Dialektika Filsafat dalam Tahafut al-Falasifah dan Tahafut al-Tahafut

Diskursus Kalam dan Filsafat dalam Tahafut al-Falasifah dan Tahafut al-Tahafut

“serangan al-Ghazali terhadap dunia keilmuan masa tersebut sehingga memunculkan ketakutan-ketakutan bagi para pelajar untuk mengkaji filsafat”

A.            Muqaddimah
Tahafut al-Falasifah (Inkoherensi Filosof) dan Tahafut al-Tahafut (Inkoherensi orang yang inkoheren) adalah dua karya ini memiliki arti penting dalam pemikiran Islam khususnya Filsafat Islam mengingat bahwa kedua karya ini lahir dari dua tokoh yang sangat berpengaruh di dalam dunia Islam yang mewakili genre masing-masing. Al-Ghazali seorang teolog dan Ibn Rushd seorang filosof dan juga efek dari serangan al-Ghazali terhadap dunia keilmuan masa tersebut sehingga memunculkan ketakutan-ketakutan bagi para pelajar untuk mengkaji filsafat. Al-Ghazali tidak hanya menyerang pandangan filsafat dengan dasar argumentasi akan tetapi menggunakan kata-kata yang sarkastis bahkan  mengkafirkan para filosof yang menurut sebagian pengkaji filsafat terlalu dianggap terlalu berlebihan.
Sulayman al-Dunya menyebut bahwa masa ditulisnya Tahafut al-Falasifah adalah masa-masa kegalauan dan ketidak percayaan al-Ghazali pada banyak disiplin ilmu Islam . Ibn Rushd, 90 tahun kemudian sejak ditulis Tahafut al-Falasifah menulis jawaban dengan judul Tahafut al-Tahafut, sayangnya jawaban ini sedikit terlambat kehadirannya sehingga dianggap tidak mengatasi pengaruh yang telah dihasilkan Tahafut al-Falasifah. Namun demikian kedua karya tersebut menempati ruang tersendiri dalam sejarah pemikiran Islam dan menjadi kajian para peneliti sampai saat ini. Sebelum kita berbicara lebih lanjut tentang karya tersebut ada baiknya sekilas kita mengenal kedua tokoh besar Al-Ghazali dan Ibn Rushd

B.            Riwayat Hidup Imam Al-Ghazali
Al-Ghazali nama lengkapnya adalah Al-Ghazali Muhammad Ibnu Muhammad Al-Ghazali, yang terkenal dengan gelar hujjatul Islam. Beliau lahir tahun 450 H, bertepatan dengan 1059 M di Ghazalah, suatu kota kecil yang terlelak di Thus wilayah Khurasan Iran.
Perjalanan al-Ghazali dalam memulai pendidikannya di wilayah kelahirannya. Kepada ayahnya beliau belajar Al-qur’an dan dasar-dasar ilmu keagamaan lainnya, selanjutnya mempelajari dasar-dasar pengetahuan lainnya di Thus.
Santunan kehidupan sebagaimana lazimnya waktu beliau untuk belajar fiqh pada Imam Kharamain,  al-Ghazali mempelajari beragam mazhab– dan ikhtilaf yang terjadi diantaranya (perbedaan pendapat), mantik, hikmah, dan falsafah.
Setelah Imam Kharamain wafat, beliau pergi ke Baghdad dan mengajar di Nizhamiyah. Beliau mengarang kitab al-basith, al-wasith, al-wajiz, dan al-khulashah. Dalam ushul fiqih beliau mengarang kitab al-mustasfa, al-mankhul, bidayatul hidayah, dan kitab-kitab lain dalam berbagai bidang.
Antara tahun 465-470 H. al-Ghazali belajar fiqih dan ilmu-ilmu dasar yang lain dari Ahmad Al-Radzaski di Thus, dan Abu Nasral Ismaili di Jurjan. Setelah al-Ghazali kembali ke Thus, dan selama 3 tahun di tempat kelahirannya, beliau mengaji ulang pelajaran di Jurjan sambil belajar tasawuf  kepada Yusuf Al Nassai (w-487 H). Pada tahun itu al-Ghazali berkenalan dengan al-Juwaini dan memperoleh ilmu kalam dan mantiq.
Walaupun kemashuran telah diraihnya, al-Ghazali tetap setia terhadap gurunya sampai wafatnya pada tahun 478 H. Sebelum al Juwani wafat, beliau memperkenalkan Imam al-Ghazali kepada Nidzham Al-Mulk, perdana menteri sultan Saljuk Malik Syah. Nidzham adalah pendiri madrasah al-Nidzhamiyah. Di Naisabur ini imam al Ghazali sempat belajar tasawuf kepada Abu Ali Al-Faldl Ibn Muhammad Ibn Ali Al- Farmadi (w.477 H/1084 M).
Setelah gurunya wafat, al Ghazali meninggalkan Naisabur menuju negri Askar untuk berjumpa dengan Nidzham al Mulk. Di daerah ini beliau mendapat kehormatan untuk berdebat dengan ‘ulama. Dari perdebatan yang dimenangkannya, namanya semakin populer dan disegani karena keluasan ilmunya. Pada tahun 484 H/1091 M, al Ghazali diangkat menjadi guru besar di madrasah Nidzhamiyah, ini dijelaskan dalam bukunya al Munkid min al-Dhalal. Selama megajar di madrasah, al- Ghazali mendalami filsafat secara otodidak, terutama pemikiran al- Farabi, Ibn Sina, Ibn Miskawih dan Ikhwan Al Shafa. Untuk membuktikan kemampuannya dalam bidang filsafat, al-Ghazali menulis karya Muqaddimah Tahafut al-Falasifah al-Musamma Maqashid al-Falasifah”.
Pada tahun 488 H/1095 M, imam al Ghazali dilanda keraguan terhadap ilmu-ilmu yang dipelajarinya (hukum teologi dan filsafat). Keraguan terhadap pekerjaan dan karya-karya yang dihasilkannya, menyebabkan ia menderita penyakit selama dua bulan dan sulit diobati. Karena itu, al Ghazali tidak dapat menjalankan tugasnya sebagai guru besar di Madrasah Nidzamiyah, yang akhirnya beliau meninggalkan Baghdad menuju kota Damaskus. Selama kira-kira dua tahun di Damaskus, al Ghazali melakukan uzlah, riyadhah, dan mujahadah. Kemudian beliau pindah ke Bayt al-Maqdis Palestina untuk melakukan hal serupa,  untuk kemudian tergerak hatinya menunaikan ibadah haji dan menziarahi maqam Rosulullah Saw.
Sepulang dari tanah suci, al-Ghazali mengunjungi kota kelahirannya Thus, di sinilah beliau tetap berkhalwat dalam keadaan skeptis, berlangsung selama 10 tahun. Pada periode itulah beliau menulis karyanya yang terkenal Ihya’ al-Ulumuddin (menghidupkan kembali ilmu agama). Kemudian beliau mendirikan madrasah bagi para fuqaha dan Zawiyah–Khanaqoh untuk para Sufi. Di kota inilah beliau wafat pada tahun 505 H /1 Desember 1111 M.
Abul Fajar al-Jauzi dalam kitabnya al-‘Asabah ‘inda Amanah mengatakan, Ahmad saudaranya al Ghazali berkata pada waktu shubuh, Al-Ghazali berwudhu dan melakukan sholat, kemudian beliau berkata: “Ambillah kain kafan untukku,”  kemudian ia mengambil dan menciumnya lalu meletakkan di atas kedua matanya sambil berkata, ” Aku mendengar dan taat untuk menemui Al-Malik kemudian menjulurkan kakinya dan menghadap kiblat. al Ghazali yang bergelar hujjatul islam itu meninggal dunia menjelang matahari terbit di kota kelahirannya Thus (Mashad-Iran sekarang) pada hari senin 14 Jumadil Akhir 505 H (1111 M). Imam al Ghazali dimakamkan di Zhahir al Tabiran, ibu kota Thus.
C.            Riwayat Hidup Ibn Rushd
Nama lengkapnya Abu al-Walid Muhammad bin Ahmad bin Muhammad bin Rushd. Berasal dari keturunan Arab kelahiran Andalusia.  Ibn Rushd lahir di kota Cordova tahun 526-595 H atau 1126-1198 M. Ia lahir dan dibesarkan dalam keluarga ahli fiqh, ayahnya seorang hakim. Demikian juga kakeknya sangat terkenal sebagai ahli fiqh. Sang kakek dengan cucunya mempunyai nama yang sama, yaitu Abu al-Walid. Maka untuk membedakannya, sang kakek dipanggil Abul Walid al-Jadd (kakek), sedang sang cucu Abul Walid al-Hafidz.
Semenjak kecil Ibn Rushd belajar ilmu fiqh, ilmu pasti dan ilmu kedokteran di Sevilla kemudian berhenti dan pulang ke Cordova untuk melakukan studi, penelitian, membaca buku-buku dan menulis. Pada usia 18 tahun Ibn Rushd hijrah ke Maroko, di sana ia belajar kepada Ibn Thufail.
Sebagai seorang penulis produktif, Ibn Rushd banyak menghasilkan karya-karya dalam berbagai disiplin keilmuan. Menurut Ernest Renan (1823-1892) karya Ibn Rushd mencapai 78 judul yang terdiri dari 39 judul tentang filsafat, 5 judul tentang kalam, 8 judul tentang fiqh, 20 judul tentang ilmu kedokteran, 4 judul tentang ilmu falak, matematika dan astronomi, 2 judul tentang nahwu dan sastra.
Ibn Rushd adalah seorang ilmuwan muslim yang cerdas dan menguasai banyak bidang ilmu, seperti al-Quran, fisika, kedokteran, biologi, filsafat, dan astronomi. Ibn Rushd lahir pada tahun 1198 di Kordoba, Spanyol. Di Barat, ia dikenal dengan nama Averroes. Ayah Ibn Rushd adalah seorang ahli hukum yang cukup berpengaruh di Kordoba. Sementara itu, banyak saudaranya menduduki posisi penting di pemerintahan. Latar belakang keluarganya itulah yang sangat mempengaruhi proses pembentukan tingkat intelektualitas Ibn Rushd di kemudian hari. Ibn Rushd adalah seorang tokoh perintis ilmu jaringan tubuh (histology). Ia pun berjasa dalam bidang penelitian pembuluh darah dan penyakit cacar.
Abad XII dan beberapa abad sebelumnya adalah zaman keemasan bagi perkembangan ilmu pengetahuan di dunia Islam. Saat itu, Dinasti Abbasiyah sedang berkuasa, dengan pusat pemerintahan di Semenanjung Andalusia (Spanyol). Para penguasa muslim pada masa itu sangat mendukung perkembangan ilmu pengetahuan. Mereka sering meminta para ilmuwan untuk menggali kembali warisan intelektual Yunani yang masih tersisa. Dengan begitu, nama-nama ilmuwan beserta Yunani beserta karyanya, seperti Aristoteles, Plato, Phytagoras, dan Euclides, masih tetap terpelihara hingga sekarang.
Ibn Rushd dapat digolongkan sebagai seorang ilmuwan yang komplit. Selain sebagai seorang ahli filsafat, ia juga dikenal pakar di bidang kedokteran, sastra, logika, ilmu pasti, dan ilmu agama. Sehubungan dengan itu, ia sangat menguasai ilmu tafsir al-Quran dan hadis, juga ilmu hukum dan fikih. Disebabkan kecerdasannya itulah, ia kemudian diangkat menjadi Hakim Agung Kordoba, sebuah jabatan yang pernah dipegang kakeknya pada masa pemerintahan Dinasti al-Murabbitun di Afrika Utara. Ibn Rushd menjadi hakim agung selama masa pemerintahan Khalifah Abu Ya’kub Yusuf hingga anaknya, Khalifah Abu Yusuf.
Di sela-sela kesibukannya sebagai seorang dokter dan hakim agung, Ibn Rushd menyempatkan diri menulis. Ia menghasilkan lebih dari dua puluh buku kedokteran. Salah satunya adalah al-Kulliyyat fi al-Thibb, yang kemudian diterjemahkan dalam bahasa Latin. Buku yang merupakan ikhtisar kedokteran yang terlengkap pada zamannya ini diterbitkan di Padua pada tahun 1255. Sementara itu, salinannya dalam versi bahasa Inggris dikenal dengan judul General Rules of Medicine. Salinan tersebut sempat dicetak ulang sebanyak beberapa kali di Eropa. Para penulis sejarah mengungkapkan kedalaman pemahaman Ibn Rushd dalam bidang kedokteran dengan berkata, “Fatwanya dalam ilmu kedokteran dikagumi sebagaimana fatwanya dalam fikih. Semua itu disebabkan kedalaman filsafat dan ilmu kalamnya.”
Ibn Rushd juga seorang ahli filsafat yang cerdas. Pada masa itu, buku-buku Aristoteles yang diterbitkan masih sangat sedikit dan sulit dipahami. Menyadari hal itu, Ibn Rushd tergerak untuk mengoreksi buku terjemahan karya Aristoteles tersebut bahkan melengkapinya. Ibn Rushd juga menerjemahkan dan melengkapi sejumlah karya pemikir Yunani lain, seperti Plato yang mempunyai pengaruh selama berabad-abad.
Pada tahun 1169-1195, Ibn Rushd menulis sejumlah komentar terhadap karya-karya Aristoteles, seperti De Organon, De Anima, Phiysica, Metaphisica, De Partibus Animalia, Parna Naturalisi, Metodologica, Rhetorica, dan Nichomachean Ethick. Dengan kecerdasannya, komentar Ibn Rushd itu seolah menghadirkan kembali pemikiran Aristoteles secara lengkap. Di sinilah terlihat kemampuan Ibn Rushd yang luar biasa dalam melakukan sebuah pengamatan. Di kemudian hari, komentar Ibn Rushd tersebut sangat berpengaruh terhadap pembentukan tradisi intelektual kaum Yahudi dan Nasrani. Hal itulah yang kemudian membuka jalan bagi Ibn Rushd mengunjungi Eropa untuk mempelajari warisan Aristoteles dan filsafat Yunani. Ibn Rushd juga dikenal sebagai pengkritik Ibnu Sina yang paling bersemangat.
Semasa hidupnya, Ibn Rushd menghasilkan sekitar 78 karya, yang semuanya ditulis dalam bahasa Arab. Kini, sejumlah karyanya tersimpan rapi di perpustakaan Escurial, Madrid, Spanyol. Tidak banyak yang mengetahui kalau Ibn Rushd pernah hidup dalam pembuangan. Ia pernah dibuang di Lecena, Spanyol, karena dianggap murtad dan menghina kepala negara. Ia juga pernah dibuang ke Maroko karena difitnah seseorang. Ibn Rushd wafat pada tahun 1198 (595 H) di kota Marakis, Maroko. Jenazahnya kemudian dibawa ke Andalusia dan dimakamkan di sana.
Averroisme merupakan istilah yang digunakan untuk menunjukkan penafsiran filsafat Aristoteles yang dikembangkan Ibn Rushd oleh pemikir-pemikir Barat-Latin, atau juga disebut gerakan intelektual yang berkembang di Barat pada abad ke 13-17.
Kontak Eropa dengan pemikiran Ibn Rushd bermula dari sikap pemerintah al-Muwahhidun setelah kematian Abu Ya’cub tahun 1184 M, seterusnya digantikan oleh putranya Abu Yusuf al-Mansur. Ia terpengaruh oleh fitnah orang yang tidak suka kepada Ibn Rushd, sehingga beliau ditangkap dan disingkirkan ke Lucena di selatan Cardova. Pemerintah juga memerintahkan untuk membakar semua karyanya dan sekaligus melarang membaca karya-karyanya.[32] Beberapa pengikut setia dari muridnya seperti Maimunides, Joseph Benjehovah, bangsa Yahudi ini menyambut Rusyd dengan rasa kecintaan di Lucena. Di sini Ibn Rushd melanjutkan pekerjaannya mengajar dan mengarang, umumnya murid beliau adalah bangsa Yahudi.
Pemikirannya terus berkembang di Eropa dengan diterjemahnya buku-buku Rusyd dari bahasa Arab ke bahasa latin dan Ibrani, selanjutnya menggoncangkan sosio-religius yang selama ini telah merantai akal mereka dengan kebijakan gereja.
Pengaruh Ibn Rushd ini semakin menunjukkan bentuknya dengan munculnya gerakan Averroisme di Barat yang mencoba mengembang-kan gagasan-gagasan Ibn Rushd yang rasional dan ilmiyah. Pada mulanya istilah ini dimaksudkan sebagai bentuk penghinaan terhadap pendukungnya. Tidak seorang pun yang berani dengan tegas menyatakan dirinya sebagai pendukung Averroisme. Barulah setelah masa Johannes Jandun (1328) yang pertama kali menegaskan dirinya secara terbuka sebagai pengikut Averroisme dan diikuti oleh Urban dari Bologna (1334) serta Paul dari Venesia (1429), para pendukung pemikiran Ibn Rushd lainnya mulai berani secara terang-terangan menyatakan pendirian mereka.
Tokoh yang terkenal sebagai pelopor Averroisme adalah Siger de Brabant (1235-1282) dan diikuti oleh murid-muridnya seperti Boethius de Decie, Berner van Nijvel dan Antonius van Parma.[34] Para mahasiswa tersebut mempelajari, meneliti dan menelaah karya-karya ulasan Ibn Rushd terhadap filsafat Aristoteles. Landasan rasionalitas yang dikembangkan Ibn Rushd ternyata sangat menarik perhatian mereka. Timbul kesadaran di kalangan sarjana-sarjana Barat untuk mengoptimalkan penggunaan akal dan meninggalkan paham-paham yang bertentangan dengan semangat rasional. Pada gilirannya Barat bangkit dari keterpurukan menuju puncak pengetahuan, sehingga Nouruzzaman mengatakan Spanyol sebagai jembatan penyebrangan muslim ke Barat.
D.            Perdebatan Tahafut al-Falasifah dan Tahafut al-Tahafut
Tahafut al-Falasifah ini lahir ketika al-Ghazali dalam keraguannya, ia menyerang pandangan-pandangan filosof dalam karya ini sebagai upayanya untuk menegakkan pandangan teologisnya, karena itu  karya ini dapat kita masukkan ke dalam karya-karya ilmu kalam. Sebagaimana yang dinyatakan sendiri oleh al-Ghazali dalam Jawahir al-Qur’an, “Di antara ilmu-ilmu, terdapat ilmu yang dimaksudkan untuk melawan dan membantah orang-orang kafir. Di antaranya adalah ilmu kalam yang bertujuan untuk menolak berbagai bentuk bid’ah dan kesesatan. Para ahli kalam (mutakallimun) adalah orang yang mengemban tugas ini” .
Buku Tahafut tidak bisa dianggap sebagai representasi pemikiran Al-Ghazali yang spesifik. Ketika menulis buku ini, Tahafut al-Falasifah, menurut Sulaiman al-Dunya, “ia sedang dalam usaha untuk mendapat-kan posisi, prestise, dan reputasi tinggi.” Dengan buku ini, Al-Ghazali membela madzhab yang dapat mendatangkan semua itu, bukan membela madzhab yang benar secara esensial. Kesempatan ini terbuka lebar bagi siapa saja yang mau maju untuk memperoleh nama besar yang membanggakan, yang tidak dimiliki oleh siapa pun. Al-Ghazali memanfaatkan peluang ini untuk memperoleh kebanggaan atas dirinya. Maka ia pun menyerang kaum filosof dengan keras dan tajam,  bahkan tidak segan al-Ghazali mengkafirkan mereka. Di antara contohnya, pada bagian terakhir ia menyebutkan sebagai berikut:
“Jika ada orang yang berkata: ‘Maka aku sudah memahami mazhab mereka, maka apakah keliru pernyataan yang mengkafirkan mereka dan wajibnya membunuh mereka yang meyakini keyakinan mereka? Maka Aku katakan “Kafirkanlah mereka dan itulah hal yang seharusnya, karena (kafirnya mereka) disebabkan tiga hal…”
Inilah yang melambungkan namanya dan ia menjadi begitu terkenal.
Al-Ghazali pula menceritakan:
“Dan tidak ada dalam buku-buku ahli ilmu kalam—yang menyentuh pandangan para filosof dalam kepentingan memberikan bantahan atasnya—kecuali pernyataan-pernyataan rumit,boros, menampilkan kontradiksi, dan absurditas. Orang awam saja diperkirakan tidak akan tertipu dengan pernyataannya. Apalagi orang yang mengklaim tahu terhadap detail-detail ilmu pengetahuan. Lalu saya menyadari bahwa menolak suatu madzhab sebelum memahami dan menelusuri inti ajarannya berarti menyerang secara membabi buta. Maka saya segera menyingsingkan lengan baju untuk melakukannya… .”
Di bagian lain al-Ghazali menceritakan tentang dirinya:
“Saya berpikir tentang niat saya dalam mengajar, tetapi ternyata tidak murni dan prestise. Maka saya yakin bahwa saya ini sedang berada di tepi jurang yang dalam dan sedang mendekati api, andai saja tidak segera bersibuk diri untuk menghindar.”
Tahafut al-Falasifah berisikan 20 serangan dan bantahan al-Ghazali terhadap pandangan filosuf . Pada makalah ini kita hanya ingin melihat pola diskursus tersebut pada persoalan Keazalian Alam, Keabadian Alam, Ruang dan Waktu dan Kebangkitan Jasmani.
Tentang Keazalian Alam, yaitu sanggahan atas pandangan para filosof tentang keazalian (eternalitas) alam. Di sini terdapat perbedaan pendapat para filosof mengenai eternalitas (qidam) alam, bahwa terkait hal ini mayoritas filosof berpendapat bahwa dari dulu sampai sekarang alam bersifat kekal. Alam ada bersamaan dengan adanya Allah, alam menjadi akibat bagi keberadaanNya, namun keberadaanNya bersamaan dengan keberadaan Allah tanpa adanya perbedaan urutan waktu seperti keberadaan sebab dan akibat serta kebersamaan matahari bersama sinarnya. Prioritas atau keberadaan lebih awal (taqaddum) Allah atas alam semesta seperti prioritas sebab atas akibat, yakni prioritas esensial dan tingkatan, bukan prioritas terkait urutan waktu.
Para filosof menyatakan bahwa sesuatu yang berawal, mustahil lahir dari yang kekal secara mutlak. Mengapa? Karena misalnya kita mengandaikan adanya sesuatu yang kekal pada saat alam belum ada, maka ketiadaan alam saat itu merupakan ketiadaan karena ketiadaan penentu (murajjih) untuk mengadakannya. Bahkan saat itu keberadaan alam hanyalah sebuah kemungkinan. Jika setelah itu alam ada, kita masih dihadapkan pada dua alternatif:  penentu itu mengadakan alam atau tidak. Jika penentu itu tidak mendorong terciptanya alam, maka alam akan tetap menjadi kemungkinan semata seperti sebelumnya. Jika penentu itu mendorong terciptanya alam, maka siapa yang menciptakan penentu itu? Mengapa penentu baru mucul ketika penciptaan alam, dan tidak muncul sebelumnya? Dengan begitu persolaan munculnya penentu masih merupakan persoalan tersendiri.
Secara umum, jika kondisi zat kekal tetap serupa dan tidak berubah, maka terdapat dua hal yang bisa terjadi: ia sama sekali tidak bisa melahirkan sesuatu selainnya, atau malah ia melahirkan sesuatu terus menerus. Hanya saja mustahil jika harus melepas kondisi keterlepasan (tark) dari kondisi ketermulaan (syuru’) .
Terkait dengan iradah Allah untuk menciptakan alam, yang paling mungkin adalah menyatakan Allah tidak memiliki kehendak  (iradah) untuk menciptakan alam sebelummya. Karena itu harus dikatakan bahwa terwujudnya keberadaan alam karena Allah berkehendak untuk mengadakannya setelah sebelumnya ia tak memiliki kehendak. Dengan begitu, kehendak menjadi sesuatu yang baru muncul. Padahal penetapan awal terkait awal temporal kehendak Allah adalah mustahil, sebab Dia tidak berada di wilayah yang memiliki wilayah temporal. Oleh karena itu keberawalannya—yang tidak dalam zatnya sendiri—tidak bisa menjadikan Allah sebagai yang berkehendak (murid).
Persoalan ini bukan persoalan yang berakar pada kehendak Allah, oleh karena itu kita kembali pada pembahasan, yakni kebermulaan alam, dari mana alam itu berawal? Apakah ia tidak berasal dari Allah? Jika sesuatu yang memiliki awal temporal muncul tanpa ada yang memunculkannya, maka alam merupakan sesuatu yang memiliki awal temporal dan keberadaannya tidak terikat pada pencipta. Jika demikian, apa bedanya sesuatu yang memiliki awal temporal dengan sesuatu yang memiliki awal temporal lainnya? Jika alam terwujud karena diciptakan Allah, mengapa diciptakan saat itu bukan sebelumnya? Apakah karena tidak adanya alat, kemampuan, tujuan. Atau karakter? Jadi, ketika ketiadaan alam berganti menjadi ada dan terjadi, maka persoalannya belum selesai. Atau tidak terciptanya alam pada saat itu terjadi karena ketiadaan kehendak? Jika demikian, maka kehendak itu akan menunggu kemunculan kehendak lain, dan begitu seterusnya, tatsaltsul (ad infinitum) .
Hal ini disanggah Al-Ghazali, bahwa semuanya terjadi berdasarkan kehendak Allah, dengan kehendaknya ketiadaan sampai kapanpun akan terus berlangsung sampai pada titik akhir dan wujud sesuatu akan bermula pada saat kehendak mewujudkannya bermula. Dengan pandangan ini, eksistensi alam sebelum titik waktu yang dikehendaki-Nya maka ia tidak akan mewujud secara aktual. Dengan begitu, ekistensi alam juga merupakan sesuatu yang dikehendaki oleh kehendak qadim (iradah qadimah) pada saat ia memujud secara aktual. Apa yang dapat membantah keyakinan semacam ini dan kontradiksi apa yang ada di dalamnya?
Ibn Rusyd memberikan jawaban dalam karyanya Tahafut al-Tahafut bahwa, pernyataan di atas pernyataan retorika sofistik semata. Karena, tidak mungkin kita mengatakan perbuatan objek (fi’il-al-maf’ul) bisa terjadi setelah perbuatan subjek (fi’il-al fa’il) berikut ketetapan hatinya untuk bertindak jika ia bertindak sebagai subjek independen (fa’il mukhtar). Maka ia katakan, bahwa perbuatan objek tersebut boleh datang kemudian setelah kemauan subjek. Keterlambatan objek dari iradah subjek memang boleh, tetapi keterlambatannya dari perbuatan fa’il tidak bisa diterima. Begitu pula keterlambatan perbuatan dari ketetapan hati untuk melakukan perbuatan (al-Fi’il)  pada subjek yang berkemauan .
Tentang Keabadian Alam, Ruang dan Waktu, Al-Ghazali menyanggah pandangan para filosof bahwa alam, ruang, dan waktu abadi. Al-Ghazali berkata dalam permasalahan kedua yang dia sodorkan kepada filosof:
“Ketahuilah bahwa ini masalah fundamental. Menurut mereka, alam itu abadi (azali), yaitu tidak memiliki awal mula bagi wujudnya. Dan, ia juga, tidak memiliki batas akhir. Ia tidak akan pernah hilang, lenyap, atau rusak. Ia akan senantiasa ada seperti sediakala.”
Sebagaimana yang disebutkan sebelumnya, terdapat empat pokok persoalan yang menurut Al-Ghazali perlu dikritisi yaitu:
  1.  Para filosof mengatakan bahwa alam adalah akibat dari sebab yang azali dan abadi. Maka, alam tidak bisa lepas dari sebab, sehingga alam juga abadi.
  2.  Apabila alam ini mengalami ketiadaan maka alam ini tiada sesudah wujudnya. Dengan demikian alam memiliki dimensi waktu sebagaimana adanya ungkapan sesudah.
  3. Karena alam ini wujud mumkin, para filosof mengatakan bahwa kemungkinan alam tidak pernah terhenti.
  4. Maka, Kemungkinan itu senantiasa ada wujudnya karena yang mumkin itu tidak pernah bisa menjadi mustahil.
Kemudian Al-Ghazali memberikan sanggah sebagai berikut:
“Akan tetapi dalil ini tidaklah kuat. Kita menyangsikan konsep eternalitas alam, tetapi tidak dengan kabadiannya. Itu jika Allah memang berkehendak menjadikannya abadi selamanya. Sesuatu yang termporal (hadits) tidak musti memiliki batas akhir.  Setiap yang  kemudian (mustaqbal) tidak masuk ke dalam wujud, baik secara berkesinambungan maupun serasi dan harmonis. Jelas sekali, jika kita tidak mengingkari keabadiaan alam menurut konsep akal, sebagaimana juga tidak menutup  kemungkinan ia akan menjadi rusak. Peristiwa yang memiliki dua kemungkinan hanya bisa diketahui dengan tuntunan syara’, dan tidak bisa dijangkau oleh nalar.”
Dapat kita pahami bahwa Al-Ghazali keberatan dengan eternalitas alam pada masa lalu yaitu ketiadaan awal, tapi ia tidak mengingkari keabadiannya di masa yang akan datang selama Allah berkehendak atau disebutkan dalam syariat.
Ibnu Rusyd memaparkan argumentasinya bahwa alam ini abadi sebagai berikut :
Pertama, ia menjelaskan tentang kosep waktu. Rentang waktu itu muncul ketika wujud yang mumkin keluar. Namun rentang waktu ini bukanlah penampakan adanya awal dan akhir. Rentang waktu yang terbentang bukanlah apa-apa, ia adalah bentangan gerakan alam semesta ini yang terus berlangsung. Rentang waktu inilah yang disebut dengan masa (zaman) atau dhar. “Dan jika masa terhubung dengan kemungkinan, sedangkan kemungkinan terhubung dengan wujud yang bergerak, maka wujud yang bergerak tersebuk tidak memiliki awal mula.”
Pernyataan kita bahwa “setiap yang telah berlalu sudah termasuk dalam wujud” bisa dipahami melalui dua pengertian. Salah satu pengertian tersebut adalah, bahwa setiap yang termasuk dalam masa lalu, berarti sudah termasuk dalam wujud. dan ini benar.
Sedangkan,  yang terjadi di masa yang akan datang tidak semua termasuk dalam wujud, melainkan sepotong-sepotong, ada adalah pernyataaan yang dikamusflasekan. Segala bentuk perwujudan itu terkait dengan pengadaan secara mutlak. Yaitu, dari wujud potensialitas menjadi realitas yang aktual. Nah, ketika itu sesuatu disebut temporal.
Dengan demikian, perbuatan pelaku menurut pandangan para filosof tidak lain adalah mengeluarkan sesuatu yang masih pada takaran potensialitas menjadi realitas.  Dan di sinilah ‘ketiadaan’ terangkat. Sedangkan dalam peniadaan bermakna memindahkannya dari wujud realistis menjadi wujud potensial. Disinilah terjadinya ketiadaan ditolak.  Begitulah apa yang dimaksud dengan Ibnu Ruysd sebagai kamuflase. Dengan begini fislafat Islam konsisten bahwa jika sesuatu telah ada, berarti ketiadaanya pasti batal.
Tentang Kebangkitan Jasmani, yaitu penolakan para filosof atas kebangkitan jasad, kembalinya jiwa ke jasad, eksistensi fisik surga dan neraka, dan segala yang dijanjikan Allah. Setelah kematian tubuh, jiwa mengekal selama-lamanya baik dalam keadaan senang yang tak mungkin terlukiskan karena begitu besarnya, atau dalam keadaan sengsara yang tidak mungkin terlukiskan karena begitu dahsyatnya. Kadang-kadang kesengsaraan itu menjadi abadi dan kadang-kadang menghilang bersama perjalanan masa. Berkaitan dengan berbagai tingkatan kesengsaraan dan kesenangan, manusia berkelompok-kelompok dan tidak terhitung banyaknya. Sebagaimana mereka juga berbeda-beda dalam tingkatan-tingkatan duniawi dan kesenangannya dengan perbedaan yang tak terhitung banyaknya. Maka:
  1. Kesenangan kekal (abadi) adalah untuk jiwa-jiwa yang suci dan sempurna
  2. Kesengsaraan kekal adalah untuk jiwa-jiwa yang tidak sempurna dan kotor
  3. Kesengsaraan sementara adalah untuk jiwa-jiwa yang kotor tetapi sempurna
Yang dipersoalkan oleh Al-Ghazali adalah; semua janji-janji dan balasan ini merupakan perumpamaan semata bagi kalangan awam. Padahal sebetulnya, menurut filosof, semua ganjaran dan balasan itu bersifat ruhaniah.
Argumentasi yang diajukan oleh filosof yaitu; jiwa dapat mencapai kebahagiaan absolut hanya dengan kesempurnaan (kamal) dan kesucian (tazkiyah). Kesempurnaan diperoleh dan pengetahuan sedangkan kesucian diperoleh dari perbuatan baik, yang menghalangi-nya dari objek-objek pemikiran (ma’qulat) tidak lain adalah tubuh (kesibukan-kesibukan fisiknya) dan indra-indra fisik. Sudah merupakan hak jiwa yang bodoh untuk sengsara bahkan sejak dalam kehidupan di dunia ini.
Perumpaan bagi kesengsaraan dan kesenangan adalah seperti anak kecil atau orang impoten yang perlu diberi perumpamaan ketika dijelaskan tentang kenikmatan seksual. Kepada anak kecil kita perlu menggambarkannya seperti mainan yang sangat menarik atau suatu makanan yang begitu lezat kepada yang impoten. Dan mereka sadar bahwa sebetulnya kenikmatan yang diumpamakan itu bukan yang hakiki. Nah, perumpamaan inilah yang diberikan kepada orang-orang awam.
Kemudian Al-Ghazali menjawab; kita lihat bahwa di dalam syariat banyak dijelaskan tentang kebangkitan dan pembalasannya terjadi secara ruhani maupun jasmani. “Kami tidak mengingkari bahwa di akhirat itu terdapat kenikmatan yang bertingkat-tingkat. Kami juga tidak mengingkari kekekalan jiwa setelah terpisah dari raga. Kami mengetahui ini dari agama, karena di dalamnya disebutkan adanya kebangkitan (ma’ad) dan ma’ad ini hanya dipahami dengan kekekalan jiwa. Satu saja yang kami ingkari; hanyalah pengakuan mereka bahwa hal tersebut hanya bisa diketahui dengan akal saja”. Salah satu dalil yang ia angkat adalah “seorang pun tidak mengetahui apa yang disembunyikan untuk mereka (bermacam-macam nikmat) yang menyedapkan pandangan mata sebagai balasan terhadap apa yang telah mereka kerjakan. (QS. 32:17)
Diantara jawaban Ibn Rushd dalam persoalan kebangkitan
“…Demikian pula persoalan yang dijelaskan terkait dengan kebangkitan bahwa mereka lebih mengutamakan kebangkitan dalam bentuk jasmani dibandingkan ruhani seperti yang dinyatakan Allah SWT “Permisalan surga yang dijanjikan kepada orang-orang yang bertakwa mengalir dibawahnya sungai-sungai dan Nabi bersabda “Tidaklah mata menyaksikan, tidak pula telinga mendengar maupun terlintas dalam pikiran manusia”, Ibn Abbas berkata “ Tidaklah ada di Akhirat bagian dari dunia kecuali sekedar nama”, Hal ini menunjukkan bahwa wujud tersebut merupakan tingkatan alam yang lain, lebih tinggi dari wujud ini bahkan dimensi yang berbeda lebih sempurna dari dimensi yang ada disini dan tidaklah para filosof mengingkari hal ini bahwa wujud yang satu mengalami proses perpindahan dari forma material hingga menjadi forma intelegensia… Apa yang dinyatakan orang ini (al-Ghazali) adalah baik bahwa jiwa tidak mengalami kematian sebagaimana ditunjukkan oleh dalil-dalil nash maupun akal serta syariah. Akan tetapi bahwa yang akan dibangkitkan secara fisik–dia permisalan dari raga ini namun bukanlah raga yang sebelumnya. Karena yang sudah lenyap tidak akan kembali sebagaimana identitasnya, akan tetapi kembali seperti yang telah lenyap tersebut bukan yang lenyap tersebut seperti yang dijelaskan (al-Ghazali).”
Ibn Rushd juga menunjukkan kegeramannya pada al-Ghazali ketika menjelaskan tentang kebangkitan:
“Orang ini (al-Ghazali) mengkafirkan filosof dalam tiga persoalan… di dalam kitab ini (al-Tahafut al-Falasifah) bahwa tidak seorangpun dari kalangan muslimin yang berpandangan tentang kebangkitan Ruhani, namun pada bagian lain dia berkata bahwa para Sufi meyakini hal tersebut. Atas dasar tersebut tidaklah kafir orang yang berpandangan tentang kebangkitan ruhani…Tidaklah diragukan bahwa orang ini keliru dalam syariat sebagaimana juga kekeliruannya pada filsafat”
E.            Khatimah
Dalam makalah singkat ini kita dapat melihat bahwa gesekan pemikiran yang tajam terjadi antara kedua tokoh besar tersebut sehingga tentu menimbulkan efek berikutnya. Persoalan-persoalan yang diserang al-Ghazali adalah persoalan-persoalan mendasar yang biasa dibicarakan oleh para filosof. Jika kita amatai lebih jauh sebenarnya kita menemukan bahwa bagi para filosof diskursus dan perdebatan merupakan hal lumrah dalam upaya untuk membuktikan kebenaran. Namun karena serangan itu muncul dari tokoh al-Ghazali yang memiliki pengaruh yang sangat besar di dunia Islam, maka serangan al-Ghazali mempengaruhi bangunan pemikiran spekulatif dan rentang masa yang cukup jauh hadirnya jawaban terhadap serangan al-Ghazali tersebut. Apakah filsafat Islam kemudian sepenuhnya mati? Tidak juga bahkan pada belahan dunia Islam yang ain kita mengenal filosof-filosof besar pasca Ibn Rushd masih terus hadir sampai saat ini.
Karya Tahafut al-Falasifah bagi para filosof sendiri sebenarnya memberikan tantangan tersendiri untuk mengembangkan jawaban-jawaban filosofis atas keraguan dan penolakan al-Ghazali. Ada banyak karya berikutnya yang muncul yang memberikan bantahan terhadap al-Ghazali bukan hanya semata Tahafut al-Tahafut. Bahkan terakhir kita mendapatkan karya filosof Jalaluddin Ashtiyani yang memberikan bantahan atas serangan al-Ghazali dengan pendekatan filsafat Hikmah al-Muta’aliyyah.
Sekalipun demikian hal ini merupakan sumbangan besar dalam dunia pemikiran Islam dan memberikan kesadaran bagaimana para pemikir dahulu mematangkan gagasan-gagasannya.
Wallahu’alam Bi Showab
Referensi :
  1. Ashtiyani, Jalaluddin. Naqdi Bar Tahafute al-Falsafeye ghazali, Markaz Intisyarat, Qom-Iran
  2.  Al-Ghazali, Tahafut al-Falasifah, Dar al-Maktabah al-Hilal, Beirut, 1994
  3.  ——-, Tahafut al-Falasifah, Kerancuan para Filosof, (Ahmad Maimun; Penrj.) Marja’, 2010
  4. Ibn Rushd, Tahafut al-Tahafut, Dar al-Masyreq, Beirut : 1992

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • Twitter
  • RSS

0 Response to "Dialektika Filsafat dalam Tahafut al-Falasifah dan Tahafut al-Tahafut"

Posting Komentar

Copyright 2009 LOVERS of WISDOM
Free WordPress Themes designed by EZwpthemes
Converted by Theme Craft
Powered by Blogger Templates