Tugas Kuliah (Ichlas M.Pd)
HUBUNGAN
PENDIDIKAN DAN KEKUASAAN PADA MASA PENJAJAHAN DAN KEMERDEKAAN
A. Pendahuluan
Sejak tahun 60-an Bereday mengemukakan mengenai krisis pendidikan di dunia
karena meledaknya tuntutan untuk memperoleh pendidikan dari negara-negara yang
baru merdeka. Pengamatan seorang ahli sosiologi dan pendidikan sebelum PD II
memaparkan bahwa pendidikan akan merupakan dinamit dalam revolusi kemerdekaan dari
negara-negara terjajah.
Dewasa ini pendidikan di negara-negara berkembang mengalami revolusi. Bukan
hanya pendidikan merupakan kewajiban dari pemerintah yang diakui sebagai salah
satu hak asasi manusia tetapi telah merupakan suatu tuntutan dari setiap negara
modern. Kewajiban belajar telah merupakan suatu keputusan bersama umat manusia
(education for all) dan tuntutan tersebut bukan hanya merupakan tuntutan
formal, tetapi juga tuntutan perubahan yang radikal dari isi dan proses dalam
lembaga-lembaga pendidikan formal tersebut.
Di Indonesia perjuangan kemerdekaan yang dimulai oleh kaum terpelajar pada
tahun 1908 hingga hadirnya kemerdekaan pada tahun 1945. kita mengenal dengan
kepeloporan mahasiswa yang telah merobek-robek kekuatan diktator, baik pada zaman
Orde Lama maupun Orde Baru. Gerakan pembaharuan mahasiswa telah merubah wajah
negara dari totaliter menuju demokratis. Dalam bidang pendidikan nonformal kita
melihat perubahan wajah dari bentuknya sebagai kursur-kursus yang berdiri
sendiri menjadi lembaga-lembaga pelatihan yang diarahkan pada pemenuhan
kebutuhan tenaga kerja terampil.
Terdapat kaitan yang erat antara kekuasaan dan pendidikan. Kekuasaan
mempunyai tempat dalam ruang dan proses pendidikan. Justru karena adanya
kekuasaan itulah terjadi proses pendidikan. Proses pendidikan yang sebenarnya
adalah proses pembebasan dengan jalan memberikan peserta didik suatu kesadaran
akan kemampuan kemandirian.
Pengertian kekuasaan dalam pendidikan ternyata mempunyai konotasi yang
berbeda dengan pengertian kekuasaan sebagaiman kita lihat sehari-hari.
Kekuasaan di dalam pendidikan dapat dibedakan dalam dua jenis, yaitu 1)
kekuasaan yang transformatis; 2) kekuasaan yang berfungsi sebagai transmitif.
Kekuasaan transformatif tujuannya ialah dalam proses terjadinya hubungan
kekuasaan tidak ada bentuk subordinasi antara subjek dengan subjek yang lain.
Kekuasaan yang transformatif bahkan membangkitkan refleksi, dan refleksi
tersebut menimbulkan aksi. Orientasi yang terjadi adalam aksi tersebut
merupakan orientasi yang advokatif.
Sedangkan proses kekuasan sebagai transmitif terjadi proses tranmisi yang
diinginkan oleh subjek yang memegang kekuasaan terhadap subjek yang terkena
kekuasaan itu sendiri. Orientasi kekuasan ini lebih bersifat orientasi
legitimatif. Dengan demikian, yang terjadi dalam proses pelaksanaan kekuasaan
adalah suatu aksi dari subjek yang bersifat robotik karena sekedar menerima
atau dituangkan sesuatu ke dalam bejana subjek yang bersangkutan. Inilah yang
disebut Paulo Freire sebagai proses sistem bank (banking system). Fakta ini
didukung dengan keberadaan Sistem Pendidikan Nasional yang kita miliki dengan
berbagai intervensi dan rekayasa yang terjadi. Dan yang ada adalah bagaimana
kekuasaan dapat dilanggengkan.
B. Pembahasan
1.
Pendidikan
Pada Masa Penjajahan
Pendidikan selama penjajahan Belanda dapat dipetakan kedalam 2 (dua)
periode besar, yaitu pada masa VOC (Vereenigde Oost-indische Compagnie) dan
masa pemerintah Hindia Belanda (Nederlands Indie). pada masa VOC, yang merupakan
sebuah kongsi (perusahaan) dagang, kondisi pendidikan di Indonesia dapat
dikatakan tidak lepas dari maksud dan kepentingan komersial.
2.
Masa VOC
(Kompeni)
Orang belanda datang ke indonesia bukan untuk menjajah melainkan untuk
berdagang. Mereka di motifasi oleh hasrat untuk mengeruk keuntungan yang
sebesar-besarnya, sekalipun harus mengarungi laut yang berbahaya sejauh ribuan
kilometer dalam kapal layar kecil untuk mengambil rempah-rempah dari indonesia.
Namun pedagang itu merasa perlunya memiliki tempat yang permanen di daratan
dari pada berdagang dari kapal yang berlabuh di laut. Kantor dagang itu
kemudian mereka perkuat dan persenjatai dan menjadi benteng yang akhirnya
menjadi landasan untuk menguasai daerah di sekitarnya. Lambat laun kantor dagang
itu beralih dari pusat komersial menjadi basis politik dan teritorial. Setelah
peperangan kolonial yang banyak akhirnya indonesia jatuh seluruhnya di bawah
pemerintahan belanda. Namun penguasaan daerah jajahan ini baru selesai pada
permulaan abad ke 20.
Metode kolonialisasi belanda sangat sederhana. Mereka mempertahankan
raja-raja yang berkuasa dan menjalankan pemerintahan melalui raja-raja itu akan
tetapi menuntut monopoli hak berdagang dan eksploitasi sumber-sumber alam. Adat
istiadat dan kebudayaan asli dibiarkan tanpa perubahan aristokrasi tradisional
digunakan oleh belanda untuk memerintah negri ini dengan cara efisien dan
murah. Oleh sebab belanda tidak mencampuri kehidupan orang Indonesia secara
langsung, maka sangat sedikit yang mereka perbuat untuk pendidikan bangsa.
Kecuali usaha menyebarkan agama mereka di beberapa pulau di bagian timur
Indonesia. Kegian pendidikan pertama yang dilakukan VOC.
Pada permulaan abad ke 16 hampir se abad sebelum kedatangan belanda,
pedagang portugis menetap di bagian timur Indonesia tempat rempah-rempah itu di
hasilkan. Biasanya mereka didampingi oleh misionaris yang memasukkan penduduk
kedalam agama katolik yang paling berhasil tiantara mereka adalah Ordo Jesuit
di bawah pimpinan Feranciscus Xaverius. Xaverius memandang pendidikan sebagai
alat yang ampuh untuk penyebaran agama. Seminari dibuka di ternate, kemudian di
solor dan pendidikan agama yang lebih tinggi dapat diperoleh di Goa, India,
pusat kekuasaan portugis saat itu. Bahasa portugis hamper sama populernya
dengan bahasa melayu, kedudukan yang tak kunjung di capai oleh bahasa Belanda
dalam waktu 350 tahun penjajahan kekuasaan portugis melemah akibat peperangan
denngan raja-raja Indonesia dan akhirnya dilenyapkan oleh belanda pada tahun
1605.
3.
Masa Pemerintahan
Hindia Belanda
Setelah VOC dibubarkan, para Gubernur/komisaris jendral harus memulai
sistem pendidikan dari dasarnya, karena pendidikan zaman VOC berakhir dengan
kegagalan total. Pemerintahan baru yang diresapi oleh ide-ide liberal aliran
aufklarung atau Enlightenment (pencerahan) menaruh kepercayaan akan pendidikan
sebagai alat untuk mencapai kemajuan ekonomi dan sosial.
Setelah ambruknya VOC tahun 1816 pemerintah Belanda menggantikan kedudukan
VOC. Statua Hindia Belanda tahun 1801 dengan terang-terangan menyatakan bahwa
tanah jajahan harus memberikan keuntungan yang sebesar-besarnya kepada
perdagangan dan kepada kekayaan negeri Belanda.
Secara formil, pemerintah Hindia Belanda telah mendirikan beberapa sekolah
di Jawa sejak kepemimpinan Daendels, yaitu sekolah artileri (1806) di
Jatinegara, sekolah pelayaran (1808) di Semarang, sekolah bidan (1809) di
Jakarta, dan sekolah seni tari (1809) di Cirebon. Daendels ini juga dikenal
sebagai tokoh pertama yang menginstruksikan para bupati agar mengusahakan
pendirian sekolah-sekolah bagi remaja-remaja pribumi. Janssens yang
menggantikan Daendels juga meneruskan kebijakan yang serupa di bidang
pendidikan. Tetapi usahanya terinterupsi dengan kekalahan militer dan politik
dari kerajaan Inggris. Hindia Belanda selanjutnya dikelola oleh Inggris di
bawah Raffles. Secara kelembagaan formal, Inggris tidaklah menaruh perhatian
besar kepada dunia pendidikan bagi kaum pribumi. Hanya saja, mereka tergolong
sangat berminat melakukan eksplorasi ilmiah yang kemudian menghasilkan
karya-karya intelektual yang cukup monumental, antara lain: History of Java
karya Raffles, sejarah Sumatera, kamus Melayu dan pelajaran bahasa Melayu yang
merupakan karya-karya Marsden, Java Government Gazette yang memuat ilmu
pengetahuan tentang daerah dan penduduk, hasil kajian botani oleh Horsfield,
dan juga kajian kepemilikan tanah di Jawa oleh Colin Mackenzie. Karya-karya
tersebut memberi kontribusi signifikan bagi dunia ilmu pengetahuan sekaligus
menjadi penanda khusus masa lima tahun (1811-1816) kekuasaan Inggris di
Indonesia. Masa pemulihan kekuasaan Belanda pasca pendudukan Inggris menjadi
titik tolak baru bagi perkembangan lebih maju dunia pendidikan di Indonesia.
Pada masa ini, pendidikan bagi pribumi kembali dirasa penting guna menopang
operasionalisasi pemerintahan Hindia Belanda. Gubernur Jenderal Van den Bosch
(1829-1834) yang dikenal sebagai penggagas Cultuurstelsel tercatat pernah
menerbitkan edaran agar didirikan sekolah dasar negeri di tiap karesidenan atas
biaya Bijbelgenootschap (persekutuan Injil) tahun 1831. Tetapi kurang beroleh
tanggapan karena menyelisihi prinsip netral sikap pemerintah dalam soal agama.
Baru kemudian tahun 1848, dengan keluarnya Keputusan Raja, diinstruksikan untuk
mendirikan sekolah-sekolah pribumi dengan pembiayaan sebesar f. 25.000 setahun
yang dibebankan kepada pemerintah Hindia Belanda untuk mendidik para calon
pegawai negeri. Sejak itulah berdiri dan berkembang sekolah-sekolah dari
tingkat dasar dan lanjutan hingga tinggi yang memperkenankan golongan pribumi
(aristokrat) untuk turut menikmati pendidikan. Untuk mengurusi pendidikan,
agama dan kerajinan, pemerintah Hindia Belanda juga telah membentuk departemen
khusus pada tahun 1867. Perkembangan ini kemudian sempat mengalami kemunduran
karena krisis ekonomi dunia (malaise) yang berlangsung hampir satu dekade
(1883-1892).
Perkembangan pendidikan di Indonesia mendapati tahapan barunya menjadi
lebih progresif ketika memasuki tahun 1900, yakni era Ratu Juliana berkuasa di
kerajaan Belanda. Van Deventer yang menjabat sebagai Gubernur Jenderal Hindia
Belanda menerapkan politik etis (Etische Politiek) pada tahun 1899 dengan motto
“de Eereschuld” (hutang kehormatan) dan slogan “Educatie, Irigatie, Emigratie”.
Prinsip-prinsip atau arah etis (etische koers) yang diterapkan di bidang
pendidikan pada masa ini adalah: (1) Pendidikan dan pengetahuan Barat
diterapkan sebanyak mungkin bagi pribumi. Bahasa Belanda diupayakan menjadi
bahasa pengantar pendidikan; (2) Pendidikan rendah bagi pribumi disesuaikan
dengan kebutuhan mereka. Sistem pendidikan pada masa ini belum lepas dari pola
stratifikasi sosial yang telah ada, dan beroleh pengesahan legal sejak tahun
1848 dari penguasa kolonial. Dalam stratifikasi resmi tersebut dinyatakan bahwa
penduduk dibagi kedalam 4 (empat) golongan: (1) Golongan Eropa; (2) Golongan
yang dipersamakan dengan Eropa; (3) Golongan Bumiputera; dan (4) Golongan yang
dipersamakan dengan Bumiputera. Tahun 1920, rumusan ini mengalami revisi
menjadi seperti berikut ini: (1) Golongan Eropa; (2) Golongan Bumiputera; dan
(3) Golongan Timur Asing. Perlu dicatat bahwa untuk golongan pribumi
(bumiputera), secara sosial terstratifikasi sebagai berikut: (1) Golongan
bangsawan (aristokrat) dan pemimpin adat; (2) Pemimpin agama (Ulama); dan (3)
Rakyat biasa.
Secara umum, sistem pendidikan di Indonesia pada masa penjajahan Belanda
sejak diterapkannya Politik Etis dapat digambarkan sebagai berikut: (1)
Pendidikan dasar meliputi jenis sekolah dengan pengantar Bahasa Belanda (ELS,
HCS, HIS), sekolah dengan pengantar bahasa daerah (IS, VS, VgS), dan sekolah
peralihan. (2) Pendidikan lanjutan yang meliputi pendidikan umum (MULO, HBS,
AMS) dan pendidikan kejuruan.
Politik pendidikan kolonial erat hubungannya dengan politik mereka pada
umumnya, suatu politik yang didominasi oleh golongan yang berkuasa dan tidak
didorong oleh nilai-nilai etis dengan maksud untuk membina kematangan politik
dan kemerdekaan tanah jajahannya. Berhubungan dengan sikap itu dapat kita lihat
sejumlah ciri politik dan prakti pendidikan tertentu.
Menurut Prof. Dr. S. Nasution mengemukakan enam ciri umum politik
pendidikan Belanda, yaitu:
1. Dualisme
Dualisme dalam pendidikan dengan adanya sekolah untuk anak Belanda dan
untuk yang tak berada, sekolah yang memberi kesempatan melanjutkan dan tidak memeberi
kesempatan.
2. Gradualisme
Gradualisme dengan mengusahakan pendidikan rendah yang sederhana mungkin
bagi anak Indonesia dan memperlambat lahirnya sekolah untuk anak Indonesia.
3. Prinsip
Konkordansi
Prinsip yang memaksa semua sekolah berorientasi barat mengikuti model
sekolah Nederland dan menghalangi penyesuaiannya dengan keadaan Indonesia.
4. Control
sentral yang kuat
Yang menciptakan birokrasi yang ketat yang hanya memungkinkan perubahan
kurikulum dengan persetujuan para pembesar di Indonesia maupun di negeri
Belanda.
5.
Tidak adanya
perencanaan pendidikan yang sistematis
Menyebabkan pemerintah mengadakan percobaan dengan berbagai macam sekolah
menurut keadaan zaman.
6.
Pendidikan
pegawai sebagai tujuan utama sekolah.
7. Penyelenggaraan dan penerimaan murid didasarkan
atas kebutuhan pemerintah Belanda dalam tenaga kerja.
Beberapa prinsip yang oleh pemerintah Belanda diambil sebagai dasar
kebijakannya di bidang pendidikan antara lain:
1.
Menjaga jarak atau tidak memihak salah satu agama
tertentu;
2.
Memperhatikan keselarasan dengan lingkungan sehingga
anak didik kelak mampu mandiri atau mencari penghidupan guna mendukung
kepentingan kolonial;
3.
Sistem pendidikan diatur menurut pembedaan lapisan
sosial, khususnya yang ada di Jawa.
Pendidikan diukur dan diarahkan untuk melahirkan kelas elit masyarakat yang
dapat dimanfaatkan sebagai pendukung supremasi politik dan ekonomi pemerintah
kolonial. Jadi secara tidak langsung, Belanda telah memanfaatkan kelas
aristokrat pribumi untuk melanggengkan status quo kekuasaan kolonial di
Indonesia.
C. Pendidikan Pada Masa Kemerdekaan
1.
Masa Orde
Lama
Tidak jauh berbeda setelah masa kemerdekaan, pendidikan di masa
pascakolonial melahirkan beberapa hal diantaranya:
a) Terdapat banyak
sikap hidup yang bisu dan kelu. Kebudayaan bisu dan budaya pedagogi yang hanya
mengandalkan memori otak sehingga menjadikan sekolah hanya sebagai tempat untuk
mendengarkan guru ceramah tanpa siswa diberikan kesempatan untuk berpikir
kritis. Pada saat ini siswa tidak memiliki pilihan untuk tidak mengikuti metode
ceramah ini, karena guru diposisikan sebagai subjek sentral yang harus
dihormati oleh murid.
b) Penduduk
dipinggiran kota (di kampung-kampung kumuh) ternyata belum mampu berkembang dan
belum dapat diikutsertakan dalam proses pendidikan.
c) Model
sekolah yang mengikuti model barat ternyata belum hilang bekas-bekas
pengaruhnya dalam mengalami kegagalan.
d) Di
sekolah-sekolah, bahasa ibu (bahasa daerah asli) didiskualifikasi secara
sistematis, diganti dengan bahasa intelektual dan artifisial penguasa di bidang
politik.
e) Kaum elit
dan intelektual yang mendapatkan pendidikan dari luar negeri ternyata tidak
akrab dengan masyarakat pribumi.
Oleh karena itu, secara garis besar pendidikan di awal kemerdekaan
diupayakan untuk dapat menyamai dan mendekati sistem pendidikan di
negara-negara maju, khususnya dalam mengejar keserbaterbelakangan di berbagai
sektor kehidupan.
Secara umum pendidikan orde lama sebagai wujud interpretasi pasca
kemerdekaan di bawah kendali kekuasaan Soekarno cukup memberikan ruang bebas
terhadap pendidikan. Pemerintahan yang berasaskan sosialisme menjadi rujukan
dasar bagaimana pendidikan akan dibentuk dan dijalankan demi pembangunan dan
kemajuan bangsa Indonesia di masa mendatang. Pada prinsipnya konsep sosialisme
dalam pendidikan memberikan dasar bahwa pendidikan merupakan hak semua kelompok
masyarakat tanpa memandang kelas sosial. Pada masa ini Indonesia mampu
mengekspor guru ke negara tetangga, dan banyak generasi muda yang disekolahkan
di luar negeri dengan tujuan agar mereka kelak dapat kembali ke tanah air untuk
mengaplikasikan ilmu yang telah mereka dapat. Tidak ada halangan ekonomis yang
merintangi seseorang untuk belajar di sekolah, karena diskriminasi dianggap
sebagai tindakan kolonialisme. Pada saat inilah merupakan suatu era di mana
setiap orang merasa bahwa dirinya sejajar dengan yang lain, serta setiap orang
memiliki hak untuk mendapatkan pendidikan.
Orde lama berusaha membangun masyarakat sipil yang kuat, yang berdiri di
atas demokrasi, kesamaan hak dan kewajiban antara sesama warga negara, termasuk
dalam bidang pendidikan. Sesungguhnya, inilah amanat UUD 1945 yang menyebutkan
salah satu cita-cita pembangunan nasional adalah mencerdaskan kehidupan bangsa.
Banyak pemikir-pemikir yang lahir pada masa itu, sebab ruang kebebasan
betul-betul dibuka dan tidak ada yang mendikte peserta didik. Tidak ada nuansa
kepentingan politik sektoral tertentu untuk menjadikan pendidikan sebagai alat
negara maupun kaum dominan pemerintah. Seokarno pernah berkata: “…sungguh
alangkah hebatnya kalau tiap-tiap guru di perguruan taman siswa itu satu
persatu adalah Rasul Kebangunan! Hanya guru yang dadanya penuh dengan jiwa
kebangunan dapat ‘menurunkan’ kebangunan ke dalam jiwa sang anak,”
Dari perkataan Soekarno itu sangatlah jelas bahwa pemerintahan orde lama
menaruh perhatian serius yang sangat tinggi untuk memajukan bangsanya melalui
pendidikan.
Di bawah menteri pendidikan Ki Hadjar Dewantara dikembangkan pendidikan
dengan sistem “among” berdasarkan asas-asas kemerdekaan, kodrat alam,
kebudayaan, kebangsaan, dan kemanuasiaan yang dikenal sebagai “Panca Dharma
Taman Siswa” dan semboyan “ing ngarso sung tulodho, ing madyo mangun karso, tut
wuri handayani” pada 1950 diundangkan pertama kali peraturan pendidikan
nasional yaitu UU No. 4/1950 yang kemudian disempurnakan (jo) menjadi UU No.
12/1954 tentang dasar-dasar pendidikan dan pengajaran di sekolah. Pada 1961
diundangkan UU No. 22/1961 tentang Pendidikan Tinggi, dilanjutkan dengan UU
No.14/1965 tentang Majelis Pendidikan Nasional, dan UU No. 19/1965 tentang
Pokok-Pokok Sitem Pendidikan Nasional Pancasila. Pada masa akhir pendidikan
Presiden.
D. Masa Orde Baru
Orde baru berlangsung dari tahun 1968 hingga 1998, dan dapat dikatakan
sebagai era pembangunan nasional. Dalam bidang pembangunan pendidikan,
khususnya pendidikan dasar, terjadi suatu loncatan yang sangat signifikan
dengan adanya Instruksi Presiden (Inpres) Pendidikan Dasar. Namun, yang disayangkan
adalah pengaplikasian inpres ini hanya berlangsung dari segi kuantitas tanpa
diimbangi dengan perkembangan kualitas. Yang terpenting pada masa ini adalah
menciptakan lulusan terdidik sebanyak-banyaknya tanpa memperhatikan kualitas
pengajaran dan hasil didikan.
Pelaksanaan pendidikan pada masa orde baru ternyata banyak menemukan
kendala, karena pendidikan orde baru mengusung ideologi “keseragaman” sehingga
memampatkan kemajuan dalam bidang pendidikan. EBTANAS, UMPTN, menjadi seleksi
penyeragaman intelektualitas peserta didik. Selain itu, masa ini juga diwarnai
dengan ideologi militeralistik dalam pendidikan yang bertujuan untuk
melanggengkan status quo penguasa. Pendidikan militeralistik diperkuat dengan
kebijakan pemerintah dalam penyiapan calon-calon tenaga guru negeri.
Pada pendidikan orde baru kesetaran dalam pendidikan tidak dapat diciptakan
karena unsur dominatif dan submisif masih sangat kental dalam pola pendidikan
orde baru. Pada masa ini, peserta didik diberikan beban materi pelajaran yang banyak
dan berat tanpa memperhatikan keterbatasan alokasi kepentingan dengan
faktor-faktor kurikulum yang lain untuk menjadi peka terhadap lingkungan.
Beberapa hal negatif lain yang tercipta pada masa ini adalah:
1.
Produk-produk pendidikan diarahkan untuk menjadi
pekerja. Sehingga, berimplikasi pada hilangnya eksistensi manusia yang hidup
dengan akal pikirannya (tidak memanusiakan manusia).
2.
Lahirnya kaum terdidik yang tumpul akan kepekaan
sosial, dan banyaknya anak muda yang berpikiran positivistik
3.
Hilangnya kebebasan berpendapat.
Pemerintahan Orde Baru yang dipimpin Soeharto mengedepankan moto “membangun
manusia Indonesia seutuhnya dan masyarakat Indonesia”. Pada tahun
1969-1970 diadakan Proyek Penilaian Nasional Pendidikan (PPNP) dan menemukan
empat masalah pokok dalam pendidikan di Indonesia: pemerataan, mutu, relevansi,
dan efisiensi pendidikan. Dan hasilnya digunakan untuk membentuk Badan
Penelitian dan Pengembangan Pendidikan dan Kebudayaan (BP3K). Pada masa orde
baru dibentuk BP-7 yang menjadi pusat pengarus utamaan (mainstreaming)
pancasila dan UUD 1945 dengan produknya mata ajar Pendidikan Moral Pancasila
(PMP) dan penataran P-4. Ditahun 1980 mulai timbul masalah pendidikan di
Indonesia. Salah satunya adalah “pengangguran terdidik”. Depdiknas di bawah Menteri
Wardiman Djojohadiningrat (kabinet pembangunan VI) mengedepankan wacana
pendidikan “link and match” sebagai upaya untuk memperbaiki pendidikan
Indonesia pada masa itu.
E. Masa Reformasi
Era reformasi telah memberikan ruang yang cukup besar bagi perumusan
kebijakan-kebijakan pendidikan baru yang bersifat reformatif dan revolusioner.
Bentuk kurikulum menjadi berbasis kompetensi. Begitu pula bentuk pelaksanaan
pendidikan berubah dari sentralistik (orde lama) menjadi desentralistik. Pada
masa ini pemerintah menjalankan amanat UUD 1945 dengan memprioritaskan anggaran
pendidikan sekurang-kurangnya 20% dari anggaran pendapatan belanja negara.
Dengan didasarkan oleh UU No. 22 tahun 1999 tentang pemerintahan daerah,
yang diperkuat dengan UU No. 25 tahun 1999 tentang perimbangan keuangan pusat
dan daerah, maka pendidikan digiring pada pengembangan lokalitas, di mana
keberagaman sangat diperhatikan. Masyarakat dapat berperan aktif dalam
pelaksanaan satuan pendidikan.
Pendidikan di era reformasi 1999 mengubah wajah sistem pendidikan Indonesia
melalui UU No 22 tahun 1999, dengan ini pendidikan menjadi sektor pembangunan
yang didesentralisasikan. Pemerintah memperkenalkan model “Manajemen Berbasis
Sekolah”. Sementara untuk mengimbangi kebutuhan akan sumber daya manusia yang
berkualitas, maka dibuat sistem “Kurikulum Berbasis Kompetensi”.
Memasuki tahun 2003 pemerintah membuat UU No.20 tahun 2003 tentang sistem
pendidikan nasional menggantikan UU No 2 tahun 1989., dan sejak saat itu
pendidikan dipahami sebagai: “usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan
suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif
mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan,
pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan
yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan Negara.”
Mendiknas kabinet bersatu Bambang Sudibyo memperkenalkan beberapa inovasi
penting bagi daerah yang berhasil melaksanakan pembangunan pendidikan,
mengelola pengadaan buku untuk sekolah, dan mengembangkan wajib belajar 9
tahun, menetapkan guru sebagai profesi agar bisa sejajar dengan profesi
terhormat lainnya
Tak ada gading yang tak retak, pendidikan di masa reformasi juga belum
sepenuhnya dikatakan berhasil. Karena, pemerintah belum memberikan kebebasan
sepenuhnya untuk mendesain pendidikan sesuai dengan kebutuhan dan kepentingan
lokal, misalnya penentuan kelulusan siswa masih diatur dan ditentukan oleh
pemerintah. Walaupun telah ada aturan yang mengatur posisi siswa sebagai subjek
yang setara dengan guru, namun dalam pengaplikasiannya, guru masih menjadi
pihak yang dominan dan mendominasi siswanya, sehingga dapat dikatakan bahwa
pelaksanaan proses pendidikan Indonesia masih jauh dari dikatakan untuk
memperjuangkan hak-hak siswa.
C. Kesimpulan
1. Alasan orang
Belanda mendirikan sekolah bagi anak-anak Indonesia yaitu untuk mendidik anak
Belanda dan Jawa agar menjadi pekerja yang kompeten pada VOC. Dan pada saat itu
belum terdapat pengajaran klasik. Mengajar berdasarkan pengajaran individual.
Murid-murid datang seorang demi seorang ke meja guru dan menerima bantuan
individual. Bahasa yang dipergunakan adalah bahasa melayu dan portugis, karena
bahasa belanda masih dirasakan sulit.
2. Sistem
persekolahan pada zaman pemerintahan Hindia Belanda, secara umum sistem
pendidikan khususnya system persekolahan didasarkan kepada golongan penduduk
menurut keturunan atau lapisan (kelas) sosial yang ada dan menurut golongan
kebangsaan yang berlaku waktu itu, diantaranya:
a)
Pendidikan Rendah (Lager Onderwijs)
b)
Pendidikan lanjutan = Pendidikan Menengah
c)
Pendidikan Kejuruan (vokonderwijs )
d)
Pendidikan Tinggi (Hooger Onderwijs)
3. Menurut
Prof. Dr. S. Nasution mengemukakan enam ciri umum politik pendidikan Belanda,
yaitu: 1) dualisme, 2) gradualisme, 3) prinsip konkordansi, 4) kontrol sentral
yang kuat, 5) tidak adanya perencanaan pendidikan yang sistematis, 6)
pendidikan pegawai sebagai tujuan utama sekolah.
4. Pada masa
orde lama diwarnai dengan ideologi militeralistik dalam pendidikan yang bertujuan
untuk melanggengkan status quo penguasa.
5. Era
reformasi telah memberikan ruang yang cukup besar bagi perumusan
kebijakan-kebijakan pendidikan baru yang bersifat reformatif dan revolusioner,
dimana bentuk pelaksanaan pendidikan berubah dari sentralistik (orde lama)
menjadi desentralistik.
Daftar Rujukan
http://riyansinstitute.blogspot.com/2011/01/relasi-kekuasaan-dalam-pendidikan.html.
Diakses pada tanggal 03 April 2012.
http://zafar14.wordpress.com/2010/04/15/pendidikan-di-indonesia-pada-masa-penjajahan-belanda/. Diakses pada tanggal 03 April 2012.
http://filsufgaul.wordpress.com/2009/08/30/sejarah-pendidikan-indonesia/. Diakses pada tanggal 03 April 2012.
http://www.pasarkreasi.com/talk/detail/edutainment/43/. Diakses pada tanggal 03 April 2012.
0 Response to "Tugas Kuliah (Ichlas M.Pd)"
Posting Komentar