ISLAM DAN PERUBAHAN SOSIAL


ISLAM DAN PERUBAHAN SOSIAL

Membicarakan ajaran Islam dalam konteks perubahan sosial, pada hakikatnya kita diajak berbicara tentang berbagai bidang kajian yang sangat luas, baik secara hukum, budaya, ekonomi, politik, teknologi-informasi, dan sebagainya. Karena itu, kajian ini memerlukan dukungan berbagai kerangka analisis keilmuan yang sangat kompleks.

Jika prinsip utama islam diletakkan sebagai bagian dari kerangka makro, yakni institusi sosial sebagai proses kebudayaan, maka pertama-tama yang perlu disadari adalah institusi sosial tidak mungkin mengisolasikan diri dari perkembangan dan transformasi sosial, kultural, maupun struktural.
Karenanya, cara pandang terhadap noktah-noktah ajaran Islam oun, dituntut secara terus menerus melakukan penyesuaian dengan perkembangan masyarakat. Lebih dari itu, isntitusi Islam juga harus selalu memainkan peran strategis, terarah, dan sejalan dengan karakteristik Islam selaku ajaran universal.

Di sinilah, dituntut kemampuan proyektif dan inovatif di kalanagan para pemikir islam untuk merespons perkembangan zaman. Proyeksi dan inovasi budaya, misalnya, dilakukan agar budaya-apakah berlabel Islam atau Barat- mampu menyesuaikan diri dengan kecenderungan-kecenderungan yang sedang dan akan terjadi di masa depan.

 CORAK PERUBAHAN SOSIAL
DI MASA DEPAN

Para ahli ilmu sosial menggambarkan corak atau ciri-ciri perubahan masyarakat yang akan berkembang di masa sekarang maupun masa depan adalah ditandai dengan beberapa trend dominan dan objektif, antara lain:

Pertama, terjadinya teknologisasi kehidupan sebagai akibat adanya revolusi ilmu pengetahuan dan teknologi. Masyarakat teknologis ditandai dengan adanya pembakuan kerja dan perubahan nilai, yaitu makin dominannya pertimbangan efisiensi dan produktivitas.

Faktor efisiensi dan produktivitas merupakan aspek paling dominan dalam pergerakan masyarakat teknologi. Hubungan kerja dan kekerabatan akan bergeser ke arah efisiensi dan produktivitas itu. Budaya ini bergerak cepata atau lambat, sangat bergantung pada tingkat kesadaran masyarakat atas urgensi dan manfaat dari budaya modern ini.

Kedua, kecenderungan perilaku masyarakat yang semakin fungsional. Masyarakat seperti ini,ditandai dengan pola hubungan sosial hanya dilihat dari sudut kegunaan dan kepentingan. Keberadaan seseorang sangat ditentukan oleh seberapa jauh ia bermanfaat bagi orang lain. Karena itu, kemampuan seorang secara individual semakin dibutuhkan.

Tegasnya, dalam masyarakat seperti ini, akan terjadi pola pergeseran pola hubungan sosial dari affective ke effective neutral- sebagaimana diteorikan oleh Talcot Parsons- perubahan dari hubungan yang bersifat personal dan emosional ke hubungan yang bersifat efektif dan netral.

Ketiga, masyarakat padat informasi. Masyarakat seperti ini, pasti keberadaaan seseorang sangat ditentukan oleh seberapa besar ia menguasai informasi. Proses penguasaan informasi sangat ditentukan oleh sistem nilai yang dibangun secara objektif dan terbuka di tengah masyarakat. Masyarakat yang padat informasi, akan semakin bergerak ke depan apabila dia diatur secara baik oleh sebuah sistem yang terbuka (open system) dan dijalankan secara efektif oleh masyarakatnya.

Sejalan dengan ciri perubahan masyarakat tersebut, maka pilihan terhadap budaya cenderung bergeser pada “budaya tertutup” ke “budaya terbuka”. Karenanya, budaya yang tidak menghargai pluralitas sosial, sembari bersikap otoriter, absolut, dan tiranik, adalah budaya eksklusif. Sedangkan budaya yang gemar menghargai pluralitas sosial, seraya bersikap demokratis, kosmopolit, dan egaliter, adalah budaya inklusif.

Masyarakat yang padat informasi, pasti masyrakat yang terbuka menerima berbagai jenis dan sumber informasi itu. Masyarakat seperti ini, akan berprinsip seperti diteorikan hukum Islam, “ambillah kebenaran itu tanpada peduli dari mana kebenaran itu datang- khudil hikmata wa laa yadurruka min ayyin wi’aain kharajat”.

Berdasarkan kecenderungan seperti itu, maka tampak jelas bahwa corak pilihan masyarakat secara umum terhadap budaya modern adalah budaya yang menghargai pluralitas sosial itu. Budaya yang memberikan peluang dan kesempatan pada setiap orang untuk mengekspresikan diri dan kelompoknya di tengah masyarakat. Budaya inilah yang berwatak teknologis, bernurani teologis, bergerak secara fungsional, produktif, dan inovatif.

Di tengah-tengah kecenderungan itu, akhir-akhir ini, semakin menguat pula tuntutan masyarakat terhadap hasil kerja budaya, yaitu kesadaran budaya yang kian menghargai perbedaan ras, golongan, etnik, warna kulit, maupun agama.

Semua perbedaan itu, sebagai akibat logis dari pengakuan Allah di dalam al Quran bahwa manusia dilahirkan dalam keadaan berbeda. Tetapi, perbedaan itu akan dipertemukan dengan sebuah garis lurus yang membentang dari segenap perbedaan di anatara manusia yang oleh al Quran disebutnya sebagai takwa (kualitas).

Kualitas (ketakwaan) inilah yang membuat mereka menjadi sama dan sederajata di mata Tuhan. Juga, melalui kualitas (ketakwaan) ini pula membuat mereka menjadi berbeda di mata Tuhan. Itulah disebut kualitas iman, ilmu, dan amal yang setiap hari mereka refleksikan di tengah masyarakat.

Pada tataran ini, tugas manusialah yang harus berjuang mempertemukan perbedaan-perbedaan tersebutmelalui proses kreatif- pertemuan budaya secara kualitatif- di kalangan manusia sendiri.

Budaya kekerasan, budaya teror, budaya dendam, budaya pornografi dan pornoaksi, merupakan gejala budaya yang tidak merefleksikan kualitas keimanan, keilmuan, dan keamalan seseorang. Sebuah kualitas yang terjauh dari peradaban manusia modern (masyarakat madani).

Karena itu, penetrasi budaya, haruslah dimulai dari penguatan budaya lokal, penguatan etika dan moral agama, serta penguatan profesi atau keahlian masyarakat, agar mereka tidak mudah tergoda oelh arus budaya asing yang menawarkan profesi dan keahlian yang lebih menggiurkan secara material.

Kasus Inul Daratista dkk, di dunia hiburan, bisa menjadi pelajaran. Heboh Inul dkk di pentas budaya dangdut, merupakan contoh faktual dan paling memukul publik agama, sekaligus menegaskan satu hal: “bekerjanya kapitalisme profesi tanpa mempertimbangkam budaya lokal, etika dan moral agama.” Sungguh sebuah ironi budaya yang paling memilukan.

ETIKA, KULTURAL, DAN PROFESI
Islam adalah agama yang sanagat memperhatikan masalah etika (akhlak), kultural (ilmu, iptek), dan profesi (amal shaleh, keahlian). Petunjuk kitab suci maupun sunnah Nabi dengan jelas menganjurkan kepada apara pemeluk agama (Islam) untuk meningkatkan kesadaran beretika, berkultur, dan berprofesi. Ketiga dasar inilah yang amata dibutuhkan di era global ini.

Al Quran misalnya, mengingatkan kaum muslimin agar waspada untuk tidak meninggalkan keturunan yang lemah, yang akan menimbulkan kekhawatiran di belakang hari. Kesadaran berbudaya, beretika, dan berprofesi adalah bagian dari upaya mempersiapkan generasi yang berakhlak tinggi (etika atau agama), tangguh di bidang kultural (iptek), dan memiliki keahlian (profesi) tertentu yang bisa diandalkan untuk menopang masa depannya. Allah berfirman:

“dan hendaklah takut kepada Allah orang-orang yang seandainya meninggalkan dibelakang mereka anak-anak yang lemah, yang mereka khawatir terhadap (kesejahteraan) mereka. oleh sebab itu hendaklah mereka bertakwa kepada Allah dan hendaklah mereka mengucapkan Perkataan yang benar.” (Q.S an Nisaa: 9)

Karenanya, ikhtiar seriusuntuk meninggalkan generasi beriman (etika), berilmu (kultural), dan beramal (profesional), agar kita tidak mewariskan keturunan yang lemah secara moral, lemah secara intelektual, dan lemah secara profesional. Supaya generasi yang kita tinggalkan bukanlah generasi tidak siap bertanggung jawab terhadap masa depan dirinya sendiri maupun masyarakatnya.

Hidup di zaman modern dengan pola kehidupan yang serba ekonomis dan industrialis seperti sekarang, usaha membekali generasi muda dengan moral yang baik, berilmu tinggi, dan keterampilan-keterampilan khusus yang diperlukan, sehingga mereka mampu tampil sebagai sumber daya manusia yang berdaya saing tinggi di tingkat dunia.

Secara umum al Quran maupun as Sunnah berbicara tentang pewarisan nilai-nilai moral, intelektual, dan profesional melalui proses pembelajaran secara teratur, terarah, dan berkesinambungan. Maka tujuan akhir dari proses pembelajaran itu adalah mencapai tiga kualitas itu secara seimbang, sehingga tidak melahirkan generasi yang berkepribadian terpecah.

Banyak sudah contoh yang kita temukan di tengah masyarakat berkenaan dengan kehadiran generasi yang berkepribadian terpecah itu. Tugas kita sebagai bangsa adalah mengatasi keterpecahan pribadi itu agar tidak menjadi fenomena umum di tengah masyarakat.

Karena itu, diperlukan usaha-usaha penggalangan dan pemberdayaan berbagai institusi sosial untuk memadatkan kekuatan etika, kultural, dan profesi di kalangan generasi penerus bangsa, agar mereka bisa tampil lebih percaya diri. Hal ini sudah pasti menjadi tanggung jawab utama diletakkan pada pundak masyarakat utama di negeri ini.

REORIENTASI PENGEMBANGAN
BUDAYA ISLAM MODERN

Sebagaimana telah dijelaskan di atas bahwa etika, kultur, profesi Islam adalah berada pada dapur yang sama, yaitu dunia pendidikan. Pendidikan, sebagaimana ditegaskan oleh Cristopher J. Lucas- salah seorang ahli pendidikan modern-adalah sebagai markas penyimpangan kekuatan etika, kultur, dan profesi.

Melalui institusi pendidikan, maka akses-akses moral, intelektual, dan profesionalisme, akan tertuang secara sistematis dan kontinyu ke seluruh aspek kehidupan. Melalui dunia inilah informasi yang paling berharga berkenaan dengan pegangan hidup dan masa depan, akan terkaver dengan seksama, dan diolah dengan penuh minat, dan sebagai sumber kekuatan utama dalam menjalankan hidup.
Bahkan, melalui dunia pendidikan, usaha dan prakarsa membantu generasi dalam mempersiapkan kebutuhan esensialnya, terutama menyongsong perubahan di masa depan, dapat dilakukan dengan mudah dan murah.

Maka ke depan, reorientasi pendidikan Islam perlu diarahkan pada pemberian ruang gerak yang seluas-luasnya pada fungsi esensial dari pendidikan itu, yaitu memberdayakan ketiga aspek di atas: iman (etika), ilmu (kultur), dan amal (profesi).

Dengan demikian, lembaga-lembaga pendidikan tidak lagi sekedar mendapatkan pengakuan peran kuantitatif dari masyarakat atau pemerintah, melainkan yang lebih penting lagi adalah menyebut pengakuan kualitatif.

Itu memang merupakan suatu pekerjaan besar yang perlu mendapat dukungan dari segenap unsur dan kelompok, baik penyelenggara maupun pemikir pendidikan yang handal. Akan tetapi, apapun perubahan yang ingin kita songsong, kebijakan-kebijakan mengembangkan pendidikan Islam perlu mengakomodasikan tiga kepentingan strategis di bawah ini.
Pertama, kebijakan itu harus memberi ruang pada pertumbuhan yang wajar bagi aspirasi utama umat Islam, yakni menjadikan lembaga pendidikan Islam sebagai wahana untuk membina ruh atau praktik hidup yang islami.

Kedua, kebijakan yang ditempuh harus lebih memperjelas dan memperkukuh keberadaan lembaga pendidikan Islam sebagai ajang pembinaan warga yang beretika (beriman) yang baik, berkultur (berilmu) yang tinggi, dan berprofesi (beramal) yang andal dan memadai.

Ketiga, kebijakan yang dijalankan hendaknya juga bisa menjadikan lembaga pendidikan mampu merespon tuntutan-tuntutan masa depan. Untuk itu, lembaga pendidikan Islam perlu diarahkan agar lebih mampu melahirkan sumber daya manusia yang memiliki kesiapan memasuki era globalisasi, era industrialisasi, dan era informasi.

Pada akhirnya, kita masih dituntut melakukan pergumulan intelektual dengan mengerahkan segenap potensi kita, memperbaharui visi, misi, dan manajemen yang professional, sehingga dengan cara demikian, kita bisa berharap bahwa lembaga pendidikan Islam di masa depan dapat berperan secara lebih optimal dalam membentuk etika, kultur, dan profesi masyarakat yang pluralis ini.
  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • Twitter
  • RSS

0 Response to "ISLAM DAN PERUBAHAN SOSIAL"

Posting Komentar

Copyright 2009 LOVERS of WISDOM
Free WordPress Themes designed by EZwpthemes
Converted by Theme Craft
Powered by Blogger Templates