TANTANGAN BAGI DUNIA PENDIDIKAN
BUDAYA KORUPSI DAN KORUPSI BUDAYA :
TANTANGAN BAGI DUNIA PENDIDIKAN
Oleh : Muhammad Alifuddin
- 1. Pendahuluan
Fenomena korupsi bukan hal yang baru, mungkin telah ada sejak awal
sejarah manusia kecuali pada masa yang sangat primitif (Alatas, 1983),
dimana secara konsep prilaku belum dikenal meskipun gejalanya bisa saja
sudah ada. Korupsi secara historis merupakan konsep dan prilaku
menyimpang secara hukum, ketika secara sosial polotik telah terjadi
pemisahan antara kepentingan pribadi dengan kepentingan publik, namun
pada masa kekuasaan dikaitkan dengan hereditas dan pelimpahan wewenang
dari yang maha kuasa (kekuatan supranatural) dan atau karena
kepahlawanan (knight) yang diikuti dengan perasaan berhak atas
keistimewaan (dengan dukungan diam-diam dari rakyat) maka terdapat
kecenderungan untuk melihat bahwa pemanfaatan berbagai sumberdaya
finansial dan non finasial untuk kepentingan penguasa atau Knight
sebagai hal yang wajar meskipun at the expense of the people, karena keluarbiasaan historis dan kekuasaannya yang bukan berasal dari rakyat.
Onghokham (1983) telah mencoba mengkaji masalah korupsi dalam kontek
Indonesia, dimana menurut dia fenomena korupsi telah ada sejak jaman
kerajaan-kerajan di indonesia melalui venality of power, dimana
kedudukan diperjualkan kepada orang atau kelompok yang mampu membayar
untuk kemudian mereka diberi kedudukan yang berhak melakukan pemungutan
pajak yang tanpa kontrol hukum sehingga penyimpangan yang terjadi (abuse of power)
sulit diperbaiki karena lemahnya kontrol pemerintah/kerajaan serta
pendiaman oleh masyarakat,. Bahkan VOC juga melakukan hal ini pada
daerah-daerah yang dikuasainya melalui para demang dan atau
bupati/penguasa daerah. Kondisi ini jelas menunjukan bahwa baik secara
universal maupun keindonesiaan, korupsi memppunyai akar historis yang
cukup kuat dalam kehidupan masyarakat, dan makin meningkat seiring
dengan upaya pembangunan yang massif yang menggunakan dana besar dalam
bentuk pinjaman Luar Negeri sebagai bagian inheren bagi hampir semua
negara berkembang untuk meningkatkan mutu hidup masyarakat melalui rezim
Developmentalist.
- 2. Budaya korupsi dan korupsi budaya
Apakah korupsi telah menjadi budaya?, jawabannya pasti akan
bervariasi tergantung apa yang dimaksud dengan budaya serta kekuatan
ikatannya dalam menentukan pola dan norma kehidupan sosial masyarakat.
Moh Hatta pernah menyatakan bahwa korupsi di indonesia telah menjadi
budaya dengan melihat fenomena yang terjadi, namun bila budaya itu
diwariskan apakah nenek moyang kita mengajarkan korupsi atau suatu
perbuatan yang kemudian dalam masa modern disebut korupsi ?, masalahnya
jelas jadi rumit oleh karena itu penyebutan tersebut perlu dilakukan
hati-hati atau harus dengan referensi pemaknaan budaya yang spesifik
dengan selalu memperhatikan continuity and change.
Dalam periode awal pada setiap daerah/bangsa termasuk Indonesia
umumnya melalui fase-fase kehidupan sosial (August Comte) dari mulai
fase teologis, metafisik dan positif. Budaya dalam arti nilai yang umum
dijalankan dalam fase animisme (teologi, metafisik) guna mengendalikan
berbagai kejadian yang merugikan/merusak kehidupan masyarakat, pemberian
sesajen menjadi salah satu instrumen penting untuk menenangkan dan
memperkuat posisi kehidupan manusia, dengan sesajen diharapkan penguasa
supranatural dapat melindungi kehidupan mereka. Nah kalau demikian
apakah manusia berprilaku menyogok (bribery) kepada kekuatan adi kuasa?,
jawabannya bisa ya dan bisa tidak dari sudut pandang individu itu
tergantung niat, namun dari sudut sosial hal itu dimaksudkan sebagai
upaya menjaga keseimbangan kehidupan dengan penguasa supranatural yang
dipandang besar pengaruhnya bagi kehidupan manusia.
Dengan demikian prilaku menaklukan atau mengendalikan fihak yang
menguasai melalui berbagai upaya pemberian/sesajen telah menjadi bagian
dari nilai kehidupan pada masa animismen, dan jika demikian maka bentuk
bentuk korupsi yang terjadi dewasa ini bisa saja di rujukan pada budaya
tersebut, sehingga masalahnya nampak jadi kompleks dalam konteks
perkembangan dunia modern dewaswqa ini.
Namun demikian, hal yang jelas adalah bahwa korupsi yang terjadi
dalam level manapun merupakan hal yang dapat menghancurkan nilai-nilai
etika serta norma sosial dan nilai agama, sehingga dapat menjadi prilaku
yang mengkorupsi budaya, dan ketika secara bertahap atau sekaligus
diterima oleh masyarakat sebagai sesuatu yang wajar, maka disitu telah
terjadi korupsi budaya yang kemudian membentuk budaya korupsi. Dengan
demikian jika pun benar ada budaya korupsi, maka itu sebenarnya terjadi
karena korupsi budaya akibat makin lemahnya kontrol sosial/pengabaian
terhadap upaya mementingkat pribadi diatas kepentingan publik pada saat
mereka mempunyai kedudukan/jabatan atas mandat publik baik langsung
maupun tak langsung.
- 3. Apa itu korupsi ?
The word corrupt (Middle English, from Latin corruptus, past participle of corrumpere, to destroy : com-, intensive pref. and rumpere, to break) when used as an adjective literally means “utterly broken” Korupsi (bahasa Latin: corruptio dari kata kerja corrumpere yang bermakna busuk, rusak, menggoyahkan, memutarbalik, menyogok). Secara harfiah, korupsi adalah perilaku pejabat publik, baik politikus/politisi maupun pegawai negeri,
yang secara tidak wajar dan tidak legal memperkaya diri atau memperkaya
mereka yang dekat dengannya, dengan menyalahgunakan kekuasaan publik
yang dipercayakan kepada mereka (Wikipedia)
Secara istilah Banyak para ahli yang mencoba merumuskan korupsi, yang
jka dilihat dari struktrur bahasa dan cara penyampaiannya yang berbeda,
tetapi pada hakekatnya mempunyai makna yang sama. Brasz (1963. dalam
Lubis,1985) menyatakan bahwa korupsi merupakan penggunaan yang korup
dari derived power atau sebagai penggunaan secara diam-diam
kekuasaan yang dialihkan berdasarkan wewenang yang melekat pada
kekuasaan itu atau berdasarkan kemampuan formal, dengan merugikan tujuan
tujuan kekuasaan asli dan dengan menguntungkan orang luar atas dalih
menggunakan kekuasaan itu dengan syah.
Wertheim (dalam Lubis, 1970) menyatakan bahwa seorang pejabat
dikatakan melakukan tindakan korupsi bila ia menerima hadiah dari
seseorang yang bertujuan mempengaruhinya agar ia mengambil keputusan
yang menguntungkan kepentingan si pemberi hadiah. Kadang-kadang orang
yang menawarkan hadiah dalam bentuk balas jasa juga termasuk dalam
korupsi. Selanjutnya, Wertheim menambahkan bahwa balas jasa dari pihak
ketiga yang diterima atau diminta oleh seorang pejabat untuk diteruskan
kepada keluarganya atau partainya/ kelompoknya atau orang-orang yang
mempunyai hubungan pribadi dengannya, juga dapat dianggap sebagai
korupsi. Dalam keadaan yang demikian, jelas bahwa ciri yang paling
menonjol di dalam korupsi adalah tingkah laku pejabat yang melanggar
azas pemisahan antara kepentingan pribadi dengan kepentingan masyarakat,
pemisaham keuangan pribadi dengan masyarakat.
Sementara itu Alatas (1983) menyatakan bahwa korupsi secara umum
adalah apabila seorang pegawai negeri menerima pemberian yang disodorkan
oleh seorang swasta dengan maksud mempengaruhinya agar memberikan
perhatian istimewa pada kepentingan si pemberi. Lebih lanjut Alatas
menyebutkan tiga fenomena yang termasuk dalam korupsi yaitu bribery, extortion dan nepotism.
Dengan demikian korupsi merupakan gejala salah pakai dan salah urus
dari kekuasaan, demi keuntungan pribadi, salah urus dan kesewenangan
terhadap sumber-sumber kekayaan negara dengan menggunakan
wewenang/kekuasaan dan kekuatan kekuatan formal (misalnya denagan alasan
hukum dan kekuatan senjata) untuk memperkaya diri sendiri. Korupsi
terjadi disebabkan adanya penyalahgunaan wewenang dan jabatan/kekuaasaan
yang dimiliki oleh pejabat atau pegawai demi kepentingan pribadi dengan
mengatasnamakan pribadi dan atau keluarga, sanak saudara dan teman.
- 4. Apa penyebab korupsi ?
Korupsi selalu terjadi dalam suatu konteks sosial yang membentuk
konsep diri dan definisi situasi seseorang yang ketika terjadi proses
soaial akan mendorng berbagai kecenderungan muncul sejalan dengan
kebiasaan yang ada baik yang terbuka maupun tertutup. Korupsi cenderung
terjadi secara tertutup dan kalaupun terbuka selalu ada upaya untuk
menutupinya. Menurut Wang An Shih tokoh besar Cina yang hidup pada aban
11, korupasi terjadi karena buruknya hukum dan buruknya manusia. Yang pertama terkait dengan atribut kelembagaan (institutional attributes)
dan yang kedua dengan atribut masyarakat (societal attributes), dan
secara lebih rinci Alatas (1983) menyebutkan faktor-faktor penyebab
terjadinya korupsi adalah :
- Ketiadaan atau kelemahan kepemimpinan dalam posisi posisi kunci yangg mampu memberikan ilham dan mempengaruhi tingkah laku yang menjinakan korupsi
- Kelemahan pengajaran pengajaran agama dan etika
- Kolonialisme
- Kurangnya pendidikan
- Kemiskinan
- Tiadanya tindak hukum yang keras
- Kelangkaan lingkungan yang subur untuk prilaku anti korupsi
- Struktur pemerintahan
- Perubahan radikal
- Keadaan masyarakat
Penyebab penyebab tersebut ada yang bersifat kelembagaan, ekonomi,
sosial dan individual serta ada yang bersifat mandiri dan yang bersifat
kausal, namun demikian hal yang dapat dicatat adalah bahwa menghilangkan
penyebab secara parsial akan suit untuk menjamin korupsi akan hilang,
paling tidak hanya mengurangi tingkat kemerajalealaannya dalam kehidupan
bangsa.
- 5. Apa kondisi yang kondusif bagi munculnya korupsi ?
Faktor-faktor penyebab terjadinya korupsi ada yang bersifat aktual
dan potensial dalam arti bisa saja terjadi perubahan dalam penyebab
tidak serta merta dapat menjadi pengurang terjadinya korupsi karena bila
trigger nya menguat. Dan hal ini terkait dengan kondisi-kondisi yang
kondusif bagi terjadinya korupsi. Kindisi tersebut mencakup hal-hal
berikut :
- Konsentrasi kekuasan di pengambil keputusan yang tidak bertanggung jawab langsung kepada rakyat, seperti yang sering terlihat di rezim-rezim yang bukan demokratik.
- Kurangnya transparansi di pengambilan keputusan pemerintah
- Kampanye-kampanye politik yang mahal, dengan pengeluaran lebih besar dari pendanaan politik yang normal.
- Proyek yang melibatkan uang rakyat dalam jumlah besar.
- Lingkungan tertutup yang mementingkan diri sendiri dan jaringan “teman lama”.
- Lemahnya ketertiban hukum.
- Lemahnya profesi hukum.
- Kurangnya kebebasan berpendapat atau kebebasan media massa.
- Gaji pegawai pemerintah yang sangat kecil.
- Rakyat yang cuek, tidak tertarik, atau mudah dibohongi yang gagal memberikan perhatian yang cukup ke pemilihan umum.
- Ketidakadaannya kontrol yang cukup untuk mencegah penyuapan atau “sumbangan kampanye”. (Wikipedia)
Oleh karena itu disamping diperlukan menghilangkan
penyebab-penyebabnya, diperlukan juga upaya mempersempit ruang gerak
atau kondisi yang dapat memicu terjadinya korupsi, agar upaya
pemberantasan korupsi dapat berjalan efektif dan signifikan bagi
penguatan kehidupan berbangsa.
- 6. Apa akibat/dampak korupsi ?
Meskipun terdapat beberapa pakar seperti Nathaniel Lef, dan Bayley (meningkatkan investasi, fleksibilitas administrasi, percepatan penyelesaian pekerjaan terkait birokrasi)
yang melihat ada dampak positif dari korupsi, namun secara universal
korupsi lebih banyak dipandang sebagai prilaku yang berakibat pada
keruksakan tatanan sosial ekonomi dan budaya serta mutu kehidupan
masyarakat suatu bangsa. Nye dalam Revida (2003) menyatakan bahwa
akibat-akibat korupsi adalah :
- Pemborosan sumber-sumber, modal yang lari, gangguan terhadap penanaman modal, terbuangnya keahlian, bantuan yang lenyap.
- ketidakstabilan, revolusi sosial, pengambilan alih kekuasaan oleh militer, menimbulkan ketimpangan sosial budaya.
- pengurangan kemampuan aparatur pemerintah, pengurangan kapasitas administrasi, hilangnya kewibawaan administrasi.
Selanjutnya Mc Mullan (1961) menyatakan bahwa akibat korupsi adalah
ketidak efisienan, ketidakadilan, rakyat tidak mempercayai pemerintah,
memboroskan sumber-sumber negara, tidak mendorong perusahaan untuk
berusaha terutama perusahaan asing, ketidakstabilan politik, pembatasan
dalam kebijaksanaan pemerintah dan tidak represif. Berdasarkan pendapat
para ahli di atas, maka dapat disimpulkan akibatakibat korupsi diatas
adalah sebagai berikut :
- Tata ekonomi seperti larinya modal keluar negeri, gangguan terhadap perusahaan, gangguan penanaman modal.
- Tata sosial budaya seperti revolusi sosial, ketimpangan sosial.
- Tata politik seperti pengambil alihan kekuasaan, hilangnya bantuan luar negeri, hilangnya kewibawaan pemerintah, ketidakstabilan politik.
- Tata administrasi seperti tidak efisien, kurangnya kemampuan administrasi, hilangnya keahlian, hilangnya sumber-sumber negara, keterbatasan kebijaksanaan pemerintah, pengambilan tindakan-tindakan represif. (Revida, 2003)
Dengan demikian Secara umum akibat korupsi adalah merugikan negara
dan merusak sendi-sendi kebersamaan serta memperlambat tercapainya
tujuan nasional seperti yang tercantum dalam Pembukaan Undang-undang
Dasar 1945.
- 7. Bagaimana menanggulangi korupsi ?.
Kalau korupsi dibiarkan secara terus menerus tanpa upaya
menanggulanginya, maka akan terbiasa dan menjadi subur dan akan
menimbulkan sikap mental pejabat yang selalu mencari jalan pintas yang
mudah dan menghalalkan segala cara (the end justifies the means).
Meskipun berbagai upaya belum tentu dapat menghilangkan korupsi, tapi
paling tidak dapat menguranginya. Untuk itu, korupsi perlu ditanggulangi
secara tuntas dan bertanggung jawab dan masif dengan pendekatan
simultan. Ada beberapa upaya penggulangan korupsi yang ditawarkan para
ahli yang masing-masing memandang dari berbagai segi dan pandangan.
Caiden (dalam Soerjono, 1980) memberikan langkah-langkah untuk
menanggulangi korupsi sebagai berikut :
- Membenarkan transaksi yang dahulunya dilarang dengan menentukan sejumlah pembayaran tertentu.
- Membuat struktur baru yang mendasarkan bagaimana keputusan dibuat.
- Melakukan perubahan organisasi yang akan mempermudah masalah pengawasan dan pencegahan kekuasaan yang terpusat, rotasi penugasan, wewenang yang saling tindih organisasi yang sama, birokrasi yang saling bersaing, dan penunjukan instansi pengawas adalah saran-saran yang secara jelas diketemukan untuk mengurangi kesempatan korupsi.
Bagaimana dorongan untuk korupsi dapat dikurangi ? dengan jalan
meningkatkan ancaman. Korupsi adalah persoalan nilai. Nampaknya tidak
mungkin keseluruhan korupsi dibatasi, tetapi memang harus ditekan
seminimum mungkin, agar beban korupsi organisasional maupun korupsi
sestimik tidak terlalu besar sekiranya ada sesuatu pembaharuan
struktural, barangkali mungkin untuk mengurangi kesempatan dan dorongan
untuk korupsi dengan adanya perubahan organisasi. Cara yang
diperkenalkan oleh Caiden di atas membenarkan (legalized) tindakan yang
semula dikategorikan kedalam korupsi menjadi tindakan yang legal dengan
adanya pungutan resmi. Di lain pihak, celah-celah yang membuka untuk
kesempatan korupsi harus segera ditutup, begitu halnya dengan struktur
organisasi haruslah membantu kearah pencegahan korupsi, misalnya
tanggung jawab pimpinan dalam pelaksanaan pengawasan melekat, dengan
tidak lupa meningkatkan ancaman hukuman kepada pelaku-pelakunya.
Selanjutnya, Myrdal (dalam Lubis, 1987) memberi saran penaggulangan
korupsi yaitu agar pengaturan dan prosedur untuk keputusan-keputusan
administratif yang menyangkut orang perorangan dan perusahaan lebih
disederhanakan dan dipertegas, pengadakan pengawasan yang lebih keras,
kebijaksanaan pribadi dalam menjalankan kekuasaan hendaknya dikurangi
sejauh mungkin, gaji pegawai yang rendah harus dinaikkan dan kedudukan
sosial ekonominya diperbaiki, lebih terjamin, satuan-satuan pengamanan
termasuk polisi harus diperkuat, hukum pidana dan hukum atas
pejabat-pejabat yang korupsi dapat lebih cepat diambil. Orang-orang yang
menyogok pejabat-pejabat harus ditindak pula. Persoalan korupsi
beraneka ragam cara melihatnya, oleh karena itu cara pengkajiannya pun
bermacam-macam pula. Korupsi tidak cukup ditinjau dari segi deduktif
saja, melainkan perlu ditinaju dari segi induktifnya yaitu mulai melihat
masalah praktisnya (practical problems), juga harus dilihat apa yang
menyebabkan timbulnya korupsi. Kartono (1983) menyarankan penanggulangan
korupsi sebagai berikut :
- Adanya kesadaran rakyat untuk ikut memikul tanggung jawab guna melakukan partisipasi politik dan kontrol sosial, dengan bersifat acuh tak acuh.
- Menanamkan aspirasi nasional yang positif, yaitu mengutamakan kepentingan nasional.
- para pemimpin dan pejabat memberikan teladan, memberantas dan menindak korupsi.
- Adanya sanksi dan kekuatan untuk menindak, memberantas dan menghukum tindak korupsi.
- Reorganisasi dan rasionalisasi dari organisasi pemerintah, melalui penyederhanaan jumlah departemen, beserta jawatan dibawahnya.
- Adanya sistem penerimaan pegawai yang berdasarkan “achievement” dan bukan berdasarkan sistem “ascription”.
- Adanya kebutuhan pegawai negeri yang non-politik demi kelancaran administrasi pemerintah.
- Menciptakan aparatur pemerintah yang jujur
- Sistem budget dikelola oleh pejabat-pejabat yang mempunyai tanggung jawab etis tinggi, dibarengi sistem kontrol yang efisien.
- Herregistrasi (pencatatan ulang) terhadap kekayaan perorangan yang mencolok dengan pengenaan pajak yang tinggi.
- 8. Apa Peran Pendidikan dalam menanggulangi korupsi ?.
Pendidikan merupakan instrumen penting dalam pembangunan bangsa baik
sebagai pengembang dan peningkat produktivitas nasional maupun sebagai
pembentuk karakter bangsa. Terlepas dari masalah korupsi itu sebagai
budaya atau bukan yang jelas peran pendidikan akan dapat membantu
meningkatkan ketahanan masyarakat dalam menghadapi dan memberantas
korupsi. Buruknya manusia dapat ditranformasikan ke dalam hal yang
positif melalui pendidikan, karena pendidikan adalah usaha sadar dan
terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar
peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki
kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian,
kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya,
masyarakat, bangsa dan negara.
Pendidikan merupakan upaya normatif yang mengacu pada nilai-nilai
mulia yang menjadi bagian dari kehidupan bangsa, yang dengannya nilai
tersebut dapat dilanjutkan melalui peran transfer pendidikan baik aspek
kognitif, sikap maupun ketrampilan. Pendidikan membimbing manusia
menjadi manusia manusiawi yang makin dewasa secara intelektual, moral
dan sosial, dalam konteks ini pendidikan merupakan pemelihara budaya.
Namun demikian dalam konteks perubahan yang cepat dewasa ini pendidikan
tidak cukup berperan seperti itu namun juga harus mampu melakukan
transformasi nilai dalam tataran instrumental sesuai dengan tuntutan
perubahan dengan tetap menjadikan nilai dasar sebagai fondasi.
Dengan demikian secara umum pendidikan dapat dipandang sebagai upaya
preventif bagi berkembangnya sikap dan prilaku korup meskipun secara
empiris jelas tidak cukup mengingat faktor pressure sosial politik yang
dapat juga mendistorsi peran normatif tersebut. Belakangan ini memang
berkembang wacana akan perlunya pendidikan karakter, namun jika dilihat
secara substantif pendidikan kita seperti tertuang dalam Undang-undang
no 20 th 2003 sebenarnya adalah pendidikan karakter, jadi pendidikan
karakter ya pendidikan. Yang lebih penting adalah bagaimana menciptakan
karakter pendidikan bangsa dapat diselenggarakan dengan menjunjung
tinggi kemandirian dan kejujuran, beberapa kasus yang terjadi justru
kebijakan pendidikan tertentu (seperti UN) telah banyak mendorong sikap
dan prilaku ketidak jujuran yang dapat menjadikan orang terbiasa dengan
kecurangan yang nota bene merupakan potensi bagi berkembangnya korupsi
atau paling tidak pengabaian terhadapnya. Dengan demikian pendidikan
merupakan sarana atau bisa juga dipandang sebagai suatu respon yang
tepat untuk meningkatkan ketahanan etika bangsa melalui reformasi sosial
yang pada gilirannya dapat menjadi pemicu bagi terjadinya reformasi
kelembagaan, sebab Possible responses to these underlying causes of
corruption include institutional reforms to limit authority, improve accountability, and realign incentives, as well as societal eforms to
change attitudes and mobilize political will for sustained
anti-corruption interventions. While the handbook offers detailed
descriptions of different types of institutional and societal reforms, a
strategy to fight corruption cannot and need not contain each of the
institutional and societal reforms discussed. Strategy choices must be
made after taking into account the nature of the corruption problem and
the opportunities and constraints for addressing it. Reformasi
kelembagaan dapat memagari secara eksternal kemungkinan prilaku korupsi,
dan reformasi masyarakat dapat memagari secara internal kemungkinan
tumbuh dan berkembangnya prilaku korupsi, dan semua ini dapat
memperbaiki hukum (aspek kelembagaan) dan memperbaiki serta meningkatkan
mutu manusia, dalam konteks inilah pendidikan menjadi amat penting.
- 9. Penutup
Korupsi, apakah sudah jadi budaya atau bukan, adalah penyalahgunaan
wewenang yang ada pada pejabat atau pegawai demi keuntungan pribadi,
keluarga dan teman atau kelompoknya, baik dalam bentuk Bribery,
extortion, maupun nepotism. 2. Korupsi menghambat pembangunan, karena
merugikan negara dan merusak sendi-sendi kebersamaan dan menghianati
cita-cita perjuangan bangsa. Cara penaggulangan korupsi adalah bersifat
Preventif dan Represif. Pencegahan (preventif) yang perlu dilakukan
adalah dengan menumbuhkan dan membangun etos kerja pejabat maupun
pegawai tentang pemisahan yang jelas antara milik negara atau perusahaan
dengan milik pribadi, mengusahakan perbaikan penghasilan (gaji),
menumbuhkan kebanggaan-kebanggaan dan atribut kehormatan diri setiap
jabatan dan pekerjaan, teladan dan pelaku pimpinan atau atasan lebih
efektif dalam memasyarakatkan pandangan, penilaian dan kebijakan,
terbuka untuk kontrol, adanya kontrol sosial dan sanksi sosial,dan
pendidikan dapat menjadi instrumen penting bila dilakukan dengan tepat
bagi upaya pencegahan tumbuh dan berkembangnya korupsi. Sementara itu
untuk tindakan represif penegakan hukum dan hukuman yang berat perlu
dilaksanakan dan apabila terkait dengan implementasinya maka aspek
individu penegak hukum menjadi dominan, dalam perspektif ini pendidikan
juga akan berperan penting di dalamnya.
DAFTAR PUSTAKA
- Bellone, Carl.1980.Organization Theory and The New Public Administration. United States Of America.Allyn and Bacon, Inc. Boston/ London Sydney/ Toronto.
- Onghokham, Tradisi dan Korupsi, Prisma no 2 , tahun XII, pebruari 1983
- Frederickson, George, H. 1984. Administrasi Negara Baru. Terjemahan. Jakarta. LP3ES. Cetakan Pertama.
- Kartono, Kartini. 1983. Pathologi Sosial. Jakarta. Edisi Baru. CV. Rajawali Press.
- Lamintang, PAF dan Samosir, Djisman. 1985. Hukum Pidana Indonesia. Bandung. Penerbit Sinar Baru.
- Lubis, Mochtar. 1977. Bunga Rampai Etika Pegawai Negeri. Jakarta. Bhratara. Karya Aksara.
- Simon, Herbert. 1982. Administrative Behavior. Terjemahan St. Dianjung. Jakarta. PT. Bina Aksara.
- Lubis, Mochtar, 1985. Bunga Rampai Korupsi, LP3ES, Jakarta
- Alatas, Syed Hussein, 1983. Sosiologi Korupsi, LP3ES, Jakarta
- Gie, Kwik Kian, 2003. Pemberantasan Korupsi
- Center for Democracy and Governance, 1999. A Handbook On Fighting Corruption. Washington, D.C. 20523-3100
- Vaknin, Sam.` 2003. Crime and Corruption, 1st EDITION. A Narcissus Publications Imprint, Skopje 2003
13. Revida, Erika. 2003. Korupsi Di Indonesia: Masalah Dan
Solusinya, Fakultas Ilmu Sosial Dan Ilmu Politik Universitas Sumatera
Utara
0 Response to "TANTANGAN BAGI DUNIA PENDIDIKAN"
Posting Komentar