Menjawab Kontradiksi surat An-Nisaa 3 dan 129 tentang Keadilan dalam berpoligami
Dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan
yang yatim (bilamana kamu mengawininya), maka kawinilah wanita-wanita (lain)
yang kamu senangi: dua, tiga atau empat. Kemudian jika kamu takut tidak akan
dapat berlaku adil,maka (kawinilah) seorang saja atau budak-budak yang kamu
miliki. Yang demikian adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya. (An-Nisaa 3)
Dan kamu sekali-kali tidak akan dapat berlaku adil di antara isteri-isteri(mu), walaupun kamu sangat ingin berbuat demikian, karena itu janganlah kamu terlalu cenderung (kepada yang kamu cintai), sehingga kamu biarkan yang lain terkatung-katung. Dan jika kamu mengadakan perbaikan dan memelihara diri (dari kecurangan), maka sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. (An-Nisaa 129)
Bukankah kedua ayat tersebut bertentangan..? bahwa syarat untuk berpoligami haruslah adil, padahal pada ayat lain Allah menyatakan tidak ada manusia yang bisa berlaku adil. Lalu buat apa menyatakan kebolehan terhadap sesuatu yang tidak mungkin bisa dilaksanakan oleh manusia..?
Jawaban :
Pokok permasalahan dari kedua ayat tersebut terletak pada terjemahan bahasa Indonesianya, kita coba baca dalam bahasa aslinya :
An-Nisaa 3 : wa-in khiftum allaa TUQSITHUU fii alyataamaa fainkihuu maa thaaba lakum mina alnnisaa-i matsnaa watsulaatsa warubaa'a fa-in khiftum allaa TA'DILUU fawaahidatan aw maa malakat aymaanukum dzaalika adnaa allaa ta'uuluu
An-Nisaa 129 : walan tastathii'uu an TA'DILUU bayna alnnisaa-i walaw harashtum falaa tamiiluu kulla almayli fatadzaruuhaa kaalmu'allaqati wa-in tushlihuu watattaquu fa-inna allaaha kaana ghafuuran rahiimaan
Ketika Allah mengijinkan untuk berpoligami, kata yang dipakai untuk menyatakan 'adil' adalah 'tuqsithuu', tapi pada saat menyatakan 'nikahilah hanya satu saja' maka kata yang dipakai adalah 'ta'diluu'. kata ini sama dengan ayat yang menyatakan bahwa tidak ada manusia yang bisa berlaku adil pada An-Nisaa 129.
Dalam terjemahan bahasa Indonesianya, kedua kata ini sama-sama diterjemahkan dengan satu kata, yaitu 'adil', padahal esensi keadilannya berbeda. Kata 'tuqsithuu' biasanya dipakai untuk menyatakan kondisi keadilan dari aspek BERLAKU/BERBUAT adil, berasal dari akar kata 'qaf-siin-ta', dipakai dalam beberapa ayat Al-Qur'an misalnya : QS 60:8 dan QS 49:9. Sedangkan kata 'ta'diluu' berasal dari akar kata 'ain-dal-lam', diartikan keadilan dari aspek PERASAAN adil. kata ini misalnya dipakai selain pada QS 4:129, juga pada ayat QS 4:135, QS 5:8, QS 6:1, QS 42:15.
An-Nisaa 129 merupakan penjelasan bagi persyaratan kebolehan untuk berpoligami pada An-Nisaa 3, kalimat : "kamu sekali-kali tidak akan dapat berlaku adil di antara isteri-isteri(mu), walaupun kamu sangat ingin berbuat demikian, karena itu janganlah kamu terlalu cenderung (kepada yang kamu cintai), sehingga kamu biarkan yang lain terkatung-katung", menyatakan bahwa sekalipun manusia tidak akan mampu mengendalikan keadilan dari sisi perasaan yang ada dalam hatinya, namun kondisi hati tersebut tidak boleh membuat dia melakukan ketidak-adilan dari sisi perbuatan/perlakuan.
Sedangkan ketika menyampaikan aturan kebolehan poligami pada An-Nisaa 3, kalimatnya adalah : "jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yang yatim (bilamana kamu mengawininya), maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi: dua, tiga atau empat", melalui bahasa yang tidak langsung (jika takut berlaku tidak adil kepada anak yatim, maka jika bisa berlaku adil kepada selain anak yatim) merujuk kepada keadilan dari aspek perbuatan dan perlakuan, sepanjang laki-laki tersebut mampu berbuat dan berlaku adil (merupakan perbuatan yang bisa diukur dan dinilai seperti : keseimbangan nafkah lahir dan bathin, giliran waktu, dll) maka dia diijinkan untuk berpoligami. Ketika Allah melarang poligami, kalimatnya adalah : "jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil, maka (kawinilah) seorang saja", maksudnya Allah mengingatkan larangan tersebut disampaikan karena ketidak-adilan dalam hal perasaan bisa membuat laki-laki tersebut akan berlaku tidak-adil dalam perbuatan dan perlakuan terhadap istri-istrinya. Jadi bagi laki-laki yang tidak sanggup mengendalikan sikap karena dorongan perasaan yang pasti tidak bisa adil tersebut, maka dia tidak diperbolehkan untuk poligami.
Surat An-Nisaa 129 bukan bertentangan dengan An-Nisaaa 3, justru merupakan ayat yang menjelaskan tentang makna keadilan yang dimaksud Allah sehingga membolehkan laki-laki untuk berpoligami.
Dan kamu sekali-kali tidak akan dapat berlaku adil di antara isteri-isteri(mu), walaupun kamu sangat ingin berbuat demikian, karena itu janganlah kamu terlalu cenderung (kepada yang kamu cintai), sehingga kamu biarkan yang lain terkatung-katung. Dan jika kamu mengadakan perbaikan dan memelihara diri (dari kecurangan), maka sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. (An-Nisaa 129)
Bukankah kedua ayat tersebut bertentangan..? bahwa syarat untuk berpoligami haruslah adil, padahal pada ayat lain Allah menyatakan tidak ada manusia yang bisa berlaku adil. Lalu buat apa menyatakan kebolehan terhadap sesuatu yang tidak mungkin bisa dilaksanakan oleh manusia..?
Jawaban :
Pokok permasalahan dari kedua ayat tersebut terletak pada terjemahan bahasa Indonesianya, kita coba baca dalam bahasa aslinya :
An-Nisaa 3 : wa-in khiftum allaa TUQSITHUU fii alyataamaa fainkihuu maa thaaba lakum mina alnnisaa-i matsnaa watsulaatsa warubaa'a fa-in khiftum allaa TA'DILUU fawaahidatan aw maa malakat aymaanukum dzaalika adnaa allaa ta'uuluu
An-Nisaa 129 : walan tastathii'uu an TA'DILUU bayna alnnisaa-i walaw harashtum falaa tamiiluu kulla almayli fatadzaruuhaa kaalmu'allaqati wa-in tushlihuu watattaquu fa-inna allaaha kaana ghafuuran rahiimaan
Ketika Allah mengijinkan untuk berpoligami, kata yang dipakai untuk menyatakan 'adil' adalah 'tuqsithuu', tapi pada saat menyatakan 'nikahilah hanya satu saja' maka kata yang dipakai adalah 'ta'diluu'. kata ini sama dengan ayat yang menyatakan bahwa tidak ada manusia yang bisa berlaku adil pada An-Nisaa 129.
Dalam terjemahan bahasa Indonesianya, kedua kata ini sama-sama diterjemahkan dengan satu kata, yaitu 'adil', padahal esensi keadilannya berbeda. Kata 'tuqsithuu' biasanya dipakai untuk menyatakan kondisi keadilan dari aspek BERLAKU/BERBUAT adil, berasal dari akar kata 'qaf-siin-ta', dipakai dalam beberapa ayat Al-Qur'an misalnya : QS 60:8 dan QS 49:9. Sedangkan kata 'ta'diluu' berasal dari akar kata 'ain-dal-lam', diartikan keadilan dari aspek PERASAAN adil. kata ini misalnya dipakai selain pada QS 4:129, juga pada ayat QS 4:135, QS 5:8, QS 6:1, QS 42:15.
An-Nisaa 129 merupakan penjelasan bagi persyaratan kebolehan untuk berpoligami pada An-Nisaa 3, kalimat : "kamu sekali-kali tidak akan dapat berlaku adil di antara isteri-isteri(mu), walaupun kamu sangat ingin berbuat demikian, karena itu janganlah kamu terlalu cenderung (kepada yang kamu cintai), sehingga kamu biarkan yang lain terkatung-katung", menyatakan bahwa sekalipun manusia tidak akan mampu mengendalikan keadilan dari sisi perasaan yang ada dalam hatinya, namun kondisi hati tersebut tidak boleh membuat dia melakukan ketidak-adilan dari sisi perbuatan/perlakuan.
Sedangkan ketika menyampaikan aturan kebolehan poligami pada An-Nisaa 3, kalimatnya adalah : "jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yang yatim (bilamana kamu mengawininya), maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi: dua, tiga atau empat", melalui bahasa yang tidak langsung (jika takut berlaku tidak adil kepada anak yatim, maka jika bisa berlaku adil kepada selain anak yatim) merujuk kepada keadilan dari aspek perbuatan dan perlakuan, sepanjang laki-laki tersebut mampu berbuat dan berlaku adil (merupakan perbuatan yang bisa diukur dan dinilai seperti : keseimbangan nafkah lahir dan bathin, giliran waktu, dll) maka dia diijinkan untuk berpoligami. Ketika Allah melarang poligami, kalimatnya adalah : "jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil, maka (kawinilah) seorang saja", maksudnya Allah mengingatkan larangan tersebut disampaikan karena ketidak-adilan dalam hal perasaan bisa membuat laki-laki tersebut akan berlaku tidak-adil dalam perbuatan dan perlakuan terhadap istri-istrinya. Jadi bagi laki-laki yang tidak sanggup mengendalikan sikap karena dorongan perasaan yang pasti tidak bisa adil tersebut, maka dia tidak diperbolehkan untuk poligami.
Surat An-Nisaa 129 bukan bertentangan dengan An-Nisaaa 3, justru merupakan ayat yang menjelaskan tentang makna keadilan yang dimaksud Allah sehingga membolehkan laki-laki untuk berpoligami.
0 Response to "Menjawab Kontradiksi surat An-Nisaa 3 dan 129 tentang Keadilan dalam berpoligami"
Posting Komentar