Pedidikan dan Kesetaraan Gender (Makalah Tugas Kuliah)
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar
Belakang
Perkembangan ilmu pengetahuan dan
teknologi (IPTEK) telah mendorong kemajuan di semua bidang kehidupan termasuk
kemajuan dalam bidang teknologi informasi, telah membuka kesempatan bagi umat
manusia untuk akses terhadap informasi global yang mengakibatkan terjadinya
gejala dunia tanpa batas (borderless
world). Peristiwa yang terjadi di suatu belahan dunia dapat dengan mudah
dan cepat diketahui oleh masyarakat di belahan dunia lainnya, pergerakan dan
perkembangan ide di suatu tempat dapat dengan mudah diketahui bahkan diikuti
oleh masyarakat di bagian dunia lainnya. Demikian juga dengan masalah
kesenjangan gender, hal ini sudah menjadi isu kebijakan yang universal dan
telah menjadi suatu gerakan hampir di semua penjuru dunia, di mana dalam merumuskan
kebijaksanaan di berbagai negara harus mempertimbangkan aspek kesetaraan
gender.
Dalam
sejarah perkembangan pada sebagian besar belahan dunia, kesenjangan gender
belum dipermasalahkan karena seolah-olah menjadi hal yang sangat wajar dan
alamiah. Namun, akhir-akhir ini masalah gender menjadi isu kebijakan yang
semakin mencuat ke permukaan dan semakin mendapat tempat dalam pengambilan
keputusan pada lembaga-lembaga internasional seperti UNICEF, UNESCO, HAM dan
sebagainya, termasuk di beberapa negara. Kondisi ini menuntut agar semua
negara, termasuk Indonesia, memiliki komitmen yang kuat dalam memperjuangkan
peningkatan kesetaraan gender. Kesenjangan gender yang terjadi di sebagian
besar belahan dunia berlangsung dalam segala bidang, salah satunya yaitu di
bidang pendidikan.
Gejala kesenjangan gender di bidang
pendidikan terjadi lebih buruk pada negara-negara berkembang. Kesenjangan
antara laki-laki dan perempuan dalam mengakses lembaga-lembaga pendidikan,
sekolah atau lembaga pendidikan luar sekolah. Lebih dari itu, perempuan belum
mampu memainkan peran yang seimbang dibanding lawan jenisnya dalam proses
pengambilan keputusan di bidang pendidikan, baik melalui lembaga-lembaga resmi
maupun melalui keluarga. Akibat lebih jauh, perempuan belum dapat menikmati
hasil dan manfaat pendidikan untuk memberdayakan kehidupan mereka dibandingkan
dengan yang telah dicapai oleh laki-laki.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan
latar belakang di atas, maka secara umum yang akan menjadi pembahasan dalam
makalah ini adalah kesenjangan gender dalam dunia pendidikan, dengan sub
masalah sebagai berikut:
1.
Apa yang
dimaksud dengan kesenjangan?
2.
Apa yang
dimaksud dengan gender?
3.
Apa yang
dimaksud dengan pendidikan?
4.
Apa yang
menyebabkan terjadinya kesenjangan gender?
5.
Apa yang
dimaksud dengan kesenjangan gender di bidang pendidikan?
6.
Apa yang
dimaksud isu gender dalam pendidikan nasional?
7.
Apa saja
tujuan pembangunan pendidikan yang digenderkan?
8.
Mengapa
pendidikan penting bagi wanita Indonesia?
C. Tujuan
Adapun tujuan dari
penulisan makalah ini yaitu sebagai berikut:
1.
Untuk
menjelaskan tentang kesenjangan.
2.
Untuk menjelaskan
tentang gender.
3.
Untuk
menjelaskan tentang pendidikan.
4.
Untuk
mengetahui penyebab terjadinya kesenjangan gender.
5.
Untuk
menjelaskan tentang kesenjangan gender di bidang pendidikan.
6.
Untuk
menjelaskan tentang isu gender dalam pendidikan nasional.
7.
Untuk
mengetahui tujuan pembangunan pendidikan yang digenderkan.
8.
Untuk
mengetahui peran pendidikan bagi wanita Indonesia.
D. Manfaat
Adapun manfaat yang
ingin diperoleh dari makalah ini dapat dilihat dari dua manfaat yaitu:
1.
Manfaat
Teoritis
Makalah ini diharapkan dapat memberikan sumbangan
pemikiran bagi mahasiswa program studi pendidikan sosiologi mengenai materi
“Kesenjangan Gender dalam Dunia Pendidikan” dalam mata kuliah Sosiologi Gender.
2.
Manfaat
Praktis
a. Bagi Mahasiswa
Diharapkan dari
Pembuatan Makalah ini dapat menambah ilmu pengetahuan bagi mahasiswa pendidikan
sosiologi dalam melaksanakan tanggungjawabnya sebagai pendidik di masa dan menjadi bekal apabila menjadi guru sosiologi dikemudian hari.
b. Bagi Masyarakat
Diharapkan dari
Pembuatan makalah ini dapat memberikan pengetahuan bagi masyarakat dan kaum
awam mengenai berbagai macam kesenjangan gender yang terjadi di tengah-tengah
masyarakat, khususnya dalam dunia pendidikan, sehingga dapat menyiapkan cara
untuk mengantisipasi jika permasalahan tersebut terjadi.
BAB II
KAJIAN TEORI
A. Konsep
Kesenjangan Sosial
Kesenjangan sosial adalah suatu
keadaan ketidakseimbangan sosial yang ada dalam masyarakat yang menjadikan
suatu perbedaan yang sangat mencolok. (Alvin Christian, 2011:
http://alvinchristian7.blogspot.com)
Kesenjangan sosial sering kali kita
jumpai di lingkungan sekitar kita. Kesenjangan itu sendiri memiliki pengertian
suatu keadaan dimana terlihat perbedaan yang sangat mencolok. Contohnya,
kehidupan si miskin dan si kaya. Adanya ketidak pedulian terhadap sesama ini
dikarenakan adanya kesenjangan yang terlalu mencolok antara yang “kaya” dan yang
“miskin”. Banyak orang kaya yang memandang rendah kepada golongan bawah,
apalagi jika ia miskin dan juga kotor, jangankan menolong, sekedar melihat pun
mereka enggan.
B. Konsep Gender
Menurut Yanti Muhtar (dalam Ace
Suryadi dan Ecep Idris, 2010: 33), gender dapat diartikan sebagai jenis kelamin
sosial atau konotasi masyarakat untuk menentukan peran sosial berdasarkan jenis
kelamin.
Disebut
jenis kelamin sosial karena merupakan tuntutan masyarakat yang sudah menjadi
budaya dan norma sosial masyarakat yang membedakan peran jenis kelamin
laki-laki dan perempuan, walaupun tidak ada hubunngannya dengan kondisi
tampilan dan fungsi fisik yang secara kodrati memang ada perbedaan. Dengan demikian
dapat dikatakan bahwa gender merupakan jenis kelamin sosial, yang berbeda
dengan jenis kelamin biologis.
Pengertian gender, secara umum
mengacu kepada pemilahan peran sosial atau konstruksi sosial yang membedakan
peran antara laki-laki dan perempuan oleh etika budaya setempat yang dikaitkan
dengan pandangan kepantasan peran sosial menurut jenis kelamin secara biologis.
Pada dasarnya gender hanya merupakan persepsi masyarakat saja yang
mengonstruksikan peran sosial perempuan harus begini dan peran sosial laki-laki
harus begitu, sehingga kondisi ini tidak berlaku universal. Peran sosial antara
laki-laki dan perempuan untuk kondisi sosial budaya di daerah tertentu bisa
berbeda dengan daerah yang lain bahkan bisa berlaku sebaliknya.
C. Konsep
Pendidikan
Pengertian pendidikan dapat dilihat
dari berbagai sudut pandang. Pendidikan menurut pandangan orang Yunani adalah pedagogik, yaitu ilmu menuntun anak.
Orang Romawi melihat pendidikan sebagai educare,
yaitu mengeluarkan dan menuntun, tindakan merealisasikan potensi anak yang
dibawa waktu dilahirkan di dunia. Sedangkan orang Jerman melihat pendidikan
sebagai Erzeihung yang setara dengan educare, yakni membangkitkan kekuatan
terpendam atau mengaktifkan kekuatan/potensi anak.
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia
(dalam M. Syukri dan Marwati, 2010: 24), pendidikan berasal dari kata didik
(mendidik), yaitu: memelihara dan memberi latihan (ajaran, pimpinan) mengenai
akhlak dan kecerdasan pikiran. Sedangkan pendidikan mempunyai pengertian:
proses pengubahan sikap dan tata laku seseorang atau kelompok orang dalam usaha
mendewasakan manusia melalui upaya pengajaran dan latihan, proses perbuatan,
cara, mendidik.
Ahmed (dalam Nanang Martono, 2011:
195) mendefinisikan pendidikan sebagai suatu usaha yang dilakukan individu dan
masyarakat untuk mentransmisikan nilai-nilai, kebiasaan-kebiasaan dan
bentuk-bentuk ideal kehidupan mereka kepada generasi muda untuk membantu mereka
dalam meneruskan aktivitas kehidupan secara efektif dan berhasil.
Ki Hajar Dewantara (dalam M. Syukri
dan Marwati, 2010: 24) mengartikan pendidikan sebagai daya upaya untuk
memajukan budi pekerti, pikiran serta jasmani anak, agar dapat memajukan
kesempurnaan hidup yaitu hidup dan menghidupkan anak yang selaras dengan alam
dan masyarakat.
Sedangkan Mulyana (dalam Sofyan
Sauri, 2010: 27-28) berpendapat bahwa:
“Pendidikan sebagai wahana untuk
memanusiakan manusia terikat oleh dua misi penting, yakni hominisasi dan humanisasi.
Sebagai proses hominisasi, pendidikan berkepentingan untuk memposisikan manusia
sebagai makhluk yang memiliki keserasian dengan habitat ekologinya. Manusia
diarahkan untuk mampu memenuhi kebutuhan biologis seperti makan, minum,
sandang, tempat tinggal, perkerjaan, berkeluarga, dan kebutuhan biologis
lainnya dengan cara-cara yang baik dan benar. Dalam proses hominisasi seperti
itu, pendidikan dituntut mampu mengarahkan manusia pada cara-cara pemilihan dan
pemilahan nilai sesuai dengan kodrat biologis manusia. Pendidikan sebagai
proses humanisasi mengarahkan manusia untuk hidup sesuai dengan kaidah moral
karena hakikatnya manusia adalah makhluk yang bermoral.”
D. Faktor
Penyebab Kesenjangan Gender
Dalam model GAP, faktor-faktor
kesenjangan gender dikategorikan ke dalam empat aspek, yaitu akses,
partisipasi, kontrol dan manfaat. Namun tidak semua aspek tersebut dapat
dipaksakan untuk menjelaskan masing-masing kesenjangan gender yang terjadi
secara empiris dalam sektor pendidikan. Dengan kata lain faktor-faktor sebab
kesenjangan gender akan sangat tergantung dari situasinya masing-masing.
Faktor-faktor yang mempengaruhi
kesenjangan gender berkaitan dengan perolehan kesempatan belajar pada setiap
jenjang pendidikan, diantaranya:
a.
Perbedaan
angka partisipasi pendidikan di SD sudah mencapai titik optimal yang tidak
mungkin di atasi hanya dengan kebijakan pendidikan, sehingga perbedaan itu
menjadi semakin sulit ditekan ke titik yang lebih rendah lagi. Kesenjangan ini
lebih dipengaruhi faktor-faktor struktural karena fasilitas pendidikan SD sudah
tersebar relatif merata. Faktor-faktor struktural itu diantaranya adalah
nilai-nilai sosial budaya dan ekonomi keluarga yang lebih menganggap pendidikan
untuk anak laki-laki lebih penting. Faktor ini berlaku terutama di
daerah-daerah terpencil yang jarang penduduknya serta pada keluarga-keluarga berpendidikan
rendah yang mendahulukan pendidikan untuk anak laki-laki.
b.
Pada SLTP
dan SM, perbedaan angka partisipasi menurut gender lebih banyak terjadi pada
daerah-daerah yang masih kekurangan fasilitas pendidikan, terutama di
daerah-daerah pedesaan dan luar Jawa. Kesenjangan pendidikan di SLTP ke atas
relatif lebih kecil dipengaruhi oleh nilai-nilai sosial budaya dan ekonomi
keluarga karena siswa dan mahasiswa yang datang dari keluarga sosial ekonomi
tinggi sudah lebih besar proporsinya. Dengan demikian, pengadaan dan distribusi
sumber-sumber pendidikan SLTP, SM dan PT masih menjadi faktor penting untuk
mengurangi kesenjangan gender. (Ace Suryadi & Ecep Idris, 2010: 158-159)
Berkaitan dengan faktor-faktor yang
mempengaruhi kesenjangan gender berkaitan dengan kurikulum dan proses
pendidikan, dapat dikemukakan sebagai berikut:
a.
Partisipasi
perempuan dalam proses pengambilan keputusan pendidikan sangat rendah karena
aspek mereka juga rendah dalam menempati jabatan-jabatan birokrasi pemegang
kebijaksanaan. Proporsi kepala sekolah perempuan secara konsisten kecil
dibandingkan dengan laki-laki pada setiap jenjang pendidikan.
b.
Laki-laki
lebih dominan dalam mempengaruhi isi kurikulum sehingga proses pembelajaran
cenderung lebih bias laki-laki (male bias).
Gejala ini dapat diamati dari buku-buku
pelajaran yang sebagian besar penulisnya adalah laki-laki.
c.
Isi buku
pelajaran yang membahas status perempuan dalam masyarakat akan banyak
memberikan pengaruh terhadap kesenjangan gender dalam proses pendidikan. (Ace
Suryadi & Ecep Idris, 2010: 159-160)
Kesenjangan gender yang terjadi
dalam jurusan-jurusan keahlian atau kejuruan dalam sistem pendidikan nasional,
dipengaruhi oleh faktor-faktor berikut ini:
a.
Pengaruh faktor
struktural; yakni yang menyangkut nilai, sikap, pandangan dan perilaku
masyarakat yang secara dominan mempengaruhi keputusan keluarga untuk memilih
jurusan-jurusan yang lebih dianggap cocok untuk perempuan seperti perawat,
kesehatan, teknologi kerumahtanggaan, psikologi, guru sekolah dan sejenisnya
baik di pendidikan menengah maupun di pendidikan tinggi.
b.
Faktor
kesenjangan antar gender mengenai latar belakang pendidikan perempuan dan
laki-laki pada waktu yang lalu. Perempuan tertinggal jauh dalam memperoleh
kesempatan pendidikan sejak 20-25 tahun yang lalu, sehingga jenis-jenis
keahlian utama yang mendukung produktivitas industri lebih dikuasai laki-laki
sesuai dengan jurusan-jurusan atau program studi yang dipilih sejak pendidikan
menengah dan tinggi.
c.
Faktor
kebijaksanaan pendidikan, khususnya yang menyangkut sistem seleksi masuk ke
berbagai jurusan atau program studi dalam pendidikan.
d.
Faktor
kontrol dalam kebijaksanaan pendidikan jauh lebih dominan laki-laki, khususnya
dalam lembaga birokrasi di lingkungan pendidikan sebagai pemegang kekuasaan
atau kebijaksanaan, maupun dalam jabatan-jabatan akademis kependidikan sebagai
pemegang kendali pemikiran yang banyak mempengaruhi kebijaksanaan pendidikan.
(Ace Suryadi & Ecep Idris, 2010: 160-161)
BAB III
PEMBAHASAN
A. Kesenjangan
Gender dalam Dunia Pendidikan
Gambaran kesenjangan gender
dikelompokkan ke dalam tiga permasalahan dasar pendidikan, yaitu pemerataan,
kesempatan belajar pada semua jalur, jenjang dan jenis pendidikan, kurikulum
dan proses pendidikan, serta penjurusan dan program studi dalam pendidikan
nasional.
Dalam hal pemerataan kesempatan
belajar, beberapa kesenjangan dalam pendidikan menurut gender dapat diamati
sebagai berikut:
a.
Kesenjangan
dalam perolehan kesempatan pendidikan menurut gender pada setiap jenjang
pendidikan tahun 1998 sedikit berubah polanya dibandingkan dengan 30 tahun
lalu. Jika pada tahun 1969, keadaan menunjukkan bahwa semakin tinggi jenjang
pendidikan semakin besar perbedaannya menurut gender, maka pada tahun 1998
keadaan menjadi semakin berbeda. kesenjangan dalam angka partisipasi yang
terbesar justru terjadi di SD dan PT, sementara itu kesenjangan dalam angka
partisipasi relatif lebih kecil pada SLTP dan SM.
b.
Pada akhir
1960-an, ketimpangan gender dalam perolehan kesempatan pendidikan belum
dianggap sebagai hal yang luar biasa dan sehingga belum mengundang banyak
perhatian para pengamat dan pengelola pendidikan.
c.
Program
perluasaan pendidikan di SD sejak awal 1970-an berdampak cukup besar terhadap
perluasan kesempatan pendidikan pada jenjang di atasnya, dan oleh karena itu
kesempatan belajar semakin seimbang berdasarkan gender.
Semakin berkurangnya kesenjangan
angka partisipasi pendidikan itu tidak berarti bahwa persoalan gender dalam
pendidikan selesai. Pertimbangan jumlah enrolmen dan angka partisipasi hanyalah
gejala empiris yang lebih mudah diamati. Masih banyak gejala kesenjangan gender
yang justru lebih berbahaya tetapi sifatnya tidak kasat mata (latent gaps), khususnya menyangkut
sejumlah pendidikan dan pembelajaran.
a.
Sejumlah
gejala menunjukkan bahwa proses pembelajaran kurang sensitif gender dan bias
laki-laki. Laki-laki selalu ditempatkan dalam posisi yang lebih menentukan
misalnya dalam memimpin kelas, memimpin organisasi siswa, memimpin diskusi
kelompok, bertanya dan mengemukakan pendapat, dan sebagainya.
b.
Laki-laki
juga lebih banyak mengambil posisi yang lebih menentukan dalam pengelolaan
pendidikan baik dalam birokrasi pendididkan di daerah maupun dalam pengelolaan
satuan pendidikan. Hal ini ditunjukkan dengan lebih banyaknya laki-laki yang
menduduki jabatan struktural sejak tingkat pusat sampai dengan satuan
pendidikan.
c.
Walaupun
angka partisipasinya lebih rendah, perempuan lebih mampu bertahan ketimbang
laki-laki, karena angka bertahan (retention
rate) siswa perempuan ternyata lebih tinggi pada semua jenjang pendidikan.
Angka putus sekolah siswa perempuan selalu lebih kecil, khususnya pada SMU,
SMK, dan PT. Siswa perempuan juga lebih banyak yyang bisa menyelesaikan sekolah
sampai lulus dibandingkan dengan laki-laki, khususnya pada jenjang pendidikan
menengah dan tinggi. Angka kelulusan siswa perempuan dan mahasiswi selalu lebih
tinggi daripada laki-laki, terutama yang sangat menonjol pada SMU (94,1 % >
91,9 %), SMK (92,3 % > 84,8 %), dan PT (20,4 % > 14,7 %).
Ketidaksetaraan gender menjadi
semakin jelas terlihat dari gejala pengelompokan gender ke dalam jurusan,
bidang kejuruan atau bidang-bidang keahlian yang berbeda-beda menurut jenis
kelamin. Gejala ini berdampak buruk terhadap persaingan yang kurang sehat dalam
hubungan antargender yang mengakibatkan seluruh potensi peserta didik tidak
akan dikembangkan secara optimal.
a.
Laki-laki
lebih dominan dalam memilih jurusan dan mempelajari kemampuan atau keterampilan
dalam bidang-bidang kejuruan teknologi dan industri sehingga dengan jenis
keterampilan kejuruan yang dipelajarinya itu, laki-laki seolah-olah secara
khusus dipersiapkan untuk menjadi pemain utama dalam dunia produksi. Sementara
itu, perempuan lebih dipersiapkan untuk melaksanakan peran pembantu, misalnya
ketatausahaan dan teknologi kerumahtanggaan.
b.
Jumlah siswa
perempuan yang memilih jurusan IPA atau Matematika di SMU lebih kecil
proporsinya sehingga mereka lebih sulit untuk memasuki berbagai jurusan
keahlian di perguruan tinggi, misalnya dalam berbagai bidang teknologi dan
ilmu-ilmu keras (hard sciences). Pada
kedua jenis jurusan keahlian itu, proporsi mahasiswi hanya mencapai 19,8 %. Di
lain pihak mahasiswi lebih dominan dalam jurusan-jurusan keahlian terapan
bidang manajemen (57,7 %), pelayanan jasa dan transportasi (64,2 %), bahasa dan
sastra (58,6 %), serta psikologi (59,9 %).
c.
Pada lembaga
pendidikan tenaga kependidikan (LPTK) perempuan lebih dominan pada program
diploma yang menyiapkan guru SLTP ke bawah (68,2 %) dan program sarjana yang
menyiapkan guru sekolah menengah (55,7 %). Gejala ini menunjukkan, perempuan
lebih banyak yang dipersiapkan untuk menjadi guru pendidikan dasar dan
menengah. Keadaan ini juga ditunjukkan dengan jumlah seluruh guru perempuan (dari
TK sampai dengan SM) yang lebih besar (50,8 %) daripada jumlah guru laki-laki
(49,2 %). Sebaliknya, tenaga dosen di dominasi oleh laki-laki dengan proporsi
70 % pada berbagai tingkatan jabatan dosen di PT, dan semakin tinggi jabatan
dosen semakin kecil proporsi dosen perempuan.
d.
Kesenjangan
gender menurut jurusan, bidang kejuruan, dan program keahlian pendidikan ini
tercermin pula dalam proporsi pegawai negeri sipil (PNS). PNS perempuan hanya
menempati proporsi 35,4 %, dan semakin tinggi golongan jabatan semakin kecil
proporsi perempuannya. Hampir semua keahlian PNS dipegang oleh laki-laki
kecuali beberapa keahlian seperti farmasi (57,7 %), Bahasa dan Sastra (45 %),
dan Psikologi (61,1 %).
B. Isu Gender dalam Pendidikan Nasional
Isu gender dalam pendidikan
masing-masing berkaitan dengan tiga permasalahan pokok, yakni diantaranya:
a.
Isu gender
berkaitan dengan pemerataan kesempatan belajar
Isu gender
yang berkaitan dengan pemerataan kesempatan belajar pada setiap jenjang
pendidikan yakni:
1.
Perolehan
kesempatan pendidikan pada awal 1970-an menunjukkan bahwa semakin tinggi
jenjang pendidikan semakin lebar kesenjangan menurut gender. Pola ini berubah
pada waktu-waktu terakhir (2001) di mana kesenjangan gender paling besar
terjadi pada pendidikan dasar dan tinggi tetapi lebih seimbang pada SLTP dan
pendidikan menengah.
2.
Faktor-faktor
yang mempengaruhi kesenjangan gender di SD lebih disebabkan oleh faktor-faktor
struktural, yaitu perilaku masyarakat yang dipengaruhi oleh nilai-nilai sosial
budaya dan ekonomi keluarga, yang lebih mementingkan pendidikan anak laki-laki
ketimbang anak perempuan.
b.
Isu gender
berkaitan dengan proses pengelolaan pendidikan dan pembelajaran
Isu gender
berkaitan dengan permasalahan kesenjangan gender berkaitan dengan proses
pengelolaan pendidikan dan pembelajaran adalah sebagai berikut:
1.
Kurikulum
dan buku ajar yang belum berlandaskan pada peran gender secara seimbang akan
menyebabkan perempuan tidak mempunyai mentalitas sebagai warga masyarakat yang
produktif.
2.
Pengaruh
sosio-kultur masyarakat Indonesia masih menempatkan perempuan dalam posisi yang
kurang strategis dalam mengambil keputusan di bidang pendidikan dan
pembelajaran.
3.
Rendahnya angka
partisipasi perempuan dalam pendidikan akan mengakibatkan pendidikan menjadi
kurang efisien.
c.
Isu gender
berkaitan dengan pengelompokan siswa atau mahasiswa
Isu gender
berkaitan dengan pengelompokan siswa atau mahasiswa dalam bidang kejuruan,
jurusan keahlian dan program studi pada pendidikan menengah dan tinggi adalah
sebagai berikut:
1.
Dalam
pembagian jurusan dan program studi telah memunculkan gejala pemisahan gender (gender segregation) ke dalam bidang
keahlian dan pekerjaan yang berlainan. Ini adalah gejala diskriminasi gender
secara sukarela (voluntarily
discrimination). Hal ini muncul karena kondisi sosio-kultur masyarakat
terhadap peran-peran gender yang sudah terlembagakan.
2.
Penjurusan
pada pendidikan menengah dan tinggi menunjukkan masih terdapatnya stereotipe
dalam pendidikan di Indonesia.
3.
Terjadinya
diskriminasi gender dalam jurusan-jurusan atau program studi tertentu akan
mengakibatkan tidak berkembangnya pola persaingan sehat menurut gender.
4.
Mentalitas
para pengelola dan pelaksana pendidikan yang masih dominan laki-laki cenderung
akan mempertahankan kesenjangan gender dalam waktu yang lama.
C. Tujuan
Pembangunan Pendidikan yang Digenderkan
Dalam GBHN 1999 kebijaksaaan
pendidikan nasional dirumuskan secara umum atau dengan kata lain, tidak secara
eksplisit mencantumkan isu gender. Namun tujuan pendidikan seperti dikemukakan
dalam sasaran umum di atas, isu gender juga termasuk ke dalam substansi yang
diperhitungkan dalam kebijaksanaan pemerintah di sektor pendidikan.
Dalam rangka meningkatkan kesetaraan
gender dalam sistem pendidikan nasional, beberapa tujuan pendidikan yang perlu
digenderkan akan dirumuskan seperti di bawah ini:
1.
Mewujudkan
kesempatan pendidikan yang lebih luas pada semua jalur, jenis, dan jenjang
pendidikan dengan memperhatikan kesetaraan gender.
2.
Memacu
peningkatan mutu dan efisiensi pendidikan melalui pemberdayaan potensi
perempuan secara optimal baik dalam kedudukannya sebagai pengembang kurikulum,
penulis buku, pengelola pendidikan, pelaksana pendidikan maupun sebagai peserta
didik.
3.
Memperkecil
ketimpangan gender pada jurusan, bidang kejuruan atau program studi yang ada
pada jenjang pendidikan menengah dan tinggi untuk mewujudkan kesetaraan gender
dalam bidang keahlian profesionalisme.
Beberapa kebijakan sektor pendidikan
nasional perlu lebih dijabarkan ke dalam tujuan-tujuan yang lebih operasional
yang lebih berwawasan gender. Beberapa usul kebijaksanaan penyetaraan gender
dalam sektor pendidikan dikemukakan berikut ini.
1.
Meningkatkan
kesadaran gender bagi para pengelola pendidikan, khususnya pejabat daerah,
kepala sekolah dan guru dalam peran-peran gender yang lebih seimbang dalam
proses pendidikan di sekolah.
2.
Meningkatkan
peluang bagi perempuan untuk memasuki semua jenis dan jenjang pendidikan,
melalui penetapan sistem kuota (jatah), serta sistem subsidi (misalnya
beasiswa) untuk perempuan khususnya untuk program-program studi atau jurusan
yang bias laki-laki.
3.
Meningkatkan
kemampuan para pengembang kurikulum dan para penulis buku perempuan secara
lebih profesional, dan secara proporsional terhadap laki-laki.
4.
Meningkatkan
keseimbangan jumlah guru dan tenaga kependidikan menurut gender serta
partisipasi perempuan dalam kedudukannya sebagai pengambil keputusan di bidang
pengelolaan pendidikan nasional.
D. Perlunya
Pendidikan Bagi Gadis-gadis Indonesia
Alasan-alasan, mengapa gadis-gadis
Indonesia perlu sekali memperoleh pendidikan dapat disimpulkan sebagai berikut:
1.
Membuka
jalan bagi pendidikan anak yang direncanakan dan dilakukan secara sadar.
2.
Memperkembangkan
sifat-sifat hemat, rapi dan teratur dalam rumah tangga dan turut pula membantu
untuk mengurangi kecenderungan beranak banyak, ialah hal biasa melekat pada
rumah tangga kalangan bawahan.
3.
Merintangi
poligami dan perkawinan yang di satu pihak tidak diingini.
4.
Mengurangi
kematian dan penyakit di kalangan rakyat, karena wanita yang terdidik mau
menerima pengertian kebersihan.
5.
Membuat hidup
lebih nikmat dan membuat kaum pria yang maju lebih merasa kerasan di rumah.
BAB IV
PENUTUP
A. Kesimpulan
Kesenjangan sosial adalah suatu
keadaan ketidakseimbangan sosial yang ada dalam masyarakat yang menjadikan
suatu perbedaan yang sangat mencolok. Pengertian gender, secara umum mengacu
kepada pemilahan peran sosial atau konstruksi sosial yang membedakan peran
antara laki-laki dan perempuan oleh etika budaya setempat yang dikaitkan dengan
pandangan kepantasan peran sosial menurut jenis kelamin secara biologis.
Sedangkan pendidikan mempunyai pengertian: proses pengubahan sikap dan tata
laku seseorang atau kelompok orang dalam usaha mendewasakan manusia melalui
upaya pengajaran dan latihan, proses perbuatan, cara, mendidik.
Faktor-faktor yang menyebabkan
terjadinya kesenjangan gender dikategorikan ke dalam empat aspek, yaitu akses,
partisipasi, kontrol dan manfaat.
Akibat kesenjangan pendidikan
menurut gender, perempuan yang terdiri atas setengah penduduk dunia masih
merupakan segmen masyarakat yang belum diberdayakan sehingga kurang produktif.
|
B. Saran
Kesenjangan gender di bidang
pendidikan dianggap merupakan pelanggaran terhadap hak-hak asasi manusia yang
perlu dieliminasi melalui upaya-upaya yang sistematis dan terprogram, oleh
karena itu, setiap negara termasuk Indonesia, harus mencanangkan komitmennya
untuk mengurangi kesenjangan gender di bidang pendidikan. Komitmen tersebut
harus dipertegas di dalam kesepakatan Dakkar dalam bentuk sasaran-sasaran
kuantitatif yang harus dicapai dalam kurun waktu tertentu oleh setiap negara
agar mencapai kesetaraan gender dalam semua jenis jenjang pendidikan.
DAFTAR
PUSTAKA
Christian, Alvin. (2011). http://alvinchristian7.blogspot.com/2011/11/ kesenjangan-sosial.html
[diakses tanggal 27 September 2014, pukul 19.00 wib]
Martono, Nanang. (2011). Sosiologi Perubahan Sosial (Perspektif
Klasik, Modern, Posmodern, dan Poskolonial). Jakarta: PT RajaGrafindo
Persada.
Sauri, Sofyan. (2010). Merentas Pendidikan Nilai. Bandung: CV
Arfino Raya.
Subadio, Maria Ulfah, & Ihromi,
T.O. (1986). Peranan dan Kedudukan Wanita
Indonesia. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.
Suryadi, Ace, & Idris, Ecep.
(2010). Kesetaraan Gender dalam Bidang
Pendidikan. Bandung: PT Genesindo.
Syukri, M. & R. Marmawi. (2010).
Pengantar Pendidikan. Pontianak:
STAIN Pontianak Press.
Diposkan
oleh Sulistyo Rini di 20.04
3 Maret 2022 pukul 15.02
Caesars casino accepting player-to-player payments - DRMCD
Caesars 세종특별자치 출장안마 Entertainment Corp. 삼척 출장안마 expects to generate 진주 출장마사지 an estimated $4.3 billion in revenue in 2021, the 세종특별자치 출장샵 company 성남 출장샵 announced Tuesday.