Politik Feodalisme
Upayakan Memilih secara Cerdas
Oleh: Rahman
Alif
Pilkada Kota
dan Pilgub NTB dalam waktu dekat akan terselenggarakan,ini semacam acara
sunatan Massal, Nikah sirih dan usaha mengkultuskan kebudayan, hal ini semacam
Hegemoni yang sudah lama ada, giat untuk melawan ini kita mesti nekat.
Kita coba mendeteksi upaya- upaya ini, dimana
peran kekuasaan menggandeng tukar tamban ikrar dan memanfaatkan kejanggalan
kultur, dan saya merasa hal ini menjadi pembicaraan tekhnis, namun ada berbagai
dalil ingin mengganti sistem ini dengan upaya-upaya lain sebagai alternatif,
dan seharusnya kenakatan itu yang mesti di ucapkan sehari-hari, normalnya di
ucapkan tapi dihambat oleh hegemoni supaya tidak terucap, sekarang ada upaya
untuk nekat menembus hegemoni itu. dan
membuka peluang bagi orang untuk menganalisi.
Jikalau tidak ada yang berbicara soal Pilkada
dan Pilgub, jelas orang tidak akan pernah terlibat dalam agenda-agenda politik
dan ikut serta menganalisa perihal politIk, dan ini merupakan poin yang bagus.
Di berbagai golongan kelompok sosial, secara sadar paham dan konsen menganalisa
kondisi politk di bima, dan saya kira di berbagai literasi, anggapan semacam
poin tersebut menjadi pemicu kontak politik yang tidak sehat. kita kembali
mengungkap ontologi kebudyaan kita, berbagai peristiwa yang persis terulang
dalam setiap momen pemilihan, dimana letak kekuasaan di posisikan sebagai
miniatur penting dalam mengawal akibat politik, meradiasi isu-isu atas
perlawanan yang berakibat perpecahan, dan pengklaiman, corak ini semakin
menguat dan menimbulkan mainstrem berpikir generasi ke generasi.
Kita akan mencoba mempelajari sistem demokrasi
sejak awal di merdekakannya kebudayaan kita, di sini tumbuh dalil-dalil poltik
moder, ketika saya banyak berdialektika dengan berbagai kalangan, aktor politk
, pelaku politik, Tim sukses dan berbagai relawan, saya menemukan ada pola
demokratisasi modern yang di kembangkan, dan sejalan dengan ini berbagai pihak
tentunya merasakan perkembangan model ini di berbagai tingkat, bahkan
dibawahnya sampai pada pemilihan ketua RT/RW. Masyarakat bima pada umumnya, mulai terlibat
dalam agenda politik sudah sejak lama, dan sampai hari ini. Meskipun politik
itu lahir dari kota kolonial di eropa sana.
Jika ada diskursus rasional di dalam
kebijakan publik di bima, kota dan kabupaten bima merupakan daerah yang sedang
berkembang menjadi daerah metropolis, di mana perkembangan pembangunan pada
aspek perdangan, peningkatan kemapanan social sedang berlangsung, semua
pembicaraan filosofis berkembang dan meningkat dan bahkan terori politik yang
saya sebutkan tumbuh di sini (bima) dan sangat rasional. Tapi, kultur politk
kita sangat Feodal dan masih ada kutur itu.
Kisaran pada abad ke 17, meski sejarah yang
tertulis mulai sejak abad ke 14 M sampai pada periodesasi hari ini, dan kondisi
politk kita persis sama, kita hidup di bawah tekanan kultur dan hegemoni, saya
tertarik dari keterangan Ina Ka`u mari (Almarhumah)
tatkala sewaktu beliau hidup, secara otoritatif mengatakan bahwa sitem
kerajaan itu adalah petugas kerajaan dan itu pemikiran yang benar, dan tugas
kerajaan adalah untuk mengucapkan kepentingan kerajaan, supaya ada kompitisi,
jadi secara prinsipil beliau benar dalam kapasitas tersebut, namun kesalahannya
adalah ucapan itu di ucapkan oleh orang diluar sistem kerajaan dengan sengaja,
sehingga membuat orang banyak menjadi kebingunan, apakah mengarah kepada
feodalis atau ranah rasional?, ini
menjadi semacam bumerang dalam setiap agenda politk kita, apakah Ina Ka`u mari (Almarhumah)
mengucapkannya sebagai dalil politik atau semacam ekspresi arogansi untuk
mengatur dan tidak ada keterangan tentang itu, pada akhirnya kita meraba-raba
yang terjadi sebetulnya. Dan kita di panaskan oleh momen politik karna soal
tadi, kulturisasi yang di kultuskan menjadi buram dan kita bertengkar karna
perihal sepele semacam ini.
Supaya kita tumbuh sebagai daerah metropolis,
dan isu yang digandeng kemudian adalah isu moral, sebab yang kemudian menilai
adalah publik, sebab merekalah yang mengucapkannya, namun jikalau di ucap oleh
pasangan politik maka barang ini tidak akan menajadi isu moral dan hanya akan
menjadi alat gertak dan intimidasi, isu moral itu mesti absolute dan ini
menjadi standar moral, lalu kemudian jikalau ia dimainkan menajadi isu politik
dan di belakangnya ada upaya tukar tambah maka akan menjadi wilayah permainan
politik dan disinilah menjadi penilaian etisnya.
Diberbagai ruang diskusi di beberapa tempat,
di warung- warung kopi, meja makan, kampus dan di tengah-tengah masyaarakat,
bertanya apa makna pilkada kota dan Pilgub NTB, yang seolah-olah akan
menyumbang pada demokratisasi, sebetulnya yang terjadi adalah sebaliknya, kalau
saya perhatikan upaya untuk mengahasilkan pemimpin hari ini diselenggarakan
bukan melalui koalisi secara ideal dalam istulah tersebut, tetapi dalam upaya
mencari celah mengumpankan diri di dalam satu transaksi di bawah kolom meja,
dan ini yang terjadi hari-hari ini. Jadi kalau teman-teman mengatakan
koalisinya sangat cair, mana mungkin koalisi dapat cair dalam menentukan sikapa
politik etis. Ibaratkan dagang sapi, jika politik berbatas idiologi dan hal ini
sangat dangkal.
Jika kolaisi itu memungkinkan orang untuk
tukar tabal sampai menit terakhir, artinya sejak awal memutuskan secara rasio
bukan menunggu dan melakukan penundaan, di sinilah ruang kejahatan dan
permainan di bawah kolom meja atau mahar, entah itu dalam bentuk apapun dan
inilah soal kita hari-hari.
Kita coba bikin satu analisis dalam bentuk
evaluasi yang lebih menyeluruh misalnya, ada yang salah dalam ide politik kita
sesungguhnya, yang menganggap bahwa politik adalah duel, perang dengan
mengangkat senjata, berdarah-darah dengan menguki pola pikiran Zun tzu yang di gunakan demi
kekuasaan, dan Aristoteles tidak demikian dari awal, saya membaca berbagai
literasi politik yunani semua beroreantasi pada keadilan, karna itu istilah
zoon politikon (Binatang Politik) salah di terjemahkan oleh kita, mestinya
binatang yang berpolitik, karna politik pembedah dengan binatang, di sini
justru di masakan, maka pantas dengan dalil yang keliru politk kita semcam
kebinataan, padahal ada yang suci dalam politik yaitu menghasilkan kemakmuran,
menghasilkan keadilan dan inilah yang lewat dari kurikulum pendidkan politik
kebudayaan kita.
Maka jikalau kita survey secara garis sejarah
misalkan, bima telah kehilangan sejarah dalam beberapa momentum politik,
sebelum kita bergabung menjadi bagian Indonesia, daerah kita kehilangan pikiran
akibat elit kita di jajah, juga ada catatan tentang sengketa kekuasaan kerajaan di istana, Keraja
Donggo di asingkan, kerajaan Parado di musnahkan dengan perang dan pada saat
itu, daerah kita kehilangan pikiran, sehingga masuklah cara berpikir yang
nasionalistik yang kebablasan, karna tidak ada debat lagi soal kepemimpinan di
kalangan elit lambat laun kita masuk pada kesepakatan masuk dalam NKRI samapi
orde baru, bukan tidak ada pikiran lagi tapi anti pikiran.
Sekarang kita berada pada suasana yang tidak
kita mengerti, generasi lahir dengan gundah, dengan pertanyaan yang persis
sama, apakah ada pikiran atau tidak ada pikiran? Dan saya berkesimpulan bahawa,
bukan saja anti pikiran tapi memang tidak berpikir karna asik dengan aksi dan
sangat responsif dan inilah secara fundamental untuk menutupi dari cara tidak berpikir. Setiap kali ada
promosi dengan dalil bahwa daerah kita tumbuh secara demokratis, tapi kalau
kita Tanya orang di luar daerah kita, sebenarnya daerah kita yang terburuk dalam
melaksanakan demokrasi, karna didalamnya kecendrungan untuk mengkudeta
kemerdekaan dan kebesan sebagai warga Negara, kecendruangan tegas dan tidak
logis, sehingga dig anti dengan blok-blok keuasaan. Dan inilah keabsurtan Politik kita yang di
pelihara melalui rasis kedaerahan, begitu kental dengan corak feodalis.
Akhirnya kita tidak bisa membedakan, manakah
politik yang bernalar, dan yang mana politik yang pragmatis dan opurtunis, dan
disinilah pertemuan antara corak kelompok yang pragmatis dengan calon pemimpin
yang opurtunis dan disinilah semua hal dimulai yang sangat dilematis dan akan
berlanjut samapai pilpres 2019. Jadi
jikalau ada orang yang mengatakan demokrasi kita sedang tumbuh, menurut saya
sedang membekak. Maka jika politik kita dilematis maka kerja politik kita tidak
akan pernah efisien, maka akan mengakibatkan infeksi yang sangat meugikan
banyak orang juga kepentingan rakya. Maka jadilah pemilih yang Cerdas…..!
Bima - Tambora
Home Stay, 08 Maret 2018
-------------- 05;10 Menyambut Sinar ---------------------
Rahman Alif
0 Response to "Politik Feodalisme"
Posting Komentar