Kritikan Dalam Dunia Pendidikan
BEBERAPA KRITIK TERHADAP PENDIDIKAN PERSEKOLAHAN
- John holt (1969), School is bad for children
Hampir semua anak pada saat pertama masuk sekolah adalah lebih
pandai, lebih ingin tahu, sedikit takut akan apa yang tak diketahuinya,
lebih baik dalam menggali sesuatu, lebih percaya diri, penuh inisiatif,
tangguh menghadapi masalah dan bersikap bebas ketimbang apa yang akan
didapatkan di sekolahSekolah telah membuat anak-anak yang cerdas menjadi
tidak dengan memaksakan berbagai pelajaran yang harus dipelajari oleh
mereka, demikian John Holt menulis dalam sebuah surat kabar Saturday evening Post
tahun 1969. Ini bukan kritik pertama pada sekolah, namun terbukanya
kritik tersebut ke publik merupakan tamparan penting bagi alasan
keberadaan sekolah yang dipandang bukan menjadikan anak makin baik,
bebas dan makin cerdas.
Di sekolah belajar dipisahkan dari kehidupan, sejak lahir setiap
anak belajar melalui pengalamannya dengan cara sederhana dan alami,
sementara disekolah mereka diajari hal-hal yang abstrak, konseptual,
sehingga mendorong pada keyakinan bahwa belajar hanya bisa di sekolah
dan bukan ditempat lain, seorang anak pergi kesekolah untuk belajar, dan
diluar itu nampak sebagai bukan belajar. Kondisi ini berakibat pada
tumbuhnya pemahaman bahwa belajar bersifat pasif, dimana anak-anak
sebagai objek dan sekolah merupakan lembaga yang punya otoritas tinggi
untuk menentukan apakan belajar telah terjadi atau belum. Belajar
menjadi sesuatu yang orang lain lakukan untuk anak, bukan sebagai bagian
dari pengalaman anak itu sendiri untukbelajar bagi dirinya. Dengan
demikian maka Sekolah merupakan tempat yang buruk bagi anak-anak (manusia).
Pada tahun 1977, Holt menerbitkan Bulletin dengan tema Growing
Without School (GWS), Dan cukup mendapat sambutan. Intinya adalah bahwa
anak perlu bertumbuh tanpa harus sekolah. Menurut Griffith (1998) ide
holt ini pada awalnya merujuk pada mengeluarkan anak dari sekolah, namun
dalam perkembangannya menjadi sinonim dengan dengan sekolah di rumah
(home schooling), sehingga istilah GWS menjadi makin menyempin maknanya
sebagai gaya jhusus sekolah di rumah berdasarkan pembelajaran yang
terpusat pada siswa.
- Everett Reimer, School is Dead (1969)
Sekolah telah menjadi gereja universal dari masyarakat industriyang
memasukkan dan mentransmisikan ideologinya, dan membentik fikiran
manusia untuk menerimanya serta menjadikan status sosial sesuai dengan
penerimaannya. Sistem sekolah telah menjadi mekanisme untuk
mendistribusikan nilai menggantikan keluarga dan gereja serta lembaga
pemilikan lainnya, sementara dalam masyarakat kapitalis lebih tepat
dinyatakan bahwa sekolah telah mengkonfirmasi fungsi penyebaran nilai
dari institusi-institusi lama tersebut. Kesuksesan dan kegagalan
seseorang telah dikaitkan dengan sekolah, padahal kenyataannya
menunjukan bahwa sekolah telah mempertahankan kelompok elit dengan
merampas masa dalam potensi kepemimpinannya.
- Paulo Freire, Pedagogy of the Oppressed
Freire adalah tokoh pendidikan dari Brazil yang sangat kritis pada
proses pendidikan di persekolahan, meskipun tidak mengarah pada
pembubaran sekolah namun kritiknya terhadap proses pendidikan dapat
membuat lembaga sekolah menjada ancaman bagi berkembangnya hidup dan
kehidupan masyarakat yang merdeka. Pendidikan harus merupakan usaha
menyadarkan individu untuk belajar menggali pertumbuhan dirinya melalui
situasi sehari-hari yang dapat memberikan pengalaman belajar yang
bermakna. Pendidikan bukan untuk menindas tapi pendidikan harus
membebaskan manusia menujuju sifat egaliter. Pembelajaran harus jangan
mereproduksi kata-kata yang sudah ada, tapi memerlukan upaya kreatif
individu mengemukakan kata-katanya sendiri yang memungkinkan mereka
sadar akan realitas sehingga mampu berjuang untuk kebebasannya.
Dengan pandangan tentang pendidikan dan metodenya, Paulo Freire sering dipandang sebagai pelopor pemikir pedagogi kritis
(critical pedagogy) sebagai pendekatan pembelajaran yang berupaya
membantu murid mempertanyakan dan menantang dominasi serta keyakinan dan
praktek-praktek yang mendominasi (wikipedia) .Dalam karya tulisnya
(bukunya antara lain : Education as the practice of liberation,
Pedagogy oh the oppressed, pedagogy of the heart, The Politic of
Education, Culture, Power, and Liberation) menjelaskan/mengelaborasi
bagaimana pendidikan harus dilaksanakan dalam upaya membebaskan manusia
dari situasi sosial dan pendidikan yang menekan, mendominasi dan
menjadikan manusia harus menerima apa adanya dalam situasi sosial yang
ada tanpa menyadari dan mengkritisi situasi tersebut.Pedagogi kritis
mempunyai akar/dimensi ideologi politik dalam konteks perjuangan
sosial/tranformasi kondisi sosial politik dari kekuasaan yang opresif untuk mencapai tatanan sosial politik yang adil dan egaliter, dimensi filosofis berkaitan dengan makna dan tujuan pendidikan terkait dengan pendidikan sebagai praktek pembebasan dan dimensi praktis pemberdayaan manusia/individu/peserta didik melalui konsep Conscientization
(pewujudan kesadaran kritis/the coming to critical consciousness).
konsentisasi akan membawa pada pendidikan yang membebaskan yang berfokus
pada pengembangan kesadaran kritis melalui pemahaman hubungan antara
masalah individu dan pengalaman dengan konteks sosial dimana individu
itu berada, untuk itu langkah praxis penting untuk dilakukan sebagai pendekatan reflektif atas tindakan yang melibatkan siklus teori, aplikasi, evaluasi, refleksi dan kemudian kembali lagi pada teori. Siklus tersebut akan mendorong kesadaran kritis manusia akan diridan lingkungannya.
Dalam tataran praktek pendidikan/pembelajaran terdapat beberapa
konsep penting yang menjadi bagian dari pedagogi kritis antara lain Constructivisme, Banking concept of edecation, Problem posing education, Dialogical method.
Meskipun Konsep-konsep tersebut terkait dengan seluruh dimensi dari
pedagogi kritis, namun dalam implementasinya dapat terjadi meskipun
mengacu pada kepentingan praktis pragmatis tanpa mengaitkannya dengan
dimensi ideologi politis, sehingga pelaksanaan tersebut dapat dipandang
sebagai bagian yang menyerap pedagogi kritis, baik karena kesadaran
ideologis, maupun kesadaran akan pentingnya hal tersebut dalam
meningkatkan mutu pendidikan guna mampu dalam menghadapi tantangan
perubahan yang cepat.
- Ivan Illich, Deschooling Society (1971)
Kritikan terhadap sekolah yang cukup keras dan mendapatkan perhatian
publik adalah yang dikemukakan oleh Illich yang mendambakan masyarakat
tanpa sekolah, meski bukan tanpa pendidikan sebagaimana telah
dikemukakan sebelumnya. Illich memandang bahwa sekolah telah
melembagakan msyarakat serta menjadi organ yang mereproduksi masyarakat
konsumen, sekolah telah memonopoli belajar sehingga pendidikan universal
melalui sekolah merupakan hal yang tidak mungkin meskipun dengan
merubah kelembagaan alternatif sepanjang menerapkan gaya kelembagaan
sekolah yang ada sekarang.
Illich berpendapat bahwa formalisasi pendidikan sekolah telah
mengakibatkan terjadinya monopoli dala arus informasi/pendidikan,
sehingga mencegahnya akan berdampak baik bagi masyarakat karena akan
terwujud kondisi egaliter terhadap pengetahuan, ini disebabkan
sekolah-sekolah didasarkan pada hipotesis palsu, bahwa pengetahuan
adalah hasil pengajaran berdasarkan kurikulum. Lebih jauh Illich
berpendapat bahwa sesungguhnya elajar itu adalah kegiatan manusiawi yang
paling tidak memerlukan manipulasi oleh orang lain. Sebagian besar
pengetahuan bukanlah hasil pengajaran, tetapi lebih merupalam hasil
partisipasi bebas dalam masalah-masalah yang penuh arti (1971:56)
Perlunya membebaskan masyarakat dari sekolah karena ketidak mungkinan
sekolah dapat mencapai tujuan pendidikan yang menurut Illich (Deschooling Society,1971/Wikipedia,) terdapat tiga tujuan sistem pendidikan yang baik yaitu:
- it should provide all who want to learn with access to available resources at any time in their lives; (hendaknya menyediakan pada seluruh yang mau belajar akses sumberdaya yang tersedia kapan saja sepanjang hayat)
- empower all who want to share what they know to find those who want to learn it from them; (memberdayakan semua yang ingin berbagi apa yang diketahuinya untuk menemukan mereka yang ingin belajar darinya),
- finally, furnish all who want to present an issue to the public with the opportunity to make their challenge known (melengkapi semua yang ingin menyampaikan sebuah isu pa publik dengan kesempatan guna membuat tantangan/fikiran mereka diketahui)[3]
Illich berpendapat bahwa untuk mewujudkan semua tujuan tersebut, penggunaan teknologi dapat membantu melalui learning web (opportunity web) — meskipun bukan dalam konteks melengkapi proses dalam kelembagaan yang ada seperti dikatakan Drucker
(1993) tentang pentingnya penguasaan teknologi pembelajaran sebagai
satu prasyarat bagi keberhasilan kultural dan nasional — agar pendidikan
dan pembelajaran menjadi milik semua dan untuk semua manusia. akses
pada sumberdaya pendidikan pada semua orang sepanjang hidupnya merupakan
perwujudan bahwa pendidikan adalah kehidupan dan kehidupan adalah
pendidikan, sekolah perlu menjadikan ide tujuannya menjadi bagian dari
masyarakat dan masyarakat menjadi bagian yang dapat secara terbuka dalam
ruang dan waktu untuk mengakses persekolahan. Batasan usia untuk
bersekolah perlu dipandang sebagai penerapan sisi psikologis pendidikan
dn pembelajaran namun perlu dipertimbangkan jangan sampai hal itu
menghambat manusia yang ingin mendewasakan dirinya dengan belajar, ini
memang akan memerlukan reformasi yang cukup radikal dalam konteks
hubungan sekolah dan masyarakat, namun semua sekolah sebenarnya berada
di dalam masyarakat, oleh masyarakat, untuk kehidupan dan bagi manusia,
sehingga apapun yang membawa kebaikan bagi semua itu harus menjadi
bagian penting dalam penyelenggaraan sekolah.
Kondisi demikian akan mendorong pada pemberdayaan siapapun untuk
berbagi apa yang diketahuinya pada siapapun yang memerlukannya, sehingga
pendidikan dapat benar benar menjadi suatu masyarakat yang
mengintegrasikan manusia menuju pengembangan dan kemajuan mutu hidup dan
kehidupan masyarakat, yang berimplikasi pada terbukanya isu-isu yang
kreatif dan menantang pada masyarakat sehingga makin dewasalah
masyarakat karena sekolah yang menjadi bagian pendewasaan itu. Memang
ini kedengarannya absurd, namun ini adalah harapan dan tujuan yang perlu
diperhatikan dan diformulasikan dalam tataran institusi pendidikan
sekolah, sehingga sekolah tidak menjadi jembatan rapuh ataupun jembatan
yang hanya mengantar pada suatu pulau sendirian tanpa makna relasi,
tanpa makna interaksi, dan tanpa menghidupkan hidup dan kehidupan
masyarakat sebagai ibu kandung dan anak kandung sekaligus.
- Neil Postman,The End of Education (1995)
Tanpa sebuah tujuan yang transenden dan mulia maka pendidikan di
sekolah pasti akan mencapai masa berakhirnya, dan semakin cepat kita
melakukan dengan disertai transendensi dan tujuan yang mulia, akan lebih
baik. Dengan tujuan semacam itu pendidikan akan menjadi sentral.
Melalui lembaga inilah kaum muda kita akan menjumpai alasan-alasan untuk
melanjutkan pendidikan bagi diri mereka sendiri. Dengan pernyataan
demikian Postman sebenarnya ingin mengkritisi apa yang terjadi di
sekolah dewasa ini, dimana tujuan pendidikan di sekolah amat pragmatis
dan ekonomis, tanpa suatu dasar transenden yang dapat mendorong dengan
kuat bagi alasan keberadaan sekolah, dan orang-orang untuk bersekolah.
Dengan begitu diperlukan kaji ulang tujuan pendidikan sekolah yang dapat
memberi nilai hidup dari tujuannya.Sekolah-sekolah dewasa ini dalam
melaksanakan proses pendidikannya cenderung lebih bekutat pada masalah
teknis terkait dengan cara dan kurang mempermasalahkan hal metafisik
khususnya terkait dengan tujuan yang akan merupakan landasan kuat bagi
seseorang untuk mengikuti pendidikan sekolah, dan tujuan yang kuat
haruslah bersifat transenden dan spiritual sebagai alasan yang jelas
bagi seseorang untuk belajar di sekolah.
Postman mengkritisi sekolah terkait dengan strategi dan manajemen
organisasi sekolah yang cenderung kurang memikirkan masalah metafisik,
dengan tetap percaya bahwa kelembagaan sekolah tetap diperlukan, karena
sekolah akan berlangsung terus sebab tidak ada seorangpun yang bisa
membuat cara yang lebih baik dalam mengenalkan para kaum muda kita
terhadap dunia belajar selain sekolah. Sekolah umum akan terus
berlangsung karena tidak ada seorangpun yang bisa membuat cara yang
lebih baik dalam menciptakan ruang publik selain sekolah. Jadi intinya
perlu perbaikan dalam tujuan pendidikan sekolah, dan buka untuk
menghapuskan sekolah, karena lembaga pendidikan ini masih tetap
diperlukan masyarakat dalam membangun ruang publik untuk belajar.
- Hyman dan Snook, Dangerous Scholl (1999)
Sekolah telah menjadi tempat yang berbahaya bagi para siswa karena
berbagai praktek yang cenderung mengabaikan prinsip pendidikan dalam
menangani para siswa. Sekolah telah makin meningkat dalam mengadopsi
penegakan hukum ketimbang model-model pendidikan dalam mengurangi
kekerasan. Dengan demikian sekolah telah melakukan penangan yang keliru
(maltreatment) baik secara fisik (physical maltreatment) maupun secara
psikologis (psychological maltreatment). Kekeliruan penanganan secara
fisik terjadi melalui corporeal punishment yaitu penghukuman
dengan mengaitkan aspek fisik di dalamnya, sementara kekeliruan aspek
psikologis terjadi dalam hal-hal berikut:
- Disiplin dan pengawasan berdasarkan ketakutan dan intimidasi
- Interaksi manusia yang rendah, karena guru kurang tertarik berkomunikasi, peduli serta sikap pada murid yang abai, terisolasi serta penolakan (tidak menerima apa adanya)
- Kesempatan siswa yang terbatas untuk mengembangkan ketrampilan yang memadai serta perasaan berharga.
- Mendorong ketergantungan dan kepatuhan buta, khususnya pada hal hal yang siswa mampu mandiri melakukannya
- Teknik memotivasi yang terlalu kritis, terlalu menuntut, tak masuk akal, dan mengabaikan usia dan kemampuan anak.
- Menolak kemungkinan siswa untuk mengambil resiko yang sehat seperti mengeksplorasi ide yang tidak biasa dan tidak disetujui guru
- Kekerasan verval seperti sarcasme, menyindir, merendahkan, dan merusak nama baik
- Mengkambing hitamkan siswa serta mem-buly
- Gagal mengintervensi ketika siswa diperolok, di buly, dan dikambing-hitamkan oleh teman-temannya.
Sekolah menjadi tempat yang membelenggu kebebasan, ekpresi terbuka
serta berbagai kegiatan anak menjadi amat terkontrol dengan cara yang
tidak atau kurang kondosif bagi berkembangnya pendidikan yang manusiawi
dan menyenangkan, sehingga sekolah benar-benar menjadi tempat yang
berbahaya bagi perkembangan manusia menjadi manusia yang manusiawi
0 Response to "Kritikan Dalam Dunia Pendidikan "
Posting Komentar