Islam Indonesia
FAKTA SEJARAH NII
Mengungkapkan sejarah perjuangan Darul
Islam di Indonesia, sama pentingnya dengan mengungkapkan kebenaran.
Sebab perjalanan sejarah gerakan ini telah banyak dimanipulasi, bahkan
berusaha ditutup-tutupi oleh penguasa. Rezim orde lama dan kemudian orde
baru, mengalami sukses besar dalam membohongi serta menyesatkan kaum
muslimin khususnya, dan bangsa Indonesia umumnya dalam memahami sejarah
masa lalu negeri ini.
Selama ini kita telah tertipu membaca buku-buku sejarah serta
berbagai publikasi sejarah perjuangan umat Islam diIndonesia. Sukses
besar yang diperoleh dua rezim penguasa di Indonesia dalam mendistorsi
sejarah Darul Islam, adalah munculnya trauma politik di kalangan umat
Islam. Hampir seluruh kaum muslimin di negeri ini, memiliki semangat
untuk memperjuangkan agamanya, bahkan seringkali terjadi hiruk pikuk di
ruang diskusi maupun seminar untuk hal tersebut. Tetapi begitu tiba-tiba
memasuki pembicaraan menyangkut perlunya mendirikan Negara Islam, kita
akan menyaksikan segera setelah itu mereka akan menghindar dan bungkam
seribu bahasa.
Di masa akhir-akhir ini, bahkan semakin banyak tokoh-tokoh Islam yang
menampakkan ketakutannya terhadap persoalan Negara Islam. Mantan Ketua
Umum PBNU, K.H. Abdurrahman Wahid misalnya, secara terus terang bahkan
mengatakan : “Musuh utama saya adalah Islam kanan, yaitu mereka yang
menghendaki Indonesia berdasarkan Islam dan menginginkan berlakunya
syari’at Islam”. (Republika, 22 September 1998, hal. 2 kolom 5).
Selanjutnya ia katakan : “Kita akan menerapkan sekularisme, tanpa
mengatakan hal itu sekularisme”.
Salah satu partai berasas Islam yang lahir di era reformasi ini,
malah tidak bisa menyembunyikan ketakutannya sekalipun dibungkus dalam
retorika melalui slogan gagah: “Kita tidak memerlukan negara Islam. Yang
penting adalah negara yang Islami”. Bahkan, dalam suatu pidato politik,
presiden partai tersebut mengatakan: “Bagi kita tidak masalah, apakah
pemimpin itu muslim atau bukan, yang penting dia mampu mengaplikasikan
nilai-nilai universal seperti kejujuran dan keadilan”.
Demikian besar ketakutan kaum muslimin terhadap isu negara Islam,
melebihi ketakutan orang-orang kafir dan sekuler, sampai-sampai mereka
tidak menyadari bahwa segala isme (faham) atau pun Ideologi di dunia ini
berjuang meraih kekuasaan untuk mendirikan negara berdasarkan isme atau
ideologi yang dianutnya.
Selama 32 tahun berkuasanya rezim Soeharto, sosialisasi tentang
Negara Islam Indonesia seakan terhenti. Oleh karena itu adanya bedah
buku atau pun terbitnya buku-buku yang mengungkapkan manipulasi sejarah
ini, merupakan perbuatan luhur dalam meluruskan distorsi sejarah yang
selama bertahun-tahun menjadi bagian dari khazanah sejarah bangsa.
Sejak berdirinya Republik Indonesia, rakyat negeri umumnya, telah
ditipu oleh penguasa, hingga saat sekarang. Umat Islam yang menduduki
jumlah mayoritas telah disesatkan pemahaman sejarah perjuangan Islam itu
sendiri. Sudah seharusnya, di masa reformasi ini, umat Islam menyadari
bahwa di Indonesia pernah ada suatu gerakan anak bangsa yang berusaha
membangun supremasi Islam, yaitu Negara Islam Indonesia yang berhasil
diproklamasikan, 7 Agustus 1949, dan berhasil mempertahankan
eksistensinya hingga 13 tahun lamanya (1949-1962). Namun rezim yang
berkuasa telah memanipulasi sejarah tersebut dengan seenaknya, sehingga
umat Islam sendiri tidak mengenal dengan jelas sejarah masa lalunya.
Sekarmaji Marijan Kartosuwiryo, adalah sebuah nama yang cukup
problematis dan kontroversial di negara Indonesia, dari dulu hingga saat
ini. Bahwa dia dikenal sebagai pemberontak, harus kita luruskan.Bukan
saja demi membetulkan fakta sejarah yang keliru atau sengaja
dikelirukan, tetapi juga supaya kezaliman sejarah tidak terus berlanjut
terhadap seorang tokoh yang seharusnya dihormati.
Semasa Orla berkuasa (1947-1949) yang merupakan puncaknya perjuangan
Negara Islam Indonesia, SM. Kartosuwiryo memang dikenal sebagai
pemberontak. Tetapi fakta yang sebenarnya adalah, Kartosuwiryo
sesungguhnya tokoh penyelamat bagi bangsa Indonesia, lebih dari apa yang
dilakukan oleh Soekarno dan tokoh tokoh nasionalis lainnya. Pada waktu
Soekarno bersama tentara Republik pindah ke Yogyakarta sebagai akibat
dari perjanjian Renville, yang menyebutkan bahwa wilayah Indonesia hanya
tinggal Yogya dan sekitamya saja, dan wilayah yang masih tersisa itu
pun, dipersengketakan antara Belanda dan Indonesia, sehingga pada waktu
itu nyaris Negara Kesatuan Republik Indonesia sudah tidak ada lagi. Dan
yang ada hanyalah negara-negara serikat, baik yang sudah terbentuk, atau
pun yang masih dalam proses melengkapi syarat-syarat kenegaraan.
Seperti Jawa Barat, ketika itu dianjurkan oleh Belanda supaya membentuk
Negara Pasundan, namun belum terbentuk sama sekali, karena belum adanya
kelengkapan kenegaraan.
Ketika segala peristiwa yang telah disebutkan di atas, menggelayuti
atmosfir politik Nusantara, pada saat itu Indonesia dalam keadaan vacuum
of power. Pada saat itulah, Soekarno memerintahkan semua pasukan untuk
pindah ke Yogyakarta berdasarkan perjanjian Renville. Guna memberi
legitimasi Islami, dan untuk rnenipu umat Islam Indonesia dalam
memindahkan pasukan ke Yogya, Soekarno telah memanipuiasi terminologi
al-Qur’an dengan menggunakan istilah “Hijrah” untuk menyebut pindahnya
pasukan Republik, sehingga nampak Islami dan tidak terkesan melarikan
diri. Namun S.M. Kartosuwiryo dengan pasukannya tidak mudah tertipu, dan
menolak untuk pindah ke Yogya. Bahkan bersama pasukannya, ia berusaha
mempertahankan wilayah jawa Barat, dan menamakan Soekarno dan pasukannya
sebagai pasukan liar yang kabur dari medan perang.
Jauh sebelum kemerdekaan, yaitu pada tahun 1930-an, istilah”hijrah”
sudah pernah diperkenalkan, dan dipergunakan.sebagai metode perjuangan
modern yang brillian oleh S.M. Kartosuwiryo, berdasarkan tafsirnya
terhadap sirah Nabawiyah. Ketika itu, pada tahun 1934 telah muncul dua
metode perjuangan yaitu cooperatif dan non cooperatif. Metode non
cooperatif, artinya tidak mau masuk ke dalam parlemen dan bekerja sama
dengan pemerintah Belanda namun bersifat pasif, tidak berusaha
menghadapi penguasa yang ada. Metode ini sebenamya dipengaruhi oleh
politik SWADESI, politik Mahatma Gandhi dari India. Lalu muncullah S.M.
Kartosuwiryo dengan metode Hijrah, sebuah metode yang berusaha membentuk
komunitas sendiri, tanpa kerjasama dan aktif, berusaha untuk melawan
kekuatan penjajah.
Akan tetapi, pada waktu itu, metode ini dikecam keras oleh Agus
Salim, karena menganggap S.M. Kartosuwiryo menerapkan metode hijrah ini
di dalam suatu masyarakat yang belum melek politik. Sehingga ia kemudian
berusaha menanamkan politik dan metode hijrah itu kepada anggota PSII
pada khususnya. Dengan harapan setelah memahami politik, mereka mau
menggunakan metode ini, karena paham politik sangat penting. Namun, Agus
Salim menolaknya, karena ia tidak setuju dengan politik tersebut.
Menurutnya rakyat atau anggota partai hanyalah boleh mengetahui masalah
mekanisme organisasi tanpa mengetahui konstelasi politik yang sedang
berlangsung, dan hanya elit pemimpin saja yang boleh mengetahui.
Sedangkan “hijrah” adalah berusaha menarik diri dari perdebatan politik,
kemudian berusaha membentuk barisan tersendiri dan berusaha dengan
kekuatansendiri untuk mengantisipasi sistem perjuangan yang tidak cukup
progresif dan tidak Islami. Faktor inilah yang menjadi awal perpecahan
PSII, yaitu melahirkan PSII Hijrah yang memakai metode hijrah dan PSII
Penyadar yang dipimpin Agus Salim.
Walaupun metode Hijrah, bagi sebagian tokoh politik saat itu,
terlihat mustahil untuk digunakan sebagai metode perjuangan, namun
ternyata dapat berjalan efektif pada tahun 1949 dengan terbentuknya
Negara Islam Indonesia yang diproklamasikan dibawah bendera
Bismillahirrahmaniirrahim. Sehingga pantaslah, jika kita tidak
memperhatikan rangkaian sejarah sebelumnya secara seksama, memunculkan
anggapan bahwa berdirinya Negara Islam Indonesia berarti adanya negara
di dalam negara, karena Proklamasi RI pada tahun 1945 telah lebih dahulu
dilakukan.
Namun sebenamya jika kita memahami sejarah secara benar dan adil,
maka kedudukan Negara Islam Indonesia dan RI adalah negara dengan
negara. Karena negara RI hanya tinggal wilayah Yogyakarta waktu itu,
sementara Negara Islam Indonesia berada di Jawa Barat dan mengalami
ekspansi (pemekaran) wilayah. Daerah Jawa Tengah, Kalimantan Selatan,
Sulawesi Selatan dan Aceh mendukung berdirinya Negara Islam Indonesia.
Dan dukungan itu bukan hanya berupa pernyataan atau retorika belaka,
tapi ikut bergabung secara revolusional. Barangkakali benar, bahwa
Negara Islam Indonesia adalah satu-satunya gerakan rakyat yang disambut
demikian meriah di beberapa daerah di indonesia.
Melihat sambutan yang gemilang hangat dari saudara muslim lainnya,
maka rezim Soekarno berusaha untuk menghambat tegaknya Negara Islam
Indonesia bersama A.H. Nasuion, seorang tokoh militer beragama Islam
yang dibanggakan hingga sekarang, tetapi ternyata mempumyai kontribusi
yang negatif dalam perkembangan Negara Islam Indonesia. Dia bersama
Soekarno berusaha menutupi segala hal yang memungkinkan S.M.
Kartosuwiryo dan Negara lslam Indonesia kembali terangkat dalam
masyarakat, seperti penyembunyian tempat eksekusi dan makam mujahid
Islam tersebut.
Nampaklah sekarang bahwa sebenarnya penguasa Orla dan Orba, telah
melakukan kejahatan politik dan sejarah sekaligus, yang dosanya sangat
besar yang rasanya sulit untuk dimaafkan. Mungkin bisa diumpamakan,
hampir sama dengan dosa syirik dalam pengertian agama, yang merupakan
dosa terbesar dalam Islam. Karena perilaku politik yang mereka
pertontonkan, telah menyesatkan masyarakat dalam memahami sejarah
perjuangan Islam di Indonesia dengan sebenarnya. Berbagai rekayasa
politik untuk memanipulasi sejarah telah dilakukan sampai hal yang
sekecil-kecilnya mengenai perjuangan serta pribadi S.M. Kartosuwiryo.
Seperti pengubahan data keluarganya, tanggal dan tahun lahirnya. Semua
itu ditujukan agar SMK dan Negara Islam Indonesia jauh dari ingatan
masyarakat.
Sekalipun demikian, S.M. Kartosuwiryo tidak berusaha membalas
tindakan dzalim pemerintah RI. Pernah suatu ketika Mahkamah Agung
(Mahadper) menawarkan untuk mengajukan permohonan grasi (pengampunan)
kepada presiden Soekarno, supaya hukuman mati yang telah dijatuhkan
kepadanya dibatalkan, namun dengan sikap ksatria ia menjawab,” Saya
tidak akan pernah meminta ampun kepada manusia yang bernama Soekarno”.
Kenyataan ini pun telah dimanipulasi. Menurut Holk H. Dengel dalam
bukunya berbahasa Jerman, dan dalam terjemahan Indonesia berjudul:
“Darul Islam dan Kartosuwiryo, Angan-angan yang gagal”, mengakui bahwa
telah terjadi manipulasi data sejarah berkenaan dengan sikap
Kartosuwiryo menghadapi tawaran grasi tersebut. Tokoh sekaliber
Kartosuwiryo tidak mungkin minta maaf, namun ketika kita baca dalam
terjemahannya yang diterbitkan oleh Sinar Harapan telah diubah
sebaliknya, bahwa Kartosuwiryo meminta ampun kepada Soekamo, dan kita
tahu Sinar Harapan adalah bagian dari kekuatan Kristen yang bahu
-membahu dengan penguasa sekuler dalam mendistorsi sejarah Islam.
Dalam majalah Tempo 1983, pernah dimuat kisah seorang petugas
eksekusi S.M. Kartosuwiryo, yang menggambarkan sikap ketidak pedulian
Kartosuwiryo atas keputusan yang ditetapkan Mahadper RI kepadanya. Ia
mengatakan bahwa 3 hari sebelum hukuman mati dilaksanakan, Kartosuwiryo
tertidur nyenyak, padahal petugas eksekusinya tidak bisa tidur sejak 3
hari sebelum pelaksanaan hukuman mati. Dari sinilah akhimya diketahui
kemudian dimana pusara Kartosuwiryo berada, yaitu di pulau Seribu.
Usaha untuk mengungkapkan manipulasi sejarah adalah sangat berat.
Satu di antara fakta sejarah yang dimanipulasi, adalah untuk mengungkap
kebenaran tuduhan teks proklamasi dan UUD Negara Islam Indonesia adalah
jiplakan dari proklamasi Soekarno-Hatta. Yang sebenamya terjadi justru
kebalikannya. Ketika Hiroshima dan Nagasaki di bom (6 – 9 Mei 1945) S.M.
Kartosuwiryo sudah tahu melalui berita radio, sehingga ia berusaha
memanfaatkan peluang ini untuk sosialisasi proklamasi Negara Islam
Indonesia. Ia datang ke Jakarta bersama pasukan Hisbullah dan
mengumpulkan massa guna mensosialisasikan kemungkinan berdirinya Negara
Islam Indonesia, dan rancangan konsep proklamasi Negara Islam lndonesia
kepada masyarakat. Sebagai seorang tokoh nasional yang pernah ditawari
sebagai menteri pertahanan muda yang kemudian ditolaknya, melakukan hal
ini tentu bukan perkara sulit. Salah satu di antara massa yang hadir
dalam pertemuan tersebut adalah Sukarni dan Ahmad Subarjo.
Mengetahui banyaknya dukungan terhadap sosialisasi ini, mereka
menculik Soekarno-Hatta ke Rengasdengklok agar mempercepat proklamasi RI
sehingga Negara Islam Indonesia tidak jadi tegak. Bahkan dalam bukunya,
Holk H. Dengel menyebutkan tanggal 14 Agustus 1945 Negara Islam
Indonesia telah di proklamirkan, tetapi yang sebenarnya baru sosialisasi
saja. Ketika di Rengasdengklok Soekamo menanyakan kepada Ahmad
Soebardjo, sebagaimana ditulis Mr. Ahmad Soebardjo dalam bukunya
“Lahirnya Republik Indonesia”.
Pertanyaan Soekarno itu adalah: “Masih ingatkah saudara, teks dari bab Pembukaan Undang-Undang Dasar kita?”
“Ya saya ingat, saya menjawab,”Tetapi tidak lengkap seluruhnya”.
“Tidak mengapa,” Soekarno bilang, “Kita hanya memerlukan kalimat-kalimat yang menyangkut Proklamasi dan bukan seluruh teksnya”.
Soekarno kemudian mengambil secarik kertas dan menuliskan sesuai
dengan apa yang saya ucapkan sebagai berikut : “Kami rakyat Indonesia
dengan ini menyatakan kemerdekaan”.
Jika kesaksian Ahmad Soebardjo ini benar, jelas tidak masuk akal,
karena kita tahu bahwa UUD 1945 baru disahkan dan disetujui tanggal 18
Agustus 1945 setelah proklamasi. Sehingga pertanyaan yang benar
semestinya adalah, “Masih ingatkah saudara akan sosialisasi proklamasi
Negara Islam Indonesia?” Maka wajarlah jika naskah Proklamasi RI yang
asli terdapat banyak coretan. Jelaslah bahwa ternyata Soekarno-Hatta
yang menjiplak konsep naskah proklamasi Negara Islam Indonesia, dan
bukan sebaliknya. Memang sedikit sejarawan yang mengetahui mengenai
kebenaran sejarah ini. Di antara yang sedikit itu adalah Ahmad Mansyur
Suryanegara, beliau pernah mengatakan bahwa S.M. Kartosuwiryo pernah
datang ke Jakarta pada awal Agustus 1945 bersama pasukan Hizbullah dan
Sabilillah.
“Sebenarnya, sebelum hari-hari menjelang proklamasi RI tanggal 17
Agustus 1945, Kartosuwiryo telah lebih dahulu menebar aroma deklarasi
kemerdekaan Islam, ketika kedatangannya pada awal bulan Agustus setelah
mengetahui bahwa perseteruan antara Jepang dan Amerika memuncak dan
menjadi bumerang bagi Jepang. Ia datang ke Jakarta bersama dengan
beberapa orang pasukan laskar Hisbullah, dan segera bertemu dengan
beberapa elit pergerakan atau kaum nasionalis untuk memperbincangkan
peluang yang mesti diambil guna mengakhiri dan sekaligus mengubah
determinisme sejarah rakyat Indonesia. Untuk memahami mengapa pada
tanggal 16 Agustus pagi Hatta dan Soekamo tidak dapat ditemukan di
Jakarta, kiranya Historical enquiry berikut ini perlu diajukan: Mengapa
Soekarno dan Hatta mesti menghindar begitu jauh ke Rengasdengklok
padahal Jepang memang sangat menyetujui persiapan kemerdekaan Indonesia?
Mengapa ketika Soebardjo ditanya Soekarno, apakah kamu ingat pembukaan
Piagam Jakarta? Mengapa jawaban yang diberikan dimulai dengan kami
bangsa Indonesia …? Bukankah itu sesungguhnya adalah rancangan
Proklamasi yang sudah dipersiapkan Kartosuwiryo pada tanggal 13 dan 14
Agustus 1945 kepada mereka? Pada malam harinya mereka telah dibawa oleh
para pemimpin pemuda, yaitu Soekarni dan Ahmad Soebardjo, ke garnisun
PETA di Rengasdengklok, sebuah kota kecil yang terletak di sebelah barat
kota Karawang, dengan dalih melindungi mereka bilamana meletus suatu
pemberontakan PETA dan HEIHO. Ternyata tidak terjadi suatu pemberontakan
pun, sehingga Soekamo dan Hatta segera menyadari bahwa kejadian ini
merupakan suatu usaha memaksa mereka supaya menyatakan kemerdekaan di
luar rencana pihak Jepang, tujuan ini mereka tolak. Laksamana Maida
mengirim kabar bahwa jika mereka dikembalikan dengan selamat maka dia
dapat mengatur agar pihak Jepang tidak menghiraukan bilamana kemerdekaan
dicanangkan. Mereka mempersiapkan naskah proklamasi hanya berdasarkan
ingatan tentang konsep proklamasi Islam yang dipersiapkan SM.
Kartosuwiryo pada awal bulan Agustus 1945. Maka, seingat Soekarni dan
Ahmad Soebardjo, naskah itu didasarkan pada bayang-bayang konsep
proklamasi dari S.M. Kartosuwiryo, bukan pada konsep pembukaan UUD 1945
yang dibuat oleh BPUPKI atau PPKI.” (Al Chaidar, Pengantar Pemikiran
Politik Proklamator Negara Islam Indonesia S.M. Kartosoewirjo, hal. 65,
Pen. Darul Falah, Jakarta).
Demikianlah, berbagai manipulasi sejarah yang ditimpakan kepada Darul
Islam dan pemimpinnya, sedikit demi sedikit mulai tersibak, sehingga
dengan ini diharapkan dapat membuka cakrawala berfikir dan membangun
kesadaran historis para pembaca. Lebih dari itu, upaya mengungkap
manipulasi sejarah Negara Islam Indonesia yang dilakukan semasa orla dan
orba oleh para sejarawan merupakan suatu keberanian yang patut
didukung, supaya pembaca mendapatkan informasi yang berimbang dari apa
yang selama ini berkembang luas.
dikutip dari http://www.dephan.go.id
0 Response to "Islam Indonesia"
Posting Komentar