkan orang



IMAN DAN ISLAM : Dua Mata Rantai yang Tak Terpisahkan

Dalam pandangan Islam, dalam diri manusia terdapat beberapa unsur yang diistimewakan Allah Swt, utamanya terkait dengan dengan keimanan. Sayangnya, hal itu tidak mendapat perhatian yang semestinya. Sering dilupakan bahwa perilaku keislaman harus didasari oleh keimanan yang teguh. Islam adalah perbuatan lahir yang harus berdasar keyakinan dan keimanan yang kuat. Fitrah manusia mendorongnnya berbuat sesuatu berdasarkan dorongan hati nurani dan dorongan manusiawi lainnya. Karenanya, tindakan manusia yang tidak memiliki motivasi yang benar pada akhirnya hanya akan melahirkan dampak buruk. Berpijak dari hal ini, sudah seharusnyalah iman menjadi landasan seluruh tingkah laku seorang muslim. Untuk memahami keduanya secara utuh dibutuhkan kajian yang paripurna, tulisan ini kiranya dapat menjadi pengantar menuju bacaan yang lebih mendalam.

 Makna Iman

Arti iman dalam tinjauan bahasa adalah percaya, setia, melindungi, dan menempatkan sesuatu di tempat yang aman (baca: pada tempatnya).1 Terkait dengan akidah yang dimaksud adalah iman yang bermakna pembenaran terhadap suatu hal; pembenaran yang hakikatnya tidak dapat dipaksakan (intimidasi) oleh siapapun, karena iman terletak dalam hati yang hanya bisa dikenali dan dipahami secara pribadi. Seseorang tidak dapat mengetahui hakikat keimanan orang lain, apalagi memaksakannya.2 Dalam syara’, iman diartikan sebagai pembenaran terhadap ajaran Nabi Muhammad Saw, yakni beriman kepada Allah Swt, para Malaikat, para Nabi, para Rasul, hari kiamat, qadhâ’ dan qadar. Demikian makna iman menurut hadits Nabi Saw.3
Dalam menjelaskan iman, beberapa ulama Ahlussunnah memiliki pandangan yang berbeda. Menurut Imam Malik, Syafi’i, Ahmad, Awza’i, Ishaq bin al-Rahawayh,4 makna iman mencakup keyakinan dalam hati dan pengakuan dengan lisan bahwa ajaran yang dibawa oleh Nabi Saw. adalah kebenaran (haq)5 yang kemudian hal itu ditunjukkan dalam amal perbuatan. Sedangkan menurut Imam Abu Hanifah, sebagaimana dikutip al-Thahawi, amal perbuatan tidak termasuk dalam iman. Menurut beliau iman adalah pengakuan lisan dan pembenaran hati. Sementara al-Maturidi6 berpendapat bahwa hakikat keimanan adalah pembenaran hati, sementara pengakuan lisan merupakan pilar (rukun) tambahan dalam keimanan, bukan merupakan unsur utama.7 Namun demikian, beberapa pandangan—yang nampak berbeda—sepakat bahwa orang yang tidak meyakini kebenaran Islam adalah orang kafir, sementara orang yang tidak menjalankan perintah agama adalah fasik. Sekalipun pandangan mayoritas ahli hadits adalah bahwa amal perbuatan merupakan bagian dari iman, dengan meninggalkannya tidak berarti seseorang menjadi kafir; namun ia kehilangan kesempurnaan iman. Dengan demikian substansi beberapa pendapat di atas adalah sama.8
            Dalam karyanya, al-Tawhid, al-Maturidi menguraikan bahwa pendapat yang benar mengenai keimanan ialah bahwa ia merupakan sesuatu yang tersimpan dalam hati. Pengertian ini ia dasari oleh dua argumen; pertama, berdasarkan penjelasan syara’: (a). Sebuah ayat yang menerangkan orang Munafik. Dalam ayat ni diterangkan bahwa orang munafik ialah: ”Orang-orang yang mengatakan dengan mulut mereka: "Kami telah beriman," padahal hati mereka belum beriman 9. (b) Firman Allah Swt. ketika seorang suku Badui (A‘raby) mengaku telah beriman: ”Katakanlah (kepada mereka): ’Kamu belum beriman,’ tetapi katakanlah: ’Kami telah tunduk,’ karena iman itu belum masuk ke dalam hatimu”.10 Dari kedua ayat al-Quran diatas terlihat jelas bahwa hakikat iman berada di dalam hati. Seandainya iman adalah bahasa lisan, tentu ketika Badui menyatakan keimanannya akan dibenarkan, tapi ternyata hal itu disangkal.11 Kedua, berdasarkan pendekatan nalar (aqli). Keimanan sebagai dasar agama mengharuskan kesinambungan antara nalar dan nurani.
            Namun demikian, beriman dalam arti meyakini kebenaran syariat yang dibawa Nabi Saw. adalah adalah sesuatu yang bersifat qalbiyah an sich dan esoteris (batin) yang tidak dapat diketahui oleh sarana lahir. Untuk mengetahuinya diperlukan sarana yang membuatnya dapat dijangkau. Hal itu adalah mengucapkan kalimat syahadah yang kemudian dilanjutkan dengan pengamalan ajaran Islam. Kesempurnaan iman seseorang diukur melalui keteguhan hati, ucapan dan amal perbuatan yang sesuai dengan ajaran yang disampaikan Nabi Saw.
Perbedaan dalam memandang tiga komponen keimanan (pembenaran dengan hati, ungkapan dengan lisan dan pembuktian dengan pengamalan) berakibat pada perbedaan dalam memandang keselamatan seseorang di akhirat. Al-Ghazali menjelaskan secara baik dengan penjelasan bertingkat:12
1.      Orang yang melakukan seluruh pilar keimanan, semua ulama sepakat bahwa di akhirat kelak ia akan memperoleh surga.
2.      Seseorang yang membenarkan dengan hati dan mengucapkan dengan lisan, namun hanya menjalankan sebagian perintah agama dan hanya menjauhi sebagian larangannya. Menurut Muktazilah, jika dia melakukan dosa besar berarti ia telah keluar dari keimanannya, berada diantara mukmin dan kafir. Bukan golongan beriman juga bukan golongan kafir. Dan di akhirat kelak ia berada di tengah-tengah antara dua posisi (manzilah bayn manzilatayn). Tapi menurut Ahlussunah Wal-Jamaah, keputusannya dikembalikan (diserahkan sepenuhnya) kepada Allah Swt. Manusia tidak mempunyai hak untuk menentukannya.
3.      Golongan yang membenarkan dalam hati dan bersaksi dengan lisan, akan tetapi sama sekali tidak menjalankan perintah agama. Dalam hal ini para ulama berbeda pendapat. Abu Thalib al-Makki mengatakan bahwa amal perbuatan termasuk syarat iman. Dengan demikian, tidak ada iman tanpa amal, sebab amal adalah komponen iman. Pendapat Abu Thalib dilandasi oleh ayat: الذين أمنوا وعملوا الصالحات [orang-orang yang beriman dan beramal kebaikan] al-Ghazali berkomentar bahwa ayat ini justru menunjukkan pembedaan iman dan amal saleh. Dalam ayat ini, iman dan amal diposisikan dalam kerangka makna yang berbeda. Pendapat yang lain menyatakan, bahwa amal perbuatan bukan bagian integral dari iman, melainkan penyempurna saja. Artinya, seseorang yang beriman tapi tidak beramal keputusannya kembali pada kebijakan Allah Swt. di akhirat kelak. Sebab, menurut pendapat ini, jika amal dikategorikan sebagai bagian integral dari iman, tentu seseorang yang tidak beramal dinilai sebagai orang kafir, dan pelakunya berada di neraka selama-lamanya. Padahal orang berpendapat sebagaimana pandangan pertama tidak mengatakan demikian. Disamping itu, pendapat yang disebut belakangan adalah pandangan mayoritas ulama Ahlussunnah.
4.      Orang yang membenarkan dalam hati, namun sebelum sempat mengakui dengan ucapan ia terlebih dulu meninggal dunia. Menurut Ahlusunnah wal-Jamaah, dia mati dalam keadaan beriman di sisi Allah Swt. Berdasarkan firman Allah Swt. dalam hadits qudsi: Akan keluar dari neraka seseorang yang dalam hatinya masih tersimpan iman (meski) seberat semut.” Sementara kelompok kedua mengatakan bahwa dia bukan termasuk orang beriman dan akan kekal selamanya di neraka. Mereka berpandangan bahwa pengakuan dengan ucapan merupakan syarat mutlak bagi keimanan seseorang.
5.      Orang yang membenarkan (baca: beriman) tetapi menunda pengucapan syahadat. Padahal dia tahu bahwa syahadat adalah syarat seseorang dapat disebut seorang muslim. Orang seperti ini oleh Ahlussunnah disamakan dengan orang yang meninggalkan shalat. Di akhirat akan mendapat siksa walaupun tidak selamanya. Sedang Murji’ah13 berpandangan bahwa orang seperti itu tidak akan masuk neraka, tapi dipastikan masuk surga. Pendapat ini berbeda dengan pandangan mayoritas umat Islam.
6.      Seseorang yang mengucapkan syahadat, namun sebenarnya hatinya mengingkari. Orang yang melakukan tindakan ini diancam dengan neraka karena sebenarnya ia tergolong orang kafir. Jadi walaupun selama hidupnya dia diakui sebagai seorang muslim --karena telah mengucapkan dua kalimat syahadat, namun di akhirat kelak ia akan kekal di jurang jahanam. Orang yang memiliki karakteristik semacam ini dikenal sebagai orang munafik. Yakni seseorang yang menggunakan ungkapan syahadah untuk memperoleh keamanan duniawi semata.

 

Makna Islam

Islam secara lughawi bermakna ketundukkan, kepasrahan, atau kepatuhan.14 Dalam tataran syari’at, berpasrah diartikan sebagai manifestasi yang menunjukkan ketaatan, konsistensi, dan perilaku lurus-sejajar dengan norma-norma dasar syariat.15 Kemudian secara terminologis, menurut Husayn Afandi, Islam berarti tunduk dan patuh lahir-batin terhadap pesan-pesan yang diyakini datang dari Allah Swt. melalui Nabi-Nya.16 Dari definisi ini melahirkan keserupaan makna antara iman dan Islam. Hubungan keduanya sangat erat dan saling memberi arti. Kelekatan hubungan ini sangat logis, mengingat bahwa pembenaran terhadap Nabi akan mendorong sikap berserah diri dan patuh menjalankan ajaran yang dibawanya. Begitu juga orang yang patuh melaksanakan ajaran Nabi niscaya telah diawali dengan pembenaran dalam hati.17
Namun ada pendapat yang menjelaskan status keislaman seseorang terwujud dalam bentuk dua syahadah (persaksian): bersaksi bahwa tiada Tuhan selain Allah Swt. dan bahwa Muhammad utusan-Nya; yang kemudian dijalankan melalui ketaatan yang menjadi pilar-pilar Islam (arkân al-Islâm), yakni mengerjakan shalat, membayar zakat, berpuasa di bulan Ramadlan, dan menunaikan ibadah haji bagi yang mampu.18
Persaksian diatas merupakan syarat mutlak agar seseorang dapat dikatakan sebagai muslim. Ketentuan ini merujuk pada sebuah hadits yang menjadikan iman sebagai kunci keislaman, dan predikat keislaman harus didahului oleh syahadah; persaksian bahwa tiada Tuhan selain Allah dan Muhammad adalah utusan-Nya. Pengucapan syahadah dijadikan sebagai sarana yang menunjukkan pembenaran atas ajaran yang disampaikan Nabi Muhammad Saw.

 Pertalian Iman dan Islam

Tertanamnya keimanan dalam hati akan melahirkan tata nilai ketuhanan (rabbâniyyah), yaitu tata nilai yang dijiwai oleh kesadaran bahwa hidup ini berasal dari Allah Swt. dan hanya menuju kepada-Nya (innâ liLlahi wa innâ ilayhi râji‘un. Sesungguhnya kami milik Allah dan hanya kepada-Nya lah kami kembali). Tata nilai ketuhanan itu akan bisa digapai melalui tumbuhnya keyakinan dalam hati tentang Kemahatunggalan Allah Swt. Tidak ada sekutu bagi-Nya. Dia lah penguasa segala yang ada, dan Dia pula pengatur semua ciptaan-Nya. Dengan demikian, prinsip peng-esa-an Tuhan (tawhid) adalah inti dan dasar ajaran Islam.
Disamping itu, agama Islam juga mengajarkan kepada umat manusia untuk selalu berserah diri dengan sepenuh hati, tulus dan pasrah kepada Allah Swt. Sikap berserah diri ini merupakan buah yang dihasilkan dari pengakuan atas kemahatunggalan dan kemahakuasaan-Nya. Jadi, jika pengakuan atas Keesaan Allah Swt adalah inti ajaran Islam, maka sikap pasrah adalah pengejawantahan dari pengakuan tersebut, sikap pasrah yang diwujudkan dengan pengamalan ajaran Islam yang dibawa oleh Nabi Saw. dalam kehidupan sehari-hari. Inilah prinsip keimanan yang sejati.
Iman sendiri merupakan landasan pokok bagi terbentuknya keislaman. Antara iman dan Islam bagaikan satu bangunan yang saling memperkuat satu sama lain. Iman tidak ada artinya tanpa amal shalih, dan amal shalih akan sia-sia jika tidak dilandasi keimanan. Oleh karena itu, dapat dikatakan setiap muslim pasti mukmin dan setiap mukmin pasti muslim. Logikanya, orang yang percaya tentang kenabian Muhammad Saw. tentu tunduk dan patuh pada pesan-pesan syari’atnya. Begitu pula orang yang patuh terhadapnya pasti didasari keyakinan dan kepercayaan atas kebenaran ajaran yang dibawanya.19 Dapat dikatakan, bahwa iman adalah perbuatan batin (akidah), sementara Islam adalah perbuatan lahir-nya.
Secara teologis ulama berbeda pandangan dalam memaknai Islam. Penulis Syarh Aqîdah al-Thahâwiyyah, mencatat tiga pengertian Islam menurut pandangan beberapa mutakallim yang berbeda: (1) Kelompok yang menganggap Islam sebagai sebuah sebutan; (2) Aliran yang menggambarkan Islam sebagaimana keterangan hadits, ketika Nabi Saw. ditanya tentang makna Iman dan Islam, beliau menafsiri Islam dengan lima perbuatan lahir yang merupakan pilar ajaran Islam; (3) Golongan yang menyamakan antara iman dan Islam. Pendapat ketiga ini juga merujuk pada hadits yang menerangkan bahwa Islam adalah persaksian bahwa tiada tuhan selain Allah Swt.,20 mendirikan shalat, membayar zakat, berpuasa di bulan Ramadlan, dan menunaikan ibadah haji bagi yang mampu melaksanakannya.
Masing-masing kelompok mendasarkan pandangan mereka pada hadits-hadits Nabi Saw. Beberapa hadits yang nampak bertentangan, kemudian ditafsiri secara berlainan oleh beberapa kelompok berbeda, sehingga melahirkan definisi yang berbeda pula. Namun setelah diteliti lebih dalam, ternyata tidak ada perbedaan mendasar dari masing-masing pendapat. Penulis Syarh Aqîdah al-Thahâwiyyah berkesimpulan bahwa ketiga definisi di atas memiliki titik temu, yakni bila dua kata, iman dan Islam, terkumpul (disebut bersamaan) keduanya memiliki pengertian yang berbeda; sebuah perbedaan yang terjadi hanya dalam tingkat pengertian (definisi), bukan merupakan perbedaan substantif; makna keduanya justru saling melengkapi. Namun bila keduanya disebutkan secara terpisah, masing-masing justru menunjuk pada pengertian yang sama (murâdif).21 Makna lain dari Islam adalah bahwa ia nama agama (al-din) yang diridlai Allah Swt. sebagaimana dalam al-Quran. Dalam hal ini, nampak perbedaan pengertian dan makna antara iman dan Islam.
Yang kemudian diperdebatkan adalah apakah iman cukup diyakini dalam hati, harus diucapkan, atau bahkan harus dibuktikan secara lahir dalam bentuk perbuatan. Lalu apa hubungannya dengan Islam, apakah keimanan cukup tertanam dalam hati, sementara keislaman berbentuk perbuatan lahir. Ketika menjawab pertanyaan ini, kalangan mutakallimin (teolog) berbeda pendapat. Perbedaan itu dilatarbelakangi oleh perbedaan penafsiran atas dalil yang menjadi landasan pendapat mereka. Apalagi dalil yang digunakan cenderung bersifat umum yang menimbulkan banyak penafsiran.
Bila kita merujuk pada al-Quran penjelasan seputar iman dapat kita temukan dalam ayat yang membicarakan sifat-sifat orang beriman (mu’minûn), seperti dalam surat al-Anfâl [8]: 2:

إنما المؤمنون الذين إذا ذكر الله وجلت قلوبهم وإذا تليت عليهم أيته زادتهم إيمانا وعلى ربهم يتوكلون

Sesungguhnya orang-orang yang beriman adalah mereka yang apabila disebut nama Allah, maka bergetarlah hati mereka, dan apabila dibacakan kepada mereka ayat-ayat-Nya maka mereka semakin bertambah iman, dan kepada Tuhanlah mereka pasrah
dalam ayat lain dijelaskan tentang karakteristik lain dari orang mukmin:
قد أفلح المؤمنون الذين في صلاتهم خاشعون والذين هم عن اللغو معرضون والذين هم للزكوة فاعلون والذين هم  لفروجهم حفظون
Sungguh beruntung orang-orang beriman, (yaitu) orang-orang yang khusyu` dalam shalatnya, dan orang-orang yang menjauhkan diri dari (perbuatan dan perkataan) yang tidak berguna, dan orang-orang yang menunaikan zakat serta orang-orang yang menjaga kemaluannya ” (Q.S. al-Mu’minûn [23]: 1-5)

Dari dua kutipan ayat al-Quran di atas nampak bahwa dalam menerangkan iman, al-Quran menjelaskannya dengan penyebutan sifat-sifat yang dimiliki orang mukmin.
Penjelasan secara definitif mengenai pengertian iman, Islam dan ihsan dapat kita temukan dalam hadits Nabi Saw yang secara panjang lebar menguraikan ketiganya. Dalam hadits yang diriwayatkan Abu Hurairah;22Pada suatu hari Rasululah berada di hadapan para sahabatnya, kemudian ada seorang laki-laki yang mendatangi dan bertanya: apakah iman itu? ’. Nabi menjawab: ‘iman adalah percaya kepada Allah, Malaikat-malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, percaya akan berjumpa dengan-Nya, percaya kepada para rasul dan kebangkitan hari akhir’. Setelah itu, orang tersebut juga menanyakan arti Islam. Nabi mengatakan: ’Islam adalah penyembahan terhadap Allah Swt dengan tidak menyekutukan-Nya, menjalankan shalat, menunaikan zakat, berpuasa di bulan Ramadlan, dan haji ke baituLlahkemudian orang itu menanyakan tentang ihsan. Lalu Nabi menjawab: ’(yaitu) apabila kalian menyembah (beribadah) kepada Allah seakan-akan engkau melihat-Nya maka apabila kamu tidak bisa melihat-Nya, seungguhnya Ia melihatmu.

Sekilas terlihat bahwa hadits diatas memunculkan disparitas (pembedaan) makna antara iman dan Islam. Islam diposisikan sebagai segala perbuatan yang berkaitan erat dengan aspek-aspek lahiriyah-fisik, baik berupa ucapan maupun tindakan. Sedangkan iman lebih ekslusif (tertutup) karena maknanya berada pada kepercayaan dalam hati. Oleh karenanya, sebagian ulama, yang menjadikan hadits ini sebagai argumennya, mengharuskan pengucapan dua kalimat syahâdah (kesaksian tawhid) untuk memastikan status keislaman seseorang, yang kemudian dilanjutkan dengan pelaksanaan ajaran Islam yang lain, seperti shalat, zakat, puasa Ramadlan, dan pergi haji. Iman tidak sempurna bila diartikan sebagai pembenaran dalam hati saja, tanpa amal perbuatan.
Pemaknaan iman dan Islam semacam itu didukung oleh riwayat lain. Sebuah hadits Nabi Saw. menyatakan: ”Orang muslim adalah seorang yang bisa melindungi keselamatan orang lain dari ucapan maupun perbuatannya”. Selain itu, ketika Nabi Saw. ditanya mengenai Islam yang baik, Nabi Saw. mengaitkannya dengan aktifitas lahiriyah. Beliau mengatakan: ”(Islam yang baik adalah) memberi makanan (kerabat), mengucapkan salam, baik kepada orang yang dikenal atau tidak.”23 Dengan demikian, berpijak pada keterangan hadits-hadits di muka maka pengertian objektif kata iman dan Islam dibedakan. Islam adalah aktifitas lahir, dan iman aktifitas batin.
Namun, hal ini tidak dapat dijadikan sebuah kesimpulan akhir. Karena jika diteliti lebih lanjut, ternyata ada hadits lain yang menyamakan kedudukan iman dan Islam. Misalnya hadits riwayat Umar ibn ’Abasah. Ia berkata: ”Ada seorang laki-laki menemui Nabi Saw., lalu bertanya: ”Wahai Rasul, apa sebenarnya Islam itu?’. Nabi menjawab, (Islam adalah) berserah diri kepada Allah dalam hati dan menjamin ketenangan kaum muslimin dari ucapan maupun perbuatannya.”24 Dalam hadits ini Nabi Saw. memaknai Islam sebagai sikap berpasrah diri kepada Allah Swt., dimana sikap itu merupakan pekerjaan batin. Karenanya, terllihat ada pertentangan (ta‘ârudl) jika dikaitkan dengan beberapa hadits yang telah disebutkan sebelumnya. Terkadang pengertian iman dibedakan dengan Islam, tapi dalam kesempatan lain keduanya memiliki pengertian yang sama; murâdif. Sebagaimana pengertian kata fakir dan miskin, ketika disebutkan bersamaan keduanya memiliki pengertian yang berbeda. Namun ketika disebutkan secara terpisah keduanya memiliki makna serupa.
Sebagaimana telah disinggung di muka, fungsi ungkapan iman melalui sarana lisan adalah menyingkap keyakinan hati, yang berpengaruh pada pemberlakuan hukum lahiriyah. Karena itu, seorang yang membenarkan dalam hati dikategorikan sebagai orang beriman di sisi Allah Swt. Sementara yang membenarkan dalam hati sekaligus bersaksi dengan lisan tergolong mukmin di sisi Allah Swt dan hukum Islam berlaku padanya.25
Kesimpulan ini didukung oleh al-Ghazali. Menurutnya, dalam pandangan syari’at, iman dan Islam memiliki keterkaitan dengan dua keputusan hukum, hukum dunia dan akhirat. Hukum duniawi menjadikan seseorang yang berstatus muslim mendapat hukum sesuai ketentuan agama, seperti perlindungan nyawa, harta, dan lain sebagainya. Dalam persoalan hukum akhirat ia akan terbebas dari ancaman neraka atau tidak selamanya di neraka.
Keimanan sebagai sesuatu yang esoteris berkaitan dengan hal-hal yang bersifat ukhrawi. Sementara sesuatu yang nampak adalah standar penilaian keislaman seseorang di dunia. Karenanya jika seseorang bersyahadah namun sebenarnya hatinya ingkar dalam kehidupan dunia ia disebut seorang muslim namun ia diancam siksa diakhirat kelak, ia disebut orang munafiq. Walhamdu liLlah.
  
Iman Adalah Pembenaran, Pengakuan dan Amal
Pada periode awal (salaf) umat Islam, para ulama mendefinisikan iman sebagai suatu keyakinan, pernyataan dan pengamalan. Abu Hasan Asy’ari menjelaskan, yang dimaksud iman ialah ucapan sekaligus tindakan. Ucapan dan tindakan sebagai pengejawantahan keyakinan hati bisa saja bertambah dan bisa berkurang.26 Kadar keimanan bisa bertambah dengan bertambahnya amal, dan amal pun dapat berkurang akibat menipisnya iman.
Dalam perkembangan selanjutnya, pengertian iman acapkali diposisikan berbeda dengan amal; amal adalah bagian tersendiri meskipun tetap menjadi penopang keimanan. Berikut beberapa pendapat mengenai pertautan iman dan amal: 
1)     Mu’tazilah dan Khawarij sepakat memasukan amaliah menjadi bagian integral dari keimanan. Sehingga menurut dua aliran ini, orang yang meninggalkan amaliah tidak dianggap beriman; menurut Khawarij ia menjadi kafir, sedangkan menurut Muktazilah ia ada pada posisi antara iman dan kafir (manzilah bayna al-manzilatain)
2)     Murji’ah menganggap amaliah bukan termasuk pra-syarat iman. Persoalannya, keselamatan manusia terletak pada keyakinan. Sehingga kebahagiaan di akhirat tidak berkaitan dengan amaliah. Faktor yang terpenting menurut Murji’ah adalah soal kepercayaan hati. 
3)     Ahlusunnah Wal-Jamaah memilih sikap moderat. Amaliah bukanlah keniscayaan dalam menentukan status iman. Aliran ini menganggap bahwa seorang mukmin yang tidak melakukan amaliah adalah orang fasik, tapi tidak sampai menjadi kafir seperti tuduhan Khawarij. Dia hanya melakukan kemaksiatan sehingga dikategorikan fasik, namun imannya tidak sempurna sebagaimana pendapat Murji’ah.27
Jika ditelisik lebih dalam, pendapat Khawarij, Muktazilah, dan Muktazilah memang problematis, disamping tidak sejalan dengan tradisi ulama salaf, khususnya ahli hadits (muhadditsîn). Pendapat Muktazilah cenderung inkosisten, karena menempatkan orang yang tidak beramal dalam posisi yang tidak jelas, tanpa status pasti; antara iman dan kafir. Sementara Khawarij tampak sangat ekstrim, karena mereka menklaim kafir pada orang yang amalnya setengah-setengah. Sebaliknya, Murji’ah terlalu toleran dengan menganggap bahwa orang yang beramal dengan yang tidak beramal sama saja.28 
  
Problematika Hubungan Amal (Ibadah) dan Iman
Ibadah, yang dapat juga disebut sebagai ritus atau ritual, adalah bagian yang amat penting dari setiap agama. Sesuatu yang penting untuk diingat mengenai amal-ibadah ialah bahwa dalam melakukan amal perbuatan itu seseorang harus mengikuti petunjuk agama dengan merujuk kepada sumber-sumber suci (al-Quran dan sunah), tanpa sedikit pun hak bagi seseorang untuk menciptakan sendiri cara dan pola mengerjakannya.
Berkenaan dengan hubungan antara amal-ibadah dan iman, pertanyaan seringkali timbul: Apakah orang tidak cukup dengan iman dan berbuat baik tanpa harus beramal-ibadah? Bahkan Einstein, ilmuan handal penemu teori relativitas gerak, pernah menyatakan bahwa ia percaya kepada Tuhan dan keharusan berbuat baik, tapi tidak merasa perlu-karena menganggap tidak ada gunannya-memasuki agama formal seperti Yahudi dan Kristen. Hal ini menunjukkan adanya kegamangan dan keraguan akan peran agama. Praktek ritua agama dinilai sebagian kalangan sebagai unsur-unsur seremonial belaka, dan tidak memiliki peran penting dalam membentuk karakter kepribadian seseorang. 
Kesempurnaan keimanan seseorang dalam pandangan Islam justru diukur dari kemantapan hati, ucapan, perbuatan, dan amal-ibadah. Kebaikan yang hakiki tidak dapat diraih tanpa panduan agama. Bahkan perintah beramal-ibadah merupakan motif utama penciptaan manusia. Sebagaimana firman Allah Swt. surat al-Dzâriyât [57]: 56: وما خلقت الجن والإنس إلا ليعدون“ [Dan tidaklah Kuciptakan jin dan manusia melainkan agar mereka beribadah kepadaKu]. 
Beriman (mempercayai) dalam arti membenarkan syariat Nabi Muhammad Saw. Adalah sesuatu yang esoteris (bathin) dan tidak dapat diketahui orang lain.29 Untuk mengetahuinya, diperlukan sarana yang membuatnya dapat diketahui, mula-mula dengan lisan selanjutnya dengan perbuatan. Penilaian hati lebih ditekankan pada unsur-unsur keakhiratan karena berada di luar batas nalar manusia. Sementara untuk kepentingan hukum duniawi, keimanan hati itu perlu diungkapkan dengan kalimat syahâdat. Karena itu, yang mengaku beriman dengan bersyahadat padahal hatinya tidak beriman, untuk kehidupan dunia ia disebut mukmin, tapi di sisi Allah Swt. yang berlaku adalah sebaliknya.
Untuk mendapat status mukmin sempurna, seseorang harus benar-benar meyakini dalam hati terhadap kebenaran Islam, kemudian mengikrarkan keyakinan itu dengan media syahadat, dan disempurnakan dengan amal perbuatan. Jika demikian adanya, maka orang tersebut dalam tataran hukum formal (duniawi) dianggap mukmin, dan di sisi Allah Swt-pun juga mukmin.30
Namun perlu diingat, ketika seseorang tidak mengatakan syahadat sebab beralasan (udzur), semisal bisu, atau tidak ada kesempatan karena terburu mati setelah sebelumnya percaya, atau kebetulan tidak mampu berkata-kata setelah beriman, maka orang-orang seperti ini tergolong mukmin dalam pandangan Allah Swt. dan termasuk selamat di akhiratnya. Berbeda dengan orang yang memang benar-benar tidak mau mengutarakan keimanannya sebab penginkaran, padahal telah diperintah bersyahadat, maka digolongkan kafir. Naudzu biLLah min dzalik. Golongan terakhir ini keyakinan hatinya  tidak dipersoalkan, dengan alasan syariat telah menetapkan bagi siapa yang menentang ajakan bersyahadat berarti hatinya hampa dari keimanan. Maka pantas disebut kafir.31
Dalam realitas hidup kekinian, bermunculan para pemikir kontemporer Islam yang mencoba menelaah kembali validitas ayat al-Quran dan hadits, utamanya yang bertalian dengan hukum yang dirasa menghalangi proses modernisasi, inklusifisme, pluralitas, egalitarianisme, dan isu-isu hangat lainnya. Mereka menolak al-Quran dan hadits didekati dai kerangka hukum formal, diposisikan sebagai kalam teosentris, apalagi dipahami secara tekstual. Mereka berupaya menalar semua pesan-pesan Tuhan dan Rasul-Nya dari sudut pandang kebutuhan manusia (antroposentris).
Karena itu perlu sekali pembentengam akidah, terutama dalam memahami kaidah iman dengan makna ayat-ayat al-Quran. Yang pasti, seseorang harus tunduk terhadap kandungan teks-teks yang jelas kehendak maknanya (nash qath’i), dan telah diyakini berasal Muhammad (hadits mutawatir).32 Juga larangan menjungkirbalikkan hukum, misalkan memanipulasi perintah shalat dengan menganggap shalat bukan sebuah kewajiban.33
Keimanan yang ideal akan melahirkan sikap berserah diri dengan setulus hati terhadap perintah Allah Swt. melalui Nabi Muhamad Saw.34 Pelaksanaan amal-ibadah –disamping karena didasari perintah Allah Swt. serta berbeda dengan sistem ilmu dan filsafat yang hanya berdimensi rasionalitas- selalu memiliki dimensi spiritual yang mengekpresikan sikap kepasrahan yang berada diluar batas nalar kemanusiaan. Tindakan-tindakan kebaktian itu tidak hanya meninggalkan dampak memperkuat rasa kepercayaan dan memberi kesadaran lebih tinggi tentang implikasi iman dalam perbuatan, tetapi juga menyediakan pengalaman keruhanian yang tidak kecil artinya bagi rasa kebahagian. 
Sistem amal-ibadah merupakan salah satu kelanjutan logis sistem iman. Jika tidak dikehendaki iman menjadi rumusan-rumusan abstrak, tanpa kemampuan memberi dorongan batin kepada individu untuk berbuat sesuatu dengan tingkat ketulusan sejati, maka keimanan itu harus dilembagakan dalam peribadatan sebagai ekspresi perhambaan seseorang kepada pusat tujuan hidupnya, yaitu Allah Swt.
Islam sebagai ajaran menetapkan puncak ketekunan amal-ibadah dengan tekhnis ihsan. Seseorang yang berihsan dalam praktek ibadah keseharian itu terkandung keimanan dan keislaman yang menyebabkan konsentrasi beribadah, ikhlas menghadap Allah Swt.

IHSAN; Puncak Relasi Manusia dengan Tuhan
Telah disinggung bahwa ajaran Islam sarat dengan kepentingan ama-ibadah yang berujung pada tekhnis ihsan. Ditinjau dari sisi bahasa, ihsan berarti berbuat baik.  Sedangkan ihsan dipandang sebagai istilah -didefinisikan dalam sebuah hadits [Jibril]- adalah keadaan seseorang yang dalam beribadah kepada Allah Swt. seakan-akan melihat-Nya (dengan mata hati). Jika tidak bisa melihat-Nya, maka ia yakin bahwa sesungguhnya Allah Swt. melihatnya. Dengan demikian, ihsan berarti suasana hati dan perilaku seseorang untuk senantiasa merasa dekat dengan Tuhan, sehingga tindakannya sesuai dengan aturan dan hukum Allah Swt.
            Pengertian ihsan dalam hadits di atas, ditarik makna-interpretatif oleh Jalal al-Din bahwa, ia adalah upaya merasa terhadap  Allah Swt. selalu mengawasi dalam setiap amal-ibadah yang mencakup iman dan islam, karena dengan tekhnis ibadah semacam itu kesempurnaan ibadah dapat diraih; ikhlas,35 konsen dan fokus.36
            Tersebab, manusia terhalang menyaksikan Allah kecuali dengan renungan nalar (kontemplasi) nya semata, maka keyakinan seseorang terhadap-Nya melalui tekhnis ihsan (meyakini bahwa Allah melihatnya) merupakan purna penyaksian (musyahadat) terhadap Wujud Hakiki (al-haq). Dalam tingkatan musyahadah, seseorang membayangkan selalu terawasi oleh Allah sehingga menimbulkan dorongan rasa malu jika melaksakan ibadah melalaikan Tuhannya, meskipun dalam hatinya masih belum sempurna meninggalkan unsur lain selain Allah Swt. Ini berbeda dalam praktek amal-ibadah seseorang yang meyakini seakan-akan Allah melihatnya.37 Yang didapatkan dengan cara ini, pelaksanaan amal-ibadah menjadi murni disematkan terhadap Tuhan, namun belum dapat menarik pengaruh (atsar) positif terhadap pelakunya.     
             Dalam khazanah ilmu sufi, ihsan dijadikan sebagai motto orang-orang dalam menempuh kehidupan tasawufnya. Tasawuf bertujuan mendekatkan diri sedekat-dekatnya dengan Tuhan melalui akidah (keimanan), pengamalan syari’at Islam, dan akhlak. Akhlak inilah yang menjadi prinsip utama ihsan. Seorang sufi setelah melalui makam-makam, seperti taubat, zuhud, fakir, sabar, tawakal, ridha, mahabah, dan makrifat, dapat melihat Tuhan dengan mata hati (sirri) yang terdapat dalam ruh atau kalbu. Karena itu untuk memperoleh ihsan, sebagaimana digambarkan dalam hadits RasuluLlah Saw. diperlukan usaha intensif lagi tidak mudah. Namun pada dasarnya manusia dengan sirri-nya dapat dekat sekali dengan Tuhan. Karena, Tuhan Yang Maha Suci hanya bisa didekati oleh ruh, kalbu atau sirri yang suci.38

            Derajat Keimanan
Telah dijelaskan sebelumnya bahwa keimanan bisa mengalami peningkatan sekaligus pengurangan, meskipun masalah ini menjadi medan kontroversi para teolog. Tapi diakui atau tidak, hal itu telah menjadi kenyataan yang dapat kita saksikan secara riil. Seseorang yang dulu beribadah ala kadarnya, yang penting gugur kewajiban, tiba-tiba berubah menjadi tekun dan khusyu’ (fokus ibadah). Begitu pula sebaliknya, ada sebagian orang yang dulunya tekun dan rajin beribadah, kini mulai memudar semangatnya dan menganggap ibadah hanya sebagai ornamen pelengkap hidup saja.
Para teolog pun menempatkan standar mins-plusnya keimanan seseorang pada aspek ketaatan praktisnya.39 Jadi wajar bila para mutakallim (teolog) menklasifikasi kapasitas keimanan dalam lima hal berikut ini.40
1.      Tingkatan Awam, yaitu keimanan yang dihasilkan dengan cara mengambil keterangan (perkataan) seorang guru tanpa mengetahui dalil-dalilnya, atau biasa disebut taqlid.
2.      Tingkatan ashhab al-adillah, yakni seseorang yang keyakinannya dibangun atas dasar pengetahuan yang didapat dari penelisikan sebuah dalil-dalil yang mengukuhkan adanya Tuhan yang menciptakan.41
3.      Tingkatan ahl al-muraqabah, yaitu ukuran keimanan yang timbul atas ketajaman pengawasan mata hatinya terhadap keesaan dan kebesaran Allah Swt., dimana setiap kali berpikir tidak pernah luput merenungi nilai-nilai Tuhan, senantiasa merasa segala gerakannya adalah atas kontrol Allah Swt.
4.      Tingkatan musyâhadah, ialah keimanan yang diperoleh sebab penyaksian mata hatinya kepada Tuhan. 
5.      Tingkatan haqîqah, yakni keimanan yang berada pada posisi sudah tidak adanya hal lain kecuali Allah Swt. semata. Ini juga disebut maqam fana’ (posisi ketiadaan selain Allah Swt.),32 karena kelompok ini menganggap semuanya telah sirna kecuali Allah, sehingga yang ada hanya Dia semata. Inilah strata tertinggi yang mampu dicapai manusia. Namun di atas derajat ini masih terdapat strata lain yang lebih tinggi dan hanya dimiliki para Rasul. Akan tetapi, Allah Swt. tidak menunjukkan kepada kita tentang sarana menempuh derajat terakhir ini. 42
Demikian klasifikasi strata keimanan seorang mukmin. Yang harus dicatat, dari pembagian lima tingkatan tersebut yang menjadi kewajiban setiap orang mukallaf hanya tingkatan pertama dan kedua.43 Tapi, sebenarnya para teolog berbeda pendapat dalam mengabsahkan keimanan dengan cara taklid; 1). Menurut Ibn al-’Arabi dan al-Sanusi, keimanan dengan cara taklid belum dianggap cukup (sah), sehingga bagi muqallid (pelaku) dihukumi kafir; 2). Menyesuaikan kemampuan nalar orangnya; dengan menganggap sah bentuk keimanan dengan taklid, hanya saja bagi orang yang memiliki keahlian berpikir dihukumi berdosa; 3). Sah secara mutlak. Karenanya, menurut pendapat ini Studi Ilmu Kalam tidak ada kepentingan dalam akidah sekaligus menghukumi haram mempelajarinya.44[]   


1 Tentang perincian hal ini baca Muhammad Ibn Manzhur al-Ifriqi al-Mishri, Lisân al-‘Arab, Dâr Shadr, Beirut, cet I, tt, vol. XIII, h. 21.
2 Abu Manshur al-Maturidi ed. Fathullah Khulayf, al-Tawhid, Dar al-Jamiat al-Mishriyyah, Alexandria, vol. I, h. 377. 
3 Kejelasan tentang hal ini dapat dibaca dalam: Abu al-Husayn Muslim bin al-Hajjaj al-Qusyayri, ed. Muhammad Fu’ad Abd Al-Baqi, Shahîh Muslim, Dâr Ihya al-Turâts al-‘Arabi, Beirut, vol. I, h. 37.
4 Para tokoh yang disebut di atas adalah ulama dibidang hadits dan ilmu hadits.
5 ________Syarh Aqîdah al-Thahawiyah, al-Maktab al-Islâmi, Beirut, vol. I, h. 373-374.
6 Nama lengkapnya ialah Abu Manshur Muhammad ibn Mahmud al-Hanafi al-Mutakallim al-Maturidi al-Samarqandi (w. Samarkand, 333 H/944 M). Ia seorang mutakalim (ahli ilmu kalam/teolog muslim) yang telah banyak menghasilkan pemikiran mengenai masalah kalam. Pemikirannya banyak dianut oleh kaum muslimin yang dikenal dengan aliran Maturidiyah; aliran ini temasuk dalam kelompok Ahlussunah wal-Jamaah.  Abu Manshur al-Maturidi belajar ilmu pengetahuan pada paruh kedua abad ke-3 H. Pada saat itu terjadi pertentangan hebat antara golongan Muktazilah dan para ulama karena pendapat Muktazilah dianggap menyesatkan umat Islam. Al-Maturidi bermadzhab Hanafi. Lihat: Ensiklopedi Islam, pen. PT Ichtiar Baru van Hoeve, Jakarta, vol. Ketiga t. 1999, huruf “M” h. 206.
7 Syarh Aqîdah al-Thahawiyah, Loc. cit.
8 Semua pendapat yang diuraikan di muka masih berkisar pendapat-pendapat para teolog Ahlussunnah.
9 Q.S. Al-Mâidah: 41.
10 Q.S. AL-Hujurât: 14.
11 Abu Manshur al-Maturidi, ed. Fathullah Khulayf, Op. cit, h. 373 dst.
12 Abu Hamid Muhammad al-Ghazali, Qawâ’id al-’Aqâid, h. 231-250.
13 Mereka adalah sebuah golongan yang berpendapat bahwa perbuatan durhaka (ma’shiyah) tidak memberi pengaruh apapun apabila seseorang beriman, sebagaimana ketaatan tidak berguna bila yang melakukan adalah orang kafir. Baca Syarif ‘Ali bin Muhammad al-Jurjani, al-Ta’rifât, Dar al-Kitab al-Ilmiyah, Beirut, h. 208 silahkan di rujuk lebih lanjut pada bagian sejarah dalam buku ini.
14 Atabik Ali dan Ahmad Zuhdi Muhdhar, Kamus Kontemporer Arab Indonesia, Yayasan Ali Maksum Pondok Pesantren Krapyak Yoyakarta, h. 124.
15 Muhammad Ibn Manzhur al-Ifriqi al-Mishri, Lisân al-‘Arab, Dâr Shadr, Beirut, cet. I, tt, vol. XII, h. 293.
16 Sayid Husayn Afandi, Hushûn al-Hamîdiyah, al-Hidâyah, Surabaya, h. 8.
17 Ibid.
18 Abu al-Husayn Muslim bin al-Hajjaj al-Qusyayri, Loc. cit.
19 Ibid.
20 Hadits tersebut didiriwayatkan oleh Muslim dari Umar ra. Lihat: dalam Yahya bin Syaraf al-Din al-Nawawi, Syarah al-Arba’in al-Nawawi, al-Hidayah, Surabaya, h. 16.
21 Zaynudian Abi Faraj Abdurahman ibn Syihabuddin al-Bahgdadi (Ibnu Rajab), Jami’ al-Ulûm wa al-Hikâm, Muasasah al-Risâlah, vol. I, h. 108.
22 Hadits tersebut disampaikan oleh sh. Umar bin Khatthab. Yahya bin Syarif al-Din al-Nawawi (w. 676 H.), Syarah al-’Arba’in al-Nawawiyyah fi al-Ahâdîts al-Shahihat al-Nabawiyyah, al-Hidayah, Surabaya, h. 8-9.  
23 Zaynudian Abi Faraj Abdurahman ibn Syihabuddin al-Bahgdadi (Ibnu Rajab), Jami’ al-Ulûm wa al-Hikâm, Muasasah al-Risâlah, vol.I, h. 98-99.
24 hadits ini tercatat dalam Musnad imam Ahmad. Menurut al-Haytsami dalam kitab al-Majma ’vol. I, h. 59,semua perawi hadits tersebut adalah tsiqât  (dapat dipercaya). Bisa anda lihat dalam: Ibid. h. 107.
25 Jamal al-Din Ahmad bin Muhammad, Kitab Ushûl al-Dîn, Dâr al-Basyâ’ir al-Islâmiyah, Beirut, vol. I, h. 252.
26 Abu al-Hasan Asy’ari, al-Ibânah an Ushûl al-Diyânah, al-Jâmi’ah al-Islâmiyah, Madinah al-Munawwarah, cet. V, h. 59.
27 Ibnu Rajab, Op. cit. h. 115.
28 Di lingkungan ulama salaf sedikit ada perbedaan pandangan menyikapi persoalan di atas. Dari golongan pakar hadits, mayoritas berpendapat bahwa ritual-amal merupakan bagian iman. Lain dengan Abu Hanifah dan mayoritas fuqaha. Mereka berpendapat, bahwa ritual-amal bukan pra-syarat iman. Namun perbedaan ini tidak begitu signifikan, karena keduanya sepakat bahwa status kafir hanya diperuntukkan bagi yang tidak percaya kebenaran RasuluLah. Kalau sekedar meninggalkan ritual-amal maka disebut fasik. Karena sekalipun mayoritas ahli hadits berpendapat ritual-amal bagian dari iman, namun dengan meninggalkannya tidak menjadikannya kafir, hanya kurang sempurna imannya. Dengan demikian, substansinya mereka tidak berbeda pendapat.

29 Di intern kaum Ahlusunnah Wal-Jamah, berselisih mengenai ikrar dengan lisan. Menurut teolog muhaqqiq  Asy’ariyah dan Maturidiyah, ikrar hanya sebagai syarat-sebagaimana amal-untuk menentukan status seorang yang berdampak pemberlakuan hukum duniawi. Ini menjadi perhatian karena mukmin dan kafir ketentuan hukum ketika di dunia dibedakan, misalkan hukum dibolehkan menikahi wanita muslim tapi tidak boleh menikahi wanita kafir. Sementara, Abu Hanifah dan kelompok Asy’ariyah, berpendapat itu termasuk bahan-bahan keimanan (rukun). Jadi menurut pendapat ini, seorang yang hatinya membenarkan namun tidak berkesempatan mengucapkan, baik hukum dunia atau akhirat tetap diklaim sebagai non-mukmin. Periksa: Syeh Ibrahim bin Muhammad , Tuhfah al-Murîd, al-Hidâyah, Surabaya, h. 30-31.
30 Syeh Muhammad  Amin al-Kurdi al-Irbili, Loc. cit.
31 Sayid Husain Afandi, Loc. cit
32 Mutawatir adalah sabda Nabi yang dikutip atau diceritakan orang banyak. Sehngga dengan banyaknya pengutip, tidak mungkin mereka bersekongkol untuk memalsukannya. Dalam disiplin ilmu hadits, bila ditinjau dari segi jumlah perawinya maka akan terbelah jadi dua, yaitu mutawatir dan ahad. Hadits ahad ialah sabda Nabi yang diriwayatkan dari orang perorang yang tidak mencapai tingkat mutawatir. Sedangkan mutawatir adalah hadits yang diriwayatkan orang banyak pada semua tingkatan sanad (rentetan periwayat hadits sampai pada Nabi Muhammad  Saw), yang secara nalar dan wajar dapat dipastikan bahwa para periwayat hadist itu bersepakat untuk berdusta. Telaah kembali bidang ilmu Musthalah al-Hadits.
33 Sayid Husain Afandi, Loc. cit.
34 Ibid. H. 8.
35 Menurut Syeh Harist al-Muhasibi, ikhlas beramal tidak memasukkan perbuatan mubah. Mubah tidak terdapat unsur ibadah (qurbat) sama sekali disamping tidak membawa pengaruh untuk memancing berbuat ibadah. Dicontohkan memewahkan bangunan tempat tinggal tanpa tujuan positif. Begitu pun pada obyek hukum makruh dan haram. Sebagaimana seorang laki-laki yang melihat wanita lain (ajnabiyyah) dengan menduga perbuatannya ia lakukan dengan tujuan merenungi keindahan ciptaan Tuhan. Perbuatan semacam ini tidak dikategorikan ikhlas apalagi dikatakan sebagai bentuk ibadah. Seorang mushaddiqin, menurutnya, senantiasa berbuat untuk Tuhannya, baik dalam kesepian, keramaian, dan batin dan lahirnya. Makanya harus dibedakan antara bentuk ikhlas dan shidq. Keikhlasan mewujud dalam praktek ibadah dengan penuh ketaatan meskipun terkadang hatinya masih melalaikan Tuhannya. Sedangkan shidq merupakan tekhnis ibadah yang dilaksanakan dengan konsntrasi selalu menghadirkan Tuhan dalam hatinnya. Telisik dalam: Yahya bin Syarif al-Din al-Nawawi (w. 676 H.), Syarah al-’Arba’in al-Nawawiyyah fi al-Ahâdîts al-Shahihat al-Nabawiyyah, al-Hidayah, Surabaya, h. 8-9.
36 Syeh Muhammad  Amin al-Kurdi al-Irbili, Tanwîr al-Qulub, al-Hidayah, Surabaya, h. 86-87.
37 Ibid.
38 Abdul Karim al-Jilli (tokoh tasawuf) memasukan ihsan sebagai salah satu makam yang harus dilalui oleh calon sufi dalam mencapai derajat insan kamil (manusia sempurna). Setelah sampai pada derajat tersebut, calon sufi menempuh taraqqi (jalan naik) untuk memperoleh nur Muhamad, dengan melalui tiga tahap; yaitu bidayah (permulaan), tawasuth (pertengahan), dan khitâm (terakhir). Ensiklopedi Islam, Op. cit. vol. Kedua, h. 178-179.
39 Syeh Muhammad  Amin al-Kurdi al-Irbili, Op. cit. H. 83.
40 Syeh Ibrahim ibn Muhammad , Tuhfah al-Murîd, al-Hidâyah, Surabaya, h. 27.
41 Untuk tingkatan pertama dan kedua, ini masih terhalang untuk dapat menyaksikan (musyahadat) terhadap Allah Swt. Lihat dalam: Abu Abd al-Mu’thi Muhammad al-Nawawi al-Jawi, Kâsyifat al-Sajâ, al-Hidayah, Surabaya, h. 8.
32 Sedangkan makam fana terbagi lagi menjadi tiga tingkatan: fana’ dzat, fana’ shifat, dan fana’ af’al. Dalam kitab Kasifat al-Saja’, diterangkan bahwa tingkatan fana adalah pengetahuan-pengetahuan ketuhanan yang diberikan tidak pada sembarang orang. Hanya mereka yang mendapat keistimewaan oleh untuk diberinya. Baca: Abi Abdul Mukti Muhammad al-Nawawi al-Jawi, Kasifat al-Saja, al-Hidayah, Surabaya, h. 9.
42 Tapi menurut syeh al-Kurdi, klasifikasi iman cukup dibagi empat tingkatan: 1) Munafik, yakni keimanan dengan lisan padahal hatinya inkar. Mereka adalah orang munafik yang memanfaatkan status keimanan untuk dapat perlindungan duniawi semata, baik harta, nyawa dan lainnya. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui, sekecil semut di atas batu hitam pada malam hari-pun. Padahal balasan di akhirat bagi orang-orang yang berbuat demikian telah dinyatakan: “sesungguhnya orang-orang munafik akan berada didasar paling rendah neraka ; 2) Awam, ialah tingkatan iman yang melekat dalam hati juga mengucapkannya dengan lisan. Hanya saja, mereka tidak berperilaku sebagaimana orang beriman. Mereka menanam biji keimanan akan tetapi tidak pernah kelihatan memetik buahnya. Justru yang tampak mereka terkesan lebih berani menentang dan tidak mempedulikan ajaran syari’at; 3) Muqarrabîn, ialah tingkatan iman yang memang benar-benar melekat dalam hati. Orang yang berada pada tingkatan ini, membayangkan bahwa segala sesuatu bisa terjadi atas kontrol Kuasa Tuhan. Sehingga, keyakinanannya mengajak pribadinya tidak mau meminta perlindungan selain kepada-Nya. Semua ciptaan tidak ada yang mampu mengendalikan diri manusia, baik dalam rangka mencari keuntungan atau melepaskan kebahayaan; 4) Ahli Fana’, adalah strata keimanan bagi orang-orang yang telah berhasil sirna (flaying) dalam musyâhadah-nya kepada Allah Swt. Gambaran iman dalam tingkatan fana’, dapat terlihat dalam impian dan renungan seorang Abdus Salam: “Seandainya Allah menenggelamkanku dalam sumber lautan tauhid-Nya, sehingga aku tidak bisa melihat, tidak mendengar, tidak dapat menemui, dan tidak merasakan kecuali lautan tauhid-Nya. Wahai Allah! Satukan aku dengan-Mu, jauhkan diriku dari rintangan yang menjauhkan aku dengan-Mu ”.
43 Abu Abd al-Mu’thi Muhammad al-Nawawi al-Jawi, Kâsyifat al-Sajâ, al-Hidayah, Surabaya, h. 8.
44 Ibrahim bin al-Bayjuri, Kifayat al-’Awam, Mutiara Ilmu, Surabaya, h. 17-18.

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • Twitter
  • RSS
Copyright 2009 LOVERS of WISDOM
Free WordPress Themes designed by EZwpthemes
Converted by Theme Craft
Powered by Blogger Templates