AKAL Manusia

Akal adalah Kumpulan dari Pengalaman: David Hume
Pada abad ke-18, David Hume merupakan kritikus yang tajam terhadap pandangan tradisional tentang akal sebagai substansi yang terpisah. Sebelum zamannya Kant, Hume sudah menyerang dualisme Plato dan Descartes. Tetapi Hume tidak berpendapat bahwa terdapat kesatuan pribadi atau aku. Hume membawakan empirisme kepada akibat-akibat logikanya dan menyerang ide tentang substansi dan rasionalisme pada zamannya. Semua pengetahuan datang melalui pengalaman dan satu-satunya isi dari akal manusia adalah kesan-kesan dan ide-ide. Kesan adalah pengalaman yang sederhana dan elementer. Kesan-kesan itu jelas dan terang. Ide hanya merupakan copy-copy kesan. Jika kita melakukan introspeksi, kita hanya menemukan pengalaman yang lewat dan ide-ide yang selalu berubah. Tak ada bukti tentang substansi atau aku yang permanen.[1]
Apakah akal itu menurut Hume? Bagi Hume, akal dan kekuatan atau daya-dayanya serta sifat-sifat kehidupan mental tidak lain adalah asosiasi ide-ide dan pengalaman. Akal (mind) adalah istilah untuk sejumlah pengalaman, ide dan keinginan yang menempati perhatian dan kehidupan seseorang. Ia merupakan suatu kemasan pengalaman atau kumpulan rasa indrawi. Sikap umum Hume adalah skeptikisme; ia adalah seorang empirisis yang sepenuhnya. Ia segan menerima apa saja selain pengalaman sehari-hari. Para penyanggah Hume menunjukkan bahwa ia selalu memakai istilah “I” dan “myself” yang mengandung ari suatu pusat kesatuan pribadi yang selalu ada. Walaupun aku sukar untuk menjadi subyek dan obyek pada waktu yang sama, para penyanggah berpendirian bahwa melakukan pengingkaran berarti menegaskan adanya aku yang terus-menerus. Para pengikut Hume, sebaliknya, mengatakan bahwa dalam pernyataan seperti “Aku mengingkari adanya aku, subyek dan predikat mempunyai arti yang berbeda”. Hume mengatakan bahwa “kumpulan pengalaman” yang ia namakan I atau me, mengingkari adanya substansi yang immaterial atau suatu pusat identitas pribadi yang permanen. Dengan begitu maka Hume memungkiri konsep-konsep tradisional tentang “Aku”.


Akal sebagai Bentuk Tingkah Laku: Psikologikal Behaviorisme
Bagi sekelompok psikolog, akal adalah suatu bentuk tingkah laku.[2] Bagi mereka, beberapa macam tertentu tentang tingkah laku, mendorong kita untuk mempercayai adanya akal; mereka bertanya “Mengapa kita tidak hanya mempelajari tingkah laku saja dan tidak usah merepotkan diri dengan kesatuan-kesatuan yang abstrak dan tak dapat diamati seperti akal?” Bahkan ada psikolog yang mengingkari bahwa istilah seperti: “mind” dan “consciousness” mempunyai isi atau nilai; mereka lebih suka membicarakan tentang kejadian-kejadian mental atau aktivitas neuromuscular (otot dan syaraf) dari sesuatu organisme.
Dalam suatu diskusi yang menarik tentang “Behaviorism at Fifty[3] (Perilaku manusia pada usia 50 tahun), B. F. Skinner menyajikan apa yang ia namakan: pernyataan ulangan tentang radical behaviorism. Sebagian dari pernyataan ulangan tersebut mengandung sejarah bagaimana aliran behaviorisme itu timbul sebagai suatu reaksi terhadap para psikolog yang menyelidiki akal. Ada juga orang-orang yang karena pertimbangan-pertimbangan praktis, lebih suka membicarakan perilaku daripada aktivitas mental yang bersifat kurang dapat dilayani walaupun mereka mengakui adanya. Penyelidikan mereka adalah rintisan dari behaviorisme. Menurut Skinner, yang mula-mula menjauhkan diri dari akal sebagai penafsiran perilaku adalah Darwin dan kesibukannya dengan kontinuitas jenis. Untuk menunjang teori evolusi, adalah penting bagi Darwin untuk menunjukkan bahwa manusia secara esensial tidak berbeda dari binatang yang lebih rendah, dan bahwa setiap sifat manusia, termasuk di dalamnya kesadaran dan kekuatan berpikir, dapat ditemukan dalam jenis-jenis lain. Langkah berikutnya tak dapat dihindari yaitu jika bukti-bukti kesadaran dan berpikir dapat dijelaskan dalam binatang-binatang lain.[4] Mengapa tak dapat dijelaskan dalam manusia? Dan jika keadaannya memang begitu, apakah yang akan terjadi pada prikologi sebagai sains kehidupan mental? Jawabnya: psikologi tersebut tak ada lagi. “Behaviorisme bukannya penyelidikan ilmiah tentang perilaku akan tetapi adalah filsafat ilmu yang mempelajari subyek dan metoda psikologi. Jika psikologi sebagai sains dari kehidupan mental, dari akal, dari pengalaman yang sadar, ia harus mengembangkan dan mempertahankan suatu metodologi yang khusus yang sampai sekarang belum dimiliki secara memuaskan. Tetapi jika behaviorisme itu merupakan sains dari perilaku organisme, baik mengenai manusia atau lainnya, maka ia menjadi bagian dari biologi, suatu sains tentang alam yang banyak diselidiki oleh metoda-metoda yang sudah dicoba dan sangat berhasil.[5] Itulah kedudukan psikologikal behaviorisme.
(Sumber: Harold H. Titus. (1984). Persoalan-persoalan Filsafat).
[1] Diskusi mengenai David Hume dapat dibaca pada fasal 7, hal. 55-57/.
[2] Prikologi Perilaku (Psychological Behaviorism) sudah dibahas dalam fasal 2 dan fasal 3. Pembahasan ini akan disinggung kembali dalam fasal 6.
[3] B. F. Skinner, “Behaviorism at Fifty”, dalam bukunya T. W. Wann, Behaviorism and Phenomenology (Chicago: U. of Chicago Press, 1964), hal. 79-108.
[4] Bukti ini diberikan oleh psikolog Edward L. Thorndike pada akhir abad ke-19. Sebagai contoh ia menunjukkan bahwa seekor kucing berusaha melepaskan diri dari “puxxle-hox”, yang semua itu mungkin menunjukkan pemikiran, dapat dijelaskan sebagai hasil dari proses yang sederhana. Dengan begitu kita akan dapat bertanya: “Apakah tidak terdapat cara-cara lain untuk menafsirkan hal-hal yang nampak sebagai kesadaran atau kekuatan fikiran”.
[5] B. F. Skinner, Behaviorism at Fifty, hal 79. Mahasiswa diharap membaca kembali buku tentang psikologi. Hampir semua buku psikologi memberi definisi psikologi sebagai ilmu tentang perilaku, tanpa menyebutkan akal atau kehidupan berfikir.
Telah berkembang banyak teori tentang akal sejak bertahun-tahun. Teori-teori tersebut dapat digolong-golongkan menurut sistem sederhana yang dipakai oleh para filosof yang berkecimpung dalam menyelidiki akal:
  1. akal adalah substansi non-material,
  2. akal adalah prinsip penataan,
  3. akal adalah kumpulan dari pengalaman dan
  4. akal adalah sebagai bentuk perilaku.

Akal sebagai Substansi: Plato dan Descartes
Akal dapat ditafsirkan sebagai kesatuan yang non-material, yang tak dapat dibagi dan tak dapat mati. Istilah substansi dipakai dalam filsafat untuk menunjukkan suatu realitas yang dalam dan yang mengandung kualitas. Marilah kita mengambil dua contoh. Lilin adalah suatu substansi yang mempunyai beberapa kualitas: seperti warna kuning (keruh kecuali jika dimurnikan), plastik (dapat diremas jika hangat), melekat, tak dapat ditekan dan lain-lain. Apakah yang tinggal jika anda menghilangkan kualitas-kualitas tersebut? jawabannya, yang tinggal adalah substansi. Yakni sesuatu yang mempunyai kualitas. Sekarang kita bicara tentang akal. Akal mempunyai kualitas seperti dapat faham, berfikir, ingat dan mengkhayalkan. Apakah yang tertinggal jika anda mengambil kualitas-kualitas tersebut. jawabannya, yang tertinggal adalah substansi, dan kali ini substansi yang immaterial.
Sumber dan pembawa yang pokok dari pandangan tersebut pada zaman kuno adalah Plato. Perhatiannya yang besar adalah manusia, terutama tentang akal manusia.

Plato
Plato membagi watak manusia ke dalam tiga bagian. Pertama, bagian rasional, tempatnya adalah dalam otak. Unsur rasional manusia adalah esensi suci, atau substansi, dan harus dibedakan dari badan di mana akal itu terpenjara. Yang kedua adalah bagian yang merasa, tempatnya di dada. Yang ketiga, unsur yang ingin atau selera, tempatnya di perut. Unsur keinginan tidak mempunyai prinsip untuk mengatur diri sendiri, karena itu harus berada di bawah kontrol akal. Akal dan badan mempunyai hubungan yang erat satu dengan lainnya, akan tetapi menurut Plato perbedaan antara dua hal tersebut adalah nyata. Jiwa yang tak dapat dibagi-bagi berasal dari alam misal atau form yang tinggi dan abadi, jauh di atas dunia pengalaman yang selalu berubah dan lewat. Jiwa tercemar karena berhubungan dengan benda, pada suatu waktu jiwa akan meninggalkan badan dan kembali kepada tempatnya yang abadi.
Interpretasi Plato tentang jiwa atau akal banyak mempengaruhi fikiran Plotinus dan Augustinus, dan melalui mereka, mempengaruhi gereja Masehi. Pandangan Plato banyak dianut orang selama Abad Pertengahan. Baik dalam bentuk asilnya atau dalam bentuk baru yang diciptakan oleh Descartes, fikiran Plato meresap pada pemikiran modern.

Descartes
Descartes, seorang filosof besar pada abad ke-17, menguatkan teori bahwa akal adalah substansi. Karena sangat sangsi terhadap kebenaran pengetahuan pada zamannya, dan kebenaran segala pengetahuan, ia memutuskan untuk mempersoalkan segala-galanya dan memulai suatu cara untuk sangsi yang sistematik, dan berusaha mendapatkan apa yang mustahil dapat disangsikan.
Karena metoda tersebut, aku gambarkan segala sesuatu yang aku lihat itu tidak sungguh; aku percaya bahwa tak ada obyek yang dikemukakan oleh ingatan saya yang palsu itu ada. Aku merasa bahwa aku tak mempunyai rasa (indra); aku percaya bahwa badan, angka, keluasan, gerak dan tempat, semuanya hanya merupakan khayalan akal saya. Kalau begitu apakah yang dapat dianggap benar. Barangkali hanya ini, yaitu sama sekali tak ada benda yang nyata.[1]
Dari posisi keragu-raguan metodologis, Descartes keluar dengan suatu keyakinan yang kuat bahwa aku itulah yang ada. Perkataannya dalam bahasa Latin adalah “cogito ergo sum”, “aku berpikir, karena itu aku ada”. Descartes menemukan bahwa adanya sedikitnya satu akal, yakni akalnya sendiri, tak dapat disangsikan. “Inilah hal yang tak dapat dipisahkan dariku, aku ada, ini sudah tentu, tetapi berapa kali? Ya, selama aku berpikir, karena barangkali akan terjadi bahwa aku berhenti berpikir, dan berbarengan dengan itu aku tidak lagi ada”.[2] Dari sini ia meyakinkan adanya akal lain, adanya Tuhan serta adanya alam materi. Dunia luar menunjukkan adanya, melalui indra, dan ia tidak percaya bahwa ia dapat ditipu.
Bagi Descartes terdapat dua substansi, akal dan materi. Ia mengadakan perbedaan yang jelas antara keduanya. Akal tu immaterial. Akal adalah kesadaran, dan sifatnya adalah berpikir. Oleh karena akal itu substansial, ia tak dapat dimusnahkan kecuali oleh Tuhan yang merupakan satu-satunya substansi yang tidak bersandar kepada yang lain. Sifat materi adalah keluasan. Badan manusia adalah bagian dari alam materi dan tunduk kepada aturan-aturannya.
Penjelasan Descartes tentang akal sebagai suatu substansi yang berdiri sendiri adalah permulaan perkembangan yang panjang dalam filsafat modern dan pemikiran ilmiah yang kadang-kadang dinamakan bifurkasi alam (bifurcation of nature). Dualisme Descartes tentang akal dan badan atau materi memungkinkan kita untuk mengadakan interpretasi tentang alam di luar diri kita dengan cara-cara mekanik dan kuantitatif, serta memungkinkan menempatkan aspek kehidupan yang lain dalam bidang akal atau jiwa. Pemisahan antara akal dan materi adalah teori yang tetap dianut oleh beberapa filosof dalam segala perioda sejarah.

Akal adalah Prinsip Penataan: Aristoteles dan Immanuel Kant
Aristoteles, murid Plato, walaupun pada dasarnya menyetujui beberapa aspek dari teori akal sebagai substansi, mengambil arah baru yang akan kita bicarakan sekarang. Bagi Plato, ide-ide adalah bentuk-bentuk yang abadi yang wujudnya adalah dalam alam lain; ide kita tentang dunia ini hanya merupakan copy dari bermacam-macam derajat kebenaran, dari ide yang abadi. Bagi Aristoteles, bentuk itu ada dalam benda, dalam alam ini. Form itu memberi bentuk, mengatur prinsip-prinsip dinamis yang memerintah dan mengarahkan materi. Dari pandangan ini, jiwa (soul, psyche) adalah prinsip kehidupan, kumpulan dari proses kehidupan, prinsip yang aktif untuk mengatur proses-proses ini. Akal atau fikiran adalah kekuatan atau fungsi tertinggi dari jiwa (psyche) manusia. Dalam usaha untuk mempersatukan akal dan badan, Aristoteles menyimpang dari pendirian Plato dan mendekati pendirian bahwa akal itu adalah proses dan fungsi. Jika bagi Plato alam Ide atau bentuk yang abadi ada di luar dunia rasa indrawi, bagi Aristoteles form (bentuk) itu ada di dalam benda sebagai prinsip yang aktif untuk pengaturan.
Immanuel Kant pada akhir abad ke-18 mengeritik pandangan tradisional yang mengatakan bahwa akal itu substansi; pandangan tersebut mengatakan bahwa seseorang dapat menjadikan “aku”-nya dan “akal”-nya menjadi obyek langsung untuk diketahui. Bagi Kant, akal itu aktif. Akal itu mengumpulkan bahan-bahan yang disajikan oleh bermacam-macam indra dalam suatu pengolah pengetahuan. Zaman dan ruang merupakan “forms” dari pengalaman-pengalaman indrawi kita, yang dengan memakai pertimbangan (judgment) dikumpulkan menjadi pengalaman yang teratur dan terpadu. Akal bukannya suatu substansi mental yang berdiri sendiri. Akal adalah penataan dan kesatuan dari pengalaman-pengalaman pribadi manusia.
Menurut Kant, yang kita ketahui secara pasti adalah pengalaman-pengalaman kita. Di mana saya ada pengetahuan terdapat juga perpaduan; dan pengetahuan memerlukan seorang yang mengetahui. Jika ada daya ingatan, tentu ada sesuatu yang melakukan ingatan tersebut. pengaturan pengalaman menjadi mungkin karena ada akal dan pemahaman yang berlaku sebagai prinsip penataan. Terdapat kesatuan organik atau pribadi yang mengatasi (transcend) dan yang bertanggung jawab untuk adanya kontinuitas di antara pengalaman-pengalaman yang terpisah. Kesatuan itu adalah aku (self). Aku kadang-kadang dikatakan sebagai tempat bentuk pengetahuan. Kadang-kadang, aku dan akal dianggap sebagai satu. Walaupun begitu, bersama Kant, kita harus tidak lupa bahwa aku adalah suatu subyek moral dan subyek yang mengetahui.[3]
(Sumber: Harold H. Titus. (1984). Persoalan-persoalan Filsafat).
[1] Rene Descartes, Meditation II, Descartes’ Meditations and Selections from the Principles of Philosophy, diterjemahkan oleh John Veitch (La Salle: Open Court, 1941), hal. 29-30.
[2] Ibid, hal. 33.
[3] Diskusi mengenai pandangan Kant mengenai moralitas dapat dibaca pada fasal 7.
Terdapat kekaburan dan keterlambatan dalam penyelidikan tentang akal karena beberapa sebab:
Pertama, penyelidikan tentang akal dan tentang manusia pada umumnya telah mendapat perhatian yang sangat sedikit pada masa yang lalu, khususnya dari segi bantuan keuangan, dibandingkan dengan penyelidikan tentang alam di sekitar manusia. Pada zaman kita sekarang, kita pada pokoknya mementingkan eksploitasi alam fisik, membentuk mesin dan menjelajah angkasa. Kita telah mempelajari lebih banyak tentang benda-benda dan binatang-binatang dari pada tentang manusia. Perhatian kita diarahkan terhadap aspek kehidupan manusia yang juga ada hubungannya dengan benda dan binatang. Penyelidikan sosial adalah baru, dilakukan orang semenjak akhir abad ke-19 dan permulaan abad ke-20. Metoda ilmiah dipakai pertama dalam matematika dan astronomi kemudian dalam fisika dan kimia, kemudian lagi dalam fisiologi dan biologi dan hanya baru-baru ini diterapkan untuk sosiologi dan psikologi.
Dalam interpretasi-interpretasi yang terdahulu, sebelum konsep evolusi diterima dalam dunia pemikiran, akal dianggap sebagai terpisah dari alam. akal mencoba berhubungan dengan dan memahami “ultimate reality” (realitas yang tertinggi). Pandangan “seorang pengamat” tentang pengetahuan dianggap sudah yakin. Tetapi problemanya adalah untuk menjembatani jurang pemisah antara akal dan alam. Pada waktu sekarang, akal dipandang sebagai suatu alat atau suatu fungsi, dan tidak sekadar sebagai seorang pengamat di luar proses. Tidak ditekankan perlunya riset dan percobaan-percobaan, sikap sementara (tentative) dan derajat kemungkinan (degree of probability).
Kedua, psikologi telah menimbulkan aliran-aliran pemikiran yang bertentangan. Psikologi adalah sains yang khusus yang memberikan bahan-bahan deskriptif, dan bahan-bahan tersebut menjadi dasar untuk menyusun interpretasi kita tentang akal. Akan tetapi psikologi itu bermacam-macam, tidak hanya satu. Tak ada kata sepakat tentang metoda yang diperlukan untuk psikologi, bahkan tak ada kesepakatan tentang apakah subyek psikologi itu. Dalam mempelajari akal, beberapa metoda dapat dipergunaka; penyelidikan tentang perilaku yang obyektif, pendekatan genetik, yang mencakup perkembangan anak-anak atau perkembangan rasa, penyelidikan tentang perilaku binatang, perilaku yang abnormal, mekanisme dan proses fisiologis, introspeksi, persepsi ekstrasensori masing-masing metoda tersebut dipakai oleh sebagian dari para psikolog.
Bermacam-macam psikologi menekankan bermacam-macam aspek akal dan perilaku manusia. Perkembangan yang semula dari psikoanalisa (dilakukan oleh Sigmund Freud, Alfred Adler, C. G. Jung dan lain-lain), telah terjadi di dalam profesi kedokteran. Menurut Freud, enerji kehidupan manusia atau struktur kepribadian terdiri atas tiga bagian. Pertama id, yaitu yang merupakan lapangan di bawah sadar yang mendalam dari naluri (instinct); dorongan hati (impulse) dan passi (passion). Kedua, ego, yaitu unsur kepribadian yang dapat berpikir dan kadang-kadang dapat mengontrol kegiatan id. Ketiga, superego, yaitu internalisasi kebutuhan-kebutuhan masyarakat, yang telah dinamakan conscience. Berhadapan dengan tiga kekuatan, yakni id, superego dan dunia luar yang kasar, ego terpaksa mengakui kelemahannya dan dengan mudah terkena perasaan salah (guilty) dan gelisah (anxiety). Psikoanalisa menekankan adanya konflik dan kemenangan di dalam atau di antara bidang-bidang kepribadian dan bermacam-macam mekanisme untuk mengatasi problema-problema tersebut seperti: lari (escape), pertahanan (defence) dan sebagainya.
Behaviorisme (dikembangkan oleh John B. Watson, K. S. Lashley, Clark L. Hull dan E. C. Tolman) muncul sebagai hasil penyelidikan-penyelidikan dalam bidang psikologi binatang. Metoda dan cara bekerjanya kemudian diterapkan untuk menyelidiki perilaku manusia. Sebagaimana yang telah dijelaskan dalam fasal 2 dan 3, psikologi perilaku mengarahkan perhatiannya kepada tingkah laku yang dapat dilihat dan kepada respons.
Psikologi Gestalt (yang dikembangkan oleh Marx Wertheimer, Kurt Koffka dan Wolfgang Kohler) merupakan reaksi terhadap metoda analitik dan atomistik dari psikologi sebelumnya, menekankan pandangan bahwa keseluruhan itu lebih besar dari sekadar jumlah bagian-bagiannya; sering keseluruhan itu memiliki kualitas yang tak terdapat dalam bagian-bagiannya. Pengikut aliran Gestalt, yang penyelidikan-penyelidikannya kebanyakan dalam bidang psikologi persepsi, berpendirian bahwa ide tentang organisasi dan contoh adalah sangat pokok untuk memahami pengamatan dalam bidang persepsi mereka bahkan memperluas pandangan mereka sehingga mencakup beberapa aspek kepribadian. Bagi penganut behaviorisme tingkah laku itu tidak ditetapkan oleh kejadian-kejadian stimulus tanggapan (stimulus response) yang terpisah-pisah dan terputus-putus, akan tetapi ditetapkan oleh pribadi yang terpadu (Integrated personality) yang melihat situasi menyeluruh.
Terdapat aliran-aliran lain dalam psikologi yang sekarang tidak lagi ternama, dan terdapat pula psikolog-psikolog yang tidak mau digolongkan pada suatu aliran.
Ketiga, dalam mempelajari akal adalah bahwa sukar untuk bersikap obyektif dalam bidang ini; terdapat pula bahaya bahwa ketika kita memperoleh obyektifitas, kita kehilangan hal yang kita ingin menyelidikinya. Sains cenderung untuk menganggap sepi hal-hal yang istimewa dan tidak terulang serta lebih suka mempelajari alam yang sudah dibersihkan dari sifat-sifat kemanusiaan yang istimewa. Ketika kita berusaha untuk mengisolir akal, akal itu sudah hilang dan kita menghadapi benda lain. Dalam kasus ini, akal mungkin seperti elektron, yang merasa diganggu jika diamati, ahli fisika tak dapat menemukan tempatnya dan kecepatannya.
Memang terdapat suatu problema yang riil yaitu apakah akal itu dapat dipelajari sebagai suatu kesatuan yang dapat dipandang sebagai obyektif? Apakah sesuatu akal dapat menjadi subyke dan obyek secara berbarengan. Jika ada suatu bidang dari kehidupan manusia yang khusus dan tidak dapat diamati secara umum, dan jika sains itu suatu pengetahuan yang dapat diperiksa benar tidaknya secara obyektif, maka sains akan menghadapi problema besar jika “berusaha untuk menyelidiki akal dan aku”, seorang yang ahli memberi tafsiran tentang alam, ia akan menemui kesulitan jika ia ingin memberi interpretasi tentang aku-nya sendiri dan aku orang lain, akalnya sendiri dan akalnya orang lain. Dia tak akan dapat yakin tentang apa yang ia selidiki, bagaimana ia harus menafsirkan hasilnya, ketepatan dan relevansi pengamatannya dan apakah pengaruh hasil-hasil tersebut terhadap teori akal.
Akhirnya, sampai sekarang tak ada kata sepakat tentang kapan dan bagaimana akal itu muncul dalam proses evolusi yang panjang. Jawabannya bergantung kepada definisi kita tentang akal dan pandangan kita tentang dunia atau interpretasi kita tentang alam. jika kita memberi definisi akal sebagai “perilaku adaptasi” (adapting behavior), proses adanya akal mungkin dimulai dengan amuba atau bentuk hidup yang lain. Terdapat perkembangan sedikit demi sedikit dari kehalusan dan kerumitan reaksi jika kita menghadapi organisme yang lebih kompleks tetapi tak terdapat evolusi yang jelas atau loncatan-loncatan yang dapat diklasifikasikan yang dapat kita katakan sebagai “permulaan akal”. Dari segi lain, jika kita memilih interpretasi bahwa akal itu adalah fikiran yang abstrak, maka akal itu hanya terdapat pada manusia.
Interpretasi dan pengertian tentang hubungan antar akal (jiwa) manusia dan raga manusia adalah salah satu dari persoalan-persoalan yang sangat penting yang dihadapi oleh filsafat, dan salah satu dari masalah yang paling kompleks dan membingungkan. “Di antara masalah yang dihadapi filsafat dan bermacam-macam sains, problema hubungan antara jiwa dan badan adalah masalah yang masih membingungkan. Kemajuan-kemajuan baru dalam pemikiran filsafat dan penyelidikan eksperimental malah menjadi problema itu lebih menantang”.[1]
Sejak zaman dahulu, manusia cenderung untuk mengadakan pembedaan yang jelas antara: kejadian-kejadian, substansi, proses atau hubungan yang mereka namakan material atau fisikal (physical), dan yang mereka namakan mental atau psikikal (psychical). Bidang pertama mencakup jenis materi anorganik dan organik, termasuk di dalamnya badan manusia dan binatang. Benda-benda yang digolong-golongkan semacam itu berada di ruang dan waktu, dan bersifat umum (terbuka) yakni dapat dilihat oleh siapa saja. Bidang kedua mencakup fikiran, gambaran (image0, dan rasa (sensation), keinginan dan sebagainya. Kejadian-kejadian atau proses ini bersifat khusus yakni tidak dapat dialami oleh seorang pengamat, walaupun si pengamat itu dapat diberitahu tentang adanya, dan mungkin akan memahaminya dengan simpati.
Sebelum kita maju lebih jauh, marilah kita jelaskan istilah-istilah yang dipakai secara luas akan tetapi sering dikaburkan, yaitu: soul, self, mind, consciousness dan self-consciousness. Bermacam-macam penulis mempergunakan istilah-istilah tersebut dengan bermacam-macam arti; hal ini menjadikan penjelasannya lebih sukar. Plato memakai istilah psyche yang biasanya diartikan jiwa (soul), untuk membedakan sesuatu yang bersifat immaterial atau substansi daripada watak kebinatangan manusia. Jiwa difahami sebagai sesuatu yang tak dapat mati, dan dapat dipisahkan dari badan, jika seseorang itu mati. Aristoteles juga memakai istilah soul, tapi dengan arti yang agak berlainan sebagai yang akan kita lihat nanti. Istilah “soul” banyak dipakai dalam sistem-sistem teologi, dan banyak orang yang memakai dua istilah tersebut, yakni soul dan self sebagai kata sinonim yang mempunyai satu arti, atau menganggap “aku (self) yang menjadi subyek” sebagai jiwa (mind) dan “aku sebagai obyek” menjadi badan atau kumpulan badan dan nyawa. Pemakaian seperti ini dapat dipersoalkan karena aku-nya manusia, menurut istilah tradisional terdiri atas unsur:
  1. Kognitif, atau segi yang berfikir dan mengerti,
  2. Afektif, yakni segi perasaan dan emosi, dan
  3. konatif, yakni keinginan, usaha dan kemauan.
Dari segi pandangan ini, akal (mind) adalah segi kognitif dari aku dan kehidupan manusia.
Akal (mind) dan kesadaran (consciousness) tidak merupakan sinonim (berarti satu) walaupun kadang-kadang diduga menjadi satu. Kita boleh jadi sadar atau tidak sadar tentang proses mental kita. Jika kita sampai kepada suatu pemecahan persoalan, kita telah melalui proses mental; tetapi proses tersebut tidak harus merupakan proses yang kita sadari. Jika kita melakukan introspeksi terhadap proses tersebut, yakni jika kita memeriksa kembali, otak merasakan akan adanya proses tersebut, kita menjadi sadar. Pembedaan ini memungkinkan kita mengatakan bahwa binatang itu mempunyai proses mental, baik mereka itu sadar tentang proses tersebut atau tidak. Kesadaran (consciousness) adalah keinsafan tentang hubungan antara orang yang melihat, subyek atau orang yang mengerti, dengan sebagian dari obyek perhatian. Jika kita insaf akan fakta bahwa kitalah yang sadar, maka dalam ini kita bicara tentang kesadaran aku (self-consciousness). Kita tidak akan dapat menerangkan kesadaran yang langsung atau pengalaman “kesadaran aku” secara memuaskan kecuali kalau kita mengerti tentang “aku”. Jadi kita harus yakin akan adanya kesatuan pribadi atau identitas yang tetap ada sepanjang adanya pengalaman-pengalaman kehidupan yang bermacam-macam dan yang menjadikan pengalaman yang terpisah-pisah itu “kepunyaanku”.[2]
(Sumber: Harold H. Titus. (1984). Persoalan-persoalan Filsafat).
[1] Wolfgang Kohler, “The Mind-Body Problem,” dalam buku Dimension of Mind: A Symposium, Sidney Hhook (ed.) (New York: Collier Books, 1961), h. 15. (New York University Institute of Philosophy).
[2] Lihat fasal 3 untuk diskusi mengani aku (self) dan kesadaran aku (self-consciousness).
  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • Twitter
  • RSS

0 Response to "AKAL Manusia"

Posting Komentar

Copyright 2009 LOVERS of WISDOM
Free WordPress Themes designed by EZwpthemes
Converted by Theme Craft
Powered by Blogger Templates