FILSAFAT PENDIDIKAN
ALIRAN-ALIRAN DALM FILSAFAT PENDIDIKAN
KATA PENGANTAR
Alhamdulillah
penulis panjatkan kepada Allah SWT yang telah memberikan kami kesehatan
sehingga dapat menyelesaikan makalah ini dengan tepat waktu. Serta
shalawat dan salam kita hadiahkan kepada arwah Nabi kita Muhammad SAW,
semoga kita mendapat safaat dikemudian hari kelak.
Penulis mengucapkan banyak terima kasih kepada Dosen yang telah memberikan saya waktu untuk dapat menyelesaikan makalah ini.
Akhirnya
penulis merasa makalah ini masih jauh dari kesempurnaan dari itu saya
mengharapkan kritik dan saran yang sehat untuk perbaikan kedepannya.
Namun kami berharap makalah saya ini dapat berguna bagi banyak orang dan
saya khususnya. Amin.
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR............................................................................................ i
DAFTAR ISI............................................................................................................ ii
BAB I PENDAHULUAN....................................................................................... 1
BAB II ALIRAN-ALIRAN FILSAFAT PENDIDIKAN................................... 2
1. DUNIA PENGALAMAN..................................................................... 3
2. ESENSIALISME................................................................................... 6
3. ANTESEDENS...................................................................................... 7
4. PANDANGAN MENGENAI REALITA........................................... 9
5. PANDANGAN MENGENAI PENGETAHUAN............................. 10
6. PANDANGAN MENGENAI NILAI.................................................. 11
7. NILAI KEINDAHAN........................................................................... 12
8. PANDANGAN MENGENAI PENDIDIKAN................................... 13
9. PANDANGAN MENGENAI BELAJAR.......................................... 15
10. PANDANGAN MENGENAI KURIKULUM................................... 15
11. EKSISTENSIALISME (KIEGEGAARD-SARTRE)....................... 16
12. SOREN KIERKEGARD (1813-1855)................................................. 19
13. JEAN PAUL SARTRE (1950-1980).................................................... 22
14. PROGRESIVISME............................................................................... 26
15. PANDANGAN MENGENAI REALITA........................................... 27
16. PANDANGAN MENGENAI PENGETAHUAN............................. 28
17. PANDANGAN MENGENAI NILAI.................................................. 29
18. ANTESEDENS...................................................................................... 30
19. PANDANGAN TENTANG BELAJAR............................................. 31
20. PANDANGAN MENGENAI KURIKULUM................................... 32
BAB III KESIMPULAN........................................................................................ 34
DAFTAR PUSTAKA............................................................................................. 36
BAB I
PENDAHULUAN
Tiap-tiap
aliran filsafat bukanlah merupakan usaha mengakhiri perbedaan-perbedaan
prinsipil dari suatu ajaran. Tetapi justru di dalam kebebasan memilih
dan mengembangkan ide-ide filsafat itu, asas filosofis yang menghormati
martabat kemanusiaan setiap orang tidak hanya teroritis adanya,
melainkan praktis, dilaksanakan. Inilah satu bukti dan jaminan konkrit
kebenaran-kebenaran filsafat yang asasi.
Jadi
mengingkari kebebasan subyek, meniadakan eclecticisme bertentangan
dengan asas-asas utama di dalam filsafat yang ideal. Dan ini
perlahan-lahan tetapi pasti, membunuh perkembangan filsafat itu sendiri.
Bahkan tidak adanya eclecticisme itu bertentangan dengan kodrat asasi
pribadi manusia yang mengandung sifat-sifat individualitas dan sifat
kepribadian yang unik.
Klasifikasi
aliran-aliran filsafat pendidikan berdasarkan perbedaan-perbedaan teori
dan praktek pendidikan yang menjadi ide pokok masing-masing filsafat
tersebut. Demikian pula klasifikasi itu sendiri akan berbeda-beda
menurut cara dan dasar yang menjadi kriteria dalam menetapkan
klasifikasi itu. Misalnya ada yang membuat klasifikasi aliran filsafat
pendidikan berdasarkan asas dichotomi yakni antara aliran progressive
dan aliran conservative. Tetapi klasifikasi yang demikian sukar untuk
menampung adanya kenyataan bahwa masing-masing aliran yang relatif
banyak itu mempunyai pula segi-segi yang overlapping. Karena itu tak
akan ada sifat yang murni bagi suatu aliran untuk digolongkan sebagai
konservatif semata-mata, jika kita cukup jujur untuk melihat adanya
unsur-unsur progressif di dalamnya. Itulah sebabnya, perlu kita sadari
bahwa klasifikasi aliran-aliran filsafat itu harus didasarkan atas penelitian yang mendalam dan sangat hati-hati.
BAB II
ALIRAN-ALIRAN FILSAFAT PENDIDIKAN
Aliran
ini dianggap sebagai “regressive road to culture yakni jalan kembali
atau mundur kepada kebudayaan masa lampau Perennialisme menghadapi
kenyataan dalam kebudayaan manusia sekarang, sebagai satu krisis
kebudayaan dalam kehidupan manusia modern. Untuk menghadapi situasi
krisis itu, Perennialisme menghadapi kenyataan dalam kehidupan manusia
modern. Untuk menghadapi situasi krisis itu, Perenialisme memberikan
pemecahan dengan jalan “Kembali kepada kebudayaan masa lampau”,
kebudayaan yang dianggap ideal.
Pendidikan
harus lebih banyak mengarahkan pusat perhatiannya kepada kebudayaan
ideal yang telah teruji dan tangguh. Karena itu Perennialisme memandang
pendidikan sebagai jalan kembali, atau proses mengembalikan keadaan
manusia sekarang seperti dalam kebudayaan ideal dimaksud, “education as
cultural regression”. Perennialisme tak melihat jalan yang meyakinkan
selain kembali kepada prinsip-prinsip yang telah sedemikian membentuk
sikap kebiasaan, bahkan kepribadian manusia selain kebudayaan dulu dan
kebudayaan abad pertengahan.
Perennialisme
memilih prinsip demikian karena realita zaman modern memberi alasan
obyektif, memberi kondisi untuk pilihan itu. Untuk prinsip ide itu.
Brameld menulis:
“……..
Perenialist reacts against the failures and tragedies of our age by
regressing or returning to the axiomatic beliefs about reality,
knowledge, and value that he finds foudational to a much earlier age”.
“…….
Kaum perennialisme mereaksi dan melawan kegagalan-kegagalan dan
tragedi-tragedi dalam abad modern ini dengan mundur kembali kepada
kepercayaan-kepercayaan yang aksiomatis, yang telah teruji tangguh, baik
dalam teori realita, teori ilmu pengetahuan, maupun teor nilai, yang
telah memberi dasar fundamental bagi abad-abad sebelumnya.
Karena
itu perenialisme memberikan sumbangan yang berpengaruh baik teori
maupun praktek bagi kebudayaan dan pendidikan zaman sekarang. Apabila
suatu peradaban berada dipersimpangan arah, dan bila suatu generasi
memerlukan pengamatan nilai-nilai moral dan intelek sebagaimana juga
diperlukan pengamanan bidang sosial ekonomi, maka jalan terbaik untuk
itu ialah kembali kepada pola kebudayaan lama. Dan menurut Perenialisme
krisis demikian ialah yang dialami generasi sekarang dengan kebudayaan
sekarang. Karena itu, kita sebaiknya kembali kepada ketenangan,
kestabilan prinsip-prinsip kebudayaan abad pertengahan.
Watak
umum Perennialisme tersimpul dalam makna istilah yang menjadi nama
aliran ini. Istilah “Perennial” berarti “everlasting” atau abadi. Dengan
demikian esensi atau inti kepercayaan filsafat Perennialisme ialah
nilai-nilai, norma-norma yang bersifat kekal abadi, bahkan keabadian itu
sendiri. Perennialisme mengambil analogi realita-sosial-bidaya manusia,
seperti realita sepohon bunga. Pohon bunga ini akan berbunga musim demi
musim, datang dan pergi secara tetap sepangjang tahun dan masa.
Demikianlah pola perkembangan kebudayaan manusia, abad demi abad, era
demi era, bahkan untuk selama-lamanya akan tetap mengulangi apa yang
pernah dialaminya.
1. DUNIA PENGALAMAN
Eksperimentalisme,
adalah merupakan suatu filsafat yang resmi dan sistematis. Usianya
kurang dari satu abad, jadi termasuk bilangan salah satu aliran filsafat
yang termuda. Tetapi aliran filsafat ini nampak menonjol karena
mendasarkan pemikiran filsafatnya terutama seklai kepada segi negatif
dari pemikiran yang asasi (fundamental), yaitu menentang dan menolak
paham-paham filsafat sebelumnya. Dalam abad ke XX ini kita melihat
aliran filsafat ini bergerak kearah dasar yang lebih positif. Dan kita
harus terlebih dulu mengerti tentang apa yang ditolak oleh aliran
filsafat ini, sebelum kita masuk kedalam bidang-bidang yang mereka
terima dengan baik dan mereka kokohkan.
Untuk
kesemuanya ini dan guna memenuhi semua harapan Bangsa dan Negara kita,
maka melakukan cara-cara belajar mengajar yang bijaksana akan memainkan
peranan yang sangat positif dan efektif buat mencapai tujuan dan
memenuhi segala harapan tersebut.
Falsafah
Eksperimentalis ini dapat dikatakan merupakan suatu metode dari
pengetahuan modern yang sifatnya begitu umum hingga dapat melingkupi
segala aspek kehidupan manusia. Dia memulai langkah filsafatnya dengan “pengalaman” yang
senantiasa kita temuka didalam berbagai fase dan aspek kehidupan. Kita
sekarang ini sedang hidup dan dalam kehidupan ini kita mempergunakan
banyak seklai peninggalan-peninggalan dan warisan-warisan sosial kita.
Kita melihat kehidupan ini sebagaimana adanya dan bagaimana dia
berlanjut terus dan kita saksikan pula bahwa beberapa situasi, kondisi
dan keadaan kurang memuaskan dari yang lainnya. Dari sinilah kita mulai
memikirkan idea-idea untuk memperbaiki kehidupan ini, dan kita lalu
menguji coba (try-out) beberapa gagasan, sambil memperbaiki dan
memperkuat gagasan-gagasan atau rencana kita yang akan datang. Apabila
pekerjaan ini kita teruskan berarti kita telah membina kehidupan baik
yang ideal dan ide-ide bagaimana kita seharunya bertindak dan memikirkan
cara-cara yang baik dan menguntungkan buat mencapai cita-cita yang
ideal itu.
Demikianlah pula, apabila kita mempelajari “Pengalaman” itu, kita akan menemukan suatu faktor tertentu yang aktif bekerja, yaitu apa yang kita sebutkan “Belajar”. Dan
kita akan melihat lebih lanjut bahwa usaha belajar itu dapat diarahkan
sedemikian rupa untuk membantu mewujudkan kehidupan yang lebih baik
secara effektif. Kalau dilanjutkan lagi kita akan menemukan hal yang
berbeda dari pemikiran kita yang lalu, bahwa usaha belajar sekarang ini
merupakan bagian utama yang maha penting dari pengalaman yang sedang
berjalan. Dan kalau diteruskan lebih lanjut lagi, kita akan menemukan
bahwa setiap anak didik akan belajar bagaimana dia harus hidup dan dia
harus menerima kenyataan itu, bagaimana dia mesti bertindak-tanduk, dia
pelajari semua hal-hal tersebut dan pada akhirnya, kita melihat bahwa
apa-apa yang dipelajari oleh si anak itu langsung diterapkannya didalam
tingkah laku dan tindak tanduknya.
Dengan
konsepsi belajar yang demikian itu dalam hubungannya dengan cara hidup
dan pembinaan tingkah laku (character building), kami berkesimpulan
bahwa sekolah haruslah merupakan sebuah tempat dimana kemungkinan
pembinaan suatu kehidupan yang lebih baik dapat diusahakan agar berjalan
terus, arena diluar kehidupan yang seperti itu, anak-anak itu akan
membina tingkah lakunya. Setelah itu anak tersebut akan mempelajari
dengan pasti apa yang diterimanya untuk dilakukan, dan sebagai
kelanjutannya, tugas kita sebagai guru hanyalah memberikan bimbingan
tidak langsung. Kita bertugas membina dan memberanikannya buat mencapai
kwalitas kehidupan yang terbaik, akan tetapi kita tidak dapat memerintahkan hal
tersebut kepadanya. Anak-anak itu akan belajar menimbulkan respons
mereka sendiri terhadap apa yang terjadi kepada mereka dan tentang
mereka. Kita berusaha buat membantu mereka dalam memberikan respons
tersebut sebaik dan selengkap mungkin. Akan tetapi keberhasilan kita
dengan murid-murid kita akan diuji oleh pertumbuhan mereka dalam
kemampuan dan perkembangan watak mereka yang tumbuh dari dalam diri
mereka sendiri yang kelihatan bertambah matang dan tambah bertanggung
jawab. Di dalam suatu negara demokrasi, adalah pribadi-pribadi yagn
dapat menentukan arah diri mereka sendiri, itulah yang akan kita bina.
Orang-orang dengan kepribadian yang demikian itulah yang dapat mendorong
maju kehidupan ini, hingga lebih sukses dan berhasil buat mengembangkan
dunia kita ini. Dunia yang seperti itulah yang menarik perhatian
golongan Eksperimentalis dan diatas dasar pemikiran itu pulalah mereka
membentuk Filsafat Pendidikan Eksperimentalis.
2. ESENSIALISME
- Ciri-Ciri Utama
Esensialisme
mempunyai tinjauan mengenai kebudayaan dan pendidikan yang berbeda
dengan progresivisme. Kalau progresivisme menganggap pandangan bahwa
banyak hal itu mempunyai sifat yang serba flesibel dan nilai-nilai itu
berubah dan berkembang, essensialisme menanggap bahwa dasar pijak
semacam ini kurang tepat. Dalam pendidikan, fleksibilitas dalam segala
bentuk, dapat menjadi sumber timbulnya pandangan yang berubah-rubah,
pelaksanaan yang kurang stabil dan tidak menentu.
Pendapat
yang bersendikan atas nilai-nilai yang bersifat demikian ini dapat
menjadikan pendidikan itu sendiri kehilangan arah. Berhubung dengan itu
pendidikan haruslah bersendikan atas nilai-nilai yang dapat mendatangkan
kestabilan. Agar dapat terpenuhi maksud tersebut nilai-nilai itu perlu
dipilih yang mempunyai tata yang jelas dan yang telah teruji oleh waktu.
Nilai-nilai
yang dapat memenuhi adalah yang berasal dari kebudayaan dan filsafat
yang korelatif selama empat abad belakangan ini, dengan perhitungan
zaman Reanisans, sebagai pangkal timbulnya pandangan-pandangan
esensialistis awal. Puncak refleksi dari gagasan ini adalah pada
petengahan kedua abad ke sembilan belas.
Idealisme
dan realisme adalah aliran-aliran filsfat yang membentuk corak
esensialisme. Sumbangan yang diberikan oleh masing-masing ini bersifat
eklektik. Artinya dua aliran filsafat ini bertemu sebagai pendukung
esensialisme, tetapi tidak lebih menjadi satu. Berarti, tidak melepaskan
sifat-sifat utama masing-masing.
3. ANTESEDENS
Di
atas telah dikemukakan bahwa Renaisans adalah pangkal sejarah timbulnya
konsep-konsep pikir yang disebut esensialisme. Oleh karena timbul sejak
zaman itu, esensialisme adalah konsep yang meletakkan sebagian dari
ciri-ciri alam pikir modern.
Sebagaimana
halnya sebab-musabab timbulnya Renaisans, esensialisme pertama-tama
muncul dan merupakan reaksi terhadap simbolisme mutlak dan dogmatisme
Abad Pertengahan. Maka, disusunlah konsepsi yang sistematis dan
menyeluruh mengenai manusia dan alam semesta, yang memenuhi tuntutan
zaman modern.
Realisme
modern, yang menjadi salah satu eksponen esensialisme, titik berat
tinjauannya adalah mengenai alam dan dunia fisik, sedangkan idealisme
modern sebagai eksponen yang lain. Pandangan-pandangannya bersifat
spritual. John Deonald Butler mengutarakan secara singkat ciri dari
masing-masing ini sebagai berikut.
Alam
adalah yang pertama-tama memiliki kenyataan pada diri sendiri, dan ini
harus dijadikan pangkal berfilsafat. Kualitas-kualitas dari pengalaman
terletak pada dunia fisik, dan disanalah terdapat sesuatu yang
menghasilkan penginderaan dan persepsi-persepsi yang tidak semata-mata
bersifat mental. Jadi jiwa dapat diumpamakan sebagai cermin yang
menerima gambaran-gambara yang berasal dari dunia fisik. Ini berarti
bahwa anggapan mengenai adanya kenyataan itu tidak dapat hanya sebagai
hasil tinjauan yang menyebelah saja. Berarti bukan hanya dari subyek
atau obyek semata-mata, melainkan pertemuan antara keduanya.
Idealisme
modern mempunyai pandangan bahwa realita adalah sama dengan substansi
gagasan-gagasan (ide-ide). Di balik dunia fenomental ini ada Jiwa yang
Tidak Terbatas yaitu Tuhan, yang merupakan pencipta adanya kosmos.
Manusia sebagai makhluk yang berpikir berada dalam lingkungan kekuasaan
Tuhan. Dengan menguji dan menyelidiki ide-ide serta gagasan-gagasannya,
manusia akan dapat mencapai kebenaran, yang sumbernya adalah Tuhan
sendiri.
Sebagai
reaksi terhadap tuntutan zaman yang ditandai oleh suasana hidup yang
menjurus kepada keduniaan, perkembangan ilmu pengetahuan dan tekonologi,
yang mulai terasa sejak permulaan abad ke 15, realisme dan idealisme
perlu menyusun pandangan-pandangan yang modern. Untuk ini perlu disusun
kepercayaan yang dapat menjadi penuntun bagi manusia agar dapat
menyesuaikan diri dengan tuntutan keadaan itu. Kepercayaan yang dimaksud
diusahakan tahan lama, kaya akan isinya dan mempunyai dasar-dasar yang
kuat.
4. PANDANGAN MENGENAI REALITA
Sifat
yang menonjol dari ontologi esensialisme adalah suatu konsepsi bahwa
dunia ini dikuasai oleh tata yang tiada cela, yang mengatur dunia
beserta isinya dengan tiada cela pula. Ini berarti bahwa bagaimanapun
bentuk, sifat, kehendak dan cita-cita manusia haruslah disesuaikan
dengan tata tersebut. Dibawah ini adalah uraian mengenai penjabarannya
menurut realisme dan idealisme.
Realisme
yang mendukung esensialisme disebut realisme oyketif karena mempunyai
pandangan yang sistematis mengenai alam serta tempat manusia di
dalamnya. Terutama sekali ada dua golongan ilmu pengetahuan yang
mempengaruhi realisme ini.
Dari
fisika dan ilmu-ilmu yang sejenis dapat dipelajari bahwa tiap aspek
dari alam fisik ini dapat dipahami berdasarkan adanya tata yang jelas
khusus. Ini berarti bahwa suatu kejadian yang paling sederhanapun dapat
ditafsirkan menurut hukum alam, seperti misalnya data tarik bumi. Di
samping itu oleh ilmu-ilmu ini dikembangkanlah teori mekanisme, yang
mengatakan bahwa dunia itu ada dan terbangun atas dasar sebab akibat,
tarika dan tekanan dari “mesin” yang sangat besar. Di samping itu teori
mekanisme ini memperleh dukungan perkembangan dari matematika, yang
berbentuk dalam berbagai sumbangan. Antara lain bahwa semua gerak dalam
hubungan dengan alam ini dapat dijabarkan secara kuantitatif,
rumus-rumus dan persamaan-persamaan yang abstrak.
Dari
sinilah timbul pengertian-pengertian mengenai metode ilmiah dan metode
eksperimental. Yang pertama terutama sekali terdiri dari usaha untuk
menjabarkan semua proses dalam alam ini dalam rumusan-rumusan matematis
dan yang dapat menerangkan tentang adanya hukum-hukum alam. Adapun
mengenai eksperimen atau percobaan untuk mengetahui rahasia alam telah
dirintis oleh tokoh-tokoh realis, di antaranya Newton.
5. PANDANGAN MENGENAI PENGETAHUAN
Pada
kacamatan realisme masalah pengetahuan ini, manusia adalah sasaran
pandangan dengan penelahaan bahwa manusia perlu dipandang sebagai
makhluk yang padanya berlaku hukum yang mekanistis evolusionistis.
Sedangkan menurut idealisme, pandangan mengenai pengetahuan ini
bersendikan pada pengertian bahwa manusia adalah makhluk yang timbul
dari hubungan antara makrokosmos dan mikrokosmos.
Bersendikan
prinsip di atas dapatlah dimengerti bahwa realisme memperhatikan
berbagai pandangan dari tiga aliran psikologi, asosianisme, behaviorisme
dan koneksionisme. Dengan memperhatikan tiga aliran ini, yang pada
dasarnya mencerminkan adanya penerapan metode-metode yang lazim untuk
ilmu pengetahuan alam kodrat, realisme menunjukkan sikap lebih maju
mengenai masalah pengetahuan ini dibanding dengan idealisme.
Langkah
maju ini tercermin pada kenyataan bahwa selain konsep-konsep dari tiga
aliran tersebut dapat dipahami secara teoritis, juga di dalam praktek
dapat diperkaya dengan pengumpulan data dari lapangan. Di samping itu,
sebagaimana diutarakan di bawah ini, tiga aliran tersebut memiliki
sifat-sifat yang satu sama lain saling menyempurnakan.
Asosianisme,
yang berasal dari beberapa filsuf Inggris ini, mengutarakan bahwa
gagasan atau isi jiwa itu terbentuk dari asosiasi unsur-unsur yang
berupa kesan-kesan yang berasal dari pengamatan. Kesan-kesan tersebut,
yang juga disebut tanggapan, dapat diumpamakan sebagai atom-atom dari
jiwa.
Beharivorisme
mengemukakan konsep yang dapat mengatasi kesederhanaan konsep dari
asosianisme. Maka ditetapkannya tingkah laku sebagai istilah dasar, yang
menunjuk kepada hidup mental. Di katakan, bahwa usaha untuk memahami
hidup mental seseorang berarti harus memahami organisme. Sedangkan
pemahaman mengenai organisme ini berarti menginjak lapangan nerologis,
maka masalah ini tidak dapat dipisahkan dari lapangan pengalaman.
6. PANDANGAN MENGENAI NILAI
Nilai,
seperti halnya pengetahuan berakar pada dan diperoleh dari
sumber-sumber obyektif. Sedangkan sifat-sifat nilai tergantung dari
pandangan yang timbul dari realisme dan idealisme. Kedua aliran ini
menyangkutkan masalah nilai dengan semua aspek perkehidupan manusia yang
berarti meliputi pendidikan. Pandangan dari dua aliran ini, yang
mengenai nilai pada umumnya dan nilai keindahan pada khususnya akan
dipaparkan berikut ini.
Menurut
realisme, kualitas nilai tidak dapat ditentukan secara konseptual
terlebih dahulu, melainkan tergantung dari apa atau bagaimana keadaannya
bila dihayati oleh subyek tertentu dan selanjutnya akan tergantung pula
dari sikap subyek tersebut.
Untuk
hal yang pertama, dapatlah ditunjukkan bahwa nilai mempunyai pembawaaan
atas dasar komposisi yang ada. Misalnya, kombinasi warna akan
menimbulkan kesan baik, bila penempatan dan fungsinya disesuaikan dengan
pembawaan dari komponen-komponen yang ada. Khususnya, sebagai contoh,
tempramen warna putih dan biru akan sesuai dengan warna kuning atau
putih. Yang berwarna putih atau biru akan cocok bila dipakai oleh orang
yang warna kulitnya kuning atau putih.
Untuk
hal yang kedua, dapatlah diutarakan bahwa sikap, tingkah laku dan
ekspresi perasaan juga mempunyai hubungan dengan kualitas baik dan
buruk. Orang yang berpakaian serba formal seperti dalam upacara atau
peristiwa lain yang membutuhkan suasana tenang, haruslah bersikap formal
dan teratur. Untuk ini, ekspresi perasaan yang mencerminkan adanya
serba kesungguhan dan kesenangan terhadap pakaian resmi yang dikenakan
itu dapat menunjukkan keindahan baik pakaian dan suasana kesungguhan
tersebut.
7. NILAI KEINDAHAN
Nilah
keindahan adalah suatu kenikmatan yang dihasilkan dalam pengalaman bila
kognisi dan perasaan bercampur atau saling pengaruh mempengaruhi. Yang
dimaksud dengan kognisi disini adalah persoala persepsi sebagaimana
dihubungkan dengan kenikmatan keindahan. Apa yang dihasilkannya ditambah
dengan perasaan yang mengikutinya. Berarti bahwa kenikmatan seseorang
mengenai keindahan itu merupakan perpaduan antara pengalaman, persepsi
dan perasaan.
Kesenian,
menurut realisme, adalah hidup sebagaimana adanya, maka kesenian dengan
sendirinya berisikan hal-hal yang kompleks sebagaimana hidup itu
sendiri. Ditinjau dari sudut manusia, faktor yang amat penting dalam
tinjauan mengenai pengalaman kesenian ini, kesenian ini dapat memiliki
sifat-sifat yang kaya seperti yang dialami oleh manusia, misalnya
harmoni-disharmoni, suka duka, dan lain sebagainya. Pokoknya kesenian
adalah pencerminan dari alam atau kehidupan sebagaimana wajarnya.
8. PANDANGAN MENGENAI PENDIDIKAN
Pandangan
mengenai pendidikan yang diutarakan disini bersifat umum, simplikatif
dan selektif, dengan maksud agar semata-mata dapat memberikan gambaran
mengenai bagian-bagian utama dari esensialisme. Di samping itu karena
tidak setiap filsuf idealis atau realis mempunyai paham esensialistis
yang sistematis, maka uraian ini bersifat eklektik.
Esensialisme
timbul karena adanya tantangan mengenai perlunya usaha emansipasi diri
sendiri, sebagaimana dijalankan oleh para filsuf pada umumnya ditinjau
dari sudut Abad Pertengahan. Usaha ini diisi dengan pandangan-pandangan
yang bersifat menanggapi hidup yang mengarah kepada keduniaan, ilmiah
dan teknologi, yang ciri-cirinya telah ada sejak zaman Renaisans.
Dalam
rangka menunjukkan antesedens esensialisme ini, akan dipaparkan secara
historis kronologis dengan mengetengahkan tokoh-tokoh yang utama.
Penggalan kronologis dijatuhkan kepada periode sebelum dan sesudah tahun
tiga puluh abad ini.
Desiderius
Erasmus, humanis Belanda yang hidup pada akhir abad ke 15 dan permulaan
abad ke-16, adalah tokoh yang mula-mula sekali berontak terhadap
pandangan hidup yang berpijak pada dunia lain. Tokoh ini berusaha agar
kurikulum di sekolah bersifat humanistis dan bersifat internasional,
yang dapat diikuti oleh kaum tengahan dan aristokrat. Pendidikan yang
dilewatkan mereka ini memberikan kemungkinan dapat berlangsungnya
perubahan yang diharapkan oleh Erasmus tersebut.
Tokoh
berikutnya, Johann Amos Comenius (1592-1670) adalah pendidik Renaisans
pertama yang berusaha untuk mensistematisasikan proses pengajaran. Tokoh
ini dengan memiliki pandangan-pandangannya, dapat disebut seorang
realis yang dogmatis. Ia berkata antara lain bahwa hendaklah segala
sesuatu diajarkan melalui indera karena indera adalah pintu gerbang
jiwa. Jadi pintu gerbang dari pengetahuan itu sendiri. Disamping itu,
Comenius mempunyai pendirian bahwa karena dunia itu dinamis dan
bertujuan, tugas kewajiban pendidikan adalah membentuk anak sesuai
dengan kehendak Tuhan.
John
Locke (1632-1704), adalah tokoh dari Inggris yang dikenal sebagai
“pemikir dunia ini”, ia berusaha agar pendidikan menjadi dekat dengan
situasi-situasi, John Locke mempunyai sekolah kerja untuk anak-anak
miskin.
Johann
Henrich Pestalozzi (1746-1827) percaya sedalam-dalamnya mengenai alam
dalam arti peninjauan yang bersifat naturalistis. Alam dengan
sifat-sifatnya tercermin pada manusia, yang karenanya manusia memiliki
kemampuan-kemampuan wajarnya. Di samping itu Pestalozzi percaya akan
hal-hal yang transendental, engan mengatakan bahwa manusia itu mempunyai
hubungan transendental langsung dengan Tuhan.
Pandangan
yang serba transendental ini nampak pula pada Johan Friedrich Frobel
(1782-1852), dengan corak pandangannya yang bersifat kosmis-sintesis.
Manusia adalah makhluk ciptaan Tuhan dan merupakan bagian dari alam ini.
Oleh karena itu ia tunduk dan mengikuti ketentuan dari hukum-hukum
alam.
Dengan
tertarik kepada pendidikan anak kecil. Frobel memandang anak sebagai
makhluk yang berekspresi kreatif. Dalam tingkah laku demikian init ampak
adanya kualitas metafisis, maka tugas pendidikan adalah memimpin anak
didik ini kearah kesadaran diri sendiri yang murni, sesuai dengan
pernyataan dari Tuhan.
Johann
Friedrich Herbart (1776-1841), salah seorang murid Immanuel Kant,
adalah tokoh yang selalu bersikap kritis. Ia berpendirian bahwa tujuan
pendidikan adalah menyesuaikan jiwa seseorang dengan kebajikan dari Yang
Mutlak, yang berarti antara lain penyesuaian dengan hukum-hukum
kesusilaan. Proses untuk mencapai tujuan pendidikan ini oleh Herbart
disebut pengajaran mendidik.
9. PANDANGAN MENGENAI BELAJAR
Idealisme,
sebagai filsafat hidup, memulai tinjauannya mengenai pribadi individual
dengan menitikberatkan pada aku. Menurut idealisme, bila seseorang itu
belajar pada taraf permulaan adalah memahami akunya sendiri, terus
bergerak keluar untuk memahami dunia obyektif. Dari mikrokosmos menuju
ke makrokosmos.
Sebagai
contoh, dengan landasan pandangan di atas, cepatlah dikemukakan
pandangan Immanuel (1724-1804), Dijelaskan bahwa segala pengetahuan yang
dicapai oleh manusia lewat indera memerlukan unsurnya priori, yang
tidak didahului oleh pengalaman lebih dahulu.
Bila
orang berhadapan dengan benda-benda, tidak berarti bahwa mereka itu
sudah mempunyai bentuk, ruang dan ikatan waktu. Bentuk, ruang dan waktu
sudah ada pada budi manusia sebelum ada pengalaman atau pengamatan.
Jadi, apriori yang terarah itu bukanlah budi kepada benda, tetapi
benda-benda itulah yang terarah keapda budi. Budi membentuk, mengatur
dalam ruang dan waktu.
Dengan
mengambil landasan pikir di atas, belajar dapat didefenisikan sebagai
jiwa yang berkembang pada sendirinya sebagai substansi spritual. Jiwa
membina dan menciptakan diri sendiri.
10. PANDANGAN MENGENAI KURIKULUM
Bogoslousky, dalam bukunya The Ideal School, mengutarakan
hal-hal yang lebih jelas dari Horne. Di samping menengaskan supaya
kurikulum dapat terhindar dari adanya pemisahan mata pelajaran yang satu
dengan yang lain, kurikulum dapat diumpamakan sebagai sebuah rumah yang
mempunyai empat bagian, ialah:
a) Universum. Pengetahuan
yang merupakan latar belakang dari segala manifestasi hidup manusia. Di
antaranya adalah adanya kekuatan-kekuatan alam, asal usul tata surya
dan lain-lainnya. Basis pengetahuan ini adalah ilmu pengetahuan alam
kodrat yang diperluas.
b) Sivilisasi. Karya
yang dihasilkan manusia sebagai akibat hidup masyarakat. Dengan
sivilisasi manusia mampu mengadakan pengawasan terhadap lingkungannya,
mengajar kebutuhan, dan hidup aman dan sejahtera.
c) Kebudayaan. Karya manusia yang mencakup di antaranya filsafat, kesenian, kesusasteraan, agama, penafsiran dan penilaian mengenai lingkungan.
d) Kepribadian. Bagian
yang bertujuan pembentukan kepribadian dalam arti riil yang tidak
bertentangan dengan kepribadian yang ideal. Dalam kurikulum hendaklah
diusahakan agar faktor-faktor fisik, fisiologis, emosional dan
intelektual sebagai keseluruhan, dapat berkembang harmonis dan organis,
sesuai dengan kemanusiaan yang ideal tersebut.
11. EKSISTENSIALISME (KIERKEGAARD-SARTRE)
Tidak
banyak aliran filsafat yang mengguncangkan dunia, filsafat
eksistensialisme adalah salah satu diantaranya. Nanti ada akan melihat
bahwa filsafat ini tidak luar biasa, akar-akarnya ternyata tidak dapat
bertahan dari berbagai kritik. Akan tetapi, isme ini termasuk isme yang
membuat guncangan yang hebat.
Setelah
selesai Perang Dunia Kedua, penulis-penulis Amerika (terutama wartawan)
berbondong-bondong pergi menemui filosof ekstensialisme, misalnya
mengunjungi filosof Jerman Martin Heidegger (lahir 1839) di gubuknya
yang terpencil di Pegunungan Alpen sekalipun ia telah bekerja sama
dengan Nazi.
Tatkala
seseorang filosof ekstensialisme. Jean Paul Sartre (lahir 1905),
mengedakan perjalanan keliling Amerika, dia disebut oleh surat-surat
kabar Amerika sebagai the King of Existentialism. Bila
cerita-cerita sandiwaranya dipentaskan, orang telah menyiapkan ambulans
untuk mengangkut penonton yang jatuh pingsan. Demikianlah sekedar
penggambaran kehebatan filsafat eksistensialisme. Sayanglah filsafat ini
sulit dipahami oleh pemula. Marilah kita mulai dengan memperhatikan
lebih dulu defenisi eksistensialisme.
Tidak mudah membuat defenisi eksistensialisme. Kesulitannya ialah karena existentialism embraces a variety of styel and convictions (Encylopedia Americana: 10:
762). Kaum eksistensialis sendiri tidak sepakat mengenai rumusan
tentang apa sebenarnya eksistensialisme itu (Hassan: 1947: 8). Sekalipun
demikian, ada sesuatu yang disepakati, baik filsafat eksistensi maupun
filsafat eksistensialisme sama-sama menempatkan cara wujud manusia
sebagai tema sentral.
Kata dasar eksistensi (existency) adalah exist yang berasal dari kata Latin ex yang berarti keluar dan sistere yang
berarti berdiri. Jadi, eksistensi adalah berdiri dengan keluar dari
diri sendiri. Pikiran semacam ini dalam bahasa jerman disebut dasein. Da berarti disana, sein berarti
berada. Berada bagi manusia selalu berarti disana, ditempat. Tidak
mungkin ada manusia tidak bertempat. Bertempat berarti terlibat dalam
alam jasmani, bersatu dengan alam jasmani. Akan tetapi, bertempat bagi
manusia tidaklah sama dengan bertempat bagi batu atau pohon. Manusia
selalu sadar akan tempatnya. Dia sadar bahwa ia menempati. Ini berarti
suatu kesibukan, kegiatan, melibatkan diri. Dengan demikian, manusia
sadar akan dirinya sendiri. Jadi, dengan keluar dari dirinya sendiri manusia sadar tentang dirinya sendiri; ia berdiri sebagai aku atau pribadi.
Filsafat
selalu lahir dari suatu krisis. Krisis berarti penentuan. Bila terjadi
krisis, orang biasanya meninjau kembali pokok pangkal yang lama dan
mencoba apakah ia dapat tahan uji. Dengan demikian, filsafat adalah
perjalanan dari satu krisis ke krisis yang lain. Ini berarti bahwa
manusia yang berfilsafat senantiasa meninjau kembali dirinya. Mungkin
tidak secara tegas manusia itu meninjau dirinya, misalnya ia
mempersoalkan Tuhan atau dunia sekelilingnya, tetapi dalam hal seperti
itu manusia sesungguhnya masih mempersoalkan dirinya juga. Bahwa dalam
filsafat eksistensi manusia tegas-tegas dijadikan tema senteral,
menunjukkan bahwa di tempat itu (Barat) sedang berjangkit suatu krisis
yang luar biasa hebatnya (Beerling, 1966: 211-12). Bagaimana keadaan
krisis itu? Uraikan berikut ini meninjau keadaan dunia pada umumnya dan
Eropa Barat pada khususnya yang merupakan tempat yang bertanggung jawab
atas timbulnya filsafat eksistensialisme.
Sifat
materialisme ternyata merupakan pendorong lahirnya eksistensialisme.
Yang dimaksud dengan eksistensi ialah cara orang berada di dunia. Kata berada pada manusia tidak sama dengan beradanya pohon atau batu. Untuk menjelaskan arti kata berada bagi manusia, aliran eksistensialisme mula-mula menghantam materialisme.
Eksistensialisme
menyatakan bahwa cara berada manusia dan benda lain tidaklah sama.
Manusia berada di dunia, sapi dan pohon juga. Akan tetapi, cara beradanya tidak sama. Manusia berada di dalam dunia, ia menghadapi dunia,
menghadapi dengan mengerti yang dihadapinya itu. Manusia mengerti guna
pohon, batu, dan salah satu diantaranya ialah ia mengerti bahwa hidupnya
mempunyai arti. Apa arti semua ini? Artinya ialah bahwa manusia adalah subyek. Subyek artinya yang menyadari, yang sadar. Barang-barang yang disadarinya disebut obyek.
Eksistenslialisme
juga lahir sebagai reaksi terhadap idealisme. Materialisme dan
idealisme adalah dua pandangan filsafat tentang hakikat yang eksterm.
Kedua-duanya berisi benih-benih kebenaran, tetapi kedua-duanya juga
salah. Eksistensialisme ingin mencari jalan keluar dari kedua
ekstremitas itu.
Apa
eksistrensialisme itu? Sebagian tela diuraikan terdahulu. Pengetahuan
yang seikit lebih luas tentang eksistensialisme ditampilkan berikut ini
dengan menampilkan pemikiran tokohnya: Soren Kierkegarrd dan Jean Paul
Sertre.
12. SOREN KIERKEGARD (1813-1855)
Suatu
reaksi terhadap idealisme yang sama sekali berada dari reaksi
materialisme ialah yang berasal dari pemikir Dernmark yang bernama Soren
Kierkegarrd. Menurut Kierkegaard, filsafat tidak merupakan suatu sistem, tetapi suatu mengeksperressian eksistensi individual. Karena
ia menentang filsafat yang bercorak sistematis, dapat dimengerti
mengapa ia menulis karyanya dengan menggunakan nama samaran. Dengan cara
demikian, ia mencoba menghindari anggapan bahwa bukunya merupakan
gambaran tentang fase-fase perkembangan pemikirannya. Dengan menggunakan
nama samaran, mungkinlah ia menyayang pendapat-pendapatnya di dalam
bukunya yang lain.
Pertama-tama
Kierkegaard memberikan kritik terhadap Hegel. Ia berkenala dengan
filsafat Hegel ketika belajar teologi di Universitas Kopenhangen.
Mula-mula memang ia tertarik pada filsafat. Hegel yang telah populer
dikalangan intelektual di Eropa ketika itu, tetapi tidak lama kemudian
ia lancarkan kritiknya.
Keberatan
utama yang diajukan oleh Kierkegaard kepada Hegel ialah karena Hegel
meremehkan eksistensi yang kongkret karena ia (Hegel) mengutamakan ide
yang sifatnya umum. Menurut Kierkegaard, manusia tidak pernah hidup
sebagai suatu “aku umum”, tetapi sebagai “aku individual” yang sama
sekali unik dan tidak dapat dijabarkan ke dalam sesuatu yang lain.
Dengan demikian, Kierkegaard memperkenalkan istilah “eksistensi” dalam
suatu arti yang mempunyai peran besar pada abad ke-20. hanya manusia
yang mampu bereksistensi, dan eksistensi saya tidak saya jalankan satu
kali untuk selamanya, tetapi pada setiap saat eksistensi saya menjadi
obyek pemilihan baru. Bereksistensi ialah bertindak. Tidak ada orang
lain yang dapat menggantikan tempat saya untuk bereksistensi atas nama
saya.
Hampir
semua filosof masa lampau hanya mempelajari sifat-sifat umum, sifat
manusia pada umumnya, kehidupan pada umumnya, kebebasan pada umumnya,
dan lain-lain. Mereka memandang yang umum atau yang abstrak. Yang umum
memang selalu abstrak. Tradisi membicarakan yang umum memuncak pada
Hegel. Akan tetapi, menurut Kierkegaard filsafat harus mengutamakan
manusia individual. Kehidupan secara kongkret berarti kehidupan-ku. Kebenaran
secara kongkret berarti kebenaran bagi saya. Percobaan Hegel untuk
membuat sintesis harus ditolak. Mendamaikan pertentangan dengan cara
menyintesissnya hanyalah akan menghasilkan sesuatu yang abstrak. Di
dalam kehidupan kongkret kita selalu menghadapi pertentangan yang tidak
mungkin disentisis. Di dalam bidang etika, misalnya, kita selalu
dituntut memutuskan secara radikal, ini atau itu. Kata ini
menjadi nama buku Kierkegaard yang pertama yang terbit pada tahun 1843.
selain mengkritik Hegel, ia juga mengkritik agama Kristen.
Kierkegaard
mengemukakan kritik tajam terhadap Gereja Lutheran yang merupakan
Gereja Kristen resmi di Denmark ketika itu. Kritik itu dilemparkan
terutama pada masa tuanya. Ia menganggap Gereja di tanah airnya itu
telah menyimpang dari Injil Kristus. Pada pokoknya, kritik Kierkegaard
terhadap agama Kristen di tanah airnya tidak berbeda dari kritiknya
terhadap filsafat Hegel. Masalah yang dikritiknya ialah karena orang
mengaku Kristen disana, tetapi kebanyakan tidak benar. Kristen tidak
melekat di hati, tidak dianut dengan sepenuh kepribadian, ada
kemunafikan. Sifat ini amat dibenci oleh Kicrkegaard. Bahkan ketka itu
iman Kristen menjadi sikap borjuis dan lahiriah saja. Sedangkan menurut
Kiergaard iman Kristen haruslah merupakan sala satu cara hidup radikal
yang menurut seluruh kepribadian.
Pengaruh
Kierkegaard belum tampak ketika ia masih hidup, bahkan bertahun-tahun
namanya tidak dikenal orang di luar negerinya. Itu antara lain karena
karyanya ditulis dalam bahasa Denmark. Barulah pada akhir abad ke-19
karya-karyanya Kierkegaard mulai diterjemahkan kedalam bahasa Jerman.
Karyanya menjadi sumber yang penting sekali untuk filsafat abad ke-20,
yang disebut eksistensilisme. Karenanya sering disebut bahwa Kierkegaard
adalah Bapak Filsafat Ekstensialsime. Akan tetapi, anehnya,
eksistensialisme abad ke-20 tidak jarang beraliran ateis, padahal
Kierkegaard seorang penganut Kristen (lihat Bertens, 1979: 83-85). Tak
pelak lagi, tokoh eksistensialisme tersebar adalah Jean Paul Sartre.
13. JEAN PAUL SARTRE (1950-1980)
Pada
tanggal 15 April 1980 dunia filsafat dikagetkan oleh berita
meninggalnya seorang filosof besar Perancis, tokoh paling penting dalam
filsafat eksistensialisme, yaitu Jean Paul Sartre. Dialah yang
menyebabkan eksistensialisme menjadi tersebar, bahkan menjadi semacam
mode, sekalipun pendiri eksistensialisme bukan dia, melainkan Soren
Aabye Kierkegaard (1813-1855) (Kaufmann. 1976: 192).
Krisis
memang sedang terjadi, terutama di Eropa. Reaksi pertama terhadap
krisis itu datang dari Soren Aabye Kierkegaard. Ia mengkritik Hegel yang
mengajarkan adanya “aku umum”. Kierkegaard mengajarkan bahwa yang ada
ialah “aku individual”. Dengan demikian, ia telah memperkenalkan istilah
eksistensi yang memegang peranan penting dalam filsafat abad ke-20.
hanya manusia yang bereksitesi. Bereksistensi berarti bertindak, dan
tidak ada orang lain yagn dapat mengganti bereksistensi atas naka saya.
Tekanan kierkegaard pada pentingya arti eksistensi individu itu telah
melahirkan semacam kesadaran umum pada tanggung jawab setiap pribadi
dalam kehidupan ini. Dan pandangan seperti itulah Kierkegaard berbicara
tentang etika, mengkritik Kristen Lutheren di Denmark. Pandangan tentang
pentingnya arti manusia sebagai pribadi inilah kiranya yang
menjadi intisari filsafatnya yang kelak dikembangkan oleh Sartre dalam
nama eksistensialisme yang dengan cepat mendapat sambutan hampir di
seluruh dunia.
Jean
Paul Sartre lahir di Paris pada tahun 1905 dan meninggal pada tahun
1980. Ia belajar pada Ecole Normale Superieur pada tahun 1924-28.
Setelah tamat dari sekolah itu. Pada tahun 1929 ia mengajarkan filsafat
di beberapa Lycees, baik di Paris maupun di tempat lain. Dari tahun 1933
sampai tahun 1935 ia menjadi mahasiswa peneliti pada Institut Francis
di Berlin dan di Universitas Freiburg. Tahun 1938 terbit novelnya yang
berjudul La Nausce, dan Le Mur terbit pada tahun 1939. sejak itu muncullah karya-karyanya yang lain dalam bidang filsafat.
Tatkala
pecah perang pada tahun 1939 ia menggabungkan diri dalam pasukan
Prancis, dan pada tahun 1940 ia ditangkap oleh Jerman. Setelah
dibebaskan, ia kembali ke Paris. Di sana ia meneruskan karyanya sebagai
pengajar dalam bidang filsafat sampai tahun 1944. Dalam waktu inilah ia
menyelesaikan bukunya yang terkenal. L’Etre et Le Neant, pada
tahun 1943. dalam gerakan politik, bersama kawannya, Albert Camus dan
Muarice Merleau-Ponty, ia bekerja sama dengan Partai Komunis Prancis.
Tahun 1960 terbit bukunya, Critique de la Raison Dialectique (diambil dari Encyclopedia of Philosophy, 7-8, 1967: 287-88).
Selain
sebagai seorang guru besar, ia jugaa seorang pejuang. Dalam perang
Dunia Kedua ia menjadi salah seorang pemimpin pertahanan. Sebagai
novelis dan dramawan namanya amat terkenal. Tahun 1964 ia menolak
menerima hadiah Nobel dalam bindang kesusasteraan (Burr dan
Goldinger:520). Sekalipun pada dasarnya buah pikirannya merupakan
pengembangan pemikiran Kierkegaard, ia mengembangkannya sampai pada
tahap yang amat jauh. Cobalah perhatikan bagaimana ia mendefenisikan
eksistensi sebagaimana diringkaskan berikut ini.
Bagi
Sartre, eksistensi manusia mendahului esensinya. Pandangan ini amat
janggal sebab biasanya sesuatu harus ada esensinya lebih dulu sebelum
keberadaannya. Bagaimana sebenarnya yang dimaksud oleh Sartre?
Filsafat eksistensialisme membicara cara berada di dunia ini, terutama cara berada manusia. Dengan perkataan lain, filsafat ini menempatkan cara wujud-wujud manusia
sebagai tema sentral pembahasannya. Cara itu hanya khusus ada pada
manusia karena hanya manusialah yang bereksistensi. Binatang, tumbuhan,
bebatuan memang ada, tetapi mereka tidak dapat disebut
bereksistensi (Drijarkara, 1966: 57). Filsafat eksistensialisme
mendamparkan manusia ke dunianya dan menghadapkan manusia kepada dirinya
sendiri. (Hassan: 9).
Menurut
ajaran eksistensialisme, eksistensi manusia mendahului esensinya. Hal
ini berada dari tetumbuhan, hewan, dan bebatuan yang esensinya mendahulu
eksistensinya, seandainya mereka mempunyai eksistensi. Di dalam
filsafat idealisme, wujud nyata (existence) dianggap mengikuti hakikat
(esence)nya. Jadi hakikat manusia mempunyai ciri khas tertentu, dan ciri
itu menyebabkan manusia berbeda dari makhluk lain (Hanafi, 1981:90).
Manusia harus menciptakan eksistensinya sendiri (Beerling: 215). Oleh
karena itu, dikatakan bahwa manusia itu eksistensinya mendauhului
esensinya (Struhl dan Struhl, 1972L 33,35). Dan formula ini merupakan
prinsip utama dan pertama di dalam filsafat eksistensialisme (Struhl dan
Struhl:36). Berikut ini dijelaskan apa sebenarnya yang dimaksud dengan
ungkapan eksistensi mendahului esensi (existence precedes essence) itu.
Ø Eksistensialisme
adalah suatu aliran yang menolak pemutlakan akal budi menolak
pemikiran-pemikiran abstrak murni eksistensialisme berupaya untuk
memahami manusia yang berada di dalam dunia, yakni manusia yang berada
pada situasi yang khusus dan unik. Blackham mengatakan bahwa
eksistensialisme adalah filsafat keberadaan. Suatu filsafat pembenaran
dan penerimaan dan suatu penolakan terhadap usaha rasionalisasi
pemikiran yang abstrak tentang kebenaran.
Ø Metode
yang digunakan oleh para pemikir eksistensialis disebut metode
eksestensial. Metode ini sebenarnya ada bermacam-macam. Namun pada
dasarnya metode ini dipengaruhi oleh Kickegaard Bapak eksistensialisme.
Pemikiran beliau merupakan reaksi yang terutama tertuju kepada
rasioanlisme idealistis Hegel yang dianggap telah mati dan tidak berguna
lagi.
Ø Pada
umumnya pemikir-pemikir Eksistensialis mengakui bahwa ada kebenaran
ilmiah yang objektf, tetapi tidak begitu penting. Mereka berpendapat
bahwa yang paling penting adalah kebenaran subjektif kickegaard
menyatakan bahwa “Kebenaran adalah subjektivitas” (truth is
subjectivity). Tentu saja itu tidak berarti setiap keyakinan subjektif
adalah kebenaran. Akan tetapi, para filsuf eksistensi menegakkan bahwa
kebenaran haruslah senantiasa bersifat personal dan tidak semata-mata
propossional.
Ø Para
pemikir Eksistensialis pada umumnya berpendapat bahwa tidak seorangpun
dapat meraih kebenaran hanya dengan menjadi penonton atau hanya dengan
melakukan observasi. Selain harus berperan serta dalam kehidupan itu
sendiri. Hal itu yang menjadi titik berangkat eksistensial. Kebenaran
hanya dapat ditemukan di dalam hal yang konkrit dan bahkan di dalam yang
abstrak. Kebenaran hanya dapat dijumpai di dalam yang eksistensial dan
bukan secara rasional.
Ø Secara
umum dapat dikatakan bahwa metode eksistensial merupakan kebalika dari
metode ilmiah tradisional dalam hal sebagai berikut. Mereka yang
menggunakan metode ilmiah tradisional mengkonsentrasikan pandangan pada
apa yagn sedang berada di dalam suatu tabung percobaan. Adapun para
pemikir eksistensialis dengan metode eksistensial mereka
mengkonstrasikan pandangan mereka pada manusia yang berada di luar
tabung percobaan. Dengan dmeikian Suwectivitas lebih berguna dari pada
objektivitas, dan nilai lebih perlu dari pada fakta, memang harus diakui
bahwa justru itulah yang terlupakan dalam berbagai metode lain yang
telah dikenal selam itu, yang terlalu memutlakkan objektivitas.
Ø Umat
manusia masa kini patut berterima kasih kepada filsof-filsof
eksistensialis yang dengan berani telah menyampaikan koreksi yang amat
dibutuhkan terhadap metode-metode yang memutlakkan objektivitas.
Kebenaran tidak selamanya bersifat objektif ilmiah. Kebenaran termasuk
juga kebenaran religius, haruslah bersifat personal. Dengan demikian,
filsuf-filsuf eksistensialis telah memperluas horizon kita dengan satu
dimensi kebenaran yang telah terabaikan selama ini.
14. PROGRESIVISME
Ciri-ciri Utama
Progresivisme
mempunyai konsep yang didasari oleh pengetahuan dan kepercayaan bahwa
manusia itu mempunyai kemampuan-kemampuan yang wajar dan dapat
menghadapi dan mengatasi masalah-masalah yang bersifat menekan atau
mengancam adanya manusai itu sendiri. Berhubung dengan itu progresivisme
kurang menyetuju adanya pendidikan yang bercorak otoriter, baik yang
timbul pada zaman dahulu maupun pada zaman sekarang.
Pendidikan
yang bercorak otoriter ini dapat diperkirakan mempunyai kesulitan untuk
mencapai tujuan-tujuan (yang baik), karena kurang menghargai dan
memberikan tempat semestinya kepada kemampuan-kemampuan tersebut dalam
proses pendidikan. Pada hal semuanya itu adalah ibarat motor penggerak
manusia dalam usahanya untuk mengalami kemajuan atau progres.
Oleh
karena kemajuan atau progres ini menjadi inti perhatian progresivisme,
maka beberapa ilmu pengetahuan yang mampu menumbuhkan kemajuan dipandang
oleh progresivisme merupakan bagian-bagiana utama dari kebudayaan.
Kelompok ini meliputi. Ilmu hayat, Antropologi, Psikologi dan Ilmu Alam.
Jelaslah,
bahwa selain kemajuan atau progress, lingkungan dan pengalaman
mendapatkan perhatian yang cukup dari progrevisme. Sehubungan dengan
ini, menurut progresivisme, ide-ide, teori-teori atau cita-cita itu
tidaklah cukup hanya diakui sebagai hal-hal yang ada, tetapi yang ada
ini haruslah dicari artinya bagi suatu kemajuan atau maksud-maksud baik
yang lain. Di samping itu manusia harus dapat memfungsikan jiwanya untuk
membina hidup yang mempunyai banyak persoalan dan yang silih berganti
ini.
15. PANDANGAN MENGENAI REALITA
John Dewey, dalam bukunya yang berjudul Creative Intelligence, mengatakan bahwa:
“……..
Sifat utama dari pragmatisme mengenali realita, sebenarnya dapat
dikatakan dengan tepat bahwa tiada teori realita yang umum”.
Diantara
kaum pragmatis (jadi progresivis) John Dewey mempunyai pandangan yang
ekstrim, sebab tokoh-tokoh lain seperti George Santanya, John Chlids
tidaklah demikian. Mereka mengatakan bahwa metafisika itu ada, karena
pragmatisme mempunyai berbagai konsep tentang eksistensi, alam bukanlah
ditentang eksistensi. Misalnya, dari sudut eksistensi alam bukanlah
diartikan sebagai pengertian yang substansial, melainkan diartikan atau
dipandang dari sudut prosesnya.
Pragmatisme
tidak menggunakan istilah alam semesta, melainkan dunia. Yang dimaksud
dengan dunia adalah proses atau tata dimana manusia hidup didalamnya.
Istilah dunia ini dapat dianggap sinonim dengan kosmos, realita dan
alam.
Uraian
di atas menunjukkan bahwa ontologi progresivisme mengandung pengertian
dan kualitas evoluasionistis yang kuat. Untuk ini, pengalaman, diartikan
sebagai ciri dari dinamika hidup, dan hidup adalah perjuangan, tindakan
dan perbuata. Berarti pengalaman adalah perjuangan pula.
16. PANDANGAN MENGENAI PENGETAHUAN
Tinjauan
mengenai realita di atas memberikan petunjuk bahwa pragmatisme lebih
mengutamakan pembahasan mengenai epsitimologi dari pada metafisika.
Misal yang jelas adalah tinjauan mengenai kecerdasan dan pengalaman yang
keduanya tidak dapat dipisahkan satu sama lain agar dapat dimengerti
arti dari masing-masing itu. Maka dapatlah disimpulkan lebih lanjut bahw
pragmatisme itu sebenarnya adalah teori pengetahuan.
Untuk
mengetahui teori pengetahuan yang dimaksud, diberlkaukan tinjauan
mengenai arti dan istilah-istilah seperti induktif, rasional, dan
empirik. Induktif adalah usaha untuk memperoleh pengetahuan dengan
mengambil data khusus terlebih dahulu dan diikuti oleh penarikan
kesimpulan yang bersifat umum. Deduktif adalah sebaliknya, artinya
adanya pengetahuan yang diperoleh yang berlandaskan ketentuan umum yang
berupa dalil atau pangkal duga. Pragmatisme mengutamakan cara induktif.
Rasional
berasal dari kata rasio yang berarti akal atau budi. Dalam
epistimologi, rasional berarti suatu pandangan bahwa akal itu adalah
instrumen utama baig manusia untuk memperleh pengetahuan. Empirik adalah
sifat pandangan bahwa persepsi indera adalah media yang memberikan
jalan bagi manusia untuk memahami lingkungan.
Pragmatisme
tidak menyetujui adanya semua bentuk generalisasi baik yang apriori
atau yang aposteriori. Pengalaman sebagai suatu unsur utama dalam
epistimologi adalah semata-mata bersifat khusus dan pertikular.
Progrevisime
mengadakan pembedaan antara pengetahuan dan kebenaran. Pengetahuan
adalah kumpulan kesan-kesan dan penerangan-penerangan yang terhimpun
dari pengalaman, yang siap untuk digunakan. Kebenaran adalah hasil
tertentu dari usaha untuk mengetahui, memiliki dan mengarahkan beberapa
segmen pengetahuan agar dapat menimbulkan petunjuk atau penyelesaian
pada situasi tertentu, yang mungkin keadaan kacau.
Dalam
hubungan ini kecerdasan merupakan faktor utama yang mempunyai kedudukan
sentral. Kecerdasan adalah faktor yang dapat mempertahankan adanya
hubungan antara manusia dengan lingkungan, baik yang berujud sebagai
lingkungan fisik,m maupun kebudayaan atau manusia.
17. PANDANGAN MENGENAI NILAI
Nilai
tidak timbul dengan sendirinya, tetapi ada faktor-faktor yang merupakan
pra syarat. Nilai timbul karena manusia mempunyai bahasa, maka dengan
demikian menjadi mungkin adanya saling hubungan seperti yang ada dalam
masyarakat pergaulan. Jadi, masyarakat menjadi wadah timbulnya
nilai-nilai. Disamping itu penggunaan bahasa sebagai salah satu sarana
ekspresi tentulah mendapat pengaruh yang berasal dari dorongan,
kehendak, perasaan dan kecerdasan dari masing-masing orang itu.
Oleh
karena ada faktor-faktor yang menentukan adanya nilai, maka makna nilai
seperti benar atau salah, baik atau buruk dapat dikatakan ada bila
menunjukkan adanya kecocokan dengan hasil pengujian yang dialami manusia
dalam pergaulan.
Berdasarkan
pandangan di atas, progresivisme tidak mengadakan pembedaan tegas
antara nilai instrinsik dan nilai instrumental. Dua jenis nilai ini
saling bergantung satu sama lain seperti halnya pengetahuan dan
kebenaran. Misalnya bila dikatakan bahwa kesehatan itu selalu bernilai
baik tidaklah semata-mata suatu ilustrasi tentang nilai instrinsik.
Nilai kesehatan akan dihayati oleh manusia dengan lebih nyata bila
dihubungkan dengan segi-segi yang bersifat operasional, bahwa kesehatan
yang baik akan mendatangkan kesejahteraan bagi masyarakat.
Nilai
mempunyai kualitas sosial. Misalnya, arti kesehatan akan makin dapat
dipahami bila orang berhubungan dan dapat menikmati faedah kesehatan
dengan orang lain. Ilmu kesehatan mempunyai kualitas sosial pula.
18. ANTESEDENS
Pragmatisme
sebagai aliran filsafat dan pragmatisme bagai filsafat pendidikan
merupakan aliran pikir yang telah dituliskan oleh John Dewey. Sumbangan
John Dewey ini dipandang sebagai kekuatan intelektual yang dapat
menggerakkan perkembangan progresivisme selanjutnya. Ia dapat memberikan
penghargaan dan menunjukkan pentingnya peranan berbagai teori dan
praktek yang berasal dari tokoh-tokoh lain bagi pendidikan. Tokoh-tokoh
lain ini, misalnya William James, Harace Mann, Francis Parker, dan Felix
Adler.
Selain
dari pada tokoh tersebut di atas, yang hidup pada Abad ke Dua Puluh
ini, gagasan-gagasan yang menjiwai progresivisme dapat dihayati asalnya,
sejak dari Zaman Kuno sekalipun. Plato membuat konsep pendidikan yang
memasukkan “belajar karena berbuat” sebagai persiapan ketangguhan dalam
peperangan. Johanna Amos Comenius menghendaki
pengajaran yang cocok, yang sesuai akan adanya kekuatan wajar pada
manusia. Tokoh-tokoh lain yang segaris adalah Johann Pestalozzi, Johann
Herbart, dan Friderich Frobel.
Dalam
pendidikan historis dapat dipelajari bahwa tokoh-tokoh tersebut di atas
mengemukakan gagasan-gagasan yang merintis timbulnya teori dan praktek
pendidikan baru. Dan, dengan perpaduan gagasan dari tokoh-tokoh zaman
modern, di beberapa negara, progerisivisme didukung oleh
organisasi-organisasi pendidikan. Di Amerika Serikat, Progressive
Education Association mempunyai peranan bertahun-tahun lamaya untuk
menerapkan pendidikan baru disamping yang tradisional. Selain itu
Assosiation for Childhoor Education, the American Federation of
Teachers, Association for Development, adalah organisasi-organisasi yang
mengembangkan metode mengajar menurut progresivisme.
19. PANDANGAN TENTANG BELAJAR
Pandangan
progrevisme mengenai belajar bertumpu pada pandangan mengenai anak
didik sebagai makhluk yang mempunyai kelebihan dibandingkan dengan
makhluk-makhluk lain. Disamping itu menjadi menipisnya dinding pemisah
antara sekolah dan masyarakat menjadi landasan pengembangan ide-ide
pendidikan progresivisme.
Sebagian
makhluk, anak didik mempunyai akal dan kecerdasan sebagai potensi yang
merupakan kelebihan dibandingkan dengan makhluk-makhluk lain. Dengan
sifatnya yang dinamusi dan kreatif dan dengan kecerdasannya, anak didik
mempunyai bekal untuk menghadapi dan memecahkan problema-problema.
Sehubungan dengan ini usaha untuk meningkatkan kecerdasan adalah tugas
utama dalam lapangan pendidikan.
Sebagai
makhluk, anak didik hendaklah dipandang tidak hanya sebagai kesatuan
jasmani dan rohani saja, melainkan juga manifestasinya sebagai tingkah
laku dan perbuatan yang berada dalam pengalamannya. Jasmani dan rohani,
terutama kecerdasan, perlu difungsikan dalam arti anak didik berada
aktif dalam dan memanfaatkan sepenuh-penuhnya lingkungannya. Ia perlu
mendapat kesempatan yang cukup, untuk dengan bebas dan sebanyak mungkin
mengambil bagian dalam kejadian-kejadian yang berlangsung di
sekitar-nya. Hal ini terutama kejadian-kejadian dalam lapangan
kebudayaan.
Agar
sekolah dapat berfungsi wajar perlu memberi kesempatan seperti yang
diharapkan di atas. Maka dari itu gagasan atau kenyataan yang
menunjukkan adanya dinding pemisah antara sekolah dan masyarakat perlu
dihapuskan. Sekolah yang baik adalah masyarakat yang baik dalam bentuk
kecil, sedangkan pendidikan yang mencerminkan keadaan dan kebutuhan
masyarakat, perlu dilakukan secara teratur sebagai halnya dalam
lingkungan sekolah.
20. PANDANGAN MENGENAI KURIKULUM
Sikap
progresivisme, yang memandang segala sesuatu berasaskan fleksibilitas,
dinamika dan sifat-sifat lain yang sejenis tercermin dalam pandangannya
mengenai kurikulum sebagai pengalaman yang edukatif, bersifat
eksperimental dan adanya rencana dan susunan yang teratur. Landasan
pikiran ini akan diuraikan serba singkat.
Yang
dimaksudnya dengan pengalaman yang edukatif adalah pengalaman apa saja
yang serasi tujuan menurut prinsip-prinsip yang digariskan dalam
pendidikan, yang setiap proses belajar yang ada membantu pertumbuhan dan
perkembangan anak didik. Oleh karena tiada standar yang universal, maka
terhadap kurikulum haruslah terbuka kemungkinan akan adanya peninjauan
dan penyempurnaan. Fleksibilitas ini dapat membuka kemungkinan bagi
pendidikan untuk memperhatikan tiap anak didik dengan sifat-sifat dan
kebutuhannya masing-masing. Selain ini semuanya diharapkan dapat sesuai
dengan keadaan dan kebutuhan setempat.
Core
curriculum maupun kurikulum yang bersendikan pengelaman perlu disusun
dengan teratur dan terencana. Kualifikasi semacam ini diperlukan agar
pendidikan dapat mempunyai proses sesuai dengan tujuan, tidak mudah
terkait pada hal-hal yang insidentalh dan tidak penting. Maka, jelaslah
bahwa lingkungan dari pengalaman yang diperlukan dan yang dapat
menunjang pendidikan ialah yang dapat diciptakan dan ditujukan ke arah
yang telah ditentukan. Kurikulum yang memenuhi tuntutan ini diantaranya
adalah yang disusun atas dasar teori dan metode proyek, yang telah
diciptanakan oleh William Heard Kilpatrick.
BAB III
KESIMPULAN
Filsafat
adalah hasil pemikiran ahli-ahli filsafat atau filosof-filosof
sepanjang zaman diseluruh dunia. Sejarah pemikiran filsafat yang amat
panjang dibandingkan dengan sejarah ilmu pengetahuan, telah memperkaya
khazanah (perbendaharaan) ilmu filsafat. Sebagai ilmu tersendiri
filsafat tidak saja telah menarik minat dan perhatian para pemikir,
tetapi bahkan filsafat telah amat banyak mempengaruhi perkembangan
keseluruh budaya umat manusia. Filsafat telah mempengaruhi sistem
politik, sistem sosial, sistem ideologi semua bangsa-bangsa-bangsa. Juga
filsafat mempengaruhi sistem ilmu pengetahuan itu sendiri, yang
tersimpul di dalam filsafat ilmu pengetahuan tertentu seperti filsafat
huku, filsafat ekonomi, filsafat ilmu kedoteran, filsafat pendidikan dan
sebagainya. Akhirnya yang pokok dari semua iatu, filsfat telah
mempengaruhi sikap hidup, cara berpikir, kepercayaan atau ideologinya.
Filsafat telah mewarisi subyek atau pribadi sedemikian kuat, sehingga
tiap orang menjadi penganut suatu faham filsafat baik sadar maupun
tidak, langsung ataupun tidak langsung.
Ajaran
filsafat pada dasarnya adalah hasil pemikiran seseorang atau beberapa
orang ahli filsafat tentang sesuatu secara fundamental.
Perbedaan-perbedaan cara dalam meng-approach suatu masalah akan
melahirkan kesimpulan-kesimpulan yang berbeda-beda tentang masalah yang
sama. Perbedaan-perbedaan itu dapat juga disebabkan latar belakang
pribadi para ahli tersebut, di samping pengaruh zaman, kondisi dan alam
pikiran manusia di suatu tempat. Kenyataan-kenyataan itu melatar
belakangi perbedaan-perbedaan tiap-tiap pokok suatu ajaran filsafat. Dan
oleh penelitian para ahli kemudian, ajaran filsafat tersebut disusun
dalam satu sistematika dengan kategori tertentu. Klasifikasi inilah yang
melahirkan apa yang kita kenal sebagai suatu aliran. (sistem) suatu
ajaran filsafat. Suatu ajaran filsafat dapat pula sebagai produk suatu
zaman, produk suatu cultural and social matrix. Dengan demikian suatu
ajaran filsafat dapat merupakan reaksi dan aksi atas sesuatu realita di
dalam kehidupan manusia. Filsafat dapat berbentuk cita-cita, idealisme
yang secara radikal berhasrat meninggalkan suatu pola kehidupan
tertentu.
Berdasarkan
kenyataan sejarah, filsafat bukanlah semata-mata hasil perenungan,
hasil pemikiran kreatif yang terlepas daripada pra kondisi yang
menantang. Paling sedikit, ide-ide filosofis adalah jawaban terhadap
problem yang menentang pikiran manusia, jawaban atas ketidak tahuan,
atau verifikasi tentang sesuatu. Filsafat juga merupakan usaha meneuhi
dorongan-dorongan rasional manusiawi demi kepuasan rohaniah, untuk
kemantangan pribadi, untuk integritas.
DAFTAR PUSTAKA
Prof. Imam Barnadib, MA, Ph.D. Filsafat Pendidikan (Pengantar Mengenai Sistem dan Metode). Penerbit Fakultas Ilmu Pendidikan (FIP) IKIP. 1984.
Dr. Ahmad Tafsir, Filsafat Umum Akal dan Hati Sejak Thales Sampai James. Bandung, Remaja Rosda Karya. 1998.
Jan Hendrik Rapar, Pengantar Filsafat. Yogyakarta, Kanisius, 1996.
Muhammad Noor Syam, Filsafat Pendidikan dan Dasar Filsafat Pendidikan Pancasila.Usaha Nasional. 1986.
0 Response to "FILSAFAT PENDIDIKAN "
Posting Komentar