Sejarah Dunia

 Sejarah Lahirnya Bangsa Indonesia


Lahirnya bangsa Indonesia diawali dengan rasa senasib dan sepenanggungan dari rakyatnya. Bangsa Indonesia telah mengalami serangkaian sejarah gelap dan panjang demi tercapainya sebuah kemerdekaan. Dimulai pada masa penjajahan Belanda yang terhitung tidak sebentar dalam menjajah bumi pertiwi ini. Selama kurang lebih 350 tahun, pengaruh Belanda melekat dalam kultur dan sendi-sendi masyarakat Indonesia pada saat itu. Sejatinya, Indonesia adalah negara kaya dan subur karena terletak didaerah yang sangat strategis yang mana pada saat itu dijadikan tempat singgah bagi pelayaran perdagangan internasional serta memiliki sumber daya alam yang melimpah diantaranya memiliki berbagai macam rempah-rempah khas yang tersebar diseluruh Nusantara, ditambah lagi dengan keramahan masyarakat Indonesia pada penduduk asing serta keterbelakangan dalam segi pendidikan membuat bangsa Indonesia dengan mudah diperdayai oleh para penjajah. Itulah sebabnya mengapa para penjajah dari Belanda menajadi sangat “gila” dan ingin menguasai serta mengeksploitasi kekayaan bangsa Indonesia selama berabad-abad lamanya.
Kesadaran akan kemerdekaan dan sikap nasionalisme jiwa bangsa Indonesia mulai bangkit pada tahun 1900-an dimana pada saat itu modernisasi Jepang menimbulkan kesan  kagum dan hebat pada sebagian besar warga negara Indonesia (Viekke, 1961, p.384). Kemenangan Jepang atas Rusia pada 1905  dianggap sebagai fajar periode sejarah baru bagi Asia (Viekke,1961,p.384). Adanya kemenangan ini mendorong pemimpin bangsa Indonesia mencari kesetaraan hak dengan penduduk Eropa. Pada tahun 1899, Belanda akhirnya memberikan kesetaraan hak kepada warga Jepang dengan Bangsa Eropa. Pada tahun 1909 terbukti ada orang Jepang yang memegang jabatan konsul di Batavia tetapi  jumlah warga Jepang yang tinggal di Indonesia semakin kecil. Dampak lain dari adanya kesetaraan hak ini ialah menimbulkan masuknya banyak imigran Cina ke wilayah Indonesia untuk melakukan hal yang sama sehingga tak pelak semakin meningkatlah populasi orang-orang Cina yang tinggal di Indonesia. Hal ini menyebabkan pemerintah Cina geram dan mulai mengeluarkan kebijakan baru atas orang-orang Cina yang tinggal di luar negeri. Kebijakan itu menyatakan bahwa setiap warga Cina yang tinggal di luar wilayah Cina akan dianggap telah kehilangan kewarganegaraanya. Tetapi pada tahun 1896, pemerintah Cina mencabut kebijakan dan menyatakan bahwa siapapun warga Cina yang tinggal di luar wilayah Cina akan tetap dianggap sebagai warga negara Cina sehingga populasi warga Cina yang menetap di Indonesia semakin banyak dan mendirikan sekolah serta perkumpulan. Selain itu, lahirnya sikap nasionalisme bangsa Indonesia dipengaruhi oleh beberapa faktor. Faktor utama dan faktor terbesarnya ialah adanya kesamaan agama pada sebagian besar masyarakat Indonesia karena lebih dari 90 persen penduduk Indonesia beragama Islam (Kahin, 1995, p.50). Sehingga dengan berkembangnya agama islam yang notabene bersifat universal dianggap akan dapat menyatukan bangsa Indonesia. Dengan demikian, maka agama islam dijadikan sebagai pemersatu dalam melawan budaya dan pengaruh asing (Viekke, 1961, p.392).
Faktor terpenting kedua yang menyebabkan terjadinya integrasi bangsa Indonesia ialah perkembangan bahasa kesatuan Hindia Kuno, bahasa Melayu Pasar, menjadi suatu bahasa nasional (Kahin, 1996, p.51). Peran dari penggunaan bahasa kesatuan ini ialah membantu penyebaran aliran agama islam pada masyarakat Indonesia dan mematahkan kecenderungan perspektif yang menyatakan bahwa orang Indonesia memiliki nasionalisme picik. Selain itu, penggunaan bahasa kesatuan ini sebagai upaya dalam menghapuskan penggunaan bahasa Belanda di Indonesia. Faktor ketiga yang mendukung integrasi nasionalisme di Indonesia ialah munculnya Volksraad atau Majelis Rakyat (Kahin, 1996, p.52). Volksraad berperan dalam memberi saran kepada kaum nasionalisme Indonesia agar mendidik khalayak ramai yang melek huruf tentang sasaran-sasaran yang lebih moderat dari pergerakan kebangsaan, dan dapat melihat sejumlah keluhan kaum nasionalis secara langsung (Kahin, 1996, p.53).
Dari penjelasan singkat diatas, dapat disimpulkan bahwa perjuangan bangsa Indonesia untuk keluar dan bangkit dari lingkaran penjajahan tidaklah mudah. Namun, disisi lain faktor positif dari adanya penjajahan adalah menumbuhkan sikap nasionalisme pada rakyat Indonesia karena pada mulanya sikap nasionalisme ini muncul dari adanya rasa senasib dan sepenanggungan sehingga rakyat Indonesia saling membantu dalam mengusir penjajah, serta adanya 3 faktor krusial tersebut semakin membantu bangsa Indonesia untuk menemukan jati diri atau identitas nasional bahwa bangsa Indonesia bukan bangsa yang lemah dan mampu mengusir penjajah dengan kerja keras rakyatnya.
Sumber Referensi :
  • Kahin, George Mc Truman. 1995. “Timbulnya Pergerakan Kebangsaan Indonesia”, dalam Nasionalisme dan Revolusi Indonesia. Jakarta:  Pustaka Sinar Harapan, pp 49-82.
  • Viekke, Bernard H.M. 1961. “Berakhirnya Suatu Koloni, Lahirnya Suatu Bangsa”, dalam Nusantara: Sejarah Indonesia, Jakarta: Pustaka Kepopuleran Gramedia, pp.380-425

 

Tak Hanya Kartini : Malahayati, Laksmana Perempuan Pertama di Dunia

MalahayatiMelanjutkan tulisan kiriman dari Widi Astuti “Tak Hanya Kartini” (Tulisannya bisa dilihat di widi80.blogdetik.com). Kali ini beliau mengirimkan tulisan ke admin serbasejarah tentang Malahayati.
__________________
Jika kita berbicara tentang Aceh, maka yang terbayang di benak kita adalah para mujahid dan mujahidah  yang berjuang  gigih tanpa pamrih. Aceh telah melahirkan begitu banyak pahlawan. Sungguh heroik perjuangan putra-putri Aceh dalam melawan penjajah. Tak ada satupun penguasa Aceh yang mau bekerjasama dengan penjajah. Ini menyebabkan Aceh sebagai satu-satunya daerah di Indonesia yang tidak pernah dikuasai oleh penjajah.
Kegigihan pejuang Aceh melawan penjajah tidak bisa dilepaskan dari kultur masyarakat Aceh yang sangat relijius. Aceh merupakan tempat pertama kali Islam masuk ke bumi nusantara. Ini dibuktikan dengan peninggalan berupa makam Sultan Malik al-Saleh raja Samudra Pasai yang wafat pada tahun 1297 M di Pasai, Aceh Utara. Samudra Pasai adalah kerajaan Islam pertama di Indonesia. Sejak saat itu landasan ajaran Islam sangat mempengaruhi perjalanan sejarah peradaban pemerintahan kerajaan-kerajaan di Aceh. Bahkan hingga kini landasan hukum berupa syariat Islam berlaku di sana.
Aceh terletak di daerah yang sangat  strategis, yaitu di selat Malaka. Semua kapal-kapal Eropa yang bertujuan memasuki wilayah Indonesia terutama pulau Jawa  harus melalui selat Malaka. Jalur selat Malaka ini sangat ramai, sering juga disebut jalur sutera dua. Para pedagang dari benua Eropa, China, Asia sering menggunakan jalur sutera dua ini untuk membeli rempah-rempah di kepulauan nusantara. Pada saat itu komoditi rempah-rempah sangat berharga.
Kondisi  geografis  seperti ini mengharuskan Aceh memiliki angkatan laut yang tangguh. Dan sejarah pun mencatat  Aceh pernah berhasil menjadi penguasa selat Malaka yang gagah berani  nan disegani. Aceh memiliki laksmana-laksmana yang  gagah dan hebat. Salah satu laksmana yang begitu fenomenal dan spektakuler  dalam sejarah adalah Malahayati. Dialah laksmana perempuan pertama di dunia. Ketika negara-negara maju menggembar-gemborkan emansipasi wanita di dunia ketiga, maka Malahayati telah melenggang menunjukan kemampuannya memimpin pasukan perang.
Malahayati yang memiliki nama asli Keumala Hayati berasal dari keluarga militer. Belum diketahui secara pasti kapan tanggal lahir dan tanggal wafatnya. Menurut manuskrip yang tersimpan di University Kebangsaan Malaysia, diperkirakan Malahayati lahir tahun 1575. Ayahnya adalah Laksamana Mahmud Syah. Sedangkan ibunya telah meninggal dunia ketika Malahayati masih kecil. Kakeknya bernama Laksamana Muhammad Said Syah, putra dari Sultan Salahuddin Syah yang memerintah Kesultanan Aceh Darussalam sekitar tahun 1530-1539 M. Sultan Salahuddin Syah merupakan putra dari Sultan Ibrahim Ali Mughayat Syah (1513-1530 M) yang merupakan pendiri Kesultanan Aceh Darussalam.
Malahayati kecil sering diajak berlayar oleh ayahnya. Hal ini menyebabkan Malahayati mencintai dunia bahari sejak dini. Dia bertekad untuk menjadi pelaut handal seperti ayahnya. Malahayati menempuh pendidikan di Akademi Militer Mahad Baitul Maqdis yang dimiliki kerajaan Aceh Darussalam saat itu.
Ketika dewasa, Malahayati menikah dengan seorang Perwira Laut alumni dari Akademi Militer tersebut. Malahayati telah memantapkan tekadnya untuk menapaki karir di dunia militer. Pasangan suami istri ini menjadi pasangan perwira laut yang handal. Akan tetapi tak lama kemudian suaminya meninggal dalam pertempuran laut melawan Portugis. Malahayati berduka. Meski terpukul karena menjadi janda muda, tetapi Malahayati tidak mundur dari dunia militer. Malahayati menjabat sebagai kepala pengawal dan protokol di dalam dan di luar istana. Kemudian menjadi kepala dinas rahasia.
Pada saat itu menjadi janda karena ditinggal mati syahid oleh suami yang  berperang adalah hal lumrah di Aceh. Malahayati bisa memahami kondisi kejiwaan para janda tersebut, karena dia pun janda. Pada masa itu hampir seluruh pria dewasa warga Aceh menyambut seruan jihad melawan penjajah Portugis. Mereka berperang sampai titik darah penghabisan, hingga syahid menjemput.
Perempuan Aceh bukanlah perempuan cengeng, mereka bangga apabila salah satu anggota keluarganya ada yang mati syahid. Karena orang yang mati syahid mampu memberikan syafaat bagi 70 anggota keluarganya di akhirat nanti. Meski menjadi janda, tetapi perempuan Aceh tetap tegar menapaki kehidupan. Bahkan janda-janda tersebut bertekad untuk hidup mulia atau mati syahid seperti para suami mereka. Malahayati berinisiatif untuk mengorganisir janda tersebut dengan membentuk Inong Balee.
Malahayati2Inong Balee adalah pasukan khusus perempuan yang terdiri dari para janda. Inoong Balee membangun benteng yang kokoh di Teluk Kreung Raya. Benteng ini sering disebut juga benteng Malahayati. Benteng Malahayati  ini berfungsi sebagai tempat pendidikan bagi 2000 janda anggota pasukan Inong Balee. Melalui benteng ini mereka mengawasi perairan Selat Malaka, mereka mengintai armada-armada Portugis,  Belanda, dan Inggris. Malahayati berhasil melatih janda-janda tersebut menjadi pasukan marinir yang tangguh. Sungguh mereka adalah para janda luar biasa.
Sebagai seorang pimpinan, Malahayati secara ksatria memimpin pertempuran secara langsung di lapangan. Dia memimpin armada laut kerajaan Aceh yang jumlahnya cukup banyak. Menurut John Davis,   nahkoda kapal Belanda yang mengunjungi kerajaan Aceh pada saat Malahayati menjadi Laksmana, Kerajaan Aceh memiliki  100 buah kapal perang. Diantaranya ada yang berkapasitas 400-500 penumpang. Malahayati lah pimpinan tertinggi angkatan laut Kerajaan Aceh.
Armada Laut Kerajaan Aceh sangat ditakuti oleh Portugis, Inggris dan Belanda. Padahal pada masa itu ketiga negara tersebut adalah negara adidaya. Banyak catatan orang asing seperti China, Eropa, Arab, India, yang mengakui kehebatan Malahayati.
Salah satu peristiwa yang akan selalu dikenang oleh sejarah adalah  Malahayati berhasil mengusir armada-armada Belanda dibawah pimpinan De Houtman bersaudara, Cornelis dan Frederick de Houtman. Cornelis de Houtman adalah orang Belanda yang pertama kali datang ke Indonesia pada tahun 1596 dan berhasil menancapkan kuku imperialisme di Jawa.
Pada tahun 1599, De Houtman bersuadara melakukan kunjungan kedua ke Indonesia. Dalam kunjungan kedua ini de Houtman bersaudara bersandar di Aceh pada tanggal 21 Juni 1599. Mereka berniat untuk mengusai kerajaan Aceh karena letaknya yang sangat strategis sebagai gerbang kepulauan nusantara.  Malahayati mengetahui niat busuk de Houtman bersaudara, dia bertekad akan bertempur habis-habisan mengusir penjajah terlaknat.
Malahayati mengerahkan seluruh pasukannya dan memegang komando tertinggi. Armada Belanda kelabakan, terdesak, dan akhirnya berhasil dihancurkan semua. Frederick de Houtman tertangkap kemudian dijadikan tawanan Kerajaan Aceh. Sedangkan Cornelis De Houtman berhasil dibunuh oleh Malahayati sendiri pada tanggal 11 September 1599. Pada awalnya Cornelis berniat menjebak Malahayati dalam suatu perjamuan makan malam untuk membicarakan gencatan senjata. Tetapi niat jahat tersebut tidak tercapai, Malahayati berhasil menyelamatkan diri bahkan berhasil membunuh Cornelis de Houtman dalam pertarungan duel satu lawan satu diatas geladak kapal. Saya merinding, saat menulis bagian ini. Membayangkan keperkasaan Malahayati ketika duel bersenjatakan rencong. Atas jasanya memukul mundur armada Belanda, Malahayati dianugerahi gelar Laksamana oleh Kerajaan Aceh.
Selain armada Belanda, Malahayati juga berhasil memukul mundur armada Portugis. Reputasi Malahayati sebagai penjaga Selat Malaka sangat ditakuti oleh negara-negara asing. Sesuatu yang menggegerkan bangsa Eropa, terutama Belanda. Sekaligus menunjukkan kewibawaan Laksamana Malahayati.
Kerajaan Belanda sangat menghormati kerajaan Aceh. Hal ini terlihat  ketika Mahkamah Amstredam menjatuhkan hukuman denda kepada Paulus Van Caerden sebesar 50.000 gulden yang harus dibayarkan kepada kerajaan Aceh. Bayar denda tersebut adalah akibat dari tindakan Paulus van Caerden ketika datang ke Aceh dan menenggelamkan kapal dagang Aceh. Setelah itu Van Caerden  merampas muatan lada lalu pergi meninggalkan Aceh.
Peristiwa penting lainnya selama Malahayati menjadi Laksama adalah ketika ia mengirim tiga utusan ke Belanda, yaitu Abdoelhamid, Sri Muhammad dan Mir Hasan ke Belanda. Ketiganya merupakan duta-duta pertama dari sebuah kerajaan di Asia yang mengunjungi negeri Belanda. Banyak cacatan orang asing tentang Malahayati. Kehebatannya memimpin sebuah angkatan perang ketika itu diakui oleh negara Belanda, Portugis, Inggris, Arab, China dan India.
Bahkan Inggris pun tidak berani secara terang-terangan menunjukan keinginannya untuk menguasai rempah-rempah di nusantara. Inggris yang terkenal sebagai penguasa lautan memilih jalan damai dengan kerajaan Aceh.  Ratu Elizabeth I mengirim surat diplomatik yang dibawa oleh James Lancaster untuk Sultan Aceh. Surat diplomatik ini  membuka jalan bagi Inggris untuk menuju Jawa dan membuka pos dagang di Banten. Keberhasilan ini membuat James Lancaster dianugrahi gelar bangsawan sepulangnya ia ke Inggris.
Malahayati menjabat sebagai laksmana kerajaan Aceh dalam waktu yang cukup lama, yaitu selama masa kepemimpinan Sultan Alaiddin Ali Riayat Syah IV Saidil Mukammil (1589-1604 M). Malahayati berhasil mengantarkan Aceh menjadi kerajaan yang disegani baik oleh kawan maupun lawan. Malahayati berhasil menjaga stabilitas Selat Malaka. Kehebatannya diakui oleh semua bangsa yang berhubungan dengan kerajaan Aceh. Nama Malahayati cukup membuat bergidik bangsa-bangsa adidaya saat itu.
Tapi saat ini, nama Malahayati tinggallah kenangan. Banyak orang yang tak mengenalnya. Namanya tenggelam ditelan zaman. Sungguh sangat menyedihkan, realitas pahlawan yang dilupakan oleh bangsanya sendiri. Padahal dialah Laksmana perempuan pertama di dunia. Dialah yang menggempur armada-armada Belanda dan Portugis. Di kala wanita-wanita barat belum mengenal emansipasi, Malahayati telah menjadi Laksmana dan memimpin beribu-ribu pasukan perang mengusir penjajah. Sungguh wanita hebat yang jarang tandingannya, baik di masa sebelumnya maupun masa sesudahnya. Malahayati……engkaulah pahlawan wanita sepanjang masa….

Kartosoewirjo Muda Jurnalis Fadjar Asia

Media massa atau Pers adalah suatu istilah yang mulai dipergunakan pada tahun 1920-an untuk mengistilahkan jenis media yang secara khusus didesain untuk mencapai masyarakat yang sangat luas. Dalam pembicaraan sehari-hari, istilah ini sering disingkat menjadi media.  Istilah “pers” berasal dari bahasa Belanda, yang dalam bahasa Inggris berarti press. Secara harfiah pers berarti cetak dan secara maknawiah berarti penyiaran secara tercetak atau publikasi secara dicetak (printed publication).
Awal abad 20 tahun, gerbang dibukanya abad pencerahan. Jaman pergerakan, ditandai dengan hadirnya koran, munculnya puluhan jurnalis muda. Muncul  pula sebuah pola baru dalam gerakan, organisasi. Dunia penerbitan –yang rata-rata dimiliki oleh orang Tionghoa– pun mencapai titik terang, ikut pula berperan mendorong proses kemajuan intelektual kaum bumi putra. Kaum jurnalis menjelma sekaligus sebagai aktivis-aktivis dan pimpinan pergerakan.
Berkat politik etis, Pemerintah Hindia Belanda memperbolehkan pribumi menerbitkan dagblad (suratkabar) berbahasa melayu. Ada yang hanya cetak stensilan, ada pula yang mampu terbit dengan kertas koran kualitas seadanya. Kebanyakan memang hanya seumur jagung. Satu dagblad mati, dagblad lain lahir.
Medan Prijaji adalah surat kabar pertama yang terbit dan dikelola oleh orang Indonesia. Surat kabar berbahasa Indonesia dengan bahasan politik ini terbit pada Januari 1907. Pelopornya adalah Raden Mas Tirtoehadisoerjo. Kehadiran Medan Prijaji menjadi penggerak terbitnya surat kabar lain yang dipelopori tokoh-tokoh perjuangan: Oetoesan Hindia oleh Hadji Oemar Said Cokroaminoto (tokoh Islam); Halilintar dan Nyala oleh Samaun (tokoh kiri), Guntur Bergerak dan Hindia Bergerak oleh Ki Hajar Dewantara (tokoh nasionalis); Benih Merdeka dan Sinar Merdeka oleh Parada Harahap (Wartawan senior yang dijuluki the King of Java Press); Suara Rakyat Indonesia, Sinar Merdeka, dan Sinar Indonesia oleh Soekarno (tokoh demokrat yang menjadi presiden pertama Indonesia), dan masih banyak lagi surat kabar lainnya, terbit dan tersebar di pelbagai wilayah.

Kartosoewirjo dan Fadjar Asia

Fadjar Asia mulai terbit pada Selasa 7 November 1927 Masehi bertepatan dengan 12 Jumadil Awwal 1346 Hijriyah. Fadjar Asia merupakan kelanjutan dari surat kabar Bendera Islam yang terbit di Yogyakarta pada tahun 1924-1927. Bendera Islam dikelola oleh petinggi-petinggi Syarikat Islam seperti Tjokroaminoto, Agus Salim, dan Sjahbuddin Latif. Sebelum Bendera Islam, Sarekat Islam memiliki Oetoesan Hindia (1913- 1923) yang mempunyai pengaruh luas terhadap surat kabar yang terbit di daerah- daerah.
Tidak didapat keterangan jumlah (oplah) Fadjar Asia setiap kali terbit. Akan tetapi dari salah satu edisi dapat diketahui bahwa suratkabar ini mempunyai oplah yang cukup besar dan sirkulasinya tidak hanya di Indonesia tetapi juga menjangkau hingga manca negara, seperti London, Den hag, Moscow, Mesir, India, Malaka, dan China. Luasnya sirkulasi media ini setidaknya dapat juga dicermati dari banyaknya koresponden dan tulisan-tulisan yang diterima redaksi dari berbagai wilayah baik dari dalam maupun luar Hindia Belanda.
Media ini dicetak dan diterbitkan oleh Drukkerijk Uitgevers en handel Maatschappij “Fadjar Asia” . Pada mulanya alamat redaksi di Pasar Senen Nomor 125 Weltevreden dengan nomor telepon 1825 kemudian dipindahkan ke Sluisbrugstraat Nomor 31C juga di Weltevreden dan nomor teleponnya tetap. Fadjar Asia menjadi pilihan redaktur untuk tetap mempertahankan semangat dan misi Bendera Islam yakni suratkabar yang berdasarkan politik ke-Islaman. Semangat ini selalu dicantumkan dalam setiap penerbitan Fadjar Asia.
Kelahiran Fadjar Asia di tahun 1927  inilah menjadi awal karir dan perjalanan S.M. Kartosoewirjo dalam bidang jurnalis pergerakan. Sejak “menyatakan” bergabung ke Partai Syarekat Islam Hindia Timur (PSIHT) atas ajakan H.O.S Tjokroaminoto, karir Kartosoewirjo dengan cepat melejit bersanding dengan tokoh-tokoh PSIHT sekaliber Agus Salim, Dr. Soekiman dan lainnya. Bulan September 1927, S.M. Kartosoewirjo menjadi sekretaris pribadi Tjokroaminoto dan di bulan Desember 1927 dalam kongres PSIHT di Pekalongan, Kartosoewirjo terpilih menjadi sekretaris umum PSIHT. (Pada Oktober 1928 Kartosoewirjo menjadi peserta kongres pemuda Indonesia di Batavia. Pada kongres tersebut Kartoosoewirjo terlibat debat sengit dengan ketua kongres Soegondo tentang hakikat pendidikan masa depan).
Dalam usia 22 tahun (1927), Soekarmadji Maridjan Kartosoewirjo (lahir 7 Februari 1905 di Cepu)  menjadi wartawan surat kabar Fadjar Asia mulai dari bawah sebagai korektor dan reporter. Dalam waktu 16 bulan kemudian ia diangkat sebagai wakil pemimpin redaksi dan kuasa usaha. Ini prestasi cukup mengesankan ketika itu. Dalam fase kehidupan jurnalistik inilah Kartosoewirjo mengembangkan kemampuan artikulasi gagasan-gagasannya. Fadjar Asia wadah paling tepat untuk itu. Dalam Fadjar Asia itulah tulisan-tulisannya ‘mengalir’ bak air terjun. Pada tahun 1929, dalam usaianya ang relatif muda, sekitar 24 tahun, Kartosoewirjo telah menjadi redaktur harian Fadjar Asia (menggantikan HOS Tjokroaminoto yang jatuh sakit).

Gagasan Intelektual Kartosoewirjo

Sampai saat ini biografi Kartosoewirjo tetap merupakan ‘misteri’ sejarah. Siapa sesungguhnya Kartosoewirjo? Bagaimana tokoh ini menapaki jalan kehidupan intelektual, spiritual dan politiknya ketika hidup? Mengapa akhir kehidupan tokoh ini tragis, mati ditembak seperti ‘anak-anak revolusi’ Indonesia lainnya? Selama Orde Baru biografi Kartosoewirjo, seperti juga biografi Mohammad Natsir, Syafruddin Prawiranegara, Isa Anshary, Tan Malaka, Syahrir, Bung Karno dan Jenderal Sudirman seakan dihalangi dinding-dinding tebal wacana sejarah formal. Ada semacam kesengajaan untuk menyembunyikan peran-peran historis mereka dengan tujuan politis tertentu.
Ini berakibat buruk. Angkatan muda Indonesia saat ini yang nota bene tidak pernah mengalami pahit getirnya dinamika politik zaman Revolusi, Demokrasi Parlementer, dan Orde Lama, kurang atau bahkan tidak mengenal sama sekali tokoh-tokoh sejarah bangsa mereka sendiri. Mereka tidak mengenal secara objektif sisi ‘plus-minus’ peran historis dan jasa-jasa tokoh-tokoh sejarah itu. Bila demikian, bagaimana mungkin bangsa ini bisa belajar dari kesalahan atau kearifan mereka di masa lampau? Bagaimana mungkin bangsa ini menghargai jasa-jasa pahlawannya bila mereka tak dikenal? Padahal, seperti dikatakan Bung Karno, “Bangsa yang besar adalah bangsa yang menghargai jasa-jasa pahlawannya.”
Ketokohan Kartosoewirjo juga diliputi mitos dan manipulasi sejarah. Di masa Orde Baru karakter tokoh ini dimanipulasi dan dimitoskan, sehingga yang tampil di hadapan kita adalah Kartosoewirjo ‘pemberontak’, pengkhianat bangsa dan musuh negara jauh dari apa yang digambarkan Hiroko Horikoshi yang menilai tokoh ini sebagai pejuang anti penindasan kolonial, berjasa membendung Komunisme di zaman pergerakan nasional dan pejuang keadilan. Lukisan ‘distortif’ tentang Kartosoewirjo itu diindoktrinasi selama Orde Baru melalui berbagai penataran P4 (Pedoman, Peng-hayatan, Pengamalan Pancasila) dan pelajaran sekolah dari SD hingga SMU. Hal serupa dilakukan dalam pendidikan-pendidikan militer tingkat SESKO ABRI. Sisi-sisi positif kehidupan pribadi dan politiknya nyaris tidak akan ditemukan dalam buku-buku sejarah formal Orde Baru.
Dekonstruksi sejarah dan biografi Kartosoewirjo dilakukan dengan menggali beberapa topik diantaranya, bagaimana sesungguhnya peran Kartosoewirjo masa muda di zaman Kolonial, pergerakan nasional sebelum Indonesia merdeka? Apa makna historis keberadaannya dalam perjuangan melawan penjajahan?
Mengkaji dan memahami jejak pemikiran Kartosoewirjo menjadi penting dalam rangka dekonstruksi sejarah dan biografi Kartosoewirjo.  Ibnu Khaldun dalam Muqaddimah menyatakan : “Akhir dari pemikiran adalah pergerakan dan akhir dari pergerakan adalah pemikiran”, Pergerakan dan pemikiran Kartosoewirjo adalah satu paket yang tidak bisa dipisahkan dari pemikiran dan pergerakan Partai Syarekat Islam Hindia Timur dengan corong pergerakannya Fadjar Asia atau Bendera Islam dan tentunya tidak bisa dipisahkan dengan pemikiran dan pergerakan dari H.O.S Tjokroaminoto sebagai ketua partai, guru politik dan bapak ideologisnya. Dalam kapasitasnya sebagai redaktur, mulailah dia menerbitkan berbagai artikel yang isinya banyak sekali kritikan-kritikan, baik kepada penguasa pribumi maupun penjajah Belanda.
Kartosoewirjo, meminjam Herbert Marcuse, bukan ‘manusia satu dimensi’ (one dimensional man) yang melulu bergulat dengan wacana teoritis yang abstrak. Dia juga seorang aktivis politik yang bergulat dengan dunia praxis dan menjadi bagian darinya. Karier semasa hidup membuktikan hal itu; Kartosoewirjo menjadi teoritisi dan politikus (PSII dan Masyumi, era 1920-an – pertengahan 1940-an), wartawan, dan imam gerilyawan. Selanjutnya sejarah menunjukan bahwa Kartosoewirjo adalah tokoh gerilyawan legendaris.
Gagasan-gagasan intelektual radikal  Kartosoewirjo mulai nampak dalam artikel-artikel Fadjar Asia. Ia menentang para bangsawan Jawa (kaum priyayi) yang bekerja sama dengan pemerintahan Belanda. Pembelaannya terhadap kaum tertindas, petani kecil dan buruh-buruh juga dikemukakan. Ketika para petani kecil di Lampung diusir dari tanah miliknya oleh ‘kapitalis asing’, Kartosoewirjo menulis: “Orang-orang Lampung dipandang dan diperlakukan sebagai monyet belaka, ialah monyet yang diusir dari sebatang pohon ke sebatang pohon lainnya.” Dikecamnya Volksraad yang tidak melindungi dan berpihak kepada rakyat serta ‘hanya omong kosong belaka.’ Kepada kaum buruh ia menyerukan melawan para penindasnya: “Jangan berkeluh kesah, jangan meminta-minta! Jangan tinggal diam saja! Kalau takut mati jangan hidup! Kalau hendak hidup janganlah takut mati!” Dalam tulisannya yang lain ia mengatakan bahwa kemerdekaan Indonesia hanya bisa diperoleh dengan pengorbanan: “Sebab kemerdekaan tanah air itu tidaklah sedikit harganya, yang oleh karenanya harganya, tentu bakal memakan korban luar biasa.”
Kepada kaum abangan dan PNI Soekarno yang menyerang Islam, reaksi Kartosoewirjo lebih keras lagi. Mengetahui Parada Harahap –ketua redaksi Bintang Timoer– menghina Islam, Kartosoewirjo menulis: “Si Parada Harahap menjilat-jilat pantat dan mencari muka kaum Nasionalis (PNI). Menjilat pantat dan mencari muka, karena ia perlu akan hal itu sebab boleh jadi Parada Harahap takut kalau ia lantaran berbuat berkhianat terhadap kepada bangsa dan tanah air -mendapat kemplangan di arah kepalanya, sehingga boleh jadi ia menjadi tidak sadar kalau tidak mampus sama sekali.” Kartosoewirjo juga menjuluki Parada Harahap ‘Penjual Bangsa Indonesia’, dan ‘Binatang Tikus dari Krekot.’
Gaya bertutur tulisan Kartosoewirjo yang sistematis dalam mengurai masalah dan memberi solusi pada setiap permasalahan menunjukan kadar intelektual yang mumpuni. Kritik tajam dengan kata-kata yang jelas dan tegas menunjukan sikap Kartosoewirjo muda yang teguh pada prinsip yang dianutnya.  Dalam tulisan di Fadjar Asia tentang “Soenan dan Kebangsaan“, Kartosoewirjo menulis :
“ Dalam Pasar Malam itoe adalah soeatoe kedjadian jang dapat sangat membikin ketjiwa teroetama bagi kaoem kebangsaan jang mendjadi wakil pers dalam keramaian itoe. Di sitoe tertampaklah beberapa orang journalist, baik bangsa kita maoepoen bangsa koelit poetih (dan boleh djadi djoega bangsa Tionghoa). Jang mempoenjai koelit poetih boleh doedoek di atas koersi dan dilajani sebagaimana biasa, diberi minoem sekedarnja d.l.l., tetapi journalist bangsa kita “dipersilahkan” doedoek “sebo” dan perkara minoeman dan l.l.s. ta’ oesah perbintjangkan di sini, mereka itoe boleh menelan loedahnja sampai kering kerongkongannja. Jang satoe dipersilahkan doedoek di atas, dilajani seperloenja tetapi sebaliknja jang lainnja disoeroeh doedoek “sebo” di bawah. Doea-doeanja sama-sama deradjat, harga dan pekerdjaannja dalam pergaoelan hidoep antara manoesia bersama.
Tentoe sadja dengan kenjataan jang demikian itoe banjak orang dari kaoem journalist, teristimewa kaoem journalist jang berperasaan dan bersemangat Kebangsaan jang laloe dan masing2 menoendjoekkan ke-tidak setoedjoean-nja akan kedjadian jang sangat pintjang itoe adanja.
Roepanja perbedaan ini tidak hanja karena perbedaan boeloe atau koelit sadja tetapi karena beberapa soe’al jang berhoeboengan dengan harga dan tempatnja Soenan dalam doenia ini terhadap fihak jang mengoeasai atasnja.
Memang sejak awal abad ke-20, Belanda mulai ‘menjinakkan’ pers berbahasa Melayu di Hindia-Belanda dengan cara baru. Pemerintah Hindia-Belanda menjadi ‘penuh perhatian’ kepada pers. ”Semakin pers Melayu berani menyatakan fikirannya, semakin ia diindahkan oleh pemerintah,” tulis Tirto Adhi Soerjo yang dimuat di Medan Prijaji tahun 1909.
Perhatian itu, menurut Tirto yang tulisannya dikutip ulang di buku Sang Pemula yang ditulis Pramoedya Ananta Toer (Hasta Mitra, 1985), berupa diberikannya diskon 25 persen bagi awak pers ketika naik kereta api kompeni. Potongan 25 persen, biasanya hanya diberilakukan untuk penumpang rombongan, seperti yang diberikan kepada rombongan pemain sepak bola. Pemerintahan Hindia Belanda sepertinya memberikan hak-hak khusus pada kaum jurnalis.
Tetapi Kartosoewirjo dengan jeli melihat perbedaan perlakuan antara jurnalis bangsa kulit putih, bangsa Tionghoa dengan jurnalis bangsa sendiri. “  Jang mempoenjai koelit poetih boleh doedoek di atas koersi dan dilajani sebagaimana biasa, diberi minoem sekedarnja d.l.l., tetapi journalist bangsa kita “dipersilahkan” doedoek “sebo” dan perkara minoeman dan l.l.s. ta’ oesah perbintjangkan di sini, mereka itoe boleh menelan loedahnja sampai kering kerongkongannja”. Dari kenyataan yang seolah sederhana, Kartosoewirjo justru menarik soal ini pada persoalan kebangsaan dan keislamam. Kartosoewirjo selanjutnya menulis :
“Rasa kebangsaan ta’ ada ke-Islaman poen demikian poela halnja, kendatipoen ia (Soenan) menoeroet titelnja mendjadi kepala Agama Islam, Agama Kebangsaan kita ditanah toempah darah kita ini. Bangsanja dibelakangkan dan bangsa lainnja diberi hak jang lebih dari batas, terlebih-lebih kalau kita mengingat jang kedoea fihak itoe (sama2 journalistnja mempoenjai deradjat dan pendjabatan jang bersamaan.
Kita tahoe, jang nistjajalah boekan maksoed Soenan boeat menerima tetamoenja dengan djalan jang begitoe tidak menjenangkan bagi salah satoe fihak, fihak bangsanja sendiri. Dan kita mengerti djoega, apakah gerangan jang mendjadikan sebab-sebabnja, maka ke’adaan jang begitoe itoe bisa diperlihatkan di medan oemoem.
Jang soedah terang dan njata, ialah: 
Boekan karena Tjinta Bangsa dan Tanah Air. 
Boekan karena Tjinta kepada Bangsa dan Ra’jatnja. 
Boekan karena tjinta kepada Ra’jat dan bangsa lainnja.
Melainkan karena ….keperloean diri sendiri belaka, keperloean diri 
jang bersangkoetan dengan ke-Soenanannja.
Djadi perboeatan jang demikian itoe boekanlah soeatoe perboeatan jang dilakoekan karena Allah (lillahi Ta’ala), tetapi karena …pembatja boleh menerka sendiri2, apakah jang kita maksoedkan itoe.
Moedah2an keadaan jang amat gandjil, jang bertentangan dengan tiap2 faham ke-manoesiaan keoetamaan dan ke’adilan dan berlawanan dengan “nationale Belangen” itoe hendaknja akan lenjap dari sendirinja, menoeroet peredaran zaman dengan selekas2nja. Demikianlah”
Analisanya yang tajam terlihat juga dalam tulisan tentang R.A. Kartini yang berjudul “Riwajat Almarhoem Raden Adjeng Kartini” 23 April 1929.  Kartosoewirjo menulis :
“Hari 21 April 1929 kemarin isi tjoekoeplah 50 tahoen, terhitoeng dari lahirnja, dan 25 tahoen kira2 terhitoeng dari mangkat beliau sampai sekarang. Dari itoe maka di mana2 tempat di seloeroeh Indonesia diadakan pertemoean oleh perkoempoelan2 kaoem isteri oentoek memperajakan hari jang penting ini, agar soepaja kita semoea mendapat ingat lagi, bahwa jang bermoela-moela membantingkan diri oentoek keperloean kaoem isteri ditanah ini jaitoe Almarhoem R.A. Kartini, soeatoe nama jang telah masjhoer di sentaro doenia.”
Kartosoewirjo selanjutnya menulis :
“Siapakah Kartini itoe, barangkali ada baiknja dan goenanja djoega, djikalau kita oeraikan dengan singkat riwajatnja beliau almarhoem itoe.
Marilah kita moelai dari datangnja toean Mr. Abendanon ke Djepara. T. Abendanon di waktoe itoe sedang memegang djabatan jang paling tinggi Departement Peladjaran. Sebagai Directeur Onderwijs ia sama-sama dengan njonjanja mengoendjoengi Kaboe-paten Djepara. Dan di sinilah bergandengannja doea hati, doea kemaoean, jang kelak selaloe bisa mengerti dan setoedjoe-menjetoedjoei satoe dengan lainnja, sampai boleh diperkatakan, seperti pepatah Djawa membilang: Toemboe mendapat (oleh Red. F.A.) toetoep. Apakah maksoed Toean Abendanon itoe? Ta’ lain hanja dengan maksoed hendak beremboek dengan Regent dan poetri-poetrinja, bagaimana tjaranja akan mendjoen-djoeng deradjatnja kaoem isteri itoe. Sesoedah pertemoean ini kedjadian dengan berhatsil, maka dengan senang hati Kartini melandjoetkan kemaoeannja bertoekar-fikiran dengan soerat. Tidak hanja dengan T. Abendanon sadja, akan tetapi djoega dengan lain-lainnja, jang dipandangnja akan bisa membawa boeah jang sehat.”
Apa yang hendak disampaikan Kartosoewirjo dari tulisan tentang peringatan R.A. Kartini?, Kartosoewirjo menulis :
“Kalau diperkatakan, bahwa tjita2 jang dikandoeng oleh R.A. Kartini itoe adalah soeatoe angan2 jang sangat mendekati tjita2 Islam dalam perihal berlaki-isteri. maka kebanjakan masih djoega disangkal, karena kebanjakan daripada mereka itoe tidak mengetahoei betoel2 akan agamanja. tidak tahoe akan hoekoem-berhoekoem jang termaktoeb dalam Qoer’an Soetji.
Memang mereka itoe dalam keroegian, dalam kegelapan, boekan karena salahnja sendiri –moela2nja– tetapi salahnja pendidikan jang diterimanja. Kemoedian mereka itoe laloe menggoedel bingoeng dan tidak soeka lagi menjelidiki kebenaran jang sesoenggoeh2nja, katanja, lantaran mereka itoe soedah ,,wetenschapplijk” atau ,,kewetenschapplijk-en.”
Apakah Islam tidak dapat diselidiki dengan ,,wetenschap”? Itoelah mereka tidak mengetahoeinja, biar pengetahoeannja sampai ,,soendoel langit” sekalipoen. Kalau seandainja tjita-tjita R.A. Kartini itoe dianggap sebagai angan-angan Islam –jang memang boekan– nistjajalah tidak akan disoekai, sebab ada perkataan ,,Islam”.
Pendek kata soedahlah terang bahwa kebanjakan dari pada pemoeda-pemoeda sekarang ini jang soedah amat ,,membarat”, telah loepa akan agamanja dan toendoek kepada barang jang tidak kekal (S.M.K.). Tentang kemasjhoeran poen agama Islam tidak akan koerang dari pada itoe, (S.M.K.) Memerangi ‘adat-isteri ‘adat jang hendaknja akan menghalang-halangi kemadjoean tanah air, bangsa dan Ra’iat kita, teroetama bagi kaoem isteri, memang haroes dilinjapkan dari doenia ini, tetapi apakah jang mendjadi oekoeran ,,kemadjoean” itoe? Baratlah atau lain-lainnja? Boleh djadi, tetapi agama kita roepanja tidak. Barat memoesoehi ‘adat!  Boekan sjara’ Islam berhadapan dengan hoekoem ‘adat, jang amat merendahkan deradjat manoesia!!!
Kartosoewirjo tidak seperti sosok Soekarno atau Hatta, yang lebih banyak bergelut dengan masalah-masalah teori dan pemikiran. Ia adalah seorang konseptor, tapi juga seorang praktisi. Dia tak hanya menggali pemikiran, tapi juga mengangkat senjata pergi berperang. Satu paduan yang jarang ditemui dalam diri pejuang kemerdekaan. Kartosoewirjo adalah sosok dengan kompleksitas yang tinggi.  Masa muda Kartosoewirjo tidak dihabiskan dengan hidup ongkang-ongkang kaki, hidup bergaya Holand tetapi hidup memeras pikiran untuk memberikan kesadaran bagi bangsa Indonesia akan penjajahan bangsa koelit poetih dan memotivasi bangsa Indonesia untuk memperjuangkan kemerdekaannya.
“Selama hidoep dan berdjangkitnja kedhaliman selama di doenia ini beloem ada ke’adilan, selama….., maka selama itoe senantiasa terdjadilah pertaroengan antara kaoem jang merasa koeat dan koeasa dan fihak jang “rendah” dan “lemah”, jang diperboeat sewenang-wenang dan sekehendak hati kaoem pertoeanan itoe. Inilah poela jang menjebabkan pertjederaan, perlawanan dan permoesoehan jang tidak akan dapat diberhentikan dengan berondongnja meriam dan sendjata api. ~S.M. Kartosoewirjo~
Semoga generasi muda kini bisa banyak belajar tentang semangat, pemahaman dan pemikiran para pejuang dimasa lalu………… dan cukup bagiku untuk belajar tentang KONSISTENSI…. satunya pikiran, sikap dan perbuatan … satunya pemikiran dan pergerakan …… karena sejarah bukan kebetulan tapi kesengajaan.
Referensi :
  1. Menimbang Ketokohan S.M. Kartosoewirjo dan Pemikiran Politiknya, Ahmad Suhelmi, MA.
  2. Arsip Surat Kabar Fadjar Asia
  3. Pers Bumiputera Masa Pergerakan Nasional 1927-1930 Kasus Surat Kabar Fadjar Asia, Hj. Umi Rusmiani Humairah, M.Pd (Dosen Jur. SKI IAIN Imam Bonjol), PKBI (Pusat Kajian Budaya Islam)


Jejak Soeharto : Komando Jihad Made In Opsus

 

Komando Jihad ialah Satu istilah yang sampai sekarang masih polemik pendefinisian dan peristilahannya. Salah satu peristiwa pelanggaran hak asasi manusia berat di Indonesia yang korbannya ialah umat Islam. Ribuan aktifis Islam ditangkapi secara sewenang-wenang, disiksa, dipenjara tanpa prosedur dan vonis tanpa landasan hukum. Walaupun korbannya ribuan tetapi kasus ini seakan telah dilupakan. Dokumen yang paling pasti, peristilahan Komando Jihad dilahirkan di meja pengadilan dan kejaksaan. Satu institusi Negara yang berkesatuan dengan kerja-kerja kepolisian dan militer di masa orde baru. Lembaga-lembaga itu semuanya dibawah kendali pemimpin tertinggi Soeharto.
Diantara aktifis Islam itu bahkan ada yang dihukum mati. Peristiwa kekerasan dan kesewenang-wenangan itu semua dibangun dalam konteks penghancuran politik umat Islam pasca pemusnahan komunisme PKI. Ali Murtopo seorang OPSUS dan tangan kanan Soeharto menyebut tahun itu sebagai tahun yang menentukan bagi kekuasaan orde baru pasca krisis Orde Lama. Sesuai cita-cita Ali Murtopo, akhirnya peristiwa Komando Jihad turut mengantarkan pada menunggalnya dan refresifnya kekuasaan politik orde baru.
Ada unsur rekayasa politik dalam kasus Komando Jihad di era Orde Baru yang ditandai operasi intelijen melalui sebuah Operasi Khusus. Selain itu, juga tampak jelas penyalahgunaan aparat militer yang bernaung di bawah Komando Keamanan dan Ketertiban (Komkamtib) di tingkat pusat dan Pelaksana Khusus Daerah (Laksusda) di tingkat daerah,”. Demikian disampaikan Busyro Muqoddas dalam ujian promosi untuk memperoleh doktor ilmu hukum Universitas Islam Indonesia (UII) Yogyakarta, Agustus 2010 silam.
Ia mempertahankan disertasinya berjudul ‘Kasus Komando Jihad Ditinjau dari Perspektif Independensi dan Transparansi Kekuasaan Kehakiman‘ di hadapan tim penguji. Dikatakan Muqoddas (yang kini menjadi pimpinan KPK), rezim Orde Baru telah menyalahgunakan kekuasaan dengan menempatkan aparat militer dan intelijen untuk merekayasa suatu lakon politik yang menimbulkan korban pada kalangan Muslim.
Muara dari proses peradilan kasus Komando Jihad tersebut adalah praktik kekuasaan kehakiman yang tidak independen dan tidak transparan di bawah tekanan sebuah rezim politik otoriter dan antidemokrasi. “Indikasi itu tampak dalam proses peradilan dan putusan peradilan yang menyalahi peraturan dan ketentuan hukum sebagaimana yang harus dijunjung tinggi oleh negara hukum,” bebernya.
Institusi peradilan, menurut dia, menjadi alat penguasa sehingga berdampak pada sejumlah warga negara mengalami tindakan pelanggaran hukum dan hak asasi manusia yang dilakukan oleh aparat pemerintah. “Seiring dominasi penguasa, terjadi pelanggaran institusi peradilan yang menyebabkan kekuasaan kehakiman tidak mampu berjalan secara independen dan transparan,” kata penerima penghargaan Bung Hatta Anti Corruption Award (BHACA) pada 2008 itu.
Kontroversi  kisah Komando Jihad di Indonesia dibukukan Pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Busyro Muqoddas, dengan judul Hegemoni Rezim Intelijen: Sisi Gelap Peradilan Komando Jihad. Mantan Ketua Komisi Yudisiil itu  pernah terlibat langsung mendampingi sejumlah terdakwa dari kelompok radikal yang dituduh melakukan aksi terorisme di era 1970 hingga 1980-an.
Dalam buku itu, Busyro Muqoddas menyebut perjuangan Soekarmadji Maridjan Kartosuwiryo yang mencita-citakan syariat Islam di Indonesia sebenarnya telah selesai pada 1962. Namun kelompok itu dihidupkan kembali oleh intelijen dalam wujud Komando Jihad. Lantas kelompok tersebut dihancurkan kembali untuk memenangkan Golongan Karya pada 1971.
Jenderal Purn AM Hendropriyono, mantan Kepala Badan Intelijen Negara (BIN) mengaku tak bisa memberikan komentar membenarkan ataupun menyalahkan hipotesa tersebut. Alasannya, waktu itu dirinya masih berada di jajaran perwira Kopassus yang tak terlibat dengan segala permasalahan politik nasional.
Hendropriyono sepakat dengan informasi yang ditulis Buysro, Komando Jihad merupakan permainan Ali Moertopo selaku Operasi Khusus (Opsus).  Hal ini juga terungkap lewat pengakuan Kepala Badan Koordinasi Intelijen Negara (Bakin), Soetopo Joewono.
Hendropriyono menyebut fenomena  itu seperti sebuah permainan antara siapa yang mengendalikan dan siapa dikendalikan. Maksud Ali Moertopo mengandalikan Komando Jihad untuk keperluan politik, namun tidak terkendali sampai kemudian ditumpas Jenderal LB Moerdani.

Manuver Intelijen

Dalam buku : Intel: Inside Indonesia’s Intelligence Service, terbitan Equinox tahun 2004,  Ken Conboy menjelaskan, Komando Jihad berakar dari sisa-sisa kelompok Darul Islam pimpinan Sekarmaji Marijan Kartosuwirjo, yang bercita-cita mendirikan Negara Islam Indonesia (NII). Gerakan Darul Islam dan NII berhasil dipadamkan, setelah Kartosuwirjo dibekuk tahun 1962.
Namun Darul Islam tak langsung diberangus, karena sejumlah faksi di tubuh Angkatan Bersenjata RI, seperti Ali Moertopo yang memimpin Operasi Khusus, justru menggandengnya untuk menghadapi komunis. Opsus adalah sebuah unit dalam Komando Intelijen Negara (KIN) yang bertugas melawan Persemakmuran (Inggris dan sekutunya). Unit ini dibentuk khusus serta bertanggungjawab kepada Soeharto sebagai komandan operasi pemulihan keamanan dan ketertiban pasca kudeta 30 September 1965.
Menurut Conboy, salah satu agen Opsus, Sugiyanto, berhasil menjalin hubungan dengan Danu Mohammad Hasan, salah satu komandan Darul Islam di Jawa Barat yang mendapat amnesti. Hubungan itu belakangan berguna, karena sisa-sisa Darul Islam di bawah pimpinan Dodo Mohammad Darda bin Kartosuwiryo, anak Kartosuwirjo, mulai menghidupkan lagi Darul Islam dengan nama Komando Jihad. Ada keraguan di kemudian hari apakah sebenarnya nama Komando Jihad benar-benar bikinan kelompok itu.
Seperti ditulis Ken Conboy, Opsus melihat Komando Jihad bisa dimanfaatkan untuk mendukung partai tertentu yang disokong pemerintah, pada pemilu 1971. Pitut Suharto, salah satu agen Opsus, lantas ditugaskan menyusup ke kelompok tersebut. Pitut punya sejarah hubungan baik dengan kelompok radikal. Lulusan Sekolah Intelijen Angkatan Darat ini sempat diturunkan pangkatnya, karena menentang komunis pada saat Orde Lama. Ia melarikan diri ke Sulawesi Selatan, dan meminta perlindungan dari kelompok radikal Islam.
Pitut tidak perlu menyamar untuk masuk ke kelompok radikal Islam. Ia sejak lama sudah dikenal sebagai perwira militer antikomunis. Ia justru bernegosiasi dengan menawarkan konsesi ekonomi untuk meraih dukungan kelompok radikal bagi Golkar.
Pitut memperoleh hak distribusi minyak tanah untuk wilayah Jawa dari negara. Wilayah-wilayah distribusi penting ini ditawarkan kepada pemimpin Darul Islam yang lantas memberikan hak distribusi lokal kepada simpatisan mereka.
Dua anggota Komando Jihad, Danu dan Ateng Djaelani, menerima tawaran dari Pitut. Bahkan, Ateng bertanggung jawab atas jaringan distribusi minyak tanah yang dijatahkan untuk Opsus. Total, dari 26 pimpinan Komando Jihad, sepertiga bersedia menerima pasokan minyak tanah ini. Kelompok radikal luar Jawa sempat dongkol kepada Ateng yang dinilai pelit membagi konsesi minyak tanah. Ini menyebabkan cabang-cabang Darul Islam baru atau Komando Jihad, sulit dibentuk di luar Jawa.
Pitut semakin dipercaya oleh faksi Danu di kelompok Komando Jihad. Namun Haji Ismail Pranoto dan Dodo Kartosuwirjo menolak keras Pitut. Sebagian aktivis Komando Jihad mendapat pelatihan dari Institute of Dakwah Islamiyah di Tripoli, Libya. Libya yang dipimpin Moammar Al-Ghadafi adalah tempat bersemainya pemikiran Islam bernapas sosialis. Ghadafi menyetuskan visi gabungan gerakan kiri Pan-Arab dengan Islam, melawan imperialisme dan zionisme.


Anton Ngenget, mantan anggota Partai Komunis Indonesia yang menjadi informan intelijen, mengatakan, diplomat Konsulat Uni Soviet pada tahun 1970-an mendorong mantan anggota PKI bawah tanah berhubungan dengan Komando Jihad. Moskow dilaporkan siap memberikan bantuan militer kepada kelompok progresif didikan Libya di Indonesia. Namun, semua tak terealisasi.
Pemilu 1977, Komando Jihad mulai mengarahkan dukungan ke Partai Persatuan Pembangunan (PPP). Opsus mulai kehilangan kesabaran. Empat bulan sebelum pemilu, pemerintah menangkapi ratusan aktivis Komando Jihad. Sebagian melarikan diri, namun Komando Jihad akhirnya lumpuh. Conboy menjelaskan, kedekatan kelompok intelijen Operasi Khusus pimpinan Ali Moertopo dengan Komando Jihad memunculkan kecurigaan Benny Moerdani. Opsus dicurigai ikut mendukung pembajakan pesawat oleh kelompok radikal Islam.
Ken Conboy menyebutkan gamblang, bagaimana dunia intelijen di Indonesia begitu semrawut dan dipenuhi intrik. Siapa menunggangi siapa, siapa dimanfaatkan siapa. Itulah yang terjadi pada kelompok radikal yang dikenal sebagai Kelompok Imron.
Namanya Imron bin Zein. Pemuda Minang kelahiran tahun 1950 itu sempat mengadu nasib di Arab Saudi, dan kembali ke Sumatra Barat tahun 1977. Dua tahun kemudian ia menjadi pedagang kaki lima di Jakarta, dan mulai menjadi juru dakwah ajaran Wahabi yang dipelajarinya di Saudi.
Tahun 1980-an, nama Imron meroket. Ia mulai membetot pengikut beretnis Sunda, Jawa, orang Sumatera Utara, dan tentu saja, Sumatera Barat. Keberhasilan Revolusi Iran oleh Khomeini menginspirasi Imron untuk melakukan hal sama di Indonesia. Bahkan, konon, ia menyurati Khomeini dan mengaku sebagai pemimpin Dewan Revolusi Islam Indonesia.
Tanggal 11 Maret 1981, Salman Hafidz, sekondan Imron, bersama 14 orang pengikutnya menyerbu sebuah pos polisi di Bandung. Mereka merampas dua pucuk pistol jenis Colt dan melumpuhkan empat orang petugas kepolisian yang tengah berjaga. Rezim Orde Baru bertindak cepat, dan menggebuk balik kelompok Imron. Puluhan pengikut Imron yang tidak tahu-menahu penyerbuan itu ikut diciduk.
Imron melarikan diri dan menyusun taktik balasan: membajak sebuah pesawat Garuda. Ia hendak menyandera para penumpang pesawat, dan menukarnya dengan para pengikutnya yang dipenjara. Lima orang ditunjuk sebagai pelaksana pembajakan pada 28 Maret 1981. Sasarannya Garuda DC-9 yang sedang dalam penerbangan dari Palembang menuju Medan.
Dengan berani, para pembajak itu mengalihkan perjalanan pesawat ke Bangkok, Thailand. Di sana, mereka mengeluarkan tuntutan: pembebasan 80 orang aktivis Islam radikal (di antaranya aktivis Komando Jihad), uang tunai USD 1,5 juta, dan pesawat yang kemungkinan akan diterbangkan ke Libia.
Mayor Jenderal Leonardus Benny Moerdani, Wakil Kepala Badan Koordinasi Intelijen Negara (Bakin), bergerak melakukan operasi penyelamatan. Sukses. Namun, setelah peristiwa itu, tersiarlah kabar bahwa kemungkinan besar ada yang mendalangi para pembajak ini. Belakangan diketahui lima orang pembajak adalah aktivis Komando Jihad yang punya kedekatan dengan orang-orang intelijen.
Salah seorang agen CIA juga melihat para pembajak begitu mudah menghamburkan uang untuk membeli barang yang tak penting, seperti jam tangan merek Rolex. Dari mana sumber dana mereka? Conboy menulis dalam bukunya, Benny Moerdani mencurigai adanya campur tangan rahasia pemerintah dalam pembajakan tersebut. “Sangatlah mudah melihat hubungan lama antara Opsus dengan kelompok agama ekstrim kanan,” tulis Conboy.
Moerdani dengan menahan marah menelpon Aswis Sumarmo, Deputi III Bakin. “Bilang pada Pitut untuk menghentikannya, atau ia akan kutangkap.” Pitut Suharto adalah salah satu agen Opsus, yang ditugaskan menyusup ke Komando Jihad.
Namun, keberhasilan Moerdani pada akhirnya melumpuhkan Bakin. Dua bulan setelah pembajakan Garuda, Bakin direorganisasi. Deputi III yang bertugas menyusupi dan mempengaruhi elemen-elemen penting masyarakat dipangkas, dan langsung ditangani Benny Moerdani. Moerdani lantas melepas jabatannya sebagai Wakil Kepala Bakin, dan mulai berkonsentrasi membesarkan Badan Intelijen Strategis (Bais) yang merupakan intelijen militer.
Referensi :

Antara Haji, Negara dan Sejarah Islam Indonesia

Merekonstruksi masa lalu dan menafsirkannya adalah semata-mata agar sejarah bisa dimengerti dan dipahami. Kuntowijoyo menyatakan dalam tulisannya “Penjelasan Sejarah“, bahwa sejarah bertumpu pada metode Verstenhen, yaitu pengalaman “dalam” yang menembus jiwa dan seluruh pengalaman kemanusiaan. Verstehen atau understanding adalah usaha untuk “meletakan diri” dalam diri yang “lain”. Verstehen adalah mengerti “makna yang ada di dalam”, mengerti subjective mind dari pelaku sejarah.  Dengan terus memahami arti penting sejarah maka sejarah akan memberikan pencerahan dalam memahami kehidupan kekinian.
Kesadaran sejarah, yang dalam ilmu sejarah disebut dengan historisitas, adalah gambaran tingkat kesadaran suatu kelompok masyarakat terhadap arti penting masa lalu. Gambaran ini akan terlihat dari cara memandang masa lalu itu sebagai suatu hal yang penting untuk diungkapkan secara benar. Berbagai kepentingan dapat saja memboncengi pengungkapan masa lalu itu, seperti untuk kepentingan politik dalam menjaga legitimasi suatu golongan dalam masyarakat, mungkin untuk tujuan mengukuhkan keberadaan suatu ideologi atau kepercayaan tertentu ataupun sekedar memperoleh kenikmatan kenangan masa lalu. Pengungkapan sejarah masa lalu (historiografi) dari suatu masyarakat sangat ditentukan oleh kesadaran sejarah yang mereka miliki, karena, baik bentuk ataupun cara pengungkapannya, akan selalu merupakan ekspressi kultural dan pantulan keprihatinan sosial masyarakat yang menghasilkan sejarah itu sendiri (lihat “Islam dan Awal Kesadaran Sejarah“).
Salah satu buku yang menurut saya adalah bagian dari proses ijtihadi untuk merekonstruksi sejarah khususnya “sejarah Islam di Indonesia” adalah buku “Manhaj Bernegara dalam Haji” karya Muhammad Rasuli Jamil yang baru terbit bulan november 2011 dalam rangka memperingati 100 tahun Partai Syarekat Islam Indonesia (PSII 1911 – 2011) yang diterbitkan oleh Media Madania. Kenapa disebut sebagai proses itjihadi ? karena butuh “pisau” pemikiran yang tajam untuk bisa menemukan pola-pola sejarah masa lampau. Penulis buku ini menyebutnya sebagai pisau pengrajin untuk interpretasi (tafsir) dalam mendesain satu ukiran, “pisau bedah”, untuk alat analisa mengenai aktifitas keagamaan (Islam) sebagai alat ukur: apakah suatu gerakan Islam (harakah) masih pada jalan yang tepat (on the track) atau telah terjadi penyimpangan (distorsi) dan “pisau kombat” untuk propaganda (dakwah)  menghadapi lawan politik dan ideologi.
Pisau yang digunakannya itu adalah “pisau Ilahi” pisau wahyu yang tidak begitu lazim digunakan bahkan tidak pernah digunakan oleh sejarawan-sejarawan pada umumnya. Penulis menyebutnya dengan metode 3 M,  3 marhalah atau manhaj atau metode yaitu marhalah Iman, marhalah Hijrah dan marhalah Jihad. Metode 3M ini  bisa berfungsi sebagai metode penulisan sejarah, juga untuk menganalisa serta menilai perjalanan ide dan proses Islam dalam bernegara.
Sejarah adalah ilmu diakronis sebab sejarah meneliti gejala-gejala yang memanjang dalam waktu, tetapi dalam ruang yang terbatas. Realitas sejarah yang terus menerus mengalir tanpa sekat dibutuhkan klasifikasi atas waktu, dibuat periodisasi sehingga pembabakan waktu adalah hasil konseptualisasi dan rasionalisasi sejarawan. Dalam buku “Manhaj Bernegara dalam Haji” saya menemukan jalan panjang sejarah Islam mulai dari Nabi Ibrahim sampai Nabi Muhammad SAW serta sejarah Islam bernegara di Indonesia yang diikat oleh penggalian makna ibadah haji. Cerita sejarah yang memanjang dalam waktu, seperti dimasukan dalam ruang “manasik haji” sebagai napak tilas risalah Nabi Ibrahim.
Ibadah haji sebagai rukun Islam ke-5, berasal dari sejak Millah-Ibrahim adalah semacam simulasi yang mengajarkan orang-orang beriman mengenai cara (thariqoh) merebut atau mempertahankan Baitullah, Ka’bah. Dari mulai “Miqat” tempat bermulanya haji meliputi makna waktu dan tempat, jama’ah haji mulai mengenakan pakaian ihram adalah penanda titik masa lalu dan masa depan. Dari titik miqat telah lahir manusia baru, seorang mujahid yang sanggup dan siap menyempurnakan tugas dengan penuh disiplin.  Dari “Miqat” jama’ah haji akan bergerak menuju Kota Makkah yang disana ada Rumah-Alloh (Baitullah), rumah berkumpulnya manusia yang mengesakan Rabb-nya. Inilah marhalah Iman, marhalah pertama yang wajib dilalui, sebagai marhalah dakwah menuju Iman dan Tauhid. Di marhalah ini berpisah antara al-Haq dan al-Bathil yang memisahkan pengikut masing-masing. Selanjutnya para jama’ah haji akan melalui “Hari Tarwiyah” hari penghayatan dan persiapan menempuh Hijrah menuju “Arafah” tempat berhimpun berbagai bangsa dan bahasa, dijalin dalam aqidah yang satu serta hukum syari’ah yang satu. Di hari inilah bermula marhalah Hijrah, hari yang selaras dengan do’a harapan Rasululloh : “Ya.. Rabbi, masukanlah aku (ke Yastrib) dengan cara yang benar dan keluarkanlah aku (dari Makkah) dengan cara yang benar dan jadikanlah bagiku dari sisi-Mu kekuatan (Sulthon/pemerintahan) yang menolong“. Di padang Arafah, jama’ah haji melaksanakan wukuf  dengan membawa kenangan akan peristiwa moyang manusia-tauhid pertama, Adam dan Hawa, disitulah mereka dipertemukan Allah Ta’ala dan Jabal Rahmah menjadi saksi pertemuan anak manusia.
Di Muzdhalifah, jama’ah haji melaksanakan “Mabit” bermalam dan di dalam kegelapan malam ini mereka berusaha mengumpulkan batu-batu kerikil (hashah) untuk digunakan pada pagi 10 Zul-Hijjah. Muzdalifah dan mabitnya merupakan perjalanan menuju Marhalah Jihad, masa konsolidasi membuat persiapan yang matang bagi meraih karunia Ilahi. Setelah shalat Shubuh, dan matahari pagi mulai menampakan dirinya, jama’ah haji bergerak meninggalkan Muzdalifah menuju Mina, dipenghujung lembah yang dipisahkan bukit terakhir pada perlintasan ke Makkah, tempat terdapat satu tiang sebagai tanda tempat melontar, Jumrah al-Aqobah yang biasa di sebut Jumrah al-Kubra. Disinilah mereka beramai-ramai melontar jumrah, menggunakan tujuh kerikil mengikuti sunnah dari Millah Ibrahim dalam hal memerangi setan sebagai musuh manusia yang merintangi misi (tugas), amanah Allah. Tersungkurnya musuh yang membisikan keraguan ini ditandai dengan penyembelihan hewan kurban. Darahpun mengalir sebagai bentuk kesyukuran dan kemenangan.
Selesai melaksanakan semua itu, jama’ah haji bisa bertahalul, melepaskan kain ihram, menggantinya dengan pakaian biasa. Mereka telah kembali ke Makkah dan berusaha mengsucikan dengan melakukan Thawaf Ifadhah dan Sya’i. Seakan-akan mereka adalah Nabi Ibrahim dan Nabi Ismail yang membersihkan Rumah-Allah, atau sebagai Nabi Muhammad dan orang-orang yang beriman bersamanya saat “Fath al-Makkah“.
Penggalian makna ibadah haji dalam buku ini sungguh sangat dibutuhkan bagi pemahaman umat Islam yang bukan hanya bagi para jama’ah haji agar khusu’ dalam melaksanakan ibadahnya tetapi bagi umat Islam semuanya agar tergerak untuk memahami, menjiwai dan membentuk sikap serta sifat mujahid yang berdisiplin, berani, membela pimpinan, jujur dan hemat, kasih sayang dan membela sesama, serta bijaksana. Suatu sikap mental yang menjadi prasyarat bagi lahirnya generasi futuh Islam.
Ikutilah jejak langkah Muhammad, perhatikan Sirah Nabawi-nya. Sebagai tanda, bukti kamu cintakan Allah dan Rasul-Nya. Jadikan itu satu-satunya jalan menuju Mardhatillah, keridhaan Allah kini dan hari esok.
Sejalan dengan seruan itu, buku ini mendiskripsikan sejarah politik dan ideologi Pergerakan Islam di Indonesia abad 20, yang mempengaruhi peta politik Indonesia, dengan “tafsiran baru” berdasarkan fakta sejarah sebagai peristiwa. Jalan panjang perjuangan umat Islam bangsa Indonesia dikaji dalam metode penulisan dan kajian sejarah menggunakan “Metode Tiga Marhalah” Iman – Hijrah dan Jihad.
Melalui pendekatan tiga tokoh pergerakan yang sangat berpengaruh bagi perjalanan perjuangan Islam di Indonesia yaitu Haji Samanhudi, Haji Omar Said (H.O.S) Tjokroaminoto dan Sekarmadji Marijan Kartosoewiryo, buku ini telah menemukan “benang merah” ide, gagasan, jejak langkah dan perjuangan yang dibedah oleh “pisau bedah” diinterpretasi oleh “pisau pengrajin” yang menghasilkan periodisasi sejarah Islam bernegara pada tiga tahap perjuangan yaitu Marhalah Iman, Marhalah Hijrah dan Marhalah Jihad.
Buku ini layak dijadikan referensi argumentatif bagi “Pisau Kombat” propaganda dalam menghadapi tatangan dakwah global dimasa kini. Dinamika dan romantisme sejarah masa lalu tidak hanya mengagung-agung kiprah jejak para pelaku sejarah tetapi wajib memberi arti bagi jejak perjalanan di masa kini. Hanya jalan juang yang “on the track” dari “miqat” sampai “thawaf ifadhah” yang bakal menurunkan curahan karunia Ilahi bagi umat, bangsa dan negara.
“In het verleden ligt het heden, in het nu wat worden zal” (yang sekarang (hadir) ada terkandung di dalam yang lalu (madhi); yang sekarang ada mengandung yang akan datang (mustaqbal) ~ H.O.S Tjokroaminoto ~
Sejarah adalah jejak “koma” bukan “titik”. Pemikir pejuang dan pejuang pemikir H.O.S Tjokroaminoto telah menemukan jawaban tepat bagi perjuangan melawan imperialis kolonialis Belanda dengan motto aksi perjuangan yang ada dalam lambang Partai Syarikat Islam Indonesia yaitu Kerso, Koewoso, Mardiko ” atau Kuat – Kuasa – Menang dengan membentangkan misi perjuangannya kemerdekaan bangsa, kemerdekaan umat dan kemerdekaan sejati. “Kerso, Koewoso, Mardiko“  inilah yang menjadi “pisau kombat” dari Tjokro dan SI-nya yang menurut pemahaman saya di ambil dari makna Iman – Hijrah dan Jihad…. dan pemaknaan-pemaknaan untuk masa kini haruslah ditemukan oleh pemikir pejuang dan pejuang pemikir di zamannya.
Terakhir hatur tararengkyu buat Bapak Muhammad Rosuli Jamil yang telah “menghadiahkan” buku berharga ini kepada kami dan semoga bermanfaat bagi ummat Islam khususnya bangsa Indonesia.

Semoga sejarah menemukan jalan kembali ……..

*Referensi utama : Manhaj Bernegara dalam Haji (Kajian Sirah Nabawi di Indonesia), Muhammad Rasuli Jamil, Media Madania, Jakarta, November 2011



Jong Islamieten Bond : Meng-Islam-kan Kaum Terpelajar

Sejarah adalah cerita kaum muda ~
Jong Islamieten BondKita mengenal tokoh-tokoh pejuang Islam di Indonesia seperti Mohammad Natsir, Mohammad Roem, Kasman Singodimedjo, Sjafruddin Prawiranegara, Prawoto Mangkusasmito, S.M. Kartosoewirjo. Mereka lahir dari dua organisasi Islam kalangan muda waktu itu yang berperan membina sikap dan keyakinan mereka sebagai muslim pejuang yang dididik di Jong Islamieten Bond (JIB) dan Studentent Islam Studie Club (SIS), perkumpulan mahasiswa untuk studi Islam.
Jong Islamieten Bond adalah perkumpulan pemuda Islam yang didirikan di Jakarta pada tanggal 1 Januari 1925 oleh pemuda pelajar ketika itu. Tujuan pertama pembentukannya adalah untuk mengadakan kursus-kursus agama Islam bagi para pelajar Islam dan untuk mengikat rasa persaudaraan antara para pemuda terpelajar Islam yang berasal dari berbagai daerah di Nusantara dan sebelumnya masih menjadi anggota perkumpulan daerah, seperti Jong Java (7 Maret 1915), Jong Sumatra (9 Desember 1917), dan lain-lain. Sedangkan SIS didirikan pada tahun 1930-an.
H. Agus Salim, Mohammad Natsir, Mohammad Roem,  S.M. Kartosoewirjo dan Kasman Singodimedjo adalah tokoh-tokoh di JIB, sementara Jusuf Wibisono dan Prawoto Mangkusasmito adalah tokoh-tokoh di SIS. Sekalipun Jusuf Wibisono pernah di JIB dan Kasman pernah di SIS. Kedua organisasi ini dapat menghambat gagasan sekularisasi yang dicanangkan oleh pemerintahan Hindia Belanda melalui Snouck Hugronje karena mereka mempelajari Islam secara kritis sehingga basis keislaman mereka di JIB disamping sebagai pejuang kemerdekaan dapat terbangun dengan baik. Di JIB H. Agus Salim adalah merupakan tokoh pembangun karakter sehingga selain Mohammad Natsir, Mr. Mohammad Roem adalah anak kesayangan H. Agus Salim.
JIB bukanlah organisasi politik. Hal ini terlihat dari pidato Samsurijal, yang terpilih sebagai ketua umum, pada Konggres JIB I pada tahun 1925 di Yogyakarta yang mengatakan, “Pada kursus-kursus, ceramah-ceramah dan debat-debat yang kami selenggarakan, akan diusahakan sejauh mungkin meningkatkan pengertian tentang politik terutama dari sudut Islam. Tetapi JIB tidak akan ikut aksi politik“. Susunan Pengurus Pusat JIB pertama adalah: Raden Samsurijal (ketua); Wibowo Purbohadidjojo (wakil ketua); Syahbuddin Latif (sekretaris I); Hoesin (sekretaris II), Soetijono (bendahara I); dan So’eb (bendahara II). Komisaris-komisaris adalah Moegni, Thoib, Soewardi, Syamsuddin, Soetan Palindih, Kasman Singodimedjo, Mohammad Koesban, Soegeng, dan Haji Hasim. Pengurus Pusat tersebut mula-mula baru memiliki empat cabang: Jakarta, Yogyakarta, Solo, dan Madiun. Kedudukan Dewan Pimpinan Pusat (DPP) tersebut berada di Jakarta.
Dalam catatan sejarah, keluarnya Syamsuridjal dari keanggotaan Jong Java (Perkumpulan Pemuda Jawa) dan kemudian mendirikan Jong Islamietend Bond (JIB/ Perhimpunan Pemuda Islam) adalah karena organisasi Jong Java menolak untuk mengadakan kuliah atau pengajaran keislaman bagi anggotanya yang beragama Islam dalam organisasi ini. Sementara, agama Katolik dan Theosofi justru mendapat tempat untuk diajarkan dalam pertemuan-pertemuan Jong Java. Pada masa lalu, Jong Java adalah organisasi yang berada dalam pengaruh kebatinan Theosofi.
Sosok yang dianggap berpengaruh dalam menyingkirkan Islam dari organisasi Jong Java adalah Hendrik Kraemer, utusan Perkumpulan Bibel Belanda yang diangkat menjadi penasihat Jong Java. Sejarawan Karel Steenbrink dalam “Kawan dalam Pertikaian:Kaum Kolonial Belanda Islam di Indonesia 1596-1942″ menulis bahwa Kraemer adalah misionaris Ordo Jesuit yang aktif memberikan kuliah Theosofi dan ajaran Katolik kepada anggota Jong Java. Di organisasi pemuda inilah, Kraemer masuk untuk menihilkan ajaran-ajaran Islam. (Lihat, Karel Steenbrink, hal.162-163)
Selain Syamsuridjal, permintaan agar Islam diajarkan dalam pengajaran di Jong Java juga disuarakan Kasman Singodimedjo. Kasman bahkan mengusulkan agar Jong Java menggunakan asas Islam dalam pergerakan dan menjadi pionir bagi organisasi-organisasi pemuda lain, seperti Jong Sumatrenan, Jong Celebes, dan Pemuda Kaum Betawi. Kasman beralasan, Islam adalah agama mayoritas di Nusantara, dan mampu menyelesaikan segala sengketa dalam organisasi-organisasi yang saat itu banyak terpecah belah. Karena tak disetujui, maka pada 1 Januari 1925, para pemuda Islam mendirikan Jong Islamietend Bond (JIB/Perkumpulan Pemuda Islam) di Jakarta. Dengan menggunakan kata “Islam”, JIB jelas ingin menghapus sekat-sekat kedaerahan dan kesukuan, dan mengikat dalam tali Islam.
Dalam statuten JIB dijelaskan tentang asas dan tujuan perkumpulan ini:
Pertama, mempelajari agama Islam dan menganjurkan agar ajaran-ajarannya diamalkan. Kedua, menumbuhkan simpati terhadap Islam dan pengikutnya, disamping toleransi yang positif terhadap orang-orang yang berlainan agama.
Dalam kongres pertama JIB, Syamsuridjal dengan tegas menyatakan : “Allah SWT mewajibkan kami tidak hanya berjuang untuk bangsa dan negara kita, tetapi juga untuk umat Islam di seluruh dunia. Hanya, hendaknya di samping aliran-aliran Islam, kita selalu memberi tempat kepada aliran-aliran nasionalistis. Selain kewajiban yang utama ini, kami wajib berjuang untuk umat Islam seluruhnya, sebab kami orang Islam adalah hamba Allah SWT. dan kami hanya mengabdi kepada-Nya, Yang Maha-kuasa, Maha-arief, Maha-tahu, Raja alam semesta. Inilah prisip yang menjiwai JIB”.
Untuk mengkonter pelecehan-pelecehan terhadap Islam, para pemuda Islam yang tergabung dalam JIB kemudian mendirikan Majalah Het Licht yang berarti Cahaya (An-Nur). Majalah ini dengan tegas memposisikan dirinya sebagai media yang berusaha menangkal upaya dari kelompok di luar Islam yang ingin memadamkan Cahaya Allah, sebagaimana yang pernah mereka rasakan saat masih berada di Jong Java. Motto Majalah Het Licht yang tercantum dalam sampul depan majalah ini dengan tegas merujuk pada Surah At-Taubah ayat 32: “Mereka berusaha memadamkan cahaya (agama) Allah dengan mulut-mulut mereka, tetapi Allah menolaknya, malah berkehendak menyempurnakan cahaya-Nya, walaupun orang-orang kafir itu tidak menyukai.” JIB dengan tegas juga mengkonter pelecehan terhadap Islam, sebagaimana dilakukan oleh Majalah Bangoen, majalah yang dipimpin oleh aktifis Theosofi, Siti Soemandari. Majalah Bangoen yang dibiayai oleh organisasi Freemason pada edisi 9-10 tahun 1937 memuat artikel-artikel yang menghina istri-istri Rasulullah. Penghinaan itu kemudian disambut oleh para aktivis JIB dan umat Islam lainnya dengan menggelar rapat akbar di Batavia.
JIB juga membentuk Organisasi Pandu Indonesia (National Indonesische Padvinderij, disingkat Natipij), organisasi pandu pertama yang memakai nama Indonesia, suatu istilah yang belum lazim dipakai ketika itu. Di setiap cabang, JIB mengadakan kursus-kursus agama Islam. Pada bulan Oktober 1931 JIB membangun sekolah HIS (Hollandsch Inlandsche School) sejenis SD untuk anak Bumiputra golongan atas di Tegal dan pada bulan November 1931 dibangun lagi HIS di Tanah Tinggi Batavia.
Sebelumnya, pada 1926, dua tahun sebelum peristiwa Sumpah Pemuda, para aktivis muda yang berasal dari Jong Theosofen (Pemuda Theosofi) dan Jong Vrijmetselaarij (Pemuda Freemason) sibuk mengadakan pertemuan-pertemuan kepemudaan. Pada tahun yang sama, mereka berusaha mengadakan kongres pemuda di Batavia yang ditolak oleh JIB, karena kongres ini didanai oleh organisasi Freemason dan diadakan di Loge Broderketen, Batavia. Alasan penolakan JIB, dikhawatirkan kongres ini disusupi oleh kepentingan-kepentingan yang berusaha menyingkirkan Islam. Apalagi, Tabrani, penggagas kongres ini adalah anggota Freemason dan pernah mendapat beasiswa dari Dienaren van Indie (Abdi Hindia), sebuah lembaga beasiswa yang dikelola aktivis Theosofi-Freemason.
Jong Islamieten Bond dalam kongresnya yang ketiga, Jogjakarta 23-27 Desember 1927, membicarakan masalah Islam dan kebangsaan juga nasionalisme dalam pandangan Islam yaitu mencintai tanah air, bangsa dan agama. Organisasi ini kelak berperan banyak dalam penyelenggaraan Kongres Pemuda II bersama Perhimpunan Pelajar Pelajar Indonesia (PPPI), Jong Indonesia, dan beberapa organisasi pemuda lainnya.
Pada tahun 1922, sebagaimana ditulis oleh A.D El Marzededeq dalam “Jaringan Gelap Freemasonry: Sejarah dan Perkembangannya Hingga ke Indonesia” disebutkan bahwa di Loge Broderketen, Batavia, juga pernah terjadi aksi pelecehan terhadap Islam oleh salah seorang aktivis Freemason yang memberikan pidato pada saat itu dengan mengatakan, “Islam menurut mereka itu merupakan paduan kultur Arab, Yudaisme, dan Kristen. Indonesia mempunyai kultur sendiri, dan kultur Arab tidak lebih tinggi dari Indonesia. Mana mereka mempunyai Borobudur dan Mendut?
Para aktivis nasionalis sekular, terutama mereka yang aktif dalam organisasi Theosofi dan Freemason berusaha menjauhkan peran agama, khususnya Islam, dalam sistem pemerintahan. Negara tak perlu diatur oleh agama, cukup dengan nalar dan moral manusia.
Paham kebangsaan yang diusung oleh kelompok nasionalis sekular pada masa lalu di negeri ini adalah ideologi “keramat” yang netral agama (laa diniyah) dan kerap dibentur-benturkan dengan Islam. Kelompok nasionalis sekular, sebagaimana tercermin dalam pemikiran Soekarno dan para aktivis kebangsaan lainnya yang ada dalam organisasi seperti Boedi Oetomo, adalah mereka yang menolak agama turut campur dalam sistem pemeritahan. Mereka berusaha menjauhkan peran agama, khususnya Islam, dalam sistem berbangsa dan bernegara. Mereka menjadikan Turki sekular di bawah pimpinan Mustafa Kemal At-Taturk sebagai kiblat dalam mengelola pemerintahan.
Kiblat kelompok kebangsaan kepada Turki Sekular tercermin jelas dalam pernyataan tokoh Boedi Oetomo, dr Soetomo yang mengatakan, “Perkembangan yang terjadi di Turki adalah petunjuk jelas, bahwa cita-cita “Pan-Islamisme” telah digantikan oleh nasionalisme.” Dengan rasa bangga, saat berpidato dalam Kongres Partai Indonesia Raya (Parindra) pada 1937, Soetomo mengatakan,”Kita harus mengambil contoh dari bangsa-bangsa Jahudi, jang menghidupkan kembali bahasa Ibrani. Sedang bangsa Turki dan Tsjech kembali menghormati bangsanya sendiri.”
Tokoh Boedi Oetomo lainnya, dr Tjipto Mangoenkoesomo, juga dengan sinis meminta agar bangsa ini mewaspadai bahaya “Pan-Islamisme”, yaitu bahaya persatuan Islam yang membentang di berbagai belahan dunia, dengan sistem dan pemerintahan Islam di bawah khilafah Islamiyah. Pada 1928, Tjipto Mangoenkoesoemo menulis surat kepada Soekarno yang isinya mengingatkan kaum muda untuk berhati-hati akan bahaya Pan-Islamisme yang menjadi agenda tersembunyi Haji Agus Salim dan HOS Tjokroaminoto. Tjipto khawatir, para aktivis Islam yang dituduh memiliki agenda mengobarkan Pan-Islamisme di Nusantara itu bisa menguasai Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI). Jika mereka berhasil masuk dalam PPKI, kata Tjipto, maka cita-cita kebangsaan akan hancur.
Pernyataan Tjipto Mangoenkoesomo makin memperjelas sikap kalangan pengusung paham kebangsaan atau nasionalis sekular yang berusaha membendung segala upaya dan cita-cita Islam dalam pergerakan nasional dan pemerintahan di negeri ini. Sebelum kemerdekaan, perdebatan soal Islam dan kebangsaan antara kelompok nasionalis sekular yang diwakili oleh Soekarno dan kawan-kawan dengan kelompok Islam yang diwakili A. Hassan, M. Natsir, dan H. Agus Salim begitu menguat ke publik. Berbagai polemik tentang dasar negara menjadi perbincangan terbuka di media massa. Kelompok Islam menginginkan negara yang nantinya merdeka, menjadikan Islam sebagai landasan bernegara. Sementara kelompok nasionalis sekular berusaha memisahkan agama dan pemerintahan. “Manakala agama dipakai buat memerintah masyarakat-masyarakat manusia, ia selalu dipakai sebagai alat penghukum di tangan raja-raja, orang-orang zalim, dan orang-orang tangan besi,” kata Soekarno mengutip perkataan Mahmud Essad Bey.
Sarekat Islam (SI), sebagai organisasi pergerakan yang mengusung cita-cita Islam, melalui tokohnya HOS Tjokroaminoto memang menyerukan kepada SI untuk melancarkan gerakan tandzim guna mengatur kehidupan rakyat di lapangan ekonomi, sosial, budaya, menurut asas-asas Islam. Sedangkan H. Agus Salim, selain menyerukan perlawanan terhadap kapitalisme, juga menyerukan tentang kekhilafahan Islam dan Pan-Islamisme, sehingga berdiri apa yang disebut dengan Central Comite Chilafat. Nasionalisme dalam pengertian Salim adalah memajukan nusa dan bangsa berdasarkan cita-cita Islam.
Mohammad Natsir dalam Majalah Pembela Islam tahun 1931 menulis bahwa kelompok yang ingin memisahkan agama dari urusan negara adalah kelompok ”laa diniyah” (netral agama). Natsir menegaskan, ada perbedaan cita-cita antara kelompok kebangsaan dan para aktivis Islam tentang visi negara merdeka. Natsir menyatakan, kemerdekaan bagi umat Islam adalah untuk kemerdekaan Islam, supaya berlaku peraturan dan undang-undang Islam, untuk keselamatan dan keutamaan umat Islam khususnya, dan untuk semua makhluk Allah umumnya. Natsir menyindir kelompok nasionalis sekular dengan mengatakan, “Pergerakan yang berdasarkan kebangsaan tidak akan ambil pusing, apakah penduduk muslimin Indonesia yang banyaknya kurang lebih 85% dari penduduk yang ada, menjadi murtad, bertukar agama. Kristen boleh, Theosofi bagus, Budha masa bodoh.”
Sementara kelompok kebangsaan, terutama mereka yang aktif dalam organisasi Theosofi dan Freemason, mengampanyekan bahwa nasionalisme yang dibangun di negeri ini harus sesuai dengan doktrin humanisme, di mana manusia berhak menentukan hukum buatan sendiri yang bertujuan untuk mengabdi kepada kemanusiaan, tanpa campur tangan agama manapun. Van Mook, tokoh Freemason di Hindia Belanda ketika itu, dalam sebuah pidato di Loge Mataram, Yogyakarta, tahun 1924, mengatakan, “Freemasonry membimbing nasionalisme menuju cita-cita luhur dari humanitas.”
Paham humanisme yang dibawa oleh elit-elit kolonial, teruatama mereka yang aktif sebagai anggota Theosofi dan Freemason inilah yang kemudian “ditularkan” kepada “anak-anak didik” para priyai dan elit Jawa yang menjadi abdi kompeni. Mereka mengampanyekan soal kesamaan semua agama-agama, tidak percaya dengan hukum Tuhan dan mempercayai kodrat alam, dan tentu saja sebagaimana trend imperialisme negara-negara Eropa ketika itu, adalah mengampanyekan bahaya “Pan-Islamisme”, semangat solidaritas Islam dunia untuk membangun sebuah pemerintahan.
Karena itu, untuk membendung Pan-Islamisme di Nusantara, apalagi ketika itu banyak tokoh-tokoh Islam yang pulang dari haji dan menimba ilmu di Makkah juga menyuarakan Pan-Islamisme, maka pemerintah kolonial membentuk basis-basis tandingan dengan mendukung berdirinya organisasi-organisasi kebangsaan seperti Boedi Oetomo, Jong Java, dan lain sebagainya. Selain itu, mereka juga merangkul para priyai sebagai kepanjangan tangan pemerintah kolonial, memberi keluasan bagi anak-anak keturunan mereka untuk bersekolah di negeri Belanda, dan mendirikan pendidikan-pendidikan netral (neutrale onderwijs), yang berbasis pada pembentukan karakter manusia dengan berpedoman pada hukum kodrat alam.
Tak sedikit dari para elit dan priyai Jawa ketika itu, baik yang aktif dalam organisasi kebangsaan ataupun mereka yang menjabat sebagai residen, asisten residen, wedana, dan sebagainya yang masuk dalam organisasi Theosofi dan Freemason. Bahkan, tak sedikit juga dari mereka yang masuk sebagai anggota Rotary Club, sebuah lembaga kemanusiaan yang dibentuk oleh Zionisme Internasional. Pelecehan demi pelecehan terhadap Islam dilakukan oleh para pengusung kebangsaan, seperti pernyataan bahwa ke Boven Digul lebih baik daripada ke Makkah, pergi haji adalah upaya menimbun modal nasional untuk kepentingan asing, Islam adalah agama impor yang berusaha menjajah tanah Jawa, dan sebagainya.
Era kepemimpinan R. Samsurizal (Raden Sam), di JIB dari awal berdiri 1 Januari 1925 sampai tahun 1926, setelah itu berturut-turut yang menjadi Ketua JIB adalah Wiwoho Purbohadijoyo (1926-1929), Kasman Singodimejo (1929-1936), M. Arifaini (1935-1936) dan Sunarya Mangunpuspito (1936-1942). Atas perintah Pemerintah fasis Jepang semua organisasi dibekukan, termasuk JIB. Baru pasca kemerdekaan Indonesia, sekitar tahun 4 Mei 1947, JIB “bangkit kembali” dengan nama Pelajar Islam Indonesia (PII), dideklarasikan di Yogyakarta, dengan deklalatornya Yusdi Ghozali.
Peran organisasi pemuda Jong Islamieten Bond (JIB) sangat besar dalam kebangkitan nasionalisme kebangsaan dan perjuangan kemerdekaan Indonesia, namun deislamisasi sejarah Indonesia menyebabkan nama dan peran organisasi itu lenyap dari ingatan. JIB menjadi katalis penting bagi tranmisi tradisi-tradisi politik “intelektual” Muslim dari generasi pertama ke generasi kedua intelegensia Muslim. Keyakinan JIB bahwa solidaritas Islam dianggap sebagai satu-satunya solusi bagi problem-problem sosial layak untuk terus diperjuangkan oleh kaum muda intelektual Muslim di zaman sekarang ini.
~ sejarah adalah cerita kaum muda…. maka layaklah bila hari ini saatnya kaum muda untuk membuat cerita..
~ Wahai pemuda… bersatulah semua, seperti dahulu, lihatlah ke muka, keinginan luhur kan terjangkau semua”.



Motivasi Perang Sabil di Nusantara

Bila akal telah terasah pemahaman, bila jiwa telah terpatri keyakinan maka lahir motivasi yang menjadi energi luar biasa untuk berbuat, bertindak, berjuang dengan kerelaan diri sampai mati demi misi yang mengendali diri.
Motivasi Perang Sabil di NusantaraBangsa yang besar adalah bangsa yang mampu menggali pahatan sejarah bangsanya. Indonesia atau Nusantara telah lama berabad-abad menjadi sebuah bangsa slam atau bangsa Islam yang gigih menebarkan salam keselamatan, rahmat dan berkah serta kurnia Ilahi bagi bumi pertiwi. Tetapi kita yang hadir di masa kini kurang begitu mampu menghayati nilai-nilai yang telah tertanam sekian lama di bumi ini. Penggalian sejarah terpaku pada pengetahuan tentang peristiwa demi peristiwa padahal history is not story. Mengungkap dibalik peristiwa justru lebih berdaya manfaat bagi lahirnya sejarah-sejarah baru di masa kini dan masa depan.
Tak banyak literatur, buku atau tulisan sejarah yang dengan sungguh-sungguh menggali kedalaman motivasi yang menyebabkan adanya gerak juang dalam waktu yang panjang dari generasi ke generasi. Semangat mendalami sejarah memudar karena peristiwa dibuat kontroversi yang menghabiskan energi saling beradu argumentasi, sementara makna sejarah terlupakan karena para pembaca sejarah sudah kelelahan.
Buku “Motivasi Perang Sabil di Nusantara” karya Mualimbunsu Syam Muhammad adalah diantara sedikit dan langka yang berupaya menggali sumber-sumber motivasi yang menjadi energi gerak juang para pejuang di bumi Nusantara tercinta ini. Memuat kajian kitab-kitab yang hadir memberi inspirasi dan motivasi bagi Umat Islam Bangsa Indonesia.

Dari Kajian 3 “Kitab kuning”

Dari membaca judul buku ini sudah menimbulkan beberapa pertanyaan. “Betulkah Kitab Ramalan Joyoboyo memotivasi orang berperang Sabil?” ramalan Joyoboyo yang selama ini hanya dikenal orang sebagai kitab mistik, penuh ramalan. Kitab yang berisi “pengkabaran’ akan datangnya Ratu Adil yang kadangkala dikenal juga dengan nama  Rajalullah, Idzharul-Huda, Imamul-Huda, Ratu Amisan, Sultan Heru Cokro, Ratu Ginaib, Noto Pinandito.
Berdasarkan Ramalan Joyoboyo yang disusun oleh Karma Yoga yang dikaji penulis; Ratu Adil bukan berupa figure (syahsyiyah) seseorang, ia merupakan lembaga, wadah, pemerintahan. Dan ianya telah lahir di ‘Indonesia’ pada “Wiku Memuji Ngesti Sawiji”, dengan berpedoman pada hitungan Condrosangkolo: wiku = 7: memuji = 7: ngesti = 8: dan sawiji = 1, dibacanya terbalik, jadi: 1877 tahun Jawa atau 1365 Hijriyyah atau 1947 Masehi. Tahun 1947 itu bertepatan dengan “Perumuman Perang Sabil, Perang Suci, Perang Jihad pada Jalan Allah, menempuh musuh angkara murka dan durjana, menghadapi kekuasaan Belanda penjajah” yaitu: pada bulan puasa tahun 1877 Jawa, atau 1365 H.
Begitu juga dengan Kitab Dalailul-Khairat, yang hanya mengandung berbagai shalawat dan hizib-hizib (doa-doa). “Bagaimana mungkin menjadi kitab mendorong muslim untuk berperang Sabil ?” Tetapi Mualimbunsu Syam Muhammad dengan baiknya mengangkat dua kitab (Ramalan Joyoboyo dan Dalailul-Kharat) setaraf dan sama dengan Kitab Hikayat Perang Sabil dalam memotivasi masyarakat Muslim berperang Sabil menghadapi kafir penjajah di bumi Nusantara.
Metode yang digunakan penulis dalam mengkaji 3 kitab tersebut adalah secara deskriptif analitis dengan mengetengahkan:
  1. Gambaran umum tentang spesifikasi format dan pengarang kitab.
  2. Memberi penekanan pada objek materi kitab (Perang Sabil) yang dianggap penting dan berguna untuk pengetahuan.
  3. Mencoba memberi ilustrasi latar belakang sosial dari lahirnya karya berbentuk kitab tersebut.
  4. Meneliti dan mengkaji posisi dan peran kitab serta cara masyarakat memanfaatkannya.
  5. Mencoba menggali “inti” atau ruh-kitab yang memberi semangat juang perang.
  6. Menganalisa pengaruh langsung (direct/straight) dan yang tidak langsung (indirect) terhadap masyarakat Muslim Nusantara. Juga tentang relevansinya bagi masyarakat Islam sekarang dan mendatang. (bab ketiga; Tiga Kitab Pemotivasi Perang Sabil)

Perang Sabil Dalam Sirah Nabawi.

Penulis ‘mengajukan’ atau menyusun kriteria Perang Sabil yang menurutnya dapat dijadikan acuan, pedoman dan juga standard dalam menilai perang-perang yang dilakukan kalangan Muslim hari ini. Tujuh kriteria Perang Sabil tersebut berdasarkan dari perang yang terjadi di zaman Rasulullah SAW, ketika menjabat sebagai ‘kepala pemerintahan Islam’ di Yastrib yang beribukota di Madinah al-Munawwarah.
Tujuh kriteria Perang Sabil: 1. Jaminan pasti dari Dinul-Islam. 2. Perang yang pada hakikatnya mengikut-sertakan Allah, Rasul, dan Malaikat. 3. Perang atas nama Negara Allah. 4. Ada pemimpin yang bertanggung-jawab di dunia dan menjadi saksi utama di mahkamah akhirat. 5. Melibatkan semua penganut (rakyat) Muslim, lelaki dan perempuan yang telah baligh. 6. Gugur sebagai syahid menjadi keutamaan (prioritas) para Mujahid. 7. Medan pertempuran dan waktu perang meluas. Keterangan terperinci kriteria perang dijelaskan penulis dalam Perang Sabil berdasarkan kejadian di zaman beliau SAW: “Sirah Nabawi” (bab pertama), yang dilengkapi dengan dalil-dalil dari kajian Ilmu Fiqh.

Perang Sabil di Nusantara

Perkataan “Perang Sabil” adalah istilah khas Nusantara (Indonesia). Berasal dari kepercayaan Aqidah-Islam. Dalam Al-Quran, perang disebut Qital, termasuk sebagai salah satu pengertian dari arti-kata Jihad. Sedangkan kata Sabil adalah singkatan dari Fi Sabilillah  yang  artinya di jalan Allah.
“Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berperang di jalan-Nya dalam barisan yang teratur seakan-akan mereka seperti suatu bangunan yang tersusun kokoh”. (Q.S. ash-Shaff, 61:4)
Jihad Fi Sabilillah (Perang di Jalan Allah) mengandung arti perang yang mengikuti ketentuan (syariat) Allah, sesuai dengan wahyu-Nya, dan mempunyai contoh dari sunnah Rasul-Nya, Muhammad SAW. Berbeda dengan pengertian teroris (irhab) yang bersifat merusak (ifsad) dan anarkhis/chaos (faudha).
Peristiwa Perang Sabil di Nusantara bisa ditelusuri dari sejak awal berdirinya Kerajaan Islam Sumatera (Indonesia) atau di Malaka, Semenanjung Malaya (Malaysia). Dalam penelusuran ini tentunya harus berpegang pada pengertian Perang Sabil, yaitu  perang yang terjadi dengan keberadaan pemerintahan atau Negara Islam. Berdasarkan catatan sejarah Islam Nusantara, Perang Sabil yang pertama terjadi adalah pada awal abad ke-16 Masehi yang ditandai dengan terjadinya agresi tentara Kerajaan Protestan Portugis tahun 1511 M. Panglima perang tersebut Alfonso de Albuquerque yang berpusat di Goa, India, terhadap Kerajaan Islam Malaka, yang ketika itu di bawah kekuasaan Sultan Mahmud Syah I (memerintah tahun 1488-1511 M.).
Pemahaman tentang Perang Sabil sangat diperlukan umat Islam. Banyak buku–terutama kajian fiqh–yang membahasnya. Selain untuk menambah wawasan atau pengetahuan, juga untuk menghindari salah pengertian yang menyamakan Jihad dengan teroris atau perusuh. Perang dalam jihad adalah perang yang mempunyai panduan jelas dari wahyu Ilahi dan contoh nyata dari prilaku Nabi Muhammad SAW. Disamping itu juga kita ketahui, bukan hanya Islam saja yang memiliki konsep Perang Sabil atau Perang Suci. Semua agama yang bermuara pada ajaran Nabi Ibrahim (‘alaihis-Salam),  Yahudi, Kristen dan Islam mempunyai ajaran dengan definisi konkrit berkaitan dengan perang. Yahudi dengan istilah Yahyeh-War (Perang Tuhan), Kristen dengan Crusades (Perang Salib) atau Holy-War dan Islam dengan istilah Perang Sabil (Perang fi Sabilillah). Selain itu dapat kita tambahkan juga bahwa, agama Hindu pun mempunyai ajaran tentang perang-sucinya sendiri yang tertulis dalam Kitab Mahabrata; Perang Bratayuda; dimana  orang yang membacanya dinilai sebagai kebaktian dalam agama mereka.
Dari sekian banyak Perang Sabil yang terjadi dan dipercayai pelakunya sebagai wajib-suci, Penulis mengemukakan tiga peristiwa Perang Sabil di Nusantara secara gamblang, yaitu: (1) Perang Aceh 1873-1904. (2) Perang Banjar 1859-1905 dan (3) Perang Darul-Islam (DI) 1947-1965. Serta dilengkapi dengan contoh Yahyeh War (Yahudi) dan Crusades (Nashrani)
Penulis menemukan kesamaan antara dokrin perang dua agama; Islam dan Yahudi, yaitu Perang di jalan Tuhan. Sabilillah bagi orang-orang Islam dan Yahweh War bagi Yahudi. Sedangkan orang-orang Kristen memilih penyebutan perang mereka dengan istilah Crusades (perang Salib). Disisi lain pula, dia menemukan persamaan antara Perang berdasarkan agama dari ajaran Yahudi dan Kristen; iaitu dengan menghadirkan ‘benda-benda sakral’ dalam perang mereka, sebagai menunjukan pengesahan (legitimasi) Tuhan dalam perang. Mengusung Tabut perjanjian Tuhan bagi Yahudi dan Tiang Salib (alat eksekusi) bagi Kristen yang bisa juga berperan sebagai pemberi spirit (semangat) bagi para prajurit di medan tempur. (bab kedua: Motivasi Dalam Perang)

Dakwah dalam Beraqidah menuju Negara Kurnia Allah

Di bab keempat berupa Epilog, dimana melalui epilog ini penulis menyajikan semacam renungan tentang Islam bernegara di Indonesia atau ajaran Islam yang berkaitan dengan negara sebagai sarana bagi setiap Muslim untuk dapat menjalankan syari’at Islam secara sempurna dan total (kaffah).  Pesan utama yang terkandung dalam epilog adalah;
  1. Begitu pentingnya fungsi Negara dalam berjamaah yang diterangkan al-Quran sebagai “rumah” yang memberi perlindungan aman kepada penghuninya. Sebagai bahtera transportasi yang membawa rakyatnya selamat sejahtera mengarungi kehidupan dunia menuju akhirat. Dan sebagai sarana utama untuk memperoleh curahan ridha dan rahmat Allah Ta’ala.
  2. Perang Sabil bukanlah perkara baru di Nusantara, Indonesia. Begitu pula dengan konsep Islam bernegara. Negara dalam bentuk Kerajaan atau Kesultanan telah lama  berdiri kukuh di Nusantara, diperkirakan seawal abad kesepuluh. Misalnya saja: Kesultanan Pasai, Samudera, Malaka, Pajang, Mataram, Banjar, Goa, Ternate, Tidore, Mindanao dan lain lain.
  3. Kedatangan penjajah dari Kerajaan Portugis, Sepanyol, Inggris, Belanda dan Amerika disambut oleh Kerajaan-kerajaan Islam di Nusantara dengan perlawanan Perang Sabil.
  4. Selepas masa penjajahan, perjuangan Umat Islam Bangsa Indonesia dalam bernegara telah ditempuh dengan beragam cara, diantaranya melalui:
  • Musyawarah dalam rapat “Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) ketika menyusun preambule Undang-undang dasar konstitusi Negara Indonesia (Juni 1945) yang berbunyi: “Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya”.
  • Parleman hasil pemilu tahun 1955, dimana wakil-wakil Muslim dari partai Islam dalam pembahasan dasar Negara Indonesia mengajukan usulan ISLAM sebagai dasar Negara Indonesia. Perdebatan yang alot, kemudian buntu dan berakhir dengan ‘intervensi’ yang bernama dekrit 5 Juli 1959, Surat Keputusan Presiden (SK) untuk kembali ke UUD’45.
  • “Revolusi Islam” dengan semangat juang Perang Sabil, Umat Islam Bangsa Indonesia yang berhasil memproklamasikan pemerintahan Negara Islam Indonesia pada 7 Agustus 1949 di Madinah-Indonesia (Jawa-Barat)
  1. Fakta sejarah dari peristiwa di atas, merupakan usaha dan perjuangan Umat Islam Bangsa Indonesia untuk memiliki negara yang berdasarkan konstitusi syariah (Islam). Tampaknya ‘semua jalan’ telah mereka lakukan: dari “meja perundingan” BPUPKI pra-proklamasi nasional (Juni’45), dilanjutkan dalam “ruangan perleman” hasil Pemilu pertama (1955), kemudian dengan “Revolusi Islam” yang mengorbankan  nyawa dan harta demi sebuah Negara Islam yang merdeka.
  2. Pada Bab Keempat ini juga penulis mencoba memberikan beberapa solusi dari problem yang dihadapi Muslim Indonesia untuk menjaga kesatuan dan persatuan yang diharapkan bangsa dalam bernegara.
  3. Untuk mewujudkan Negara Maju dan Bahagia berasas Tauhid, Allah SWT menggariskan tugas kepada Khalifah-Nya dalam satu jalan yaitu DAKWAH.  Jalan dakwah adalah jalan yang ditempuh oleh para Nabi/Rasul, para Shiddiqin, para Syuhada, dan orang-orang Shaleh. Setiap dari mereka senantiasa menjadi barisan terdepan dalam menggugah fitrah manusia untuk bertauhid dan menjadi aktor dalam membangun tatanan masyarakat sebagaimana yang dikehendaki oleh Allah Ta’ala, Pemilik Kerajaan-Nya di langit dan bumi. (bab keempat Epilog)
Buku ini diharapkan akan menambah hazanah kepustakaan dan bahan kajian serta rujukan tentang segala sesuatu yang berkaitan dengan perang menurut ajaran Islam, dalam konteks aqidah, syari’ah, sejarah dan peristiwa perang pemeluk Islam di Indonesia.
“laqad kana fi qashasihim ‘ibratun li ulil albab”.  ~ Al-Qur’an Surah Yusuf Ayat 111 ~


  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • Twitter
  • RSS
Copyright 2009 LOVERS of WISDOM
Free WordPress Themes designed by EZwpthemes
Converted by Theme Craft
Powered by Blogger Templates