Metodologi Studi Islam (Filsafat Ilmu)
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Studi-studi
agama dewasa ini mengalami perubahan orientasi yang jauh berbeda jika
dibandingkan dengan kajian-kajian agama sebelum abad ke-19. Umumnya
pengkajian agama sebelum abad ke-19 memiliki beberapa karakteristik yang
antara lain, sinkritisme, penemuan arca baru, dan untuk kepentingan
misionari dipicu oleh semangat dan ilmu pengetahuan dan teknologi
sehingga orientasi dan metodologi studi islam mengalami perubahan.
Adapun
studi islam sendiri merupakan ilmu keislaman mendasar. Dengan studi
ini, pemeluknya mengetahui dan menetapkan ukuran ilmu, iman dan amal
perbuatan kepada allah swt. Diketahui pula bahwa islam sebagai agama
yang memiliki banyak dimensi yaitu mulai dari dimensi keimanan, akal
fikiran, politik ekonomi, ilmu pengetahuan dan teknologi lingkungan
hidup, dan masih banyak lagi yang lainnya. Untuk memahami berbagai
dimensi ajaran islam tersebut jelas memerlukan berbagai pendekatan yang
digali dari berbagai disiplin ilmu. Selama ini islam banyak dipahami
dari segi teologis dan normative.
B. Rumusan Masalah
Dalam
makalah ini agar lebih mudah untuk dipahami maka penulis berupaya untuk
memberikan batasan hingga dapat dimengerti dengan jelas isi makalah ini
sendiri secara baik dengan rumusan sebagai berikut:
1. Apakah pengertian studi Islam
2. Bagaimanakah Ruang lingkup studi Islam
3. Kedudukan pengantar studi Islam
4. Objek Kajian Studi Islam
C. Tujuan Masalah
1. Mengetahui pengertian studi islam
2. Mengetahui ruang lingkup studi islam
3. Mengetahui kedudukan pengantar studi islam
4. Mengetahui Objek Kajian Studi Islam
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Studi Islam
Studi Islam secara etimologis merupakan terjemahan dari Bahasa Arab Dirasah Islamiyah. Sedangkan
Studi Islam di barat dikenal dengan istilah Islamic Studies. Maka studi
Islam secara harfiah adalah kajian mengenai hal-hal yang berkaitan
dengan Islam. Makna ini sangat umum sehingga perlu ada spesifikasi
pengertian terminologis tentang studi Islam dalam kajian yang sistematis
dan terpadu. Dengan perkataan lain, Studi Islam adalah usaha sadar dan
sistematis untuk mengetahui dan memhami serta membahas secara mendalam
tentang seluk-beluk atau hal-hal yang berhubungan dengan agama Islam,
baik berhubungan dengan ajaran, sejarah maupun praktik-praktik
pelaksanaannya secara nyata dalam kehidupan sehari-hari, sepanjang
sejarahnya.[1]
Studi
Islam diarahkan pada kajian keislaman yang mengarah pada tiga hal: 1)
Islam yang bermuara pada ketundukan atau berserah diri, 2) Islam dapat
dimaknai yang mengarah pada keselamatan dunia dan akhirat, sebab ajaran
Islam pada hakikatnya membimbing manusia untuk berbuat kebajikan dan
menjauhi semua larangan, 3) Islam bermuara pada kedamaian.[2]
Usaha
mempelajari agama Islam tersebut dalam kenyataannya bukan hanya
dilaksanakan oleh kalangan umat Islam saja, melainkan juga dilaksanakan
oleh orang-orang di luar kalangan umat Islam. Studi keislaman di
kalangan umat Islam sendiri tentunya sangat berbeda tujuan dam
motivasinya dengan yang dilakukan oleh orang-orang di luar kalangan umat
Islam. Di kalangan umat Islam, studi keislaman bertujuan untuk memahami
dan mendalami serta membahas ajaran-ajaran Islam agar mereka dapat
melaksanakan dan mengamalkannya dengan benar. Sedangkan di luar kalangan
umat Islam, studi keislaman bertujuan untuk mempelajari seluk-beluk
agama dan praktik-praktik keagamaan yang berlaku di kalangan mat Islam,
yang semata-mata sebagai ilmu pengetahuan (Islamologi). Namun
sebagaimana halnya dengan ilmu-ilmu pengetahuan pada umumnya, maka ilmu
pengetahuan tentang seluk-beluk agama dan praktik-praktik keagamaan
Islam tersebut bisa dimanfaatkan atau digunakan untuk tujuan-tujuan
tertentu, baik yang bersifat positif maupun negative.
Para ahli studi keislaman di luar kalangan umat Islam tersebut dikenal dengan kaum orientalis (istisyroqy),
yaitu orang-orang Barat yang mengadakan studi tentang dunia Timur,
termasuk di kalangan dunia orang Islam. Dalam praktiknya, studi Islam
yang dilaukan oleh mereka, terutama pada masa-masa awal mereka melakukan
studi tentang dunia Timur, lebih mengarahkan dan menekankan pada
pengetahuan tentang kekurangan-kekurangandan kelemahan-kelemahan ajaran
agama Islam dan praktik-praktik pemgalaman ajaran agama Islam dalam
kehidupan sehari-hari uamat Islam. Nmaun, pada masa akhir-akhir ini
banyak juga di antara para orientalis yang memberikan
pandangan-pandangan yang objektif dan bersifat ilmiah terhadap Islam dan
umatnya. Tentu saja pandangan-pandangan yang demikian itu kan bisa
bermanfaat bagi pengembangan studi-studi keislaman di kalangan umat
Islam sendiri.
Kenyataan
sejarah menunjukkan (terutama setelah masa keemasan Islam dan umat
Islam sudah memasuki masa kemundurannya) bahwa pendekatan studi Islam
yang mendominasi kalangan umat Islam lebih cenderung bersifat subjektif,
apologi, dan doktriner, serta menutup diri terhadap pendekatan yang
dilakukan orang luar yang bersifat objektif dan rasional. Dengan
pendekatan yang bersifat subjektif apologi dan doktriner tersebut,
ajaran agama Islam yang bersumber dari al-Qur’an dan hadits –yang pada
dasarnya bersifat rasional dan adaptif terhadap tuntutan perkembangan
zaman- telah berkembang menjadi ajaran-ajaran yang baku dan kaku serta
tabu terhadap sentuhan-sebtuhan rasional, tuntutan perubahan, dan
perkembangan zaman. Bahkan kehidupan serta keagamaan serta budaya umat
Islam terkesan mandek, membeku dan ketinggalan zaman. Ironisnya, keadaan
yang demikian inilah yang menjadi sasaran objek studi dari kaum
orientalis dalam studi keislamannya.[3]
B. Ruang Lingkup Studi Islam
Agama sebagai obyek studi minimal dapat dilihat dari tiga sisi:
1. Sebagai doktrin dari tuhan yang sebenarnya bagi para pemeluknya sudah final dalam arti absolute, dan diterima apa adanya.
2. Sebagai
gejala budaya, yang berarti seluruh yang menjadi kreasi manusia dalam
kaitannya dengan agama, termasuk pemahaman orang terhadap doktrin
agamanya.
3. Sebagai interaksi sosial, yaitu realitas umat islam.
Bila
islam dilihat dari tiga sisi, maka ruang lingkup studi islam dapat
dibatasi pada tiga sisi tersebut. Oleh karena sisi doktrin merupakan
suatu kenyakinan atas kebenaran teks wahyu, maka hal ini tidak
memerlukan penelitian didalamnya.[4]
C. Kedudukan Studi Islam Dengan Mata Kuliah Lain
Seiring
berkembangnya zaman, mempelajari metodologi studi islam diharapkan
dapat mengarahkan kita untuk untuk mengadakan usaha-usaha pembaharuan
dalam pemikiran aiaran-ajaran islam yang merupakan warisan doktriner
yang dianggap sudah mapan dan sudah mandek serta ketinggalan zaman
tersebut, agar mampu beradaptasi serta menjawab tantangan serta tuntutan
zaman dan modernisasi dunia dengan tetap berpegang terhadap sunber
agama islam yang asli, yaitu al-qur’an dan as-sunnah. Mempelejari
metodologi studi islam juga diharapkan mampu memberikan pedoman dan
pegangan hidup bagi umat islam agar tetap menjadi muslim yang sejati
yang mampu menjawab tantangan serta tuntutan zaman modern maupun
era-globalisasi sekarang ini.[5]
Maka
dari itu kedudukan studi islam sangatlah penting peranannya dari semua
disiplin ilmu lain yang menyangkut tentang aspek islam, karena studi
islam merupakan disiplin ilmu yang menerangkan dasar seseorang dalam
beragama. Oleh karenanya diharapkan mata kuliah ini harus ada dalam
setiap studi ilmu khususnya di Indonesia.
Dengan mempelajari studi islam, Mahasiswa diharapkan mempunyai pegangan hidup yang pada akhirnya dapat menjadi muslim sejati.
D. Islam Sebagai Objek Kajian
Dari
fenomena sosial yang terjadi di dalam masyarakat, Islam memang menarik
untuk dijadikan sebagai objek kajian dan dalam mengkaji Islam, tentu
kita harus berpedoman pada dua sumber otentiknya yakni Alquran dan
hadis.
Orang
yang memeluk Agama Islam, yang disebut muslim adalah orang yang
bergerak menuju ketingkat eksistensi yang lebih tinggi. Demikian yang
tergambar dalam konotasi yang melekat dalam kata Islam apabila kita
melakukan suatu kajian tentang arti Islam itu sendiri.
Untuk
memecahkan masalah yang timbul dalam masyarakat, maka seorang muslim
mengadakan suatu penafsiran terhadap Alquran dan hadis sehingga
timbullah pemikiran Islam, baik yang bersifat tekstual maupun
kontekstual.
Islam
sebagai agama, pemikiran atau penafsiran Alquran dan hadis, juga
sebagai objek kajian, sebuah sistem yang hidup dan dinamis. Sistem ini
meliputi sebuah matriks mengenai nilai dan konsep yang abadi. Hidup dan
realistis sehingga memberikan karakter yang unik bagi peradaban. Karena
Islam merupakan suatu sistem total, maka nilai dan konsep ini menyerap
setiap aspek kehidupan manusia.
Islam
sebagai agama teologis juga merupakan agama pengetahuan yang melahirkan
beragan pemikiran, lahirnya pemikiran ini memberi indiksi yang kuat
bahwa pada dataran pemahaman dan aktualisasi nilai Islam merupakan suatu
wujud keterlibatan manusia dalam Islam, dan bukan berarti mereduksi
atau mentransformasikan doktrin esensialnya. Bukankah dalam Islam telah
memotivasi pelibatan akal pikiran untuk dikenali, diketahui dan
diimplementasikan ajarannya (QS. 96;1). Ajarannya yang berbentuk
universal hanya bisa ditangkap dalam bentuk nilai, sehingga ketika ia
turun dan jatuh ke tangan manusia, ia baru menjadi bentuk (Muhammad
Wahyudi Nafis, 7).
Jadi,
ketika pemikiran hendak masuk dalam wilayah Islam untuk dikaji dengan
beragam intensi dan motif, sudut pandang atau perspektif, metodologi dan
berbagai aspeknya, maka dalam proses dan bentuknya kemudian, Islam
dapat dipandang sebagai pemikiran. Islam yang ditunjuk di sini tentu
bukan saja apa yang terdapat dalam Alquran dan hadis (tekstuan dan
skriptual) tetapi mencakup juga Islam yang berupa pemahaan dan
pengejawantahan nilai-nilainya.[6]
Islam
berbentuk nilai-nilai, jika pemikiran (akal pikiran) dilibatkan dalam
proses memahami dan mengaktualisasikannya dalan senarai sejarah
Pemikiran Islam terpotret bagaimana pemikiran peminat studi Islam
memberi andil kreatif dan signifikan terhadap bangunan pemahaman ajaran
Islam dalam berbagai dimensinya yang melahirkan berbagai jenis
pengetahuan Islam (ulumul Islam) seperti teologis, filsafat Islam,
ulumul Quran dan hadis, ilmu-ilmu syariah dan sebagainya.
Jadi,
mengkaji Islam sebagai pemikiran berarti mempelajari apa yang dipahami
oleh pemikir-pemikir yang telah mengkaji ajaran-ajaran Islam yang
melahirkan bentuk pemahaman atau kajian tertentu.
1. Islam Normatif
Islam
normatif adalah islam pada dimensi sakral yang diakui adanya realitas
transendetal yang bersifat mutlak dan universal, melampaui ruang dan
waktu atau sering disebut realitas ke-Tuhan-an.[7]
Kajian islam normatif Melahirkan tradisi teks : tafsir, teologi, fiqh, tasawuf, filsafat.
Ø Tafsir : tradisi penjelasan dan pemaknaan kitab suci
Ø Teologi : tradisi pemikiran tentang persoalan ketuhanan
Ø Fiqh : tradisi pemikiran dalam bidang yurisprudensi (tata hukum)
Ø Tasawuf : tradisi pemikiran dan laku dalam pendekatan diri pada Tuhan
Ø Filsafat : tradisi pemikiran dalam bidang hakikat kenyataan, kebenaran dan
2. Islam Historis
Islam
historis adalah islam yang tidak bisa dilepaskan dari kesejarahan dan
kehidupan manusia yang berada dalam ruang dan waktu. Islam yang
terangkai dengan konteks kehidupan pemeluknya. Oleh karenanya realitas
kemanusiaan selalu berada dibawah realitas ke-Tuhan-an.[8]
Dalam
pemahaman kajian Islam historis, tidak ada konsep atau hukum Islam yang
bersifat tetap. Semua bisa berubah. Mereka berprinsip: bahwa pemahaman
hukum Islam adalah produk pemikiran para ulama yang muncul karena
konstruk sosial tertentu. Mereka menolak universalitas hukum Islam. Akan
tetapi, ironisnya pada saat yang sama, kaum gender ini justru
menjadikan konsep kesetaraan gender sebagai pemahaman yang universal,
abadi, dan tidak berubah. Paham inilah yang dijadikan sebagai parameter
dalam menilai segala jenis hukum Islam, baik dalam hal ibadah, maupun
muamalah.[9]
Islam
historis merupakan unsur kebudayaan yang dihasilkan oleh setiap
pemikiran manusia dalam interpretasi atau pemahamannya terhadap teks,
maka islam pada tahap ini terpengaruh bahkan menjadi sebuah kebudayaan.
Dengan semakin adanya problematika yang semakin kompleks, maka kita yang
hidup pada era saat ini harus terus berjuang untuk menghasilkan
pemikiran-pemikiran untuk mengatasi problematika kehidupan yang semakin
kompleks sesuai dengan latar belakang kultur dan sosial yang melingkupi
kita, yaitu Indonesia saat ini. Kita perlu pemahaman kontemporer yang
terkait erat dengan sisi-sisi kemanusiaan-sosial-budaya yang melingkupi
kita.
Perbedaan
dalam melihat Islam yang demikian itu dapat menimbulkan perbedaan dalam
menjelaskan Islam itu sendiri. Ketika Islam dilihat dari sudut
normatif, maka Islam merupakan agama yang di dalamnya berisi ajaran
Tuhan yang berkaitan dengan urusan akidah dan mu’amalah. Sedangkan
ketika Islam dilihat dari sudut histories atau sebagaimana yang nampak
dalam masyarakat, maka Islam tampil sebagai sebuah disiplin ilmu (Islamic Studies).
Kajian
islam historis melahirkan tradisi atau disiplin studi empiris:
antropologi agama, sosiologi agama, psikologi agama dan sebagainya.
Ø Antropologi agama : disiplin yang mempelajari tingkah laku manusia beragama dalam hubungannya dengan kebudayaan.
Ø Sosiologi agama : disiplin yang mempelajari sistem relasi sosial masyarakat dalam hubungannya dengan agama.
Ø Psikologi agama : disiplin yang mempelajari aspek-aspek kejiwaan manusia dalam hubungannya dengan agama
3. Hubungan antara keduanya
Hubungan
antara keduanya dapat membentuk hubungan dialektis dan ketegangan.
Hubungan Dialektis terjadi jika ada dialog bolak-balik yang saling
menerangi antara teks dan konteks. sebaliknya akan terjadi hubungan
ketegangan jika salah satu menganggap yang lain sebagai ancaman.
Menentukan
bentuk hubungan yang pas antara keduanya adalah merupakan separuh jalan
untuk mengurangi ketegangan antara kedua corak pendekatan tersebut.
Ketegangan bisa terjadi, jika masing-masing pendekatan saling menegaskan
eksistensi dan menghilangkan manfaat nilai yang melakat pada pendekatan
keilmuan yang dimiliki oleh masing-masing tradisi keilmuan.
Menurut
ijtihad, Amin Abdullah, hubungan antara keduanya adalah ibarat sebuah
koin dengangan dua permukaan. Hubungan antara keduanya tidak dapat
dipisahkan, tetapi secara tegas dan jelas dapat dibedakan. Hubungan
keduanya tidak berdiri sendiri-sendiri dan berhadap-hadapan, tetapi
keduanya teranyam, terjalin dan terajut sedemikian rupa sehingga
keduanya menyatu dalam satu keutuhan yang kokoh dan kompak. Makna
terdalam dan moralitaskeagamaan tetap ada, tetap dikedepankan dan
digaris bawahi dalam memahami liku-liku fenomena keberagaman manusia,
maka ia secara otomatis tidak bisa terhindar dari belenggu dan jebakan
ruang dan waktu.[10]
E. Pertumbuhan Studi Islam di Dunia
Perkembangan Studi Islam di Dunia Islam
1. Islam mendorong umatnya untuk memperdalam ilmu pengetahuan.
Ø Al-Qur’an menyatakan: “Allah meninggikan derajat orang yang berilmu…”
Ø Hadis menyebutkan: “menunutut ilmu adalah kewajiban.”
2. Masa Rasulullah:
Ø Transformasi ilmu dilakukan melalui tradisi lisan.
Ø Rasul telah meletakkan bibit pengembangan studi Islam terutama tafsir dan usul fiqh.
Ø Hadis adalah penafsiran rasul terhadap Al-Qur’an yang di dalamnya terdapat metode penetapan hukum.
Ø Kajian
awal (fase Mekkah) difokuskan pada masalah-masalah eskatologis,
sedangkan periode berikutya (fase Madinah) ditujukan pada penataan
system social.
3. Masa Pasca Rasulullah wafat:
Ø Mulai muncul tradisi literer, dimulai dengan pengumpulan Al-Qur’an (masa Khulafaur rasyidin).
Ø Hadis
juga mulai dikumpulkan dan ditulis dalam sebuah kitab (masa Dinasti
Umayyah). Para Muhaddisin juga menyusun criteria ilmiah bagi penerimaan
hadis dengan kategori sahih, hasan, dan da’if).
Ø Muncul pusat-pusat intelektual Islam, seperti Hijaz (Mekkah dan Medinah), Iraq (Kufah dan Basrah), dan Syria.
Ø Perkembangan
studi Islam mencapai puncaknya pada masa Abbasiyah. Studi Islam yang
dikembangkan meliputi ilmu normative Islam yang bersumber pada teks
agama dan ilmu yang berbasis realitas empirik.
Bidang Keilmuan Yang Dikembangkan
1. Ilmu yang berbasis pada teks keagamaan (al-Qur’an dan Hadis), seperti:
Ø Tafsir
dan ulumul Qur’an. Kitab Tafsir yang tertua ditulis oleh at-Tabari (w.
301 H) yang dikenal dengan sebutan Tafsir at-Tabari.
Ø Tata
Bahasa Arab dengan tokoh utamanya: Abu al-Aswad ad-Duali (w.688 M).
Al-Khalil Ibn Ahmad (w. 786 M) menyusun kamus bahasa Arab (Kitab
Al’Ayn). Sibawaih (w. 793 M) menyusun buku teks sistematis tentang tata
bahasa Arab yang dikenal dengan al-Kitab.
Ø Hadis
dan Ulumul Hadis yang dipelopori oleh Syihabuddin az-Zuhri, dan
dikembangkan oleh Bukhari dan kawan-kawan. Hasilnya adalah Kutub
as-sittah yaitu: Kitab Sahih Bukhari, Shahih Muslim, Sunan Abu Dawud,
Sunan at-Tirmizi, Sunan an-Nasai, dan Sunan Ibnu Majah.
Ø Sejarah
Nabi seperti Sirah Nabawiyah yang ditulis oleh Ibnu Ishaq (w. 767 M)
dan Ibnu Hisyam (w. 834 M). Ubaid Ibn Syaryah menulis kitab sejarah
dengan judul Kitab al-Muluk wa Akhbar al-Madin pada masa daulah Umayyah.
Ø Fiqh
dan Usul Fiqh yang dipelopori oleh para imam mazhab seperti Abu
Hanifah, Malik Ibn Anas, Muhammad Idris Ibn Syafi’i, dan Ahmad Ibn
Hanbal. Kitab mereka yang terkenal antara lain: Fiqh al-Akbar, al-Muwatta’, Al-Umm, dan Musnad Ahmad Ibn Hanbal.
2. Ilmu Yang Berbasis Rasionalitas dan Realitas Empirik
Ø Ilmu ini berkembang akibat adanya kontak dengan Yunani, Persia, dan India. Hal ini terjadi pada masa Daulah Abbasiyah dengan adanya penerjemahan karya-karya dari luar ke dalam bahasa Arab.
Ø Ilmu Astronomi dengan tokoh Ibrahim Al-Fazari (w. 796 M) merupakan hasil kontak dengan India.
Ø Ilmu Astrologi dengan tokoh Abu Ma’syar (w. 886 M).
Ø Matematika dengan tokoh Muhammad Ibn Musa al-Khawarizmi (w. 850 M).
Ø Kimia dengan tokoh Jabir Ibn Hayyan (w. 776 M).
Ø Kaligrafi, sebagai akibat sentuhan dengan budaya Persia.
Ø Zoologi, dengan tokohnya Abu Usman ‘Amr Ibn Bahr al-Jahiz (w. 868 M).
Ø Filsafat,
dengan tokoh Al-Kindi (w. 873 M), al-Farabi (w. 950 M), dan Ibnu Sina
(w. 1037). Ibnu Sina juga terkenal sebagai dokter. Dia menulis kitab
at-Tibb, yang menjadi rujukan bagi ilmu kedokteran di dunia Barat.
Ø Sosiologi dengan tokoh Abdurrahman Ibn Khaldun (1332-1406 M) dengan bukunya Mukaddimah.
Pusat Pusat Kajian Keilmuan.
Ø Pada awalnya dilakukan di masjid dan diajarkan oleh para Qurra’ (ahli al-Qur’an).
Ø Sekolah Dasar disebut dengan Kuttab, yang menyatu dengan masjid. Materi pelajarannya adalah ilmu al-Qur’an.
Ø Al-Ma’mun mendirikan Observatorium untuk kepentingan ilmu astronomi.
Ø Bait al-Hikmah (didirkan tahun 1830 M oleh Al-Ma’mun), perpustakaan sekaligus pusat kajian ilmu pengetahuan.
Ø Akademi Nizhamiyah didirikan oleh Nizamul Muluk (dari Dinasti Saljuk) pada tahun 1065 M. Kajiannya masalah Teologi.
Ø Universitas
Granada didirikan oleh Yusuf Abu al-Hajjaj (1333-1354) dari dinasti
Nashriyyah. Kurikulumnya meliputi: teologi, hukum, kedokteran, kimia,
filsafat, dan astronomi.
Ø Universitas al-Azhar, didirkan oleh khalifah Al-Aziz (975-996 ) dari dinasti Fatimiyah.
Perkembangan Studi Islam di Dunia Barat
Kontak Islam dengan Barat
· Pada
masa Dinasti Abbasiyah, khususnya masa pemerintahan Al-Ma’mun (813-833)
terjadi gerakan penerjemahan buku-buku Yunani ke dalam bahasa Arab. Gerakan
ini menimbulkan adanya adaptasi dan adopsi ilmu pengetahuan dari Barat
ke dunia Islam. Kebudayaan Islam menjadi perantara antara kebudayaan
Yunani Kuno dengan peradaban ilmu pengetahuan modern.
· Dinasti
Umayyah di Timur (756-1031) yang berpusat di Cordova (Spanyol), juga
menjadi media transformasi ilmu dari Islam ke Eropa. Banyak orang Eropa
yang belajar ilmu pengetahuan di Cordova.
· Peristiwa
perang Salib (1096-1192) antara umat Islam dengan Kristen yang
berlangsung selama 200 tahun, menyebabkan pihak Barat mempelajari ulang
khazanah intelektual Islam melalui karya-karya ilmuwan muslim.
· Abad
16 sampai pertengahan abad 19 merupakan fase kolonialisme Barat
terhadap dunia Islam. Pada fase ini Barat mengkaji berbagai kemajuan
yang pernah di raih umat Islam selama kurang lebih 7 abad.
· Tahun
1789 Napoleon Bonaparte menguasai Mesir dan membawa antropolog untuk
mempelajari bahasa Arab, Al-Qur’an dan Hadis. Peristiwa ini merupakan
transformasi pengetahuan dari Islam ke Barat.
· Kesultanan
Turki yang kemudian berubah menjadi Republik Turki juga mengadakan
kontak dengan Negara-negara Eropa dan menghasilkan gerakan pembaharuan.
Studi Islam di Barat
· Kajian
Barat terhadap Islam memunculkan orientalisme, yaitu kajian tentang
ketimuran. Kajian awal orientalisme yang diselenggarakan di perguruan
tinggi di Barat memandang umat Islam sebagai bangsa primitive.
· Kajiannya
difokuskan pada Al-Qur’an dan pribadi Nabi Muhammad secara ilmiah, yang
hasilnya menyudutkan ajaran dan umat Islam.
· Pendekatan
yang digunakan para orientalis bersifat lahiriyah (eksternalitas).
Agama Islam hanya dipandang dari sisi luarnya saja menurut sudut pandang
Barat.
· Pada
masa selanjutnya muncul karya-karya yang mengoreksi dan merekonstruksi
kajian orientalis lama, karena adanya anomaly (ketidaktepatan) dalam
studi Islam. Tokohnya antara lain Louis Massignon, W. Montgomery Watt, dan Wilfred Cantwell Smith.
· Islamic
Studies menjadi salah satu kajian yang dibuka di universitas Barat
dengan sarana pendukung yang lengkap. Pendekatan yang digunakan a.l:
filologi, antropologi, sejarah, sosiologi, psikologi, dsb.
Studi Islam Di Indonesia
Masa Klasik (Abad 7 – 15 M)
· Melalui kontak informal, saluran perdagangan, perkawinan, dan tasawuf.
· Para pedagang (dari Arab, Persia, dan India), berperan sebagai mubaligh.
· Materi pengajaran: kalimat syahadat, rukun iman, dan rukun Islam.
· Abad 13 muncul pendidikan di langgar dan pesantren.
1.
Pendidikan langgar meliputi: huruf hijaiyah, membaca Al-Qur’an, fiqh
(bersuci dan shalat), tauhid, dan akhlak (melalui cerita para Nabi dan
orang saleh). Sistem pengajaran: sorogan. Jenjang pendidikan: 1).
Tingkat rendah (mempelajari huruf hijaiyah), 2). Tingkat atas
(mempelajari Al-Qur’an, qasidah, barzanji, tajwid, kitab fasalatan)
2.
Pendidikan pesantren kurikulumnya meliputi: pokok-pokok agama dan
segala cabangnya (bahasa Arab, syari’at (fiqh), Al-Qur’an, hadis, ilmu
kalam, dan tauhid). Sistem pengajaran non klasikal, dengan metode:
wetonan (kolektif), dan sorogan (privat).
Masa Pra Kemerdekaan (Abad 16 – 19 M)
· Tahun 1909 muncul pendidikan madrasah yang didirikan oleh Syekh Abdullah Ahmad di Padang.
· Tahun
1910, Syekh Thaib Umar mendirikan Madrasah School di Batu Sangkar,
tahun 1923 diganti dengan Diniyah School dan tahun 1931 diganti menjadi
al-Jami’ah al-Islamiyah.
· Tahun 1915, Zainuddin Labai al-Yunusi mendirikan Madrasah Diniyah di Padang Panjang.
· Muhammadiyah (berdiri tahun 1912) mendirikan HIS, Sekolah Guru, SD 5 tahun, dan madrasah.
· Al-Irsyad
mendirikan (berdiri di Jakarta tahun 1913): Madrasah Awaliyah (3 th),
Ibtidaiyah (4 th), Tajhiziyah (2 th), Mu’allimin (4 th), dan Takhassus
(2 th).
· Al-Jami’ah
al-Wasliyah (berdiri tahun 1930 di Medan) mendirikan: Madrasah
Tajhiziyah (2 th), Ibtidaiyah (4 th), Tsanawiyah (2 th), Qismul Ali (3
th), dan Takhassus (2 th).
· Nahdlatul
Ulama (didirikan tahun 1926) mendirikan: Madrasah Awaliyah (2 th),
Ibtidaiyah (3 th), Tsanawiyah (3 th), Mu’allimin Wustha (2 th),
Mu’allimin Ulya (2 th).
Pasca Kemerdekaan.
·
Tahun 1952 studi Islam pada tingkat dasar sampai menengah diseragamkan
melalui jenjang: MI (6 th), MTs (3 th), dan MA (3 th).
·
Pada tahun 1951 didirikan Perguruan Tinggi Agama Islam Negeri (PTAIN)
yang kemudian menjadi Institut Agama Islam Negeri (IAIN) tahun 1960.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Arah
dan tujuan studi Islam dapat dirumuskan sebagai berikut: 1) Untuk
mempelajari secara mendalam tentang apa sebenarnya (hakikat)agama Islam
itu, dan bagaimana posisi serta hubungannya dengan agama-agama lain
dalam kehidupan budaya manusia; 2) Untuk mempelajari secara mendalam
pokok-pokok isi ajaran agama Islam yang asli, dan bagaimana penjabaran
serta operasionalisasinya dalam pertumbuhan dan perkembangan budaya dan
peradaban Islam sepanjang sejarahnya; 3) Untuk mempelajari secara
mendalam sumber dasar ajaran agama islam yang tetap abadi dan dinamis,
dan bagaimana aktualisasinya; 4) Untuk mempelajari secara mendalam
prinsip-prinsip dan nili-nilai dasar ajaran agama Islam, dan bagaimana
realisasinya dalam membimbing dan mengarahkan serta mengontrol
perkembangan budaya dan peradaban manusia pada zaman modern ini
Sedangkan
ruang lingkup studi islam meliputi: 1) Sebagai doktrin dari tuhan yang
sebenarnya bagi para pemeluknya sudah final dalam arti absolute, dan
diterima apa adanya. Sebagai gejala budaya, yang berarti seluruh yang
menjadi kreasi manusia dalam kaitannya dengan agama, termasuk pemahaman
orang terhadap doktrin agamanya.3) Sebagai interaksi sosial, yaitu
realitas umat islam.
Studi
islam mempunyai kedudukan yang lebih tinggi disbanding dengan mata
kulaih lain, karena dalam studi islam, mahasiswa dapat belajar secara
mendalam tentang dasar beragama dan dapat menjadikan pegangan dalam
hidupnya.
Islam
normatif merupakan Islam pada dimensi sakral, Islam ideal atau yang
seharusnya, Islam sebagai realitas transendental, yang bersifat mutlak
dan universal, melampaui ruang dan waktu atau sering disebut sebagai
realitas ke-Tuhan-an. Sedangkan islam historis merupakan islam yang
tidak bisa dilepaskan dari kesejarahan dan kehidupan manusia yang berada
dalam ruang dan waktu, Islam yang senyatanya, yang terangkai oleh
konteks kehidupan pemeluknya, dan berada di bawah realitas ke-Tuhan-an.
Hubungan
diantara keduanya dapat berbentuk dialektis maupun ketegangan. Perlu
kiranya dikaji dan ditelaah ulang secara kritis-analitis-akademis dan
sekaligus dialektis sesuai denga kaidah keilmuan historis-empiris pada
umumnya. Dengan demikian hubungan antara kedunaya terasa hidup, segar,
terbuka, open ended dan dinamis.
B. Saran
Kami
yakin bahwa tulisan kami ini, masih jauh dari sempurna, untuk itu saran
dan kritik dari pembaca, penulis harapkan sekali demi penyempurnaan
tulisan/tugas makalah ini.
DAFTAR PUSTAKA
Abdullah, Amin. Studi Agama: Normativitas atau Historisitas?. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1996.
Ali, Mukti. Memahami Beberapa Aspek Ajaran Islam. Cet. II; Bandung: Mizan, 1993
M. Nurhakim, Metode Studi Islam, (Malang: Universitas Muhammadiyah Malang, 2004)
Muhaimin, et.al.Kawasan dan Wawasan Studi iSlam,(Jakarta: Kencana, 2005)
Muqowim dkk. Pengantar Studi Islam, Yogyakarta: Pokja Akademik UIN Sunan Kalijaga, 2005.
[2] M. Nurhakim, Metode Studi Islam, (Malang: Universitas Muhammadiyah Malang, 2004), hal.13
[3] Yusuf, Mundzirin dkk. Islam dan Budaya Lokal. (Yogyakarta: Pokja Akademik UIN Sunan Kalijaga, 2005).
[4] M. Nurhakim, Metode Studi Islam.., hal. 3-4.
[5] Muhaimin, et.al. Kawasan.., hal.. 13
[6] Ali, Mukti, Memahami Beberapa Aspek Ajaran Islam. Cet. II; (Bandung: Mizan, 1993), hal. 15
[7] Abdullah, Amin, Studi Agama: Normativitas atau Historisitas?. (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1996), hal. 5
[8] Ibid hal. 5
[9] Muqowim dkk.. Pengantar Studi Islam. (Yogyakarta: Pokja Akademik UIN Sunan Kalijaga, 2005)
[10] Abdullah, Amin. Ibid opcit. hlm 14
0 Response to "Metodologi Studi Islam (Filsafat Ilmu)"
Posting Komentar