AKAL Manusia
Akal adalah Kumpulan dari Pengalaman: David Hume
Pada abad ke-18, David Hume merupakan kritikus yang tajam terhadap
pandangan tradisional tentang akal sebagai substansi yang terpisah.
Sebelum zamannya Kant, Hume sudah menyerang dualisme Plato dan
Descartes. Tetapi Hume tidak berpendapat bahwa terdapat kesatuan pribadi
atau aku. Hume membawakan empirisme kepada akibat-akibat
logikanya dan menyerang ide tentang substansi dan rasionalisme pada
zamannya. Semua pengetahuan datang melalui pengalaman dan satu-satunya
isi dari akal manusia adalah kesan-kesan dan ide-ide. Kesan adalah
pengalaman yang sederhana dan elementer. Kesan-kesan itu jelas dan
terang. Ide hanya merupakan copy-copy kesan. Jika kita melakukan
introspeksi, kita hanya menemukan pengalaman yang lewat dan ide-ide yang
selalu berubah. Tak ada bukti tentang substansi atau aku yang permanen.[1]
Apakah akal itu menurut Hume? Bagi Hume, akal dan kekuatan atau
daya-dayanya serta sifat-sifat kehidupan mental tidak lain adalah
asosiasi ide-ide dan pengalaman. Akal (mind) adalah istilah
untuk sejumlah pengalaman, ide dan keinginan yang menempati perhatian
dan kehidupan seseorang. Ia merupakan suatu kemasan pengalaman atau
kumpulan rasa indrawi. Sikap umum Hume adalah skeptikisme; ia adalah
seorang empirisis yang sepenuhnya. Ia segan menerima apa saja selain
pengalaman sehari-hari. Para penyanggah Hume menunjukkan bahwa ia selalu
memakai istilah “I” dan “myself” yang mengandung ari suatu pusat
kesatuan pribadi yang selalu ada. Walaupun aku sukar untuk
menjadi subyek dan obyek pada waktu yang sama, para penyanggah
berpendirian bahwa melakukan pengingkaran berarti menegaskan adanya aku yang terus-menerus. Para pengikut Hume, sebaliknya, mengatakan bahwa dalam pernyataan seperti “Aku mengingkari adanya aku, subyek dan predikat mempunyai arti yang berbeda”. Hume mengatakan bahwa “kumpulan pengalaman” yang ia namakan I atau me,
mengingkari adanya substansi yang immaterial atau suatu pusat identitas
pribadi yang permanen. Dengan begitu maka Hume memungkiri konsep-konsep
tradisional tentang “Aku”.
Akal sebagai Bentuk Tingkah Laku: Psikologikal Behaviorisme
Bagi sekelompok psikolog, akal adalah suatu bentuk tingkah laku.[2]
Bagi mereka, beberapa macam tertentu tentang tingkah laku, mendorong
kita untuk mempercayai adanya akal; mereka bertanya “Mengapa kita tidak
hanya mempelajari tingkah laku saja dan tidak usah merepotkan diri
dengan kesatuan-kesatuan yang abstrak dan tak dapat diamati seperti
akal?” Bahkan ada psikolog yang mengingkari bahwa istilah seperti: “mind” dan “consciousness” mempunyai isi atau nilai; mereka lebih suka membicarakan tentang kejadian-kejadian mental atau aktivitas neuromuscular (otot dan syaraf) dari sesuatu organisme.
Dalam suatu diskusi yang menarik tentang “Behaviorism at Fifty”[3] (Perilaku manusia pada usia 50 tahun), B. F. Skinner menyajikan apa yang ia namakan: pernyataan ulangan tentang radical behaviorism.
Sebagian dari pernyataan ulangan tersebut mengandung sejarah bagaimana
aliran behaviorisme itu timbul sebagai suatu reaksi terhadap para
psikolog yang menyelidiki akal. Ada juga orang-orang yang karena
pertimbangan-pertimbangan praktis, lebih suka membicarakan perilaku
daripada aktivitas mental yang bersifat kurang dapat dilayani walaupun
mereka mengakui adanya. Penyelidikan mereka adalah rintisan dari
behaviorisme. Menurut Skinner, yang mula-mula menjauhkan diri dari akal
sebagai penafsiran perilaku adalah Darwin dan kesibukannya dengan
kontinuitas jenis. Untuk menunjang teori evolusi, adalah penting bagi
Darwin untuk menunjukkan bahwa manusia secara esensial tidak berbeda
dari binatang yang lebih rendah, dan bahwa setiap sifat manusia,
termasuk di dalamnya kesadaran dan kekuatan berpikir, dapat ditemukan
dalam jenis-jenis lain. Langkah berikutnya tak dapat dihindari yaitu
jika bukti-bukti kesadaran dan berpikir dapat dijelaskan dalam
binatang-binatang lain.[4]
Mengapa tak dapat dijelaskan dalam manusia? Dan jika keadaannya memang
begitu, apakah yang akan terjadi pada prikologi sebagai sains kehidupan
mental? Jawabnya: psikologi tersebut tak ada lagi. “Behaviorisme
bukannya penyelidikan ilmiah tentang perilaku akan tetapi adalah
filsafat ilmu yang mempelajari subyek dan metoda psikologi. Jika
psikologi sebagai sains dari kehidupan mental, dari akal, dari
pengalaman yang sadar, ia harus mengembangkan dan mempertahankan suatu
metodologi yang khusus yang sampai sekarang belum dimiliki secara
memuaskan. Tetapi jika behaviorisme itu merupakan sains dari perilaku
organisme, baik mengenai manusia atau lainnya, maka ia menjadi bagian
dari biologi, suatu sains tentang alam yang banyak diselidiki oleh
metoda-metoda yang sudah dicoba dan sangat berhasil.[5] Itulah kedudukan psikologikal behaviorisme.
(Sumber: Harold H. Titus. (1984). Persoalan-persoalan Filsafat).
[1] Diskusi mengenai David Hume dapat dibaca pada fasal 7, hal. 55-57/.
[2] Prikologi Perilaku (Psychological Behaviorism) sudah dibahas dalam fasal 2 dan fasal 3. Pembahasan ini akan disinggung kembali dalam fasal 6.
[3] B. F. Skinner, “Behaviorism at Fifty”, dalam bukunya T. W. Wann, Behaviorism and Phenomenology (Chicago: U. of Chicago Press, 1964), hal. 79-108.
[4]
Bukti ini diberikan oleh psikolog Edward L. Thorndike pada akhir abad
ke-19. Sebagai contoh ia menunjukkan bahwa seekor kucing berusaha
melepaskan diri dari “puxxle-hox”, yang semua itu mungkin
menunjukkan pemikiran, dapat dijelaskan sebagai hasil dari proses yang
sederhana. Dengan begitu kita akan dapat bertanya: “Apakah tidak
terdapat cara-cara lain untuk menafsirkan hal-hal yang nampak sebagai
kesadaran atau kekuatan fikiran”.
[5] B. F. Skinner, Behaviorism at Fifty,
hal 79. Mahasiswa diharap membaca kembali buku tentang psikologi.
Hampir semua buku psikologi memberi definisi psikologi sebagai ilmu
tentang perilaku, tanpa menyebutkan akal atau kehidupan berfikir.
Telah berkembang banyak teori tentang akal
sejak bertahun-tahun. Teori-teori tersebut dapat digolong-golongkan
menurut sistem sederhana yang dipakai oleh para filosof yang
berkecimpung dalam menyelidiki akal:
Akal sebagai Substansi: Plato dan Descartes
Akal dapat ditafsirkan sebagai kesatuan yang non-material, yang tak dapat dibagi dan tak dapat mati. Istilah substansi dipakai dalam filsafat untuk menunjukkan suatu realitas yang dalam dan yang mengandung kualitas. Marilah kita mengambil dua contoh. Lilin adalah suatu substansi yang mempunyai beberapa kualitas: seperti warna kuning (keruh kecuali jika dimurnikan), plastik (dapat diremas jika hangat), melekat, tak dapat ditekan dan lain-lain. Apakah yang tinggal jika anda menghilangkan kualitas-kualitas tersebut? jawabannya, yang tinggal adalah substansi. Yakni sesuatu yang mempunyai kualitas. Sekarang kita bicara tentang akal. Akal mempunyai kualitas seperti dapat faham, berfikir, ingat dan mengkhayalkan. Apakah yang tertinggal jika anda mengambil kualitas-kualitas tersebut. jawabannya, yang tertinggal adalah substansi, dan kali ini substansi yang immaterial.
Sumber dan pembawa yang pokok dari pandangan tersebut pada zaman kuno adalah Plato. Perhatiannya yang besar adalah manusia, terutama tentang akal manusia.
Plato
Plato membagi watak manusia ke dalam tiga bagian. Pertama, bagian rasional, tempatnya adalah dalam otak. Unsur rasional manusia adalah esensi suci, atau substansi, dan harus dibedakan dari badan di mana akal itu terpenjara. Yang kedua adalah bagian yang merasa, tempatnya di dada. Yang ketiga, unsur yang ingin atau selera, tempatnya di perut. Unsur keinginan tidak mempunyai prinsip untuk mengatur diri sendiri, karena itu harus berada di bawah kontrol akal. Akal dan badan mempunyai hubungan yang erat satu dengan lainnya, akan tetapi menurut Plato perbedaan antara dua hal tersebut adalah nyata. Jiwa yang tak dapat dibagi-bagi berasal dari alam misal atau form yang tinggi dan abadi, jauh di atas dunia pengalaman yang selalu berubah dan lewat. Jiwa tercemar karena berhubungan dengan benda, pada suatu waktu jiwa akan meninggalkan badan dan kembali kepada tempatnya yang abadi.
Interpretasi Plato tentang jiwa atau akal banyak mempengaruhi fikiran Plotinus dan Augustinus, dan melalui mereka, mempengaruhi gereja Masehi. Pandangan Plato banyak dianut orang selama Abad Pertengahan. Baik dalam bentuk asilnya atau dalam bentuk baru yang diciptakan oleh Descartes, fikiran Plato meresap pada pemikiran modern.
Descartes
Descartes, seorang filosof besar pada abad ke-17, menguatkan teori bahwa akal adalah substansi. Karena sangat sangsi terhadap kebenaran pengetahuan pada zamannya, dan kebenaran segala pengetahuan, ia memutuskan untuk mempersoalkan segala-galanya dan memulai suatu cara untuk sangsi yang sistematik, dan berusaha mendapatkan apa yang mustahil dapat disangsikan.
Karena metoda tersebut, aku gambarkan segala sesuatu yang aku lihat itu tidak sungguh; aku percaya bahwa tak ada obyek yang dikemukakan oleh ingatan saya yang palsu itu ada. Aku merasa bahwa aku tak mempunyai rasa (indra); aku percaya bahwa badan, angka, keluasan, gerak dan tempat, semuanya hanya merupakan khayalan akal saya. Kalau begitu apakah yang dapat dianggap benar. Barangkali hanya ini, yaitu sama sekali tak ada benda yang nyata.[1]
Dari posisi keragu-raguan metodologis, Descartes keluar dengan suatu keyakinan yang kuat bahwa aku itulah yang ada. Perkataannya dalam bahasa Latin adalah “cogito ergo sum”, “aku berpikir, karena itu aku ada”. Descartes menemukan bahwa adanya sedikitnya satu akal, yakni akalnya sendiri, tak dapat disangsikan. “Inilah hal yang tak dapat dipisahkan dariku, aku ada, ini sudah tentu, tetapi berapa kali? Ya, selama aku berpikir, karena barangkali akan terjadi bahwa aku berhenti berpikir, dan berbarengan dengan itu aku tidak lagi ada”.[2] Dari sini ia meyakinkan adanya akal lain, adanya Tuhan serta adanya alam materi. Dunia luar menunjukkan adanya, melalui indra, dan ia tidak percaya bahwa ia dapat ditipu.
Bagi Descartes terdapat dua substansi, akal dan materi. Ia mengadakan perbedaan yang jelas antara keduanya. Akal tu immaterial. Akal adalah kesadaran, dan sifatnya adalah berpikir. Oleh karena akal itu substansial, ia tak dapat dimusnahkan kecuali oleh Tuhan yang merupakan satu-satunya substansi yang tidak bersandar kepada yang lain. Sifat materi adalah keluasan. Badan manusia adalah bagian dari alam materi dan tunduk kepada aturan-aturannya.
Penjelasan Descartes tentang akal sebagai suatu substansi yang berdiri sendiri adalah permulaan perkembangan yang panjang dalam filsafat modern dan pemikiran ilmiah yang kadang-kadang dinamakan bifurkasi alam (bifurcation of nature). Dualisme Descartes tentang akal dan badan atau materi memungkinkan kita untuk mengadakan interpretasi tentang alam di luar diri kita dengan cara-cara mekanik dan kuantitatif, serta memungkinkan menempatkan aspek kehidupan yang lain dalam bidang akal atau jiwa. Pemisahan antara akal dan materi adalah teori yang tetap dianut oleh beberapa filosof dalam segala perioda sejarah.
Akal adalah Prinsip Penataan: Aristoteles dan Immanuel Kant
Aristoteles, murid Plato, walaupun pada dasarnya menyetujui beberapa aspek dari teori akal sebagai substansi, mengambil arah baru yang akan kita bicarakan sekarang. Bagi Plato, ide-ide adalah bentuk-bentuk yang abadi yang wujudnya adalah dalam alam lain; ide kita tentang dunia ini hanya merupakan copy dari bermacam-macam derajat kebenaran, dari ide yang abadi. Bagi Aristoteles, bentuk itu ada dalam benda, dalam alam ini. Form itu memberi bentuk, mengatur prinsip-prinsip dinamis yang memerintah dan mengarahkan materi. Dari pandangan ini, jiwa (soul, psyche) adalah prinsip kehidupan, kumpulan dari proses kehidupan, prinsip yang aktif untuk mengatur proses-proses ini. Akal atau fikiran adalah kekuatan atau fungsi tertinggi dari jiwa (psyche) manusia. Dalam usaha untuk mempersatukan akal dan badan, Aristoteles menyimpang dari pendirian Plato dan mendekati pendirian bahwa akal itu adalah proses dan fungsi. Jika bagi Plato alam Ide atau bentuk yang abadi ada di luar dunia rasa indrawi, bagi Aristoteles form (bentuk) itu ada di dalam benda sebagai prinsip yang aktif untuk pengaturan.
Immanuel Kant pada akhir abad ke-18 mengeritik pandangan tradisional yang mengatakan bahwa akal itu substansi; pandangan tersebut mengatakan bahwa seseorang dapat menjadikan “aku”-nya dan “akal”-nya menjadi obyek langsung untuk diketahui. Bagi Kant, akal itu aktif. Akal itu mengumpulkan bahan-bahan yang disajikan oleh bermacam-macam indra dalam suatu pengolah pengetahuan. Zaman dan ruang merupakan “forms” dari pengalaman-pengalaman indrawi kita, yang dengan memakai pertimbangan (judgment) dikumpulkan menjadi pengalaman yang teratur dan terpadu. Akal bukannya suatu substansi mental yang berdiri sendiri. Akal adalah penataan dan kesatuan dari pengalaman-pengalaman pribadi manusia.
Menurut Kant, yang kita ketahui secara pasti adalah pengalaman-pengalaman kita. Di mana saya ada pengetahuan terdapat juga perpaduan; dan pengetahuan memerlukan seorang yang mengetahui. Jika ada daya ingatan, tentu ada sesuatu yang melakukan ingatan tersebut. pengaturan pengalaman menjadi mungkin karena ada akal dan pemahaman yang berlaku sebagai prinsip penataan. Terdapat kesatuan organik atau pribadi yang mengatasi (transcend) dan yang bertanggung jawab untuk adanya kontinuitas di antara pengalaman-pengalaman yang terpisah. Kesatuan itu adalah aku (self). Aku kadang-kadang dikatakan sebagai tempat bentuk pengetahuan. Kadang-kadang, aku dan akal dianggap sebagai satu. Walaupun begitu, bersama Kant, kita harus tidak lupa bahwa aku adalah suatu subyek moral dan subyek yang mengetahui.[3]
(Sumber: Harold H. Titus. (1984). Persoalan-persoalan Filsafat).
- akal adalah substansi non-material,
- akal adalah prinsip penataan,
- akal adalah kumpulan dari pengalaman dan
- akal adalah sebagai bentuk perilaku.
Akal sebagai Substansi: Plato dan Descartes
Akal dapat ditafsirkan sebagai kesatuan yang non-material, yang tak dapat dibagi dan tak dapat mati. Istilah substansi dipakai dalam filsafat untuk menunjukkan suatu realitas yang dalam dan yang mengandung kualitas. Marilah kita mengambil dua contoh. Lilin adalah suatu substansi yang mempunyai beberapa kualitas: seperti warna kuning (keruh kecuali jika dimurnikan), plastik (dapat diremas jika hangat), melekat, tak dapat ditekan dan lain-lain. Apakah yang tinggal jika anda menghilangkan kualitas-kualitas tersebut? jawabannya, yang tinggal adalah substansi. Yakni sesuatu yang mempunyai kualitas. Sekarang kita bicara tentang akal. Akal mempunyai kualitas seperti dapat faham, berfikir, ingat dan mengkhayalkan. Apakah yang tertinggal jika anda mengambil kualitas-kualitas tersebut. jawabannya, yang tertinggal adalah substansi, dan kali ini substansi yang immaterial.
Sumber dan pembawa yang pokok dari pandangan tersebut pada zaman kuno adalah Plato. Perhatiannya yang besar adalah manusia, terutama tentang akal manusia.
Plato
Plato membagi watak manusia ke dalam tiga bagian. Pertama, bagian rasional, tempatnya adalah dalam otak. Unsur rasional manusia adalah esensi suci, atau substansi, dan harus dibedakan dari badan di mana akal itu terpenjara. Yang kedua adalah bagian yang merasa, tempatnya di dada. Yang ketiga, unsur yang ingin atau selera, tempatnya di perut. Unsur keinginan tidak mempunyai prinsip untuk mengatur diri sendiri, karena itu harus berada di bawah kontrol akal. Akal dan badan mempunyai hubungan yang erat satu dengan lainnya, akan tetapi menurut Plato perbedaan antara dua hal tersebut adalah nyata. Jiwa yang tak dapat dibagi-bagi berasal dari alam misal atau form yang tinggi dan abadi, jauh di atas dunia pengalaman yang selalu berubah dan lewat. Jiwa tercemar karena berhubungan dengan benda, pada suatu waktu jiwa akan meninggalkan badan dan kembali kepada tempatnya yang abadi.
Interpretasi Plato tentang jiwa atau akal banyak mempengaruhi fikiran Plotinus dan Augustinus, dan melalui mereka, mempengaruhi gereja Masehi. Pandangan Plato banyak dianut orang selama Abad Pertengahan. Baik dalam bentuk asilnya atau dalam bentuk baru yang diciptakan oleh Descartes, fikiran Plato meresap pada pemikiran modern.
Descartes
Descartes, seorang filosof besar pada abad ke-17, menguatkan teori bahwa akal adalah substansi. Karena sangat sangsi terhadap kebenaran pengetahuan pada zamannya, dan kebenaran segala pengetahuan, ia memutuskan untuk mempersoalkan segala-galanya dan memulai suatu cara untuk sangsi yang sistematik, dan berusaha mendapatkan apa yang mustahil dapat disangsikan.
Karena metoda tersebut, aku gambarkan segala sesuatu yang aku lihat itu tidak sungguh; aku percaya bahwa tak ada obyek yang dikemukakan oleh ingatan saya yang palsu itu ada. Aku merasa bahwa aku tak mempunyai rasa (indra); aku percaya bahwa badan, angka, keluasan, gerak dan tempat, semuanya hanya merupakan khayalan akal saya. Kalau begitu apakah yang dapat dianggap benar. Barangkali hanya ini, yaitu sama sekali tak ada benda yang nyata.[1]
Dari posisi keragu-raguan metodologis, Descartes keluar dengan suatu keyakinan yang kuat bahwa aku itulah yang ada. Perkataannya dalam bahasa Latin adalah “cogito ergo sum”, “aku berpikir, karena itu aku ada”. Descartes menemukan bahwa adanya sedikitnya satu akal, yakni akalnya sendiri, tak dapat disangsikan. “Inilah hal yang tak dapat dipisahkan dariku, aku ada, ini sudah tentu, tetapi berapa kali? Ya, selama aku berpikir, karena barangkali akan terjadi bahwa aku berhenti berpikir, dan berbarengan dengan itu aku tidak lagi ada”.[2] Dari sini ia meyakinkan adanya akal lain, adanya Tuhan serta adanya alam materi. Dunia luar menunjukkan adanya, melalui indra, dan ia tidak percaya bahwa ia dapat ditipu.
Bagi Descartes terdapat dua substansi, akal dan materi. Ia mengadakan perbedaan yang jelas antara keduanya. Akal tu immaterial. Akal adalah kesadaran, dan sifatnya adalah berpikir. Oleh karena akal itu substansial, ia tak dapat dimusnahkan kecuali oleh Tuhan yang merupakan satu-satunya substansi yang tidak bersandar kepada yang lain. Sifat materi adalah keluasan. Badan manusia adalah bagian dari alam materi dan tunduk kepada aturan-aturannya.
Penjelasan Descartes tentang akal sebagai suatu substansi yang berdiri sendiri adalah permulaan perkembangan yang panjang dalam filsafat modern dan pemikiran ilmiah yang kadang-kadang dinamakan bifurkasi alam (bifurcation of nature). Dualisme Descartes tentang akal dan badan atau materi memungkinkan kita untuk mengadakan interpretasi tentang alam di luar diri kita dengan cara-cara mekanik dan kuantitatif, serta memungkinkan menempatkan aspek kehidupan yang lain dalam bidang akal atau jiwa. Pemisahan antara akal dan materi adalah teori yang tetap dianut oleh beberapa filosof dalam segala perioda sejarah.
Akal adalah Prinsip Penataan: Aristoteles dan Immanuel Kant
Aristoteles, murid Plato, walaupun pada dasarnya menyetujui beberapa aspek dari teori akal sebagai substansi, mengambil arah baru yang akan kita bicarakan sekarang. Bagi Plato, ide-ide adalah bentuk-bentuk yang abadi yang wujudnya adalah dalam alam lain; ide kita tentang dunia ini hanya merupakan copy dari bermacam-macam derajat kebenaran, dari ide yang abadi. Bagi Aristoteles, bentuk itu ada dalam benda, dalam alam ini. Form itu memberi bentuk, mengatur prinsip-prinsip dinamis yang memerintah dan mengarahkan materi. Dari pandangan ini, jiwa (soul, psyche) adalah prinsip kehidupan, kumpulan dari proses kehidupan, prinsip yang aktif untuk mengatur proses-proses ini. Akal atau fikiran adalah kekuatan atau fungsi tertinggi dari jiwa (psyche) manusia. Dalam usaha untuk mempersatukan akal dan badan, Aristoteles menyimpang dari pendirian Plato dan mendekati pendirian bahwa akal itu adalah proses dan fungsi. Jika bagi Plato alam Ide atau bentuk yang abadi ada di luar dunia rasa indrawi, bagi Aristoteles form (bentuk) itu ada di dalam benda sebagai prinsip yang aktif untuk pengaturan.
Immanuel Kant pada akhir abad ke-18 mengeritik pandangan tradisional yang mengatakan bahwa akal itu substansi; pandangan tersebut mengatakan bahwa seseorang dapat menjadikan “aku”-nya dan “akal”-nya menjadi obyek langsung untuk diketahui. Bagi Kant, akal itu aktif. Akal itu mengumpulkan bahan-bahan yang disajikan oleh bermacam-macam indra dalam suatu pengolah pengetahuan. Zaman dan ruang merupakan “forms” dari pengalaman-pengalaman indrawi kita, yang dengan memakai pertimbangan (judgment) dikumpulkan menjadi pengalaman yang teratur dan terpadu. Akal bukannya suatu substansi mental yang berdiri sendiri. Akal adalah penataan dan kesatuan dari pengalaman-pengalaman pribadi manusia.
Menurut Kant, yang kita ketahui secara pasti adalah pengalaman-pengalaman kita. Di mana saya ada pengetahuan terdapat juga perpaduan; dan pengetahuan memerlukan seorang yang mengetahui. Jika ada daya ingatan, tentu ada sesuatu yang melakukan ingatan tersebut. pengaturan pengalaman menjadi mungkin karena ada akal dan pemahaman yang berlaku sebagai prinsip penataan. Terdapat kesatuan organik atau pribadi yang mengatasi (transcend) dan yang bertanggung jawab untuk adanya kontinuitas di antara pengalaman-pengalaman yang terpisah. Kesatuan itu adalah aku (self). Aku kadang-kadang dikatakan sebagai tempat bentuk pengetahuan. Kadang-kadang, aku dan akal dianggap sebagai satu. Walaupun begitu, bersama Kant, kita harus tidak lupa bahwa aku adalah suatu subyek moral dan subyek yang mengetahui.[3]
(Sumber: Harold H. Titus. (1984). Persoalan-persoalan Filsafat).
Terdapat kekaburan dan keterlambatan dalam penyelidikan tentang akal karena beberapa sebab:
Pertama, penyelidikan tentang akal dan tentang manusia pada
umumnya telah mendapat perhatian yang sangat sedikit pada masa yang
lalu, khususnya dari segi bantuan keuangan, dibandingkan dengan
penyelidikan tentang alam di sekitar manusia. Pada zaman kita sekarang,
kita pada pokoknya mementingkan eksploitasi alam fisik, membentuk mesin
dan menjelajah angkasa. Kita telah mempelajari lebih banyak tentang
benda-benda dan binatang-binatang dari pada tentang manusia. Perhatian
kita diarahkan terhadap aspek kehidupan manusia yang juga ada
hubungannya dengan benda dan binatang. Penyelidikan sosial adalah baru,
dilakukan orang semenjak akhir abad ke-19 dan permulaan abad ke-20.
Metoda ilmiah dipakai pertama dalam matematika dan astronomi kemudian
dalam fisika dan kimia, kemudian lagi dalam fisiologi dan biologi dan
hanya baru-baru ini diterapkan untuk sosiologi dan psikologi.
Dalam interpretasi-interpretasi yang terdahulu, sebelum konsep
evolusi diterima dalam dunia pemikiran, akal dianggap sebagai terpisah
dari alam. akal mencoba berhubungan dengan dan memahami “ultimate reality”
(realitas yang tertinggi). Pandangan “seorang pengamat” tentang
pengetahuan dianggap sudah yakin. Tetapi problemanya adalah untuk
menjembatani jurang pemisah antara akal dan alam. Pada waktu sekarang,
akal dipandang sebagai suatu alat atau suatu fungsi, dan tidak sekadar
sebagai seorang pengamat di luar proses. Tidak ditekankan perlunya riset
dan percobaan-percobaan, sikap sementara (tentative) dan derajat kemungkinan (degree of probability).
Kedua, psikologi telah menimbulkan aliran-aliran pemikiran
yang bertentangan. Psikologi adalah sains yang khusus yang memberikan
bahan-bahan deskriptif, dan bahan-bahan tersebut menjadi dasar untuk
menyusun interpretasi kita tentang akal. Akan tetapi psikologi itu
bermacam-macam, tidak hanya satu. Tak ada kata sepakat tentang metoda
yang diperlukan untuk psikologi, bahkan tak ada kesepakatan tentang
apakah subyek psikologi itu. Dalam mempelajari akal, beberapa metoda
dapat dipergunaka; penyelidikan tentang perilaku yang obyektif,
pendekatan genetik, yang mencakup perkembangan anak-anak atau
perkembangan rasa, penyelidikan tentang perilaku binatang, perilaku yang
abnormal, mekanisme dan proses fisiologis, introspeksi, persepsi
ekstrasensori masing-masing metoda tersebut dipakai oleh sebagian dari
para psikolog.
Bermacam-macam psikologi menekankan bermacam-macam aspek akal dan
perilaku manusia. Perkembangan yang semula dari psikoanalisa (dilakukan
oleh Sigmund Freud, Alfred Adler, C. G. Jung dan lain-lain), telah
terjadi di dalam profesi kedokteran. Menurut Freud, enerji kehidupan
manusia atau struktur kepribadian terdiri atas tiga bagian. Pertama id, yaitu yang merupakan lapangan di bawah sadar yang mendalam dari naluri (instinct); dorongan hati (impulse) dan passi (passion). Kedua, ego, yaitu unsur kepribadian yang dapat berpikir dan kadang-kadang dapat mengontrol kegiatan id. Ketiga, superego, yaitu internalisasi kebutuhan-kebutuhan masyarakat, yang telah dinamakan conscience. Berhadapan dengan tiga kekuatan, yakni id, superego dan dunia luar yang kasar, ego terpaksa mengakui kelemahannya dan dengan mudah terkena perasaan salah (guilty) dan gelisah (anxiety).
Psikoanalisa menekankan adanya konflik dan kemenangan di dalam atau di
antara bidang-bidang kepribadian dan bermacam-macam mekanisme untuk
mengatasi problema-problema tersebut seperti: lari (escape), pertahanan (defence) dan sebagainya.
Behaviorisme (dikembangkan oleh John B. Watson, K. S. Lashley, Clark
L. Hull dan E. C. Tolman) muncul sebagai hasil penyelidikan-penyelidikan
dalam bidang psikologi binatang. Metoda dan cara bekerjanya kemudian
diterapkan untuk menyelidiki perilaku manusia. Sebagaimana yang telah
dijelaskan dalam fasal 2 dan 3, psikologi perilaku mengarahkan
perhatiannya kepada tingkah laku yang dapat dilihat dan kepada respons.
Psikologi Gestalt (yang dikembangkan oleh Marx Wertheimer, Kurt
Koffka dan Wolfgang Kohler) merupakan reaksi terhadap metoda analitik
dan atomistik dari psikologi sebelumnya, menekankan pandangan bahwa
keseluruhan itu lebih besar dari sekadar jumlah bagian-bagiannya; sering
keseluruhan itu memiliki kualitas yang tak terdapat dalam
bagian-bagiannya. Pengikut aliran Gestalt, yang
penyelidikan-penyelidikannya kebanyakan dalam bidang psikologi persepsi,
berpendirian bahwa ide tentang organisasi dan contoh adalah sangat
pokok untuk memahami pengamatan dalam bidang persepsi mereka bahkan
memperluas pandangan mereka sehingga mencakup beberapa aspek
kepribadian. Bagi penganut behaviorisme tingkah laku itu tidak
ditetapkan oleh kejadian-kejadian stimulus tanggapan (stimulus response) yang terpisah-pisah dan terputus-putus, akan tetapi ditetapkan oleh pribadi yang terpadu (Integrated personality) yang melihat situasi menyeluruh.
Terdapat aliran-aliran lain dalam psikologi yang sekarang tidak lagi
ternama, dan terdapat pula psikolog-psikolog yang tidak mau digolongkan
pada suatu aliran.
Ketiga, dalam mempelajari akal adalah bahwa sukar untuk
bersikap obyektif dalam bidang ini; terdapat pula bahaya bahwa ketika
kita memperoleh obyektifitas, kita kehilangan hal yang kita ingin
menyelidikinya. Sains cenderung untuk menganggap sepi hal-hal yang
istimewa dan tidak terulang serta lebih suka mempelajari alam yang sudah
dibersihkan dari sifat-sifat kemanusiaan yang istimewa. Ketika kita
berusaha untuk mengisolir akal, akal itu sudah hilang dan kita
menghadapi benda lain. Dalam kasus ini, akal mungkin seperti elektron,
yang merasa diganggu jika diamati, ahli fisika tak dapat menemukan
tempatnya dan kecepatannya.
Memang terdapat suatu problema yang riil yaitu apakah akal itu dapat
dipelajari sebagai suatu kesatuan yang dapat dipandang sebagai obyektif?
Apakah sesuatu akal dapat menjadi subyke dan obyek secara berbarengan.
Jika ada suatu bidang dari kehidupan manusia yang khusus dan tidak dapat
diamati secara umum, dan jika sains itu suatu pengetahuan yang dapat
diperiksa benar tidaknya secara obyektif, maka sains akan menghadapi
problema besar jika “berusaha untuk menyelidiki akal dan aku”, seorang yang ahli memberi tafsiran tentang alam, ia akan menemui kesulitan jika ia ingin memberi interpretasi tentang aku-nya sendiri dan aku
orang lain, akalnya sendiri dan akalnya orang lain. Dia tak akan dapat
yakin tentang apa yang ia selidiki, bagaimana ia harus menafsirkan
hasilnya, ketepatan dan relevansi pengamatannya dan apakah pengaruh
hasil-hasil tersebut terhadap teori akal.
Akhirnya, sampai sekarang tak ada kata sepakat tentang kapan dan
bagaimana akal itu muncul dalam proses evolusi yang panjang. Jawabannya
bergantung kepada definisi kita tentang akal dan pandangan kita tentang
dunia atau interpretasi kita tentang alam. jika kita memberi definisi
akal sebagai “perilaku adaptasi” (adapting behavior), proses
adanya akal mungkin dimulai dengan amuba atau bentuk hidup yang lain.
Terdapat perkembangan sedikit demi sedikit dari kehalusan dan kerumitan
reaksi jika kita menghadapi organisme yang lebih kompleks tetapi tak
terdapat evolusi yang jelas atau loncatan-loncatan yang dapat
diklasifikasikan yang dapat kita katakan sebagai “permulaan akal”. Dari
segi lain, jika kita memilih interpretasi bahwa akal itu adalah fikiran
yang abstrak, maka akal itu hanya terdapat pada manusia.
Interpretasi
dan pengertian tentang hubungan antar akal (jiwa) manusia dan raga
manusia adalah salah satu dari persoalan-persoalan yang sangat penting
yang dihadapi oleh filsafat, dan salah satu dari masalah yang paling
kompleks dan membingungkan. “Di antara masalah yang dihadapi filsafat
dan bermacam-macam sains, problema hubungan antara jiwa dan badan adalah
masalah yang masih membingungkan. Kemajuan-kemajuan baru dalam
pemikiran filsafat dan penyelidikan eksperimental malah menjadi problema
itu lebih menantang”.[1]
Sejak zaman dahulu, manusia cenderung untuk mengadakan pembedaan yang
jelas antara: kejadian-kejadian, substansi, proses atau hubungan yang
mereka namakan material atau fisikal (physical), dan yang mereka namakan mental atau psikikal (psychical).
Bidang pertama mencakup jenis materi anorganik dan organik, termasuk di
dalamnya badan manusia dan binatang. Benda-benda yang
digolong-golongkan semacam itu berada di ruang dan waktu, dan bersifat
umum (terbuka) yakni dapat dilihat oleh siapa saja. Bidang kedua
mencakup fikiran, gambaran (image0, dan rasa (sensation),
keinginan dan sebagainya. Kejadian-kejadian atau proses ini bersifat
khusus yakni tidak dapat dialami oleh seorang pengamat, walaupun si
pengamat itu dapat diberitahu tentang adanya, dan mungkin akan
memahaminya dengan simpati.
Sebelum kita maju lebih jauh, marilah kita jelaskan istilah-istilah
yang dipakai secara luas akan tetapi sering dikaburkan, yaitu: soul, self, mind, consciousness dan self-consciousness.
Bermacam-macam penulis mempergunakan istilah-istilah tersebut dengan
bermacam-macam arti; hal ini menjadikan penjelasannya lebih sukar. Plato
memakai istilah psyche yang biasanya diartikan jiwa (soul),
untuk membedakan sesuatu yang bersifat immaterial atau substansi
daripada watak kebinatangan manusia. Jiwa difahami sebagai sesuatu yang
tak dapat mati, dan dapat dipisahkan dari badan, jika seseorang itu
mati. Aristoteles juga memakai istilah soul, tapi dengan arti
yang agak berlainan sebagai yang akan kita lihat nanti. Istilah “soul”
banyak dipakai dalam sistem-sistem teologi, dan banyak orang yang
memakai dua istilah tersebut, yakni soul dan self sebagai kata sinonim yang mempunyai satu arti, atau menganggap “aku (self) yang menjadi subyek” sebagai jiwa (mind)
dan “aku sebagai obyek” menjadi badan atau kumpulan badan dan nyawa.
Pemakaian seperti ini dapat dipersoalkan karena aku-nya manusia, menurut
istilah tradisional terdiri atas unsur:
- Kognitif, atau segi yang berfikir dan mengerti,
- Afektif, yakni segi perasaan dan emosi, dan
- konatif, yakni keinginan, usaha dan kemauan.
Dari segi pandangan ini, akal (mind) adalah segi kognitif dari aku dan kehidupan manusia.
Akal (mind) dan kesadaran (consciousness)
tidak merupakan sinonim (berarti satu) walaupun kadang-kadang diduga
menjadi satu. Kita boleh jadi sadar atau tidak sadar tentang proses
mental kita. Jika kita sampai kepada suatu pemecahan persoalan, kita
telah melalui proses mental; tetapi proses tersebut tidak harus
merupakan proses yang kita sadari. Jika kita melakukan introspeksi
terhadap proses tersebut, yakni jika kita memeriksa kembali, otak
merasakan akan adanya proses tersebut, kita menjadi sadar. Pembedaan ini
memungkinkan kita mengatakan bahwa binatang itu mempunyai proses mental, baik mereka itu sadar tentang proses tersebut atau tidak. Kesadaran (consciousness)
adalah keinsafan tentang hubungan antara orang yang melihat, subyek
atau orang yang mengerti, dengan sebagian dari obyek perhatian. Jika
kita insaf akan fakta bahwa kitalah yang sadar, maka dalam ini kita
bicara tentang kesadaran aku (self-consciousness).
Kita tidak akan dapat menerangkan kesadaran yang langsung atau
pengalaman “kesadaran aku” secara memuaskan kecuali kalau kita mengerti
tentang “aku”. Jadi kita harus yakin akan adanya kesatuan pribadi atau
identitas yang tetap ada sepanjang adanya pengalaman-pengalaman
kehidupan yang bermacam-macam dan yang menjadikan pengalaman yang
terpisah-pisah itu “kepunyaanku”.[2]
(Sumber: Harold H. Titus. (1984). Persoalan-persoalan Filsafat).
0 Response to "AKAL Manusia"
Posting Komentar