Filsafat Hikmah dan Agama Masa Depan
Ditulis Oleh Muh. Alifuddin
Sebelum berbicara tentang hikmah
muta’aliyah (selanjutnya kita sebut sebagai filsafat hikmah), saya perlu
mengemukakan sejumlah pendahuluan berikut. Pertama, manusia adalah makhluk yang
secara intrinsik (fitriah) mencari kesempurnaan. Fitrah ini mendorong manusia
untuk terus-menerus berevolusi dan menyempurna. Kedua, dalam mencari
kesempurnaan ini manusia akan mengandalkan pelbagai daya yang telah
dimilikinya. Ketiga, pengetahuan dalam pengertian luas adalah kriteria untuk
mengukur tingkat evolusi dan kesempurnaan manusia. Keempat, setidaknya ada enam
kategori pengetahuan manusia:
a. Pengetahuan hudhuri/badihi (fitrah);
b.Pengetahuan rasional (akal);
c. Pengetahuan indrawi (panca indra);
d. Pengetahuan mistis/emosional (hati);
e. Pengetahuan imajiner (imajinasi);
f. Pengetahuan keagamaan (wahyu/teks suci).
Kelima, pengetahuan hudhuri merupakan
pijakan dasar bagi seluruh tindak pengetahuan manusia. Untuk jenis pengetahuan
ini, manusia hanya perlu untuk menyadarinya secara langsung dan introspektif.
Dalam pengetahuan ini tidak ada jarak antara subjek dan objek, ranah ontologis
dan epistemologis melebur jadi satu.
Keenam, pengetahuan rasional berpusat
pada akal, dengan sifat yang universal dan abstrak. Ketujuh, pengetahuan
indrawi diperoleh lewat panca indra. Pengetahuan ini bersifat spasio-temporer,
partikular dan berubah-ubah, sesuai dengan hukum-hukum yang mengatur alam
fisik.
Kedelapan, pengetahuan mistis/hati
(ma’rifah qalbiyah) adalah pengetahuan yang bersumber dari lintasan-lintasan
hati. Pengetahuan ini memiliki sejumlah kendala yang berasal dari watak-watak
yang merusak (al-malakat al-fasidah). Sifat pengetahuan ini adalah partikular
abstrak.
Kesembilan, pengetahuan imajiner
bersumber pada daya imajinasi dan angan-angan manusia. Imajinasi berperan
menghidupkan dan mengembangkan kognisi manusia tentang objek-objek partikular.
Kesepuluh, pengetahuan keagamaan bersumber pada teks-teks suci. Al-Quran dan
hadis adalah dua sumber utama pengetahuan keagamaan dalam konteks Islam.
Pemahaman atas al-Quran mestilah berangkat dari al-Quran itu sendiri atau dari
hadis-hadis yang mendampinginya.
Filsafat Hikmah
Bertolak dari sepuluh pendahuluan di
atas, kita bisa memahami proyek filsafat hikmah secara utuh dan ringkas. Untuk
menjelaskan proyek filsafat hikmah, makalah ini akan berpijak pada
rumusan-rumusan Mulla Shadra dan Allamah Thabathaba’i. Ada beberapa langkah menarik yang diambil
oleh Mulla Shadra, untuk merumuskan kompleksitas proyek filsafat hikmah dengan
segenap implikasinya.
Pertama, meletakkan sistem filsafat
hikmah di atas sejumlah dasar pengetahuan hudhuri/badihi, sambil menegaskan
bahwa semua dasar itu bersifat swabukti (self-evident). Dasar-dasar swabukti
tidak memerlukan pembuktian (burhanah) atau pengukuhan (itsbat), melainkan
hanya memerlukan pemaparan atau penjelasan.
Kedua, menurunkan sejumlah prinsip
rasional-filosofis untuk mendukung bangunan filsafatnya dari prinsip-prinsip
swabukti yang telah diketahui manusia secara hudhuri tersebut.
Ketiga, menyelaraskan prinsip-prinsip
rasional-filosofis yang bersumber pada prinsip-prinsip swabukti dengan sejumlah
mukasyafah (penyingkapan batin) para mistikus. Kategori pengetahuan ini
juga sering disebut dengan ilmu gaib atau ilmu laduni.
Keempat, menyelaraskan prinsip-prinsip
rasional-filosofis dan mukasyafah dengan teks-teks suci dalam rangka
memperteguh dan memperluas bangunan filsafat hikmah.
Kelima, mengajukan metodologi
sistematis untuk mencapai kebenaran utuh sebagaimana tersebut di atas secara
teoritis dan praktis.
Dalam karya utamanya yang berjudul Hikmah
Muta’aliyah fi al-Asfar al-Arba’ah (Hikmah yang Mengemuncak dalam Empat
Perjalanan Manusia), Mulla Shadra secara panjang-lebar memaparkan lima langkah
yang telah diambilnya untuk menemukan kebenaran tertinggi, kebenaran utuh, yang
tidak sekedar bersifat rasional-filosofis, mistis-emosional,
tekstual-keagamaan, tetapi juga kebenaran dalam pengertian realisasi langsung
(tahaqquq).
Dalam pengantar al-Asfar, Mulla
Shadra menyatakan:
“Teori-teori diskursif hanya akan
mempermainkan para pemegangnya dengan keragu-raguan. Kelompok yang datang
belakangan akan melaknat kelompok yang datang sebelumnya, sehingga ‘Setiap
umat yang masuk (ke dalam neraka) akan melaknat umat sebelumnya (yang telah
ikut menyesatkannya).’” (QS. al-A’raf [7]: 38)[1]
Persis dalam pengantar ini, dia mulai
melancarkan pukulan bertubi-tubi pada kalangan Paripatetik yang bersikukuh
memegang akal dan prinsip-prinsip rasional sebagai satu-satunya alat penyingkap
kebenaran. Menurut Mulla Shadra, akal punya keterbatasan, sebagaimana alat-alat
pengetahuan manusia lainnya. Karena itu, diperlukan suatu metodologi yang
mensinergikan semua potensi yang ada, sehingga masing-masing potensi itu dapat
mengambil perannya dalam mengantarkan manusia kepada kebenaran seutuhnya dan
puncak kesempurnaannya.
Selanjutnya, dalam Mafatih al-Ghayb, Mulla Shadra menuturkan:
“Banyak orang yang bergelut dalam ilmu
pengetahuan menyangkal (adanya) ilmu gaib laduni (langsung dari sisi Allah)
yang dicapai oleh para ahli suluk dan ahli makrifat (yang lebih kuat dan lebih
kukuh dibanding semua kategori ilmu lain) dengan mengatakan, ‘Apakah ada ilmu
tanpa proses belajar, berpikir dan bernalar?’”[2]
Kemudian dia memaparkan bukti-bukti
filosofis untuk menepis keragu-raguan semacam itu. Seperti biasa, dia
membingkai bukti-bukti filosofisnya dengan dalil-dalil tekstual yang melimpah
ruah.
Dalam sistem filsafat hikmah, metode
rasional-filosofis tidak bisa berdiri secara terpisah dari metode penyucian
hati dan begitu pula sebaliknya; keduanya saling membutuhkan, sedemikian
sehingga bila yang satu berjalan tanpa yang lain maka kerancuan dan kesesatan
akan terjadi.
Mulla Shadra menyatakan, “Kaum sufi
biasanya mencukupkan diri pada rasa dan intuisi (wijdan) dalam mengambil
kesimpulan, sedangkan kami tidak akan berpegang pada apa yang tidak berdasarkan
pada bukti-bukti demonstratif (burhan).”[3]
Kemudian Mulla Shadra meneruskan,
“Janganlah engkau peduli pada pelbagai kepura-puraan puak sufi, dan jangan pula
engkau gandrung pada pelbagai celoteh para filosof gadungan. Hati-hatilah wahai
sahabatku, atas kejahatan kedua puak ini. Semoga Allah tidak mempertemukan kita
dan mereka walau hanya sekejap mata.”[4]
Di tempat lain, dia menyimpulkan, “Oleh
sebab itu, yang paling tepat adalah kembali kepada metode kami dalam memperoleh
makrifat dan pengetahuan dengan memadu-padankan metode para filosof yang
bertuhan (muta’allih) dan para mistikus yang beragama Islam.”[5]
Upaya Mulla Shadra mendamaikan metode
rasional-filosofis dan spiritual-mistis dengan ajaran-ajaran Islam sesungguhnya
berangkat dari keyakinannya pada keunggulan Islam. Baginya, keunggulan Islam
yang menggabungkan kekuatan rasional dengan kekayaan spiritual hanya bisa
dipahami dan diapresiasi melalui kedua metode ini secara seimbang.
Dalam al-Mabda wa al-Ma’ad,
Mulla Shadra secara singkat memaparkan keserasian bukti-bukti rasional dan
ajaran-ajaran tradisional Islam. Pada karya utamanya, al-Asfar, secara
ekstensif ia meneguhkan keserasian metode filosofis dan mistis dengan
ajaran-ajaran Islam. Ia menandaskan, “Adalah mustahil hukum-hukum syariat yang
hak, Ilahi dan putih-bersih berbenturan dengan pengetahuan yang swabukti; dan
celakalah aliran filsafat yang prinsip-prinsipnya tidak selaras dengan al-Quran
dan sunah.”[6]
Dasar-dasar
Seperti telah dijelaskan sebelumnya,
prinsip-prinsip utama filsafat hikmah semuanya bersifat hudhuri
(swabukti atau self-evident), sehingga pengukuhan filsafat ini dapat dilakukan
secara introspektif. Berikut adalah sebagian dari prinsip-prinsip utama
filsafat hikmah:
Pertama, para pendukung filsafat ini
menyatakan bahwa wujud atau ada merupakan konsep sederhana yang secara langsung
bisa dimengerti tanpa perantara konsep lain (badihah mafhum al-wujud).[7]
Kedua, wujud merupakan konsep yang
berlaku secara umum atas segala sesuatu dengan pengertian tunggal (mafhum
al-wujud musytarakun ma’nawi).[8]
Ketiga, prinsip yang disebut dengan ashalah
al-wujud yang berintikan bahwa wujud adalah ungkapan bagi realitas secara
mutlak yang mau tak mau pasti kita akui keberadaannya.[9] Di luar itu,
yakni segenap ungkapan dan konsep lain yang terdapat dalam perbendaharaan
bahasa manusia yang dalam istilah para filosof disebut dengan mahiyah adalah
rekaan manusia (i’tibariyah). Semua konsep selain wujud hanyalah batasan
konseptual atau ilustrasi dari wujud.[10]
Keempat, untuk menjelaskan keberagaman
wujud yang kita saksikan secara langsung di alam raya ini, filsafat hikmah
mengajukan prinsip yang disebut dengan tasykik al-wujud. Intinya, wujud
yang mutlak itu merupakan kenyataan atau realitas yang bertingkat-tingkat.[11] Contoh yang lazim digunakan untuk menggambarkan kebertingkatan itu adalah
cahaya sebagai realitas yang bergradasi.
Kelima, setiap titik dalam wujud yang
bertingkat-tingkat itu mengalami proses evolusi yang terus-menerus dalam suatu
gerakan substansial. Perlu dicatat bahwa dalam wacana filsafat, gerak (harakah)
diartikan sebagai proses aktualisasi potensi (khuruj al-quwwah ila al-fi’li).
Inilah prinsip yang disebut dengan al-harakah al-jauhariyyah.
Keenam, gerakan substansial dalam
konteks manusia terjadi melalui hubungan subjek dengan objek. Subjek di sini
adalah ruh, jiwa atau akal, sementara objek adalah pengetahuan yang dicerapnya (ilm).
Jadi, pertumbuhan ruh manusia ditentukan oleh objek-objek pengetahuan yang
dicerapnya, persis sebagaimana pertumbuhan tubuh ditentukan oleh gizi yang
dimakannya. Makin tinggi nilai objek-objek pengetahuannya, makin subur dan
“sehat” ruh itu. Sebaliknya, makin rendah nilai objek-objek pengetahuannya,
makin lemah, “sakit,” dan surut ruh itu. Inilah prinsip yang dalam filsafat
hikmah disebut dengan ittihad al-aqil bi al-ma’qul.
Beberapa Implikasi
Filsafat hikmah merupakan pengembangan
atas pesan-pesan al-Quran dan sunah. Dalam banyak kesempatan, Mulla Shadra sang
jurubicara ulung sangat berbangga karena dapat merumuskan sistem filosofis yang
sepenuhnya berpijak di atas dasar teks-teks al-Quran dan sunah. Seperti telah
kita kutip di atas, Mulla Shadra mengecam spekulasi filosofis liar yang tidak
berpijak pada wahyu Ilahi. Baginya, semua spekulasi filosofis yang tidak
bermuara pada teks-teks suci hanya akan berakhir dengan kesimpulan-kesimpulan
yang membingungkan dan menyesatkan. Penegasan tersebut merupakan langkah besar
dalam sejarah panjang filsafat Islam, mengingat hal itu berarti berita tentang
lahirnya filsafat Islam yang sebenarnya.
Atas dasar itu, Mulla Shadra menyebut
filsafatnya dengan al-hikmah atau al-hikmah al-Ilahiyyah. Hikmah
merupakan istilah yang secara khas dipakai oleh al-Quran dan sunah dalam
bermacam makna. Al-Quran menyebutkan tugas kenabian sebagai pengajaran al-Quran
dan hikmah (QS. 2: 129, 3; 48, 3: 164, dan sebagainya). Lantas, Allah meminta
Nabi Muhammad saw untuk menyeru ke jalan-Nya dengan al-hikmah (QS 16:
125). Dalam surah al-Baqarah ayat 269, al-Quran menyebut al-hikmah
sebagai anugerah kebaikan yang besar.
Filsafat hikmah tidak mengajak orang
untuk sekadar berwacana, tetapi bergerak secara konstan dalam kerangka
ajaran-ajaran Islam yang bercirikan hikmah (kebijaksanaan, ketegasan,
kepastian). Dalam wujud yang luas ini, filsafat hikmah menempatkan manusia
sebagai entitas unik yang dapat berkembang sedemikian sehingga substansinya
terus meninggi (atau menurun). Filsafat hikmah mengapresiasi proses evolusi
manusia ini dengan mendayagunakan semua potensi yang telah dimilikinya.
Dalam pelbagai karya mereka, para
pendukung filsafat hikmah selalu menggambarkan bahwa manusia adalah suatu
kemenjadian yang secara konstan mengalir tanpa henti. Manusia bukan merupakan
entitas yang mandeg, melainkan terus bergerak menaiki atau menuruni
deretan tak-terbatas dari tingkatan-tingkatan wujud. Pernyataan seperti ini
sebenarnya menjelaskan ajaran pokok semua agama mengenai manusia sebagai
makhluk unik yang bergerak dalam suatu gerakan yang tak-terelakkan melewati
“kematian” menuju “surga” ataupun “neraka.”
Berdasarkan prinsip-prinsip filsafat
hikmah, kita dapat menghayati teks-teks suci, khususnya yang berbicara tentang
hal-hal gaib, dalam bentuk yang lebih filosofis. Umpamanya, dalam banyak
kesempatan, Mulla Shadra sering mengutip ayat-ayat dan hadis-hadis Nabi
Muhammad saw atau pun para imam Syiah mengenai hubungan satu amalan kecil
dengan pahala besar yang dihasilkannya. Hubungan-hubungan antara alam gaib dan
alam fisik ini dijelaskan sebagai hubungan antara satu tingkat dengan tingkat
lain dalam piramida wujud yang tunggal.
Filsafat hikmah menyadarkan kita bahwa
semua kerja manusia punya nilainya yang tersendiri, betapa pun tidak berartinya
nilai itu dalam perskeptif suatu tingkatan wujud tertentu. Di dalam wujud yang
bergerak secara konstan ini, hal-hal kecil akan berpengaruh terhadap proses
evolusi manusia selanjutnya. Manusia yang berpikir tentang batu pasti akan
dipengerahui oleh citranya tentang batu, sampai akhirnya ia akan menyerap
sifat-sifat batu itu secara total.
Oleh sebab itu, para pendukung filsafat
hikmah sangat menekankan pentingnya kita untuk mengkaji teks-teks suci sebagai
satu-satunya rujukan pasti mengenai hubungan-hubungan alam fisik dan alam gaib.
Setiap tindakan fisik kita akan mempunyai dampak terhadap dimensi ruhani-gaib
kita yang pada gilirannya akan kembali menghantui kita sehingga kita melakukan
hal-hal lain yang akan berpengaruh terhadap dimensi ruhani-gaib kita dan
begitulah seterusnya. Hubungan-hubungan yang saling berjalin-berkelindan ini
dijelaskan dalam filsafat hikmah berdasarkan bukti-bukti filosofis yang
diperkuat oleh teks-teks suci dan penyingkapan mistis.
Catatan Akhir
Kebangkitan atau renaisans Islam tidak
boleh diukur dari kemajuan dalam bidang-bidang teknis-perindustrian, lantaran
manusia menuju puncak kesempurnaannya justru melalui pembebasan dirinya dari
kondisi-kondisi alam yang melingkupinya. Makin sempurna manusia, makin bebas ia
dari hal-hal material dan makin bertumpu ia pada kekuatan kemanusiaannya.
Dengan kata lain, kesempurnaan manusia
ditentukan oleh ciri khasnya sebagai manusia, yaitu kesempurnaan daya-daya
intelektual dan spiritualnya. Oleh karena itu, langkah manusia menuju
kesempurnaan berbanding lurus dengan langkah pembebasannya dari materi dan
pendekatannya ke arah pengetahuan, keruhaniaan dan keimanan.
Maksud ungkapan ‘bebas dari materi’
bukanlah ‘hidup dalam kevakuman yang jauh dari alam materi,’ melainkan
penguasaan dan pengendalian manusia atas kondisi-kondisi material dan bukan
sebaliknya. Kalau di masa-masa lampau manusia sedemikian bergantung pada
kondisi-kondisi material yang mengurungnya, maka di masa-masa mendatang ia
pasti akan makin mandiri dari lingkungan materialnya. Manusia masa depan akan
makin sanggup mengendalikan dan memanfaatkan semua potensi dan kapasitas
material untuk pergerakan substansialnya mendaki puncak-puncak kesempurnaan
manusiawinya yang hakiki.
Oleh sebab itu, agama masa depan
mestilah merupakan pandangan dunia yang memiliki sendi logis-rasional yang
utuh, sendi emosional-spiritual yang kaya, mengandung gagasan-gagasan yang
mendalam dan menghunjam, tidak saling beradu dan berbenturan, serta mengandung
cita-cita besar yang luhur dan suci.
Agama masa depan mesti mampu
menjelaskan semua ajarannya dalam bentuk penuturan logis-filosofis yang lancar
dan memuaskan, tidak dalam bentuk yang dipaksakan dan dibuat-buat. Agama yang
demikian ini juga harus bisa menghadirkan harapan dan kegairahan spiritual bagi
manusia, sedemikian sehingga manusia dapat merasakan adanya makna di balik
perjalanan hidupnya yang serba-singkat dan sarat-penderitaan ini.
Salah satu implikasi terbesar dari
kehadiran filsafat hikmah di tengah-tengah umat adalah munculnya kesadaran
bahwa Islam memiliki semua syarat dan kelayakan untuk menjadi agama masa depan.
Tidak berlebihan bila saya katakan bahwa filsafat hikmah yang sepenuhnya
bersumber pada al-Quran dan sunah ini menggugah kita untuk kembali menghayati
ajaran-ajaran Islam. Bagaimana tidak! Filsafat hikmah telah berhasil
menampilkan Islam sebagai puncak dari ribuan tahun tradisi agama semitik,
rasionalisme Yunani, dan mistisisme Timur yang telah banyak menyumbang
perkembangan peradaban manusia di muka bumi.
Catatan Kaki:
0 Response to "Filsafat Hikmah dan Agama Masa Depan"
Posting Komentar