PENGERTIAN DAN SEJARAH HADIST
Pengertian dan Sejarah Ilmu Hadis
MANUSIA dalam hidupnya membutuhkan berbagai macam pengetahuan. Sumber dari pengetahuan tersebut ada dua macam yaitu naqli dan aqli. Sumber yang bersifat naqli ini
merupakan pilar dari sebagian besar ilmu pengetahuan yang dibutuhkan
oleh manusia baik dalam agamanya secara khusus, maupun masalah dunia
pada umumnya. Dan sumber yang sangat otentik bagi umat Islam dalam hal
ini adalah Alquran dan Hadis Rasulullah SAW.
Allah telah menganugerahkan kepada umat kita para pendahulu yang
selalu menjaga Alquran dan hadis Nabi SAW. Mereka adalah orang-orang
jujur, amanah, dan memegang janji. Sebagian di antara mereka mencurahkan
perhatiannya terhadap Alquran dan ilmunya yaitu para mufassir. Dan
sebagian lagi memprioritaskan perhatiannya untuk menjaga hadis Nabi dan
ilmunya, mereka adalah para ahli hadis.
Salah satu bentuk nyata para ahli hadis ialah dengan lahirnya istilah Ulumul Hadis(Ilmu
Hadis) yang merupakan salah satu bidang ilmu yang penting di dalam
Islam, terutama dalam mengenal dan memahami hadis-hadis Nabi SAW. Karena
hadis merupakan sumber ajaran dan hukum Islam kedua setelah dan
berdampingan dengan Alquran. Namun begitu perlu disadari bahwa
hadis-hadis yang dapat dijadikan pedoman dalam perumusan hukum dan
pelaksanaan ibadah serta sebagai sumber ajaran Islam adalah hadis-hadis
yang Maqbul (yang diterima), yaitu hadis sahih dan hadis hasan. Selain hadis maqbul, terdapat pula hadis Mardud,
yaitu hadis yang ditolak serta tidak sah penggunaannya sebagai dalil
hukum atau sumber ajaran Islam. Bahkan bukan tak mungkin jumlah hadis
mardud jauh lebih banyak jumlahnya daripada hadis yang maqbul.
Untuk itulah umat Islam harus selalu waspada dalam menerima dan
mengamalkan ajaran yang bersumber dari sebuah hadis. Artinya, sebelum
meyakini kebenaran sebuah hadis, perlu dikaji dan diteliti
keotentikannya sehingga tidak terjerumus kepada kesia-siaan. Adapun
salah satu cara untuk membedakan antara hadis yang diterima dengan yang
ditolak adalah dengan mempelajari dan memahami Ulumul Hadis yang memuat
segala permasalahan yang berkaitan dengan hadis.
A- Pengertian Ilmu Hadis
Ilmu Hadis atau yang sering diistilahkan dalam bahasa Arab dengan Ulumul Hadisyang mengandung dua kata, yaitu ‘ulum’ dan ‘al-Hadis’. Kata ulum dalam bahasa Arab adalah bentuk jamak dari ‘ilm, jadi berarti ilmu-ilmu, sedangkan al-Hadis
dari segi bahasa mengandung beberapa arti, diantaranya baru, sesuatu
yang dibicarakan, sesuatu yang sedikit dan banyak. Sedangkan menurut
istilah Ulama Hadits adalah “apa yang disandarkan kepada Nabi SAW baik
berupa ucapan, perbuatan, penetapan, sifat, atau sirah beliau, baik
sebelum kenabian atau sesudahnya”. Sedangkan menurut ahli ushul fiqh,
hadis adalah: “perkataan, perbuatan, dan penetapan yang disandarkan
kepada Rasulullah SAW setelah kenabian.” Adapun sebelum kenabian tidak
dianggap sebagai hadis, karena yang dimaksud dengan hadis adalah
mengerjakan apa yang menjadi konsekuensinya. Dan ini tidak dapat
dilakukan kecuali dengan apa yang terjadi setelah kenabian. Adapun
gabungan kata ulum dan al-Hadis ini melahirkan istilah yang selanjutnya dijadikan sebagai suatu disiplin ilmu, yaitu Ulumul Hadis yang memiliki pengertian “ilmu-ilmu yang membahas atau berkaitan dengan Hadits Nabi SAW”.
Pada mulanya, ilmu hadis memang merupakan beberapa ilmu yang
masing-masing berdiri sendiri, yang berbicara tentang Hadis Nabi SAW dan
para perawinya, sepertiIlmu al-Hadis al-Sahih, Ilmu al-Mursal, Ilmu al-Asma’ wa al-Kuna, dan
lain-lain. Penulisan ilmu-ilmu hadis secara parsial dilakukan,
khususnya, oleh para ulama abad ke-3 H. Umpamanya, Yahya ibn Ma’in
(234H/848M) menulis Tarikh al-Rijal, Muhammad ibn Sa’ad (230H/844) menulis Al—Tabaqat, Ahmad ibn Hanbal (241H/855M) menulis Al-‘Ilaldan Al-Nasikh wal Mansukh, serta banyak lagi yang lainnya.
Ilmu-ilmu yang terpisah dan bersifat parsial tersebut disebut dengan
Ulumul Hadis, karena masing-masing membicarakan tentang Hadis dan para
perawinya. Akan tetapi, pada masa berikutnya, ilmu-ilmu yang terpisah
itu mulai digabungkan dan dijadikan satu, serta selanjutnya dipandang
sebagai satu disiplin ilmu yang berdiri sendiri. Terhadap ilmu yang
sudah digabungkan dan menjadi satu kesatuan tersebut tetap dipergunakan
nama Ulumul Hadis, sebagaimana halnya sebelum disatukan. Jadi penggunaan
lafaz jamak Ulumul Hadis setelah keadaannya menjadi satu adalah
mengandung makna mufrad atau tunggal, yaitu Ilmu Hadis, karena telah terjadi perubahan makna lafaz tersebut dari maknanya yang pertama (beberapa ilmu yang terpisah) menjadi nama dari suatu disiplin ilmu yang khusus yang nama lainnya adalahMusthalahul Hadis.
B- Pembagian Ilmu Hadits
Para Ulama Hadis telah membagi Ilmu Hadis kepada dua bagian, yaitu Ilmu Hadis Riwayah dan Ilmu Hadis Dirayah.
1) Ilmu Hadis Riwayah
Adapun yang dimaksud dengan Ilmu Hadis Riwayah, sebagaiamana yang
disebutkan oleh Zhafar Ahmad ibn Lathif al-Utsmani al-Tahanawi di dalam Qawa’id fi Ulum al-Hadisseperti yang dikutip oleh Nawir Yuslem dalam Ulumul Hadis adalah sebagai berikut:
عِلْمُ الْحَدِيْثِ الخَاصُّ بِالرِّوَايَةِ هُوَ: عَلْمٌ يُعْرَفُ بِهِ
أَقْوَالُ رَسُوْلِ اللهِ صلى الله عليه وسلم وَأَفْعَالُهُ وَأَحْوَالُهُ
وَرِوَايَتُهَا وَضَبْطُهَا وَتَحْرِيْرُ أَلْفَاظِهَا
Ilmu Hadis yang khusus dengan riwayah adalah ilmu yang dapat
diketahui dengannya perkataan, perbuatan, dan keadaan Rasul SAW serta
periwayatan, pencatatan, dan penguraian lafaz-lafaznya.
Dari definisi tentang ilmu Hadis Riwayah di atas dapat dipahami bahwa
Ilmu Hadis Riwayah pada dasarnya adalah membahas tentang tata cara
periwayatan, pemeliharaan, dan penulisan atau pembukuan Hadis Nabi SAW.
- Objek Kajian Ilmu Hadis Riwayah
-
- cara periwayatan hadis, baik dari segi cara penerimaan dan demikian juga cara penyampaiannya dari seorang perawi kepada perawi yang lain.
- cara pemeliharaan hadis, yaitu dalam bentuk penghafalan, penulisan, dan pembukuannya.
- Tujuan dan Urgensi Ilmu Hadis Riwayah
Adapun tujuan dan urgensi ilmu hadis riwayah ini adalah agar tidak
lenyap dan sia-sia, serta terhindar dari kekeliruan dan kesalahan dalam
proses periwayatannya atau dalam penulisan dan pembukuannya. Dengan
demikian, hadis-hadis Nabi SAW dapat terpelihara kemurniannya dan dapat
diamalkan hukum-hukum dan tuntunan yang terkandung di dalamnya, hal ini
sejalan dengan perintah Allah SAW agar menjadikan Nabi SAW sebagai
ikutan dan suri teladan dalam kehidupan ini (QS. Al-Ahzab [33] : 21).
2) Ilmu Hadis Dirayah
Mengenai pengertian Ilmu Hadis Dirayah, para ulama hadis memberikan
definisi yang bervariasi, namun jika dicermati berbagai definisi yang
mereka kemukakan, maka akan ditemukan persamaan antara satu dengan
lainnya, terutama dari segi sasaran dan pokok bahasannya. Di sini akan
penulis kemukakan dua di antaranya:
Ibn al-Akfani memberikan definisi Ilmu Hadis Dirayah sebagai berikut:
وَعِلْمُ الَحَدِيْثِ الخَاصُّ باِلدِّرَايَةِ : عِلْمٌ يُعْرَفُ مِنْهُ
حَقِيْقَةُ الرِّوَايَةِ وَشُرُوْطُهَا وَأَنْوَاعُهَا وَأَحْكَامُهَا
وَحَالُ الرُّوَاةِ وَشُرُوْطُهُمْ وَأَصْنَافُ الْمَرْوِيَاتِ
وَمَايَتَعَلَّقُ بِـهَا
“Dan ilmu hadis yang khusus tentang dirayah adalah ilmu yang bertujuan untuk mengetahui hakikat riwayat, syarat-syarat, macam-macam, dan hukum-hukumnya,keadaan para perawi, syarat-syarat mereka, jenis yang diriwayatkan, dan segala sesuatu yang berhubungan dengannya.”
Dari definisi ini dapat dijelaskan beberapa hal, yaitu:
- Hakikat Riwayat, yaitu kegiatan periwayatan hadis dan penyandarannya kepada orang yang meriwayatkannya dengan kalimat tahdis, yaitu perkataan seorang perawi, “haddasana fulan” (telah menceritakan kepada kami si Fulan), atau ikhbar, seperti perkataan: “akhbarana fulan” (telah mengabarkan kepada kami si Fulan).
- Syarat-Syarat Riwayat, yaitu penerimaan para perawi terhadap apa yang diriwayatkannya dengan menggunakan cara-cara tertentu dalam penerimaan riwayat (cara-cara tahammul al-Hadis), seperti sama’ (perawi mendengar langsung bacaan hadis dari seorang guru), qira’ah (murid membacakan catatan hadis dari gurunya dihadapan guru tersebut), ijazah (member izin kepada seseorang untuk meriwayatkan suatu hadis dari seorang ulama tanpa dibacakan sebelumnya),munawalah (menyerahkan suatu hadis yang tertulis kepada seseorang untuk diriwayatkan), kitabah (menuliskan hadis untuk seseorang), I’lam (member tahu seseorang bahwah hadis-hadis tertentu adalah koleksinya), washiyyat(mewasiatkan kepada seseorang koleksi hadis yang dimilikinya), dan wajadah(mendapatkan koleksi tertentu tentang hadis dari seorang guru.
- Macam-macam Riwayat, yaitu seperti periwayatan muttsahil (periwayatan yang bersambung mulai dari perawi pertama sampai kepada perawi terakhir,ataumunqathi’ (periwayatan yang terputus, baik di awal, di tengah, atau di akhir, dan lainnya.
- Hukum Riwayat, yakni al-qabul (diterimannya suatu riwayat karena telah memenuhi persyaratan tertentu, dan al-radd (ditolak, karena adanya persyaratan tertentu yang tidak terpenuhi.
- Keadaan para Perawi, maksudnya adalah keadaan mereka dari segi keadilan mereka (al-‘adalah) dan ketidakadilan mereka (al-jarh).
- Syarat-syarat Mereka, yaitu syarat-syarat yang harus dipenuhi oleh seorang perawi ketika menerima riwayat (syarat-syarat pada tahammul) dan syarat ketika menyampaikan riwayat (syarat pada al-add’).
- Jenis yang diriwayatkan (ashnaf al-marwiyyat), adalah penulisan hadis di dalam kitab al-musnad, al-mu’jam, atau al-ajza’ dan lainnya dari jenis-jenis kitab yang menghimpun hadis-hadis Nabi SAW.
Selain itu, M. ‘Ajjaj al-Khatib mendefinisikan Ilmu Hadis Dirayah sebagai berikut:
فَعِلْمُ الْحَدِيْثِ الْخاَصُّ بِالدِّرَايَةِ هُوَ:
مَجْمُوْعَةُ الْقَوَاعِدِ الْمَسَائِلِ الَّتِى يُعْرَفُ بِـهَا حَالُ
الرَّاوِى وَالْمَرْوِىِّ مِنْ حَيْثُ الْقَبُوْلِ وَالرَّدِّ
“Ilmu hadis dirayah adalah kumpulan kaidah-kaidah dan
masalah-masalah untuk mengetahui keadaan rawi dan marwi dari segi
diterima dan ditolaknya.”
Definisi ini dapat kita jelaskan lebih lanjut sebagai berikut:
- Al-Rawi atau perawi adalah orang yang meriwayatkan atau menyampaikan hadis dari satu orang ke orang yang lain.
- Al-Marwi adalah segala sesuatu yang diriwayatkan, yaitu sesuatu yang disandarkan kepada Nabi SAW atau kepada yang lainnya, seperti Sahabat atauTabi’in.
- Keadaan Perawi dari segi diterima atau ditolaknya, adalah mengetahui keadaan para perawi dari segi jarh dan ta’dil ketika tahammul dan adda’ al-hadis, dan segala sesuatu yang berhubungan dengannya dalam kaitannya dengan periwayatan hadis.
- Keadaan Marwi adalah segala sesuatu yang berhubungan dengan ittishal al-sanad (persambungan sanad) atau terputusnya, adanya ‘illat atau tidak, yang menentukan diterima atau ditolaknya suatu hadis.
- Objek Kajian Ilmu Hadis Dirayah
-
- segi persambungan sanad (ittishal al-sanad), yaitu bahwa suatu rangkaian sanad hadis haruslah bersambung mulai dari Sahabat sampai kepada periwayat terakhir yang menuliskan atau membukukan hadis tersebut. Oleh karenanya tidak dibenarkan suatu rangkaian sanad tersebut yang terputus, tersembunyi, tidak diketahui identitasnya atau tersamar;
- segi keterpercayaan sanad (siqat al-sanad), yaitu bahwa setiap perawi yang terdapat di dalam sanad suatu hadis harus memiliki sifat adil dan dhabith (kuat dan cermat hafalan atau dokumentasi hadisnya);
- segi keselamatannya dari kejanggalan (syadz);
- segi keselamatannya dari cacat (‘illat); dan
- tinggi dan rendahnya martabat suatu sanad.
Sedangkan pembahasan mengenai matan adalah meliputi segi ke-shahih-an atau ke-dha’ifan-nya.
Hal tersebut dapat terlihat melalui kesejalannya dengan makna dan
tujuan yang terkandung di dalam Al-Qur’an, atau harus selamat dari
beberapa hal berikut:
-
- Selamat dari kejanggalan redaksi (rakakat al-fadz);
- Selamat dari cacat atau kejanggalan pada maknanya (fasad al-ma’na) karena bertentangan dengan akal dan pancaindera, atau dengangan kandungan dan makna Al-Qur’an, atau dengan fakta sejarah;
- Selamat dari kata-kata asing (ghorib), yaitu kata-kata yang tidak bisa dipahami berdasarkan maknanya yang umum dikenal.
- Tujuan dan Urgensi Ilmu Hadis Diwayah
Tujuan dan urgensi ilmu hadis dirayah adalah untuk mengetahui dan menetapkan hadis-hadis yang Maqbul (yang dapat diterima sebagai dalil atau untuk diamalkan) dan yang Mardud (yang ditolak).
Ilmu hadis dirayah inilah yang pada masa selanjutnya secara umum dikenal dengan Ulumul Hadis, Musthalahul Hadis, atau Ushul al-Hadis. Keseluruhan
nama-nama di atas meskipun bervariasi, namun mempunyai arti dan tujuan
yang sama, yaitu ilmu yang membahas tentang kaidah-kaidah untuk
mengetahui keadaanperawi (sanad) dan marwi (matan) suatu hadis, dari segi diterima dan ditolaknya.
Para Ulama hadis membagi Ilmu Hadis Dirayah atau Ulumul Hadis ini
kepada beberapa macam, berdasarkan kepada permasalahan yang dibahas
padanya, seperti:
- pembahasan tentang pembagian Hadis Shahih, Hasan dan Dha’if, serta macam-macamnya,;
- pembahasan tentang tata cara penerimaan (tahammul), dan periwayatan (adda’) hadis;
- pembahasan al-jarh dan al-ta’dil serta tingkatan-tingkatannya,
- pembahasan tentang perawi, latar belakang kehidupannya, dan pengklasifikasiannya antara yang tsiqat dan yang dha’if;
- dan lain-lain.
Masing-masing pembahasan di atas dipandang sebagai macam-macam dari
Ulumul Hadis, sehingga karena banyaknya, Imam Al-Suyuthi menyatakan
bahwa macam-macam ulumul hadis tersebut banyak sekali, bahkan tak
terhingga jumlahnya. Sementara Ibn Al-Shalah menyebutkan ada 65 macam
Ulumul Hadis sesuai dengan pembahasannya, seperti yang dikemukakan di
atas.
C- Sejarah dan Perkembangan Ulumul Hadis
Pada dasarnya Ulumul Hadis telah lahir sejak dimulainya periwayatan
hadis di dalam Islam, terutama setelah Rasul SAW wafat, ketika umat
merasakan perlunya menghimpun hadis-hadis Rasul SAW dikarenakan adanya
kekhawatiran hadis-hadis tersebut akan hilang atau lenyap. Para sahabat
mulai giat melakukan pencatatan dan periwayatan hadis. Mereka telah
mulai mempergunakan kaidah-kaidah dan metode-metode tertentu dalam
menerima hadis, namun mereka belumlah menuliskan kaidah-kaidah tersebut.
Adapun dasar dan landasan periwayatan hadis di dalam Islam dijumpai
dalam Alquran dan hadis Nabi SAW. Dalam QS. Al-Hujarat ayat 6, Allah
memerintahkan orang-orang yang beriman untuk menelitu dan mempertanyakan
berita-berita yang datang dari orang lain, terutama dari orang fasik.
Firman Allah SWT yang artinya: “Hai orang-orang yang telah beriman,
jika datang kepadamu orang fasiq membawa suatu berita maka periksalah
berita tersebut dengan teliti agar kamu tidak menimpakan musibah kepada
suatu kaum tanpa mengetahui keadaan (yang sebenarnya) yang menyebabkan
kamu menyesal atas perbuatanmu”.(QS. Al-Hujurat: 6). Sementara dalam hadis disebutkan, “(Semoga)
Allah membaguskan rupa seseorang yang mendengar dari kami sesuatu
(hadis), lantas dia menyampaikannya (hadis tersebut) sebagaimana dia
dengar, kadang-kadang orang yang menyampaikan lebih hafal daripada yang
mendengar”. (HR. At-Tirmizi).
Dalam ayat al Quran serta dua hadits tersebut jelas terdapat suatu
prinsip ketentuan mengenai pengambilan suatu berita sekaligus tata cara
dalam menerima suatu berita tertentu; dengan cara melakukan tabayyun
(memperjelasnya) serta menelitinya dan agar hati-hati dalam menyampaikan
suatu berita kepada orang lain. Dalam rangka melaksanakan perintah
Allah dan Rasuyl-Nya itu, maka para sahabat telah menetapkan
ketentuan-ketentuan dalam menyampaikan suatu berita sekaligus dalam hal
menerimanya, terutama ketika mereka meragukan terhadap kejujuran dari
orang yang menyampaikan berita tersebut. Atas dasar ini, maka nampak
jelaslah kedudukan serta nilai sanad dalam rangka untuk menerima atau
menolak suatu berita.
Dalam muqadimah Shahih Muslim, dari riwayat Ibnu Sirin, dikatakan
Semula mereka tidak pernah mempertanyakan tentang sanad, kemudian
setelah timbul fitnah, mereka baru mempertanyakannya: ‘Sebutkanlah kepada kami orang-orang yang meriwayatkan hadits kepada kamu sekalian‘.
Lalu jika ternyata mereka yang meriwayatkan hadits tersebut adalah
orang-orang Ahli Sunnah maka terimalah hadits itu, sebaliknya, jika
ternyata memang orang-orang Ahli Bid’ah, maka janganlah kamu mengambil hadits yang diriwayatkannya.
Berpijak pada prinsip bahwa suatu hadis itu tidak dapat diterima kecuali sesudah dikatahui sanadnya, maka munculah ilmu Jarh wa Ta’dil,
dan (ilmu mengenai) pembicaraan terhadap rawi-rawi hadis, serta (cara)
pembicaraan terhadap rawi-rawi hadis, serta (cara) mengetahui
sanad-sanad yang muttasil dan yang munqati’, dan
mengetahui cacat-cacat yang tersembunyi. Bahkan telah muncul pula
pembicaraan pada sebagian rawi-rawi yang tercela. Meskipun masih sangat
sedikit sekali- karena sedikitnya rawi-rawi yang benar-benar tercela
pada masa awalnya.
Kemudian para ulama lama kelamaan memperluas (jangkauan pembahasan)
dalam masalah yang demikian itu, hingga lahirlah pembahasan dalam
beberapa cabang yang berhubungan dengan hadits dari segi pencatatannya,
tata cara menerimanya serta menyampaikannya, dan mengetahui
nasikh-mansukhnya, gharibnya dan hal-hal selainnya, hanya saja demikian
itu dilakukan para ulama secara lisan.
Dalam kitab Mabahits Ulumil Hadis, Syekh Manna Al-Qaththani
menyimpulkan bahwa yang mendasari lahir dan berkembangnya Ilmu Hadis ada
2 (dua) hal pokok, yaitu adanya: (1) dorongan agama, dan (2) dorongan sejarah. Berikut akan penulis paparkan secara singkat kedua hal pokok tersebut:
Pertama: Dorongan Agama
Bahwasanya umat manusia memperhatikan warisan pemikiran yang dapat
menyentuh dan membangkitkan kehidupan mereka, memenuhi kecintaan hati
mereka, menjadi pijakan kebangkitan mereka, lalu mereka terdorong untuk
menanamkannya pada anak-anak mereka agar menjadi orang yang memahaminya,
hingga warisan itu selalu hadir di hadapan mereka, membimbing langkah
dan jalan mereka.
Jika umat lain begitu perhatian terhadap warisan pemikiran mereka,
maka umat Islam yang mengikuti risalah Nabi Muhammad SAW juga tidak
kalah dalam memelihara warisan yang didapatkan dari Nabi SAW dengan cara
periwayatan,menukil, hafalan, dan menyampaikannya, serta mengamalkan
isinya, karena itu bagian dari eksistensinya, dan hidup umat ini tiada
berarti tanpa dengan agama. Oleh karenanya Allah mewajibkan dalam agama
untuk mengikuti dan menaati Rasul-Nya, menjalani semua apa yang dibawa
beliau, dan meneladani kehidupannya.
Kedua : Dorongan Sejarah
Dalam sejarah, umat manusia banyak dihadapkan pada pertentangan dan
halangan sehingga mendorong untuk menjaga warisan mereka dari penyusupan
yang menyebabkan terjadinya fitnah dan saling bermusuhan serta tipu
muslihat.
Dan umat Islam yang telah merobohkan pilar kemusyrikan, dan mendobrak
benteng Romawi dan Persia, menghadapi musuh-musuh bebuyutan, tahu benar
bahwa kekuatan umat ini terletak pada kekuatan agamanya, dan tidak
dapat dihancurkan kecuali dari agama itu sendiri, dan salah satu
jalannya adalah pemalsuan terhadap hadis. Dari sini, kaum muslimin
mendapat dorongan yang kuat untuk meneliti dan menyelidiki periwayatan
hadis, dan mengikuti aturan-aturan periwayatan yang benar, agar mereka
dapat menjaga warisan yang agung ini dari penyelewengan dan penyusupan
terhadapnya sehingga tetap bersih, tidak dikotori oleh aib maupun oleh
keraguan.
Dan di antara aturan-aturan yang diberlakukan pada masa sahabat adalah:
1- Mengurangi periwayatan hadis .
Mereka khawatir dengan banyaknya riwayat akan tergelincir pada
kesalahan dan kelalaian, dan menyebabkan kebohongan terhadap Rasul SAW.
Selain itu mereka juga khawatir dengan memperbanyak periwayatan akan
menyibukkan umat Islam terhadap as-Sunnah dan mengabaikan Al-Quran
2- Ketelitian dalam periwayatan.
Para sahabat sangat berhati-hati dalam menerima hadis tanpa adanya
perawi yang benar-benar dapat dipercaya, karena mereka sangat takut
terjadinya kesalahan dalam periwayatan hadis Nabi SAW.
3- Kritik terhadap riwayat.
Adapun bentuk kritik terhadap riwayat adalah dengan cara memaparkan
dan membandingkan riwayat dengan Al-Qur’an, jika bertentangan maka
mereka tinggalkan dan tidak mengamalkannya.
Ketelitian dan sikap hati-hati para Sahabat Nabi SAW tersebut diikuti
pula oleh para ulama yang datang sesudah mereka, dan sikap tersebut
semakin ditingkatkan terutama setelah munculnya hadis-hadis palsu, yakni
sekitar tahun 41 H setelah masa pemerintahan Khalifah Ali bin Abi
Thalib r.a. Semenjak itu mulailah dilakukan penelitian terhadap sanad
Hadis dengan mempraktikkan ilmu al-jarah wa al-ta’dil, dan sekaligus mulai pulalah ilmu ini tumbuh dan berkembang.
Setelah munculnya kegiatan pemalsuan hadis dari pihak-pihak yang
tidak bertanggung jawab, maka beberapa aktivitas tertentu dilakukan oleh
para Ulama Hadis dalam rangka memelihara kemurnian hadis, yaitu
seperti:
a) melakukan pembahasan terhadap sanad hadis serta penelitian
terhadap keadaan setiap para perawi hadis, hal yang sebelumnya tidak
pernah mereka lakukan;
b) melakukan perjalanan (rihlah) dalam mencari sumber
hadis agar dapat mendengar langsung dari perawi asalnya dan meneliti
kebenaran riwayat tersebut melaluinya;
c) melakukan perbandingan antara riwayat seorang perawi dengan riwayat perawi lain yang lebih tsiqat dan terpercaya dalam rangka untuk mengetahui ke-dha’if-an atau kepalsuan suatu hadis.
Demikianlah kegiatan para ulama hadis di abad pertama Hijrah yang
telah memperlihatkan pertumbuhan dan perkembangan Ilmu Hadis. Bahkan
pada akhir abad pertama itu telah terdapat beberapa klasifikasi hadis,
yaitu: Hadis Marfu’, Hadis Mawquf, Hadis Muttashil, dan Hadis Mursal.
Dari macam-macam hadis tersebut, juga telah dibedakan antara hadis
maqbul, yang pada masa berikutnya disebut dengan hadis shahih dan hadis
hasan, serta hadis mardud yang kemudian dikenal dengan hadis dha’if
dengan berbagai macamnya.
Pada abad kedua Hijrah, ketika hadis telah dibukukan secara resmi
atas prakarsa Khalifah Umar bin Abdul Aziz dan dimotori oleh Muhammad
ibn Muslim ibn Syihab al-Zuhri, para ulama yang bertugas dalam
menghimpun dan membukukan hadis tersebut menerapkan ketentuan-ketentuan
Ilmu Hadis yang sudah ada dan berkembang sampai pada masa mereka. Mereka
memperhayikan ketentuan-ketentuan hadis shahih, demikian juga keadaan
para perawinya. Hal ini dilakukan lantaran semakin banyaknya para
penghafal hadis yang telah wafat.
Pada abad ketiga Hijrah yang dikenal dengan masa keemasan dalam
sejarah perkembangan Hadis, mulailah ketentuan dan perumusan
kaidah-kaidah Hadis ditulis dan dibukukan, namun masih bersifat
parsial.Yahya ibn Ma’in (w. 234H/848M) menulis tentang Tarikh ar-Rijal, Muhammad ibn Sa’ad (w. 230H/844M) menulis Al-Tabaqat, Ahmad ibn Hanbal (241H/855M) menulis Al-‘Ilal, dan lain-lain.
Pada abad keempat dan kelima hijrah mulailah ditulis secara khusus
kitab-kitab yang membahas tentang Ilmu Hadis yang bersifat komprehensif.
Selanjutnya, pada abad setelah itu mulailah bermunculan karya-karya di
bidang Ilmu Hadis ini yang sampai saat ini masih menjadi referensi utama
dalam membicarakan ilmu hadis. Adapun ulama yang pertama kali menyusun
kitab dalam bidang ini adalah al Qadhi Abu Muhammad al Hasan bin
Abdurrahman bin Chalad ar Ramaharmuzi (wafat pada tahun 360 H), kitabnya
Al Muhaddits al Fashil Baina al Rawi wa al Wa’i. (oleh: Indra L Muda)
==
DAFTAR PUSTAKA
Abul-Harits Muhammad bin Ibrahim As-Salafy Al-Jazairi, Penjelasan Al-Mandhumah Al-Baiquniyah, terj. Abu Hudzaifah, Jakarta:Maktabah Al-Ghuroba’, Cet.II, 2008
Mahmud Thahhan, Taisir Musthalah Hadits, terj. Zainul Muttaqin, Bandung: Titian Ilahi Press, Cet. II, 1999
M.M.Al-A’zami, Memahami Ilmu Hadis, Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2005
Nawir Yuslem, Ulumul Hadis, Jakarta: PT Mutiara Sumber Widya, 2001
Syekh Manna Al-Qaththani, Pengantar Studi Ilmu Hadits, terj. Mifdhol Abdurrahman, Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, cet. IV, 2009
Totok Jumantoro, Kamus Ilmu Hadis, Bandung: Bumi Aksara, 2002
A. Latar Belakang
Nabi saw adalah teladan yang senantiasa dicontoh para sahabat. Setiap perkataan, perbuatan, dan taqrir
Nabi saw. menjadi referensi kehidupan sahabat-sahabat tersebut. Oleh
sebab itu, tidak mengherankan kalau hampir setiap gerak-gerik Rasul
diketahui dan diriwayatkan oleh sahabat-sahabatnya itu. Dengan demikian,
bagi mereka Nabi saw adalah sumber ilmu pengetahuan.
Dalam berbagai kesempatan Nabi saw mengerjakan ilmu (sunnah)
kepada para sahabatnya. Hal itu beliau lakukan dengan cara yang cukup
menarik sehingga tetap efektif menarik minat sahabat-sahabatnya. Dari
bibir Nabi saw sering meluncur motivasi dan hikmah. Beliau menjelaskan
bahwa kehidupan ilmu pengetahuan memegang peranan yang penting dalam
kehidupan. Beliau bersabda, “Siapa yang dikehendaki Allah menjadi orang yang baik niscaya ia menjadikannya mampu memahami agama”[i]. Selanjutnya, “Menuntut ilmu adalah kewajiban bagi kaum muslimin”[ii], “Ulama adalah pewaris para Nabi”, ”Para penuntut ilmu diberi jalan oleh Allah untuk menuju surga”[iii].
Lebih jauh, Nabi juga menegaskan bahwa ilmu tidak hanya untuk dituntut
tetapi juga harus disampaikan dan diajarkan. Dorongan menuntut ilmu yang
diberikan Nabi kepada para sahabatnya menjadikan mereka selalu komitmen
untuk menimba ilmu dari diri beliau pada setiap kesempatan.
B. Hadits Pada Masa Sahabat
Setelah Rasul saw wafat, pemerintahan Islam dilanjutkan oleh
sahabat-sahabatnya. Abu Bakar terpilih menjadi khalifah menggantikan
kedudukan Nabi Muhammad saw sebagai pemimpin temporal (politik) umat
Islam, sekaligus mengurus perjuangan spritual menegakkan sy ari’at
Islam. Pada awalnya dua hal ini adalah satu seperti dua sisi mata uang
yang tidak terpisahkan. Setelah Abu Bakar, estafet kepemimpinan
dilanjutkan secara bergantian oleh Umar bin al-Khat-tab, Usman bin
Affan, dan ‘Ali bin Abi Thalib. Sunnah di dalam pemerintahan khalifah
ar-Rasyidun tersebut tetap menjadi pegangan utama sahabat setelah Al
Qur’an.
Dalam dua pemerintahan Islam, Abu Bakar dan Umar, tidak ditemukan
gerakan periwayatan sunnah yang signifikan sebagaimana yang terjadi
setelahnya. Pada pemerintahan Abu Bakar, konsentrasi umat terpusat pada
upaya konsolidasi dan meredam pemberontakan kelompok murtad, Nabi palsu,
dan pengingkar zakat. Pada paruh akhir kekuasaannya, perhatian tertuju
pada pengumpulan dan kodifikasi Al Qur’an. Demikian juga dalam masa
pemerintahan Umar. Khalifah Umar, sangat selektif menerima riwayat,
bahkan terkesan sangat hati-hati. Dalam masa pemerintahan Usman dan Ali,
suasana telah berubah, maka mulailah muncul berbagai riwayat, tidak
terkecuali adanya pemalsuan yang dilakukan non sahabat untuk mendukung
faksi-faksi politik umat.
Berikut ini akan dikemukakan gejala umum pada era sahabat dalam upaya
memelihara sunnah dan fakta kepengikutan mereka terhadapnya. Pembahasan
ini di deskripsikan berdasarkan riwayat yang dianggap dapat
menjelaskan kondisi objektif era tersebut.
Selain Al Qur’an sebagai sumber pertama hukum Islam, sunnah
Rasulullah saw menempati urutan kedua. Ketika menjelang wafatnya Rasul
saw ia bersabda, “Aku meninggalkan bagi kamu dua hal, jika kamu berpegang kepadanya, kamu tidak akan tersesat, yaitu kitab Allah dan sunnahku.”[iv]
Para sahabat berpegang teguh dengan wasiat Rasul saw tersebut. Yang
dimaksud dengan berpegang kepada kitab Allah adalah menjadikan Al Qur’an
sebagai way of life. Ini berarti para sahabat mengamalkan perintah yang
terdapat di dalamnya dan menjauhi larangannya. Berpegang pada sunnah
Nabi saw berarti mengikuti petunjuk Nabi saw dan memelihara
kemurniannya. Oleh sebab itu, sebagaimana yang akan dijelaskan lebih
lanjut, sahabat sangat hati-hati sekali meriwayatkan sunnah Nabi saw.
Telah dijelaskan bahwa setelah wafatnya Nabi saw, Abu Bakar diangkat
menjadi khalifah. Komitmen Abu Bakar untuk menegakkan hukum Allah dan
Sunnah Rasul saw dibuktikan dengan kebijakannya memerangi kaum munafik.
Beliau bersumpah bahwa orang yang tidak mau membayar zakat akan
diperanginya karena tindakan itu berseberangan dengan Al Qur’an dan
Sunnah Rasulullah saw. Beliau mengangkat Khalid bin Walid sebagai
panglima perang untuk salah satu tujuan itu juga karena adanya apresiasi
sunnah terhadapnya[v]. Kepengikutan sahabat terhadap Sunnah setelah khalifah ini terus berlanjut, misalnya di dalam pemerintah Umar, Usman, dan Ali.
Secara umum dapat dikemukakan dua poin penting tentang metode sahabat
memelihara kemurnian Sunnah Nabi saw. Metode tersebut yaitu:
1. Taqlil ar-riwayah
Secara khusus, dalam pemerintahan Abu Bakar dan Umar, ditemukan kesan
adanya upaya meminimalisasi riwayat Hadis. Upaya tersebut semakin kuat
ketika Umar memegang tampuk kekhalifahan. Umar memberlakukan hukuman
dera bagi siapa saja yang memperbanyak periwayatan hadis. Hal ini
sebagaimana pengakuan Abu Hurairah ketika ditanya kenapa beliau tidak
banyak meriwayatkan hadis pada era pemerintahan Umar. “Jika aku
memberitakan hadis pada masa Umar sebagai yang aku beritakan kepada kamu
(saat ini), niscaya ia akan memukulku.”[vi]
Demikian jawaban Abu Hurairah. Dalam masa berikutnya, kendatipun tidak
ada lagi tekanan dari Umar, Abu Hurairah tetap tidak mau memperbanyak
periwayatan. Hal ini merupakan kesadaran sendiri dari diri beliau untuk
mengikuti sunnah dua Khalifah al-Rasyidin, Abu Bakar dan Umar. Namun,
dalam suatu saat sebagaimana yang dikemukakan al-Bukhari, beliau membaca
dua ayat Al Qur’an surah al-Baqarah ayat 159 dan 160. Sejak saat itu
barulah beliau memperbanyak periwayatannya.
Sahabat-sahabat lain, juga terkesan menyedikitkan riwayat. Abu
‘Ubaidah, ‘Abbas bin ‘Abd al-muth-thalib, mereka tidak banyak
meriwayatkan hadis, tidak seimbang jumlah hadis yang mereka riwayatkan
dengan kedekatan keseharian mereka dengan Rasul saw. Demikian pula
misalnya dengan Sa’id bin Zaid, salah seorang sahabat yang dijamin Rasul
masuk surga, tidak meriwayatkan hadis kecuali hanya sekitar dua sampai
tiga hadis[vii].
As-Sa’ib bin Yazid pernah berkata, “Aku berteman dengan Sa’d bin
Malik dari Madinah ke Makkah, tidak satupun kudengar beliau menyampaikan
hadis dari Nabi saw[viii].
Az-Zubair pernah ditanya anaknya, “Abdullah bin Zubair, “Aku tidak
mendengar engkau menyampaikan hadis Rasul saw sebagaimana yang
disampaikan sipulan dan si pulan.” Beliau menjawab, “Sungguh aku tidak
akan memenggalnya, tetapi aku mendengar Nabi bersabda,” “Siapa yang
berdusta atas namaku, maka ia menyediakan tempat duduknya dari api
neraka.”
Jika diamati, mengapa sahabat membatasi periwayatan, maka ditemukan
jawaban di sekitar hal ini yang bersifat kondisional dan bersifat
kehati-hatian.
Pertama, pada masa Abu Bakar, pusat perhatian tertuju pada
pemecahan masalah politik, khususnya konsolidasi dan pemulihan kesadaran
terhadap perlunya menjalankan roda khilafah Islam. Oleh sebab itu,
gerakan periwayatan dengan sendirinya terbatas.
Kedua, sahabat masih dekat dengan era Nabi, dimana umumnya
mereka mengetahui sunnah. Sehingga persoalan-persoalan hukum dan sosial
telah mendapat jawaban dengan sendirinya pada diri mereka. Memang diakui
adanya pergeseran-pergeseran kehidupan dan munculnya masalah baru yang
ditemui para sahabat, tetapi itu tidak terlalu signifikan sebagaimana
yang ditemukan generasi setelah sahabat. Dalam masalah-masalah
pengecualian seperti persoalan baru atau salah seorang diantara mereka
tidak mengetahui adanya sunnah, maka mereka saling memberi peringatan.
Abu Bakar, ketika diajukan kepadanya persoalan hukum, beliau
melihatnya di dalam kitab Allah. Jika ia menemukannya ia memutuskan
dengan ketentuan kitab Allah. Ketika ia tidak menemukannya juga, ia
melihatnya di dalam sunnah Nabi saw. Lalu, ia menghukum dengan sunnah
tersebut. Jika ia tidak menemukannya, ia bertanya kepada masyarakat,
“Apakah kamu mengetahui Rasulullah memutuskan perkara ini?” Maka,
terkadang berdiri satu kaum, merka berkata, “Rasul menetapkannya begini
dan begitu.” Jika tidak ditemukan adanya sunnah Nabi saw yang
menjelaskannya maka para pemimpin masyarakat berkumpul dan
memusyawarahkannya[ix]. Menurut ‘Ajjaj al-Khatib, hal yang sama juga dilakukan oleh Umar bin al-Khattab.
Ketiga, para sahabat lebih menfokuskan diri pada kegiatan
penulisan dan kodifikasi Al Qur’an. Kegiatan ini bukanlah pekerjaan
mudah, sebab sahabat-sahabat mesti menyeleksi tulisan-tulisan dan
hapalan di antara mereka untuk dibukukan dalam satu buku, mushaf. Zaid
bin Tsabit, pernah berkata ketika ditunjuk oleh khalifah memimpin
penyusunan kembali tulisan Al Qur’an bahwa ia lebih suka disuruh
memindahkan gunung Uhud ketimbang melakukan pekerjaan ini.
Keempat, adanya kebijaksanaan yang dilakukan penguasa,
khususnya ‘Umar, agar sahabat menyedikitkan riwayat. Ini disebabkan
kecenderungannya yang sangat selektif, berhati-hati, dan diiringi sikap
ketegasannya. Dalam kaitan ini kemungkinan Umar ingin melakukan
penyebaran Al Qur’an lebih diprioritaskan ketimbang Sunnah. Sebab,
andaikata gerakan sunnah lebih diutamakan, maka kemungkinan masyarakat
yang baru memeluk Islam akan melupakan Al Qur’an dan lebih
memprioritaskan Sunnah. Dengan demikian, regenerasi penghafal Al Qur’an
tentu tidak akan mencapai kesuksesan, karena perhatian kepada Sunnah.
Padahal diketahui bahwa Umar merupakan pemarkasa penulisannya Al Qur’an
dengan alasan kekhawatirannya yang besar atas wafatnya sahabat-sahabat
Nabi penghafal Al Qur’an dalam memerangi kaum murtad di masa Abu Bakar.
Kelima, sahabat khawatir terjadinya pemalsuan hadis yang
dilakukan oleh mereka yang baru masuk Islam, sebab sunnah belum
terlembaga pengumpulannya sebagaimana Al Qur’an. Umar pernah
mempersyaratkan penerimaan hadis dengan mendatangkan saksi atau
melakukan sumpah, namun beliau juga pernah menerima hadis tanpa
persyaratan itu.
Keenam, sahabat takut terjerumus ke dalam dosa kalau-kalau
mereka salah dalam meriwayatkan Sunnah. Hal ini sebagaimana yang
ditemukan pada kasus Zubair diatas.
2. tatsabbut fi ar-riwayah
Adanya gerakan pembatasan riwayat di kalangan sahabat tidaklah
berarti bahwa mereka sama sekali tidak meriwayatkan Sunnah pada masanya.
Maksud dari pembatasan tersebut hanyalah menyedikitkan periwayatan dan
penyeleksiannya. Konsekwensi dari gerakan pembatasan tersebut, muncullah
sikap berhati-hati menerima dan meriwayatkan Sunnah. Para sahabat
melakukan penyeleksian riwayat yang mereka terima dan memeriksa sunnah
yang mereka riwayatkan dengan cara mengkonfirmasikan dengan sahabat
lainnya.
Al Hakim meriwayatkan, seorang nenek bertanya kepada Abu Bakar
tentang pembagian warisan. Abu Bakar mengatakan bahwa hal itu tidak
ditemukan di dalam Al Qur’an dan Sunnah. Lalu, seorang sahabat,
al-Mugirah, menyebutkan bahwa Rasul memberinya seperenam karena
kedudukannya sebagai kakek. Abu Bakar meminta al-Mugirah untuk
mengajukan saksi terhadap pengakuanya, lalu Muhammad bin Maslamah
menyaksikannya, barulah hadisnya diterima[x]. Dengan demikian, pembatasan dan penyeleksian riwayat tersebut memang telah dilakukan sejak masa Abu Bakar.
Umar juga melakukan hal yang sama seperti Abu Bakar. Abu Sa’id
al-Khudri meriwayatkan bahwa Abu Musa al-Asy’ari memberi salam kepada
Umar dari balik pintu rumah Umar sebanyak tiga kali. Ia tidak mendengar
ada jawaban dari dalam rumah, lalu ia kembali. Setelah itu, Umar
mengutus dan mempertanyakan kenapa Abu Hasan al-Asy’ari kembali. Ia
menjawab,”Aku mendengar Rasulullah saw bersabda,” “Apabila salah seorang
kamu memberi salam sebanyak tiga kali, lalu ia tidak menjawabnya, maka
hendaklah ia kembali.” Umar meminta kesaksian terhadap pernyataan itu.
Abu Hasan datang dengan wajah suram ke satu majlis. Kami menanyakan
ihwalnya, lalu ia menjelaskan kepada kami problema yang dihadapinya. Ia
berkata,”Apakah ada di antara kamu yang mendengar sunnah Nabi tersebut?”
Kami menjawab, “Kami semua mendengarnya.” Mereka mengutus bersamanya
salah seorang di antara mereka dan memberitakan sunnah tersebut kepada
Umar bin al-Khattab[xi].
Usman bin Affan pernah berwudu’, ia berkumur-kumur dan memasukkan air
ke hidung, kemudian ia membasuh mukanya tiga kali, membasuh kedua
tangannya tiga kali-tiga kali, selanjutnya ia menyapu kepalanya, dan
kedua kakinya tiga kali-tiga kali. Kemudian, ia berkata,”Aku melihat
Rasulullah saw berwudu’ demikian,” “Hai hadirin, bukankah demikian!”
Mereka menjawab, “benar”[xii]
Asma’ bin al-Hakam pernah mendengar Ali bin Abi Thalib berkata,”…
Apabila ada orang yang menceritakan hadis kepadaku, aku menyuruhnya
untuk bersumpah. Jika ia bersumpah maka aku membenarkannya.” Hal ini
juga dilakukan oleh sahabat lain, seperti Aisyah.
Marwan bin Hakam pernah menguji hadis yang diriwayatkan oleh Abu
Hurairah. Ada kemungkinan, hal itu didasari kecurigaannya terhadap
banyaknya riwayat yang dikemukakan sahabat ini. Abu Hurairah
diuandangnya untuk hadir ke tempatnya dan dipersilakan duduk di dekat
balai-balai. Lalu, marwan bertanya kepadanya dan Salim Abu Zur’ah,
sekretaris Marwan, menulis hadis yang disampaikan oleh Abu Hurairah.
Kemudian, setelah beberapa bulan berlalu, tepatnya di awal tahun, Marwan
kembali mengundang Abu Hurairah dan mempersilakannya duduk di balik
tabir. Lalu, ia kembali bertanya tentang catatan hadis tersebut,
ternyata Abu Hurairah menjawabnya persis sebagaimana yang ia utarakan
sebelumnya, bahkan susunannya pun tidak berubah[xiii].
Berdasarkan keterangan diatas, ditemukan adanya upaya selektivitas
yang dilakukan sahabat untuk menerima periwayatan. Hal ini didorong
kehati-hatian mereka terhadap terjadinya pemalsuan, kesalahan, atau
kealfaan dalam meriwayatkan hadis Rasul saw. Sebaliknya, hal ini
bukanlah sikap eksklusif sebagian sahabat atau didasari sikap negatif
untuk menyembunyikan dan meninggalkan sunnah sebagaimana yang dilakukan
kelompok inkar sunnah. Tidak ada satu indikasipun yang menggiring
logika untuk menyimpulkan ke arah itu.
3. man’u ar-ruwat min at-tahdits bima ya’lu ‘ala fahm al ‘ammah
Ditemukan pula adanya gerakan pelarangan riwayat karena dikhawatirkan
terjadinya kesalahpahaman terhadap riwayat tersebut. Pelarangan ini
khusus terhadap riwayat yang dapat mengundang kesalahpahaman dan
meriwayatkannya kepada orang lain dengan pemahaman yang keliru tersebut.
Misalnya, hadis yang menjelaskan tentang syahadat. Nabi bersabda, “
Tidak seorang pun yang bersaksi bahwa tia tuhan kecuali Allah dengan
kesungguhan di dalam hatinya, kecuali Allah mengharamkannya api neraka.”[xiv]
Mu’az berkata, “Wahai utusan Allah, aku akan memberitahu manusia, maka
niscaya mereka akan bergembira.” Se-koyong-koyong berpeganglah kamu.”
Umar bin al-Khattab melarang Abu Hurairah untuk menyebarkan hadis yang
dikemukakan kepada Mu’az tersebut. Ia bergegas menemui Rasul saw seraya
berkata, “Wahai Rasulullah, engkau telah mengatakan kepada Abu Hurairah
begini dan begitu,“ Nabi saw menjawab,”Benar,” Umar berkata,”Jangan
engkau lakukan itu, aku takut manusia akan berpegang padanya dan
mencederai mereka dalam bertindak.” Nabi saw mengakuinya, dan
berkata,”Mereka akan rusak.”[xv]
Pelarangan ini dipahami bukanlah sebagai perbuatan negatif untuk
menyembunyikan ilmu, melainkan untuk menutupi pintu keburukan yang
besar. Sebab, masyarakat umum tidak memiliki tingkat kecerdasan yang
sama. Riwayat seperti ini dapat menjerumuskan mereka untuk meninggalkan
syariat Allah. Oleh sebab itu, sangat bijak jika Ibn Abbas
berkata,”Ceritakan kamulah hadis kepada manusia sesuai dengan kecerdasan
mereka. Apakah kamu menghendaki mereka mendustakan Allah dan Rasul.”
Disebabkan salah memahami satu hadis mereka mendustakan seluruh syariat
yang dibawa oleh Rasulullah saw. Muslim meriwayatkan di dalam
mukaddimahnya bahwa Ibn Mas’ud mengatakan, “Orang yang menyampaikan
hadis di luar jangkauan kecerdasan mereka, maka akan menjadi fitnah bagi
kaum tersebut.
D. Hadits pada Pediode Tabi’in
Pada era tabiin, keadaan Sunnah tidak jauh berbeda dari era sahabat.
Namun, pada masa ini, tabiin tidak lagi disibukkan oleh beban yang
dipikul sahabat. Sebab, Al Qur’an telah dikodifikasikan dan
disebarluaskan ke seluruh negeri Islam. Oleh sebab itu, maka tabiin
dapat memfokuskan diri untuk mempelajari Sunnah dari para sahabat.
Kemudahan lain yang diperoleh tabiin karena sahabat-sahabat Nabi saw
telah menyebar ke seluruh penjuru dunia Islam. Sehingga, mereka mudah
mendapatkan informasi tentang Sunnah.
Daerah yang telah dikuasai umat Islam pada era tabiin antara lain
Madinah, Makkah, Kufah, Bashrah, Syam, Mesir, Magribi dan Andalusia,
Yaman, Jurjan, Qazwin, Samarkand, dan lainnya. Di daerah-daerah ini
Sunnah telah tersebar luas. Untuk memudahkan menelusuri keadaan peta
penyebaran Sunnah tersebut ada baiknya dikemukakan terlebih dahulu
pusat-pusat penyebaran dan pengajaran Sunnah di atas.
1. Madinah
Madinah adalah kota Sunnah, sebab di sanalah terbentuknya masyarakat
Islam di bawah didikan Nabi saw. Mereka melihat Nabi melakukan dan
mempraktekkan Sunnah, mendengar Nabi menyampaikannya, dan mengetahui
taqrirnya. Nabi saw salat berjamaah bersama mereka di kota ini, puasa
bersama mereka, dan bermu’amalah dengan mereka. Nabi juga membentuk
negara Islam di daerah ini, mengkonsolidasikan tentara, mengatur
strategi perang, dan sebagainya. Oleh sebab itu, tidak ada kota yang
dapat menyamai reputasi Madinah dalam penyebaran Sunnah.
Setelah Rasulullah saw wafat, sebagian besar sahabat masih tinggal di
Madinah, misalnya Abu Bakar, Umar, Usman, Ali, Abu Hurairah, Aisyah,
Abdullah bin Umar, Abu Sa’id al-Khudri, Zaid bin Sabit dan lainnya.
Sahabat-sahabat ini merupakan pemuka sahabat Nabi saw dalam memahami Al
Qur’an, Hadis, hukum-hukum, qira’ah dan lainnya.[xvi]
Madinah melahirkan tabiin besar yang dikenal dengan Fuqaha’ al-Sab’ah
(fakih tujuh) antara lain Sa’id bin al-Musayyab, al-Qasim bin Muhammad,
Bin Abi bakar ash-Shiddiq, ‘Urwah bin az-Zubair, Kharijah bin bin Zaid
bin Tsabit, Abu salamah bin ‘Abd ar-Rahman, bin ‘Auf, ‘Ubaidah bin
‘Utbah bin Mas’ud, dan Sulaiman bin Yasar al-Hilali.[xvii] Selain itu di kenal juga nama seperti Muhammad bin al-Munkadir, dan lainnya.[xviii]
Ahmad bin Hanbal mengatakan bahwa Tabiin terbaik dalam ranah keilmuan adalah Ibn al-Musay-yab.[xix] Ini menunjukkan apresiasi yang tinggi yang diberikan oleh seorang mukharrij hadis terhadap tabiin Madinah.
2. Makkah
Makkah adalah kota sejarah dan salah satu pusat peradaban dan
perdagangan masyarakat Arabia pra Islam. Di kota inilah Rasul saw
dilahirkan dan diangkat menjadi Rasul. Oleh sebab itu, kota ini memiliki
arti penting bagi Nabi saw.
Kecintaan Nabi terhadap kota ini terlukis dari sikap Nabi saw ketika
bermohon kepada Allah agar kiblat kaum muslimin yang sebelumnya ke Bait
al-Maq-dis dipindahkan ke Baitillah di kota Makkah. Sahabat Nabi,
khususnya kelompok Muhajirin yang ada di Madinah mayoritas berasal dari
jazirah ini. Mereka adalah kelompok yang perdana beriman kepada
Rasulullah dan membelanya hingga Islam mencapai kejayaan. Dengan
demikian, keterikan psikologis sahabat dengan Makkah juga patut
dimaklumi.
Ketika Rasul menaklukkan kota Makkah, salah seorang sahabat tinggal
di kota ini untuk mengajarkan Islam kepada penduduknya. Beliau adalah
Mu’az bin Jabal, seorang sahabat dari kelompok Ansar yang alim dalam
hukum, mahir membaca Al Qur’an, dan memiliki sifat bijaksana. Rasul
menggolongkan Mu’az bin Jabal sebagai sahabat yang paling mengetahui
tentang halal dan haram. Nabi juga mengatakan, “Ambillah (pelajarilah)
Al Quran dari empat orang (sahabat), dari Ibn Mas’ud, Ubai, Mu’az bin
Jabal, dan Salim (maula Abi Huzaifah). Sahabat lain yang menetap di
Makkah adalah Ibn Abbas setelah kembali dari Basrah, Atab bin Asid,
Khlid bin Asid, al-Hakam bin Abi al-‘Ash, Uts-man bin Abi Talhah, dan
lainnya.[xx]
Makkah melahirkan Tabiin besar antara lain Mujahid bin Jabar, ‘Atha’
bin Abi Rabah, Thawus bin Kaisan, ‘Ikrimah (maula Ibn ‘Abbas), dan
lainnya.
3. Kufah
Kufah adalah salah satu kota terpenting dalam penyebaran Sunnah. Kota
ini ditaklukkan pada masa Umar bin al-Khattab. Sahabat yang menetap di
sana antara lain adalah Ali bin Abi Thalib, Sa’d bin Abi Waqas, Sa’id
bin Zaid bin ‘Amr bin Nafil, ‘Abdullah bin Mas’ud, dan lainnya.
Kufah melahirkan tabiin-tabiin kenamaan. Diantaranya sahabat yang
memiliki murid terbanyak adalah ‘Abdullah bin Mas’ud. Beliau memunculkan
guru-guru tabin mencapai enampuluh orang. Tabiin kenamaan di daerah ini
antara lain ar-Rabi’ bin Khatsim, Kumail bin zaid an-Nakh’i, ‘Amir bin
Syurahil asy-Sya’bi, Sa’id bin Jabir al-Asadi, Ibrahin an-Nakha’i, Abu
Ishaq as-Sabi’i, ‘Abd al-Muluk bin ‘Amir ,dan lainnya.[xxi]
4. Basrah
Basrah juga pernah didiami oleh beberapa orang sahabat. Di antara
sahabat yang terpenting yang menyebarkan Sunnah di daerah ini adalah
Anas bin Malik, Abu Musa al-Asy’ari, ‘Abdullah bin ‘Abbas, ‘Utbah bin
Gaz-wan, ‘Imran bin Hushain, Abu Barzah al-Aslami, Ma’qal bin Yasar,
‘Abdurrahman bin Samurah, Abu Zaid al-Anshari, ‘Abdullah bin Syakhkhir,
al-Hakam, ‘Utsman Bina Abi al-‘Ash.[xxii]
5. Syam
Syam merupakan daerah yang juga pernah didiami sahabat. Di antara
sahabat tersebut adalah al-Walid bin Muslim, Yazid bin Abi Sufyan, Mu’az
bin Jabal, ‘Ubadah bin ash-Shamit, Abu Darda’, Abu ‘Ubadah bin Himsh,
Abu ‘Ubaidah bin al-Jarrah, Bilal bin Rabah, Syurahbil bin Hasanah,
Khalid bin Walid, ‘Iyad bin Ganam, al-Fadhl bin al-‘Abbas bin ‘Abd
al-Muth-thalib, ‘Auf bin Malik al-Asyja’I, al-Arbadh bin Sariyah, dan
lainnya.[xxiii]
Diantara tabiin syam adalah Salim bin ‘Abdul-lah al-Muharibi, Abu
Idri al-Khaulani, Abu Suliaman ad-Darani, ‘Amir bin Hani’ al-‘Ansi
ad-Darani.[xxiv]
6. Mesir
Mesir sebagai salah satu kota tertua di dunia selalu menjadi pusat
perhatian dari berbagai rejim, tidak terkecuali pemerintahan Islam.
Dengan ditaklukannya Mesir, maka terbukalah penyebaran Islam ke daerah
Afrika. Kota ini ditaklukkan pada masa pemerintahan Umar bin al-Khattab
dengan panglima perangnya ‘Amr bin al-‘Ash. Ia disertai jumlah sahabat
lainnya seperti az-Zubair bin al-‘Awam, ‘Ubadah bin ash-Shamit, Maslamah
bin Mukhallad, al-Miqdad bin al-Aswad. Sahabat lainnya adalah ‘Uqbah
bin ‘Amir al-Juhni, Kharijah bin Haza-fah, ‘Abdullah bin Sa’d bin Abi
Syarh, Mahmiyah bin Juz, ‘Abdullah bin al-Haris bin Juz, Abu Bashrah
al-Ghifar, Abu Sa’d al-Khairi, Mu’az bin Anas al-Juhni, Mu’awiyah bin
Hudaij, Ziyad bin al-Harits ash-Sha-da’I, dan lainnya.[xxv]
Diantara tabiin Mesir yaitu Yazid bin Abi Habib, ‘Umar bin al-Harits,
Khair bin Na’im al-hadrami, ‘Abdullah bin Sulaiman ath-Thawil,
Abdurrahman bin Syuraih al-Ghafiqi, Haiwah bin Syuraih at-Tajibi, dan
lainnya.[xxvi]
7. Maghribi dan Andalusia
Dari Mesir Islam terus menyebar ke daerah jantung Afrika hingga
sampai ke Andalusia. Dalam masa pemerintahan Umar bin ak-Khattab, ‘Amr
bin al-‘Ash telah samapai ke Tripoli. Ia meminta izin agar Umar
mengizinkannya menaklukkan Afika. Namun, Umar tidak merestuinya, maka
beliau kembali bersama pasukannya ke Mesir. Oleh sebab itu, maka ‘Amr
bin al-Ash tercatat sebagai sahabat yang pertama menginjakkan kaki di
pinggiran Maghribi.
Dalam masa pemerintahan ‘Utsman bin ‘Affan, gubernur Mesir ‘Abdullah
bin Sa’d bin Abi Sarh, mendapat restu Khalifah untuk menaklukkan Afrika.
Dalam pasukan itu terdapat sahabat Nabi saw seperti ‘Abdul-lah bin
‘Abbas, Abdul-lah bin ‘Amr bin al-‘Ash, Abdul-lah bin Ja’far, al-Hasan,
al-Husain, dan Abdul-lah bin az-Zubair. Kemudian disusul oleh ‘Uqbah bin
Nafi’ dan ia diangkat menjadi pemimpin di Maghribi. Selain itu
ditemukan juga sahabat, Mas’ud bin al-As-wad, al-Miswar bin
al-Makhramah, al-Miqdad bin al-Aswad al-Kindi, Bilal bin Haris ‘Ashimi
al-Muzanni, Jabalah bin ‘Amr bin Tsa’labah, dan Salmah bin al-Akhwa’.[xxvii]
Tabiin yang memasuki Afrika antara lain as-Sa’ib bin ‘Amir bin
Hisyam, Ma’bad (Saudara Ibn ‘Abbas), ‘Abdurrahman bin al-Aswad, ‘Ashim
bin ‘Umar bin al-Khattab, ‘Abd al-Mulk bin marwan, ‘Abdurrahman bin Zaid
bin al-Khattab, Sulaiman bin Yasar, ‘Ikrimah (maula Ibn ‘Abbas), dan
Abu Manshur Walid bin Yazid bin Manshur. Dalam pada itu ‘Umar bin ‘Abdul
‘Aziz juga pernah mengutus sepuluh orang tabiin ke daerah ini untuk
mengajarkan Islam. Mereka adalah Hibban bin Abi Jabalah, Isma’il bin
‘Abdillah al-A’war, Isma’il bin ‘Abid, ‘Abdurrahman bin Rafi’
at-Tanaukhi, Sa’id bin Mas’ud at-Tajibi, dan lainnya.
Adapun tabiin yang lahir di daerah ini antara lain, Ziyad bin An’am
al-Mu’afiri, ‘Abdurrahman bin Ziyad, Yazid bin Abi Manshur, al-Mughirah
bin Abi Bardah, Rifa’ah bin Rafi’, ‘Amr bin Rasyid bin Muslim al-Kanani,
‘Imran bin ‘Abd al-Mu’afiri, al-Mughirah bin Salmah, Muslim bin Yasar
al-Afriqi, dan lainnya. Tabiin yang lahir di Andalusia antara lain Yahya
bin Yahya, Ibn Habib, Ibn Makhlad, dan lainnya.
8. Yaman
Di masa Rasulullah saw masih hidup penduduk Yaman telah masuk Islam.
Di antara sahabat yang di utus Nabi untuk mengajarkan Islam ke daerah
ini adalah Mu’az bin Jabal dan Abu Musa al-Asy’ari. Tabiin yang ternama
di Yaman yaitu Hammam, Wahb Bina Munab-bih, Thawus, Ibn Thawus, Ma’mar
bin Rasyid, ‘Abd al-Razzaq bin Hammam, dan lainnya.
9. Jurjan
Jurjan ditaklukkan ketika ‘Umar bin al-Khattab berkuasa. Sahabat yang
datang ke tempat ini antara lain Abu Abdul-lah bin Husain bin ‘Ali,
Abdul-lah bin ‘Umar, Huzaifah Ibn al-Yaman, Sa’id bin al-‘Ash, Su-waid
bin Muqarrin, Abdul-lah bin Abi Aufa, Abu Hurairah, Abdul-lah bin
az-Zubair.
10. Qazwin
Diantara sahabat yang mendatangi daerah ini adalah al-Barra’ bin
‘Azib, Sa’id bin al-‘Ash, dan lainnya. Daerah ini melahirkan tabiin
seperti Ibrahim bin Yazid an-Nakha’I, Sa’id bin Jabir, Ibn ‘Athiyah bin
‘Abd ar-Rahman, Thulaihah bin Khuwailid al-Asadi, dan lainnya.
11. Khurasan
Sahabat yang memasuki daerah Khurasan adalah Buraidah bin Hashib
al-Aslami, Abu Barzah al-Aslami, al-Hakam bin ‘Amr al-Ghiffari,
‘Abdullah bin Khazim Qatsm bin al-‘Abbas, dan lainnya. Tabiin Khurasan
antara lain adalah Muhammad bin Ziyad, Yahya bin Shabih al-Mughri,
Muhammad bin Tsabit, dan lainnya.
[i] Ahmad bin Hanbal, Musnad Ahmad bin Hanbal, Juz XII, hal 180
[ii] Ibn Majah, Sunan Ibn Majah, Juz V, Isa al-Halabi, Kairo Mesir, hal 5
[iii] Ahmad bin Hanbal, Op.cit, Juz XII, hal 161
[iv] Malik bin Anas, al-Muwaththa’, Dar al-Sahnun, Istambul, Turki, 1990, hlm 899
[v] Ahmad bin Hanbal, Musnad Ahmad bin Hanbal, Juz I, Dar al-Sahnun, Istambul Turki, 1990, hlm 173
[vi] Muhammad Abu Zahw, Al-Hadits wa al-Muhadditsun, Matba’ah Mishr, tt, hlm 57-62
[vii] Muhammad Abu Zahw, Ibid, jlm 67
[viii] Ibid, hlm.68
[ix] Ibn Qayyim al-Jauziyah, I’lam al-Muwaqqi’in, Juz I, hlm 62
[x] Malik bin Anas, Op.cit, hlm 513
[xi] Muhammad Abu Zahw, op.cit, hlm.70
[xii] Ahmad bin Hanbal, op.cit, Juz I, hlm 372
[xiii] Shubhi ash-Shalih, ‘Ulum al-Hadits wa Musthalahuh, Dar al-Ilm al-Malayin, Beirut, Libanon, 1977, jlm 317
[xiv] Ibid, hlm.72
[xv] Ibid, hlm.72-73
[xvi] Muhammad Ajjaj al-Khatib, op.cit, hlm.117
[xvii] Muhammad Jamaluddin al-Qasimi, Qawaid at-Tahdits, Min Funun Musthalah al-Hadits, Dar al-Kutub al-Ilmiyah, Beirut, Libanon, tt, hlm 74
[xviii] Muhammad Ajjaj al-Khatib, op.cit, hlm.117
[xix] Muhammad Jamaluddin al-Qasimi, loc.cit.
[xx] Muhammad Ajjaj al-Khatib, as-Sunnah Qabl at-Tadwin, hlm.166
[xxi] Abu Abdillah Muhammad bin Abdillah an-Naisaburi, Ma’rifah ‘Ulum al-Hadits, Dar al-Kutub al-Misriyah, Kairo, Mesir, 1937, hlm 243-248
[xxii] Ibid, hlm.284
[xxiii] Ibid, jlm.193
[xxiv] Muhammad Ajjaj al-Khatib, As-Sunnah Qabl at-Tadwin, op.cit, hlm.168-169
[xxv] Ibid
[xxvi] Abu Abdillah Muhammad bin Abdillah an-Naisaburi, op.cit, hlm241
[xxvii] Muhammad Ajjaj al-Khatib,Ushul al Hadits; Ulumuh wa Musthalahuh, op.cit, hlm.123-125
0 Response to "PENGERTIAN DAN SEJARAH HADIST"
Posting Komentar