Cinta Kepada Allah
Cinta Kepada Allah
Kecintaan
kepada Allah adalah topik yang paling penting dan merupakan tujuan
akhir pembahasan kita sejauh ini. Kita telah berbicara tentang
bahaya-bahaya ruhaniah karena mereka menghalangi kecintaan kepada Allah
di hati manusia. Telah pula kita bicarakan tentang berbagai sifat baik
yang diperlukan untuk itu. penyempurnaan kemanusiaan terletak di sini,
yaitu bahwa kecintaan kepada Allah mesi menaklukkan hati manusia dan
menguasai sepenuhnya. Kalaupun kecintaan kepada Allah tidak menguasai
sepenuhnya, maka hal itu mesti merupakan perasaan yang paling besar di
dalam hatinya, mengatasi kecintaan kepada yang lain-lain. Meskipun
demikian, mudah dipahami bahwa kecintaan kepada Allah adalah sesuatu
yang sulit dicapai, sehingga suatu aliran teologi telah kenyataan sama
sekali menyangkal, bahwa manusia bisa mencintai suatu wujud yang bukan
merupakan spesiesnya sendiri. Mereka telah mendefinisikan kecintaan
kepada Allah sebagai sekadar ketaatan belaka. Orang-orang yang
berpendapat demikian sesungguhnya tidak tahu apakah agama itu
sebenarnya.
Seluruh Muslim sepakat bahwa cinta kepada Allah adalah suatu
kewajiban. Allah berfirman berkenaan dengan orang-orang mukmin: “Ia
mencintai mereka dan mencintai-Nya”. Dan Nabi saw bersabda, “Sebelum
seseorang mencintai Allah dan Nabi-Nya lebih daripada mencintai yang
lain, ia tidak memiliki keimanan yang benar”. Ketika Malaikat Maut
datang untuk mengambil nyawa Nabi Ibrahim, Ibrahim berkata: “Pernahkah
engkau melihat seorang sahabat mengambil nyawa sahabatnya?” Allah
menjawabnya, “Pernahkah engkau melihat seorang kawan yang tidak suka
untuk melihat kawannya?” Maka Ibrahim pun berkata, “Wahai Izrail,
ambillah nyawaku!”
Doa berikut ini diajarkan oleh Nabi saw kepada sahabatnya: “Ya Allah,
berilah aku kecintaan kepada-Mu dan kecintaan kepada orang-orang yang
mencintai-Mu, dan apa saja yang membawaku mendekat kepada cinta-Mu.
Jadikanlah cinta-Mu lebih berharga bagiku daripada air dingin bagi
orang-orang yang kehausan”. Hasan Basri seringkali berkata: “Orang yang
mengenal Allah akan mencintai-Nya dan orang yang mengenal dunia akan
membencinya”.
Sekarang kita akan membahas sifat esensial cinta. Cinta bisa
didefinisikan sebagai suatu kecenderungan kepada sesuatu yang
menyenangkan. Hal ini tampak nyata berkenaan dengan lima indera kita.
Masing-masing indera mencinta segala sesuatu yang memberinya kesenangan.
Jadi, mata mencintai bentuk-bentuk yang indah, telinga mencintai musik,
dan seterusnya. Ini adalah sejenis cinta yang juga dimiliki oleh
hewan-hewan. Tetapi ada indera keenam, yakni fakultas persepsi, yang
tertanamkan dalam hati dan tidak dimiliki oleh hewan-hewan. Dengannya
kita menjadi sadar akan keindahan dan keunggulan ruhani. Jadi, seseorang
yang hanya akrab dengan kesenangan-kesenangan inderawi tidak akan bisa
memahami apa yang dimaksud oleh Nabi saw ketika bersabda bahwa ia
mencinta shalat lebih daripada wewangian dan wanita, meskipun keduanya
itu juga menyenangkan baginya. Tetapi orang yang mata-hatinya terbuka
untuk melihat keindahan dan kesempurnaan Allah akan meremehkan semua
penglihatan-penglihatan luar, betapa pun indah tampaknya semua itu.
Manusia yang hanya akrab dengan kesenangan-kesenangan inderawi akan
berkata bahwa keindahan ada pada warna-warni merah putih,
anggota-anggota tubuh yang serasi dan seterusnya, sedang ia buta
terhadap keindahan moral yang dimaksudkan oleh orang-orang ketika mereka
berbicara tentang orang ini dan orang itu yang memiliki tabiat baik.
Tetapi orang-orang yang memiliki persepsi yang lebih dalam merasa sangat
mungkin untuk bisa mencintai orang-orang besar yang telah jauh
mendahuluo kita—seperti Khalifah Umar dan Abu Bakar—berkenaan dengan
sifat-sifat mulia mereka, meskipun jasad-jasad mereka telah sejak dahulu
sekali bercampur dengan debu. Kecintaan seperti itu tidak diarahkan
kepada bentuk luar melainkan kepada sifat-sifat ruhaniah. Bahkan ketika
kita ingin membangkitkan rasa cinta di dalam diri seorang anak kepada
orang lain, kita tidak menguraikan keindahan luar bentuk itu atau yang
lainnya, melainkan keunggulan-keunggulan ruhaniahnya.
Jika kita terapkan prinsip ini untuk kecintaan kepada Allah, maka
akan kita dapati bahwa Ia sendiri sajalah yang pantas dicintai. Dan jika
seseorang tidak mencintai-Nya, maka hal itu disebabkan karena ia tidak
mengenali-Nya. Karena alasan inilah, maka kita mencintai Muhammad saw,
karena ia adalah Nabi dan kecintaan Allah; dan kecintaan kepada
orang-orang berilmu dan bertakwa adalah benar-benar kecintaan kepada
Allah. Kita akan melihat hal ini lebih jelas kalau kita membahas
sebab-sebab yang bisa membangkitkan kecintaan.
Sebab pertama adalah kecintaan seseorang atas dirinya dan
kesempurnaan sifatnya sendiri. Hal ini membawanya langsung kepada
kecintaan kepada Allah, karena kemaujudan asasi dan sifat-sifat manusia
tidak lain adalah anugerah Allah. Kalau bukan karena kebaikan-Nya,
manusia tidak akan pernah tampil dari balik tirai ketidak-maujudan ke
dunia kasat-mata ini. Pemeliharaan dan pencapaian kesempurnaan manusia
juga sama sekali tergantung pada kemurahan Allah. Sungguh aneh jika
seseorang mencari perlindungan dari panas matahari di bawa bayangan
sebuah pohon dan tidak bersyukur kepada pohon yang tanpanya tidak akan
ada bayangan sama sekali. Sama seperti itu, kalau bukan karena Allah,
manusia tidak akan maujud (ada) dan sama sekali tidak pula mempunyai
sifat-sifat. Oleh sebab itu, ia akan mencintai Allah kalau saja bukan
karna kemasabodohan terhadap-Nya. Orang-orang bodoh tidak bisa
mencintai-Nya, karena kecintaan kepada-Nya memancar langsung dari
pengetahuan tentang-Nya. Dan sejak kapankah seorang bodoh mempunyai
pengetahuan?
Sebab kedua dari kecintaan ini adalah kecintaan manusia kepada
sesuatu yang berjasa kepadanya dan sebenarnya satu-satunya yang berjasa
kepadanya hanyalah Allah; karena, kebaikan apa pun yang diterimanya dari
sesama manusia disebabkan oleh dorongan langsung dari Allah. Motif apa
pun yang menggerakkan seseorang memberikan kebaikan kepada orang lain,
apakah itu keinginan untuk memperoleh pahala atau nama baik, Allah-lah
yang mempekerjakan motif itu.
Sebab ketiga adalah kecintaan yang terbangkitkan oleh perenungan
tentang sifat-sifat Allah, kekuasaan dan kebijakan-Nya, yang jika
dibandingkan dengan kesemuanya itu kekuasaan dan kebijakan manusia tidak
lebih daripada cerminan-cerminan yang paling remeh. Kecintaan ini mirip
dengan cinta yang kita rasakan terhadap orang-orang besar di masa
lampau, seperti Imam Malik dan Imam Syafi’i, meskipun kita tidak pernah
mengharap untuk menerima keuntungan pribadi dari mereka. Dan oleh
karenanya, cinta ini merupakan jenis cinta yang lebih tak berpamrih.
Allah berfirman kepada Nabi Daud, “Abdi-Ku yang paling cinta kepada-Ku
adalah yang tidak mencariku karena takut untuk dihukum atau berharap
mendapatkan pahala, tetapi hanya demi membayar hutangnya kepada
Ketuhanan-Ku.” Di dalam Injil tertulis: “Siapakah yang lebih kafir
daripada orang yang menyembah-Ku karena takut neraka atau mengharapkan
surga? Jika tidak Kuciptakan semuanya itu, tidak akan pantaskah Aku
untuk disembah?”
Sebab keempat dari kecintaan ini adalah “persamaan” antara manusia
dan Allah. Hal inilah yang dimaksudkan dalam sabda Nabi saw:
“Sesungguhnya Allah menciptakan manusia dalam kemiripan dengan diri-Nya
sendiri.” Lebih jauh lagi Allah telah berfirman: “Hambaku mendekat
kepada-Ku sehingga Aku menjadikan sahabat-Ku. Aku pun menjadi
telinganya, matanya dan lidahnya.” Juga Allah berfirman kepada Musa as:
“Aku pernah sakit tapi engkau tidak menjenguk-Ku!” Musa menjawab: “Ya
Allah, Engkau adalah Rabb langit dan bumi, bagaimana Engkau bisa sakit?”
Allah berfirman: “Salah seorang hamba-Ku sakit dan dengan menjenguknya
berarti engkau telah mengunjungi-Ku”.
Memang ini adalah suatu masalah yang agak berbahaya untuk
diperbincangkan, karena hal ini berada dibalik pemahaman orang-orang
awam. Seseorang yang cerdas sekalipun bisa tersandung dalam membicarakan
soal ini dan percaya pada inkarnasi dan ketersekutuan dengan Allah.
Meskipun demikian, “persamaan” yang maujud di antara manusia dan Allah
menghilangkan keberatan pada ahli Ilmu Kalam yang telah disebutkan di
atas itu, yang berpendapat bahwa manusia tidak bisa mencintai suatu
wujud yang bukan dari spesiesnya sendiri. Betapa pun jauh jarak yang
memisahkan mereka, manusia bisa mencintai Allah karena “persamaan” yang
disyaratkan di dalam sabda Nabi: “Allah menciptakan manusia dalam
kemiripan dengan diri-Nya sendiri”.
0 Response to "Cinta Kepada Allah"
Posting Komentar