‘Kebetulan’ dalam Perspektif Ibn Sina

Konsep ‘Kebetulan’ dalam Perspektif Ibn Sina


Namun, klasifikasi peristiwa terkadang tidak terlalu ketat, Ibn Sina menyatakan suatu peristiwa dapat dianggap sering terjadi dan memiliki frekuensi ‘kebetulan’ yang sama terhadap hal yang lain. Misalnya, jari keenam adalah peristiwa yang jarang terjadi pada manusia, tetapi jika ada peristiwa lebih dari lima jari dan “jika daya Ilahi yang mengalir ke dalam tubuh menemukan kondisi yang lengkap (isti’dad tamm) secara alami memenuhi kepantasan bentuk (sura mustahaqqa), maka kekuatan Ilahi tidak menghilangkan bentuk materi dan menghasilkan jari keenam” dan “jika ini adalah peristiwa yang jarang ditemukan berkaitan dengan sifat universal atau bersifat anomali yang berkaitan dengan sebab-sebab yang telah disebutkan. Memang hal itu berlaku demikian.[1] Bahkan jika ada sesuatu yang umumnya dianggap peristiwa jarang terjadi dan ‘kebetulan’, hal itu akan berubah menjadi ‘memerlukan’ berdasarkan penyebabnya dan karenanya tidak memenuhi syarat sebagai peristiwa spontan. Ibn Sina menekankan bahwa untuk setiap fenomena alam, bahkan yang tampaknya tidak wajar karena tidak biasa atau jarang terjadi, tetap memerlukan penyebab. Implikasinya bahwa penyimpangan di alam memang memerlukan faktor lain dan memang harus begitu. Hal ini karena setiap peristiwa tunggal di alam ditentukan oleh penyebabnya.
Ibn Sina melanjutkan dengan mengatakan, “sepanjang eksistensi suatu hal tidak berasal dari penyebab dan tidak mengindikasikan sifat yang memungkinkan untuk muncul, maka ia tidak muncul dari bentuknya sendiri.”[2] Hal demikian merujuk kepada filsafat-pertama, metafisika. Salah satu prinsip fundamental dari ontologi mengenai kemungkinan dan yang ‘memerlukan’dalam metafisika Ibn Sina bahwa kemungkinan diperlukan manakala sesuatu menjadi eksis. Kemungkinan dan eksistensi aktual bagi Ibn Sina merupakan dua istilah yang menandakan hubungan eksklusif. Setiap eksistensi aktual adalah mungkin memerlukan: dirinya sendiri, hal lain (di luar dirinya), penyebab, dengan pengecualian Tuhan.
Jika segala sesuatu yang terjadi di alam ‘memerlukan’ faktor lain, di mana ‘kebetulan’? Apa artinya mengatakan sesuatu terjadi secara ‘kebetulan’? Menurut Aristoteles, ‘kebetulan’ ada dalam peristiwa yang jarang atau sering terjadi; pandangan ini terkadang didukung Ibn Sina sendiri.[3] Dalam al-Najat, Ibn Sina memberikan definisi mengenai peristiwa ‘kebetulan’ yang mendukung pandangan Aristotelian:
Peristiwa ‘kebetulan’ (umur ittifaqiyya) adalah peristiwa yang jarang atau sering  terjadi. Peristiwa di alam itu selalu, sering, dan tidak terjadi secara ‘kebetulan’ (ittifaqiyya). Peristiwa yang sering terjadi dengan sendirinya mengharuskan demikian kecuali ia memiliki gangguan (aiq).[4]
Ini adalah definisi standar Aristoteles mengenai ‘kebetulan’: yang tidak selalu (jarang) atau sering terjadi. Selain itu, penting untuk diperhatikan mengenai perbedaan antara alam dan ‘kebetulan’. Pada interpretasi ini, proses-proses alam adalah yang tidak selalu atau sering terjadi. Hal ini menunjukkan bahwa ‘kebetulan’ adalah sesuatu yang melampaui (beyond) alam, bersifat supernatural atau monstrous, dan tidak bisa dijelaskan oleh prinsip-prinsip ilmiah. Kita telah melihat bahwa menurut Ibn Sina peristiwa alami terjadi tanpa ketiadaan gangguan dan akibat alami yang langka juga sudah dijelaskan. Gangguan akan menentukan terhadap peristiwa yang sering terjadi daripada terhadap peristiwa yang selalu terjadi, ia mengatakan demikian dalam al-Najat. Seperti Aristoteles, Ibn Sina menyangkal bahwa ‘kebetulan’ adalah akar dari peristiwa yang selalu atau sering terjadi. Aristoteles mengklaim bahwa hal itu ditemukan dalam peristiwa yang jarang terjadi. Baginya, ‘kebetulan’ secara objektif fihubungkan dengan frekuensi dari suatu peristiwa.[5] Dengan demikian, ‘kebetulan’ ada pada peristiwa yang jarang atau konstan (terus-menerus). Peristiwa konstan misalnya gerakan bintang-bintang yang mengikuti pola tertentu dan abadi.[6]
Contoh peristiwa yang sering terjadi atau teratur adalah curah hujan di musim dingin. Dapat dengan mudah disebut peristiwa ‘kebetulan’; bandingkan dengan peristiwa hujan di musim panas, tidak diperlukan teori kausalitas secara ketat. Lebih jauh Ibn Sina menyatakan bahwa kemenjadian diperlukan pada peristiwa yang berlangsung. Dengan membingkai teori ‘kebetulan’ dalam teori memerlukan atau kausalitas sistematis, di mana setiap peristiwa memerlukan sebab, secara otomatis ‘kebetulan’ tidak termasuk penyebab atau bukan penjelasan yang dapat menjelaskan suatu peristiwa. Dengan demikian ia memenuhi teori yang mendefinisikan bahwa ‘kebetulan’ ditentukan oleh frekuensi kejadian, dan hal ini awalnya dari teori Aristoteles. Penjelasan Ibn Sina mengenai peristiwa yang selalu, sering, atau jarang terjadi merupakan bentuk penolakan terhadap model statistik yang menyatakan bahwa ‘kebetulan’ ada dalam peristiwa yang jarang terjadi tanpa kualifikasi apapun. Bahkan, ‘kebetulan’ tidak secara objektif terhubung dengan frekuensi terjadinya satu peristiwa. Contoh jari keenam berfungsi untuk menunjukkan bahwa semua peristiwa, substansi, dan alam secara umum adalah tidak mungkin; bukan memerlukan faktor lain yang ditentukan oleh tujuan dan karenanya harus begitu. Setiap peristiwa alami atau substansi diperlukan jika seseorang menganalisa penyebab utama untuk itu.[7] Jika semua  peristiwa diperlukan, mengapa Ibn Sina kesulitan untuk menjelaskan ‘kebetulan’ dengan menggunakan klasifikasi Aristoteles mengenai peristiwa yang sesuai frekuensi? Dia tampaknya mengecualikan ‘kebetulan’ dari semua peristiwa alami, bukan hanya peristiwa yang selalu dan sering terjadi saja tetapi juga menyangkut peristiwa yang jarang terjadi. Ia menyangkal bahwa ‘kebetulan’ ada pada peristiwa yang jarang terjadi. Namun, itu bukan berarti bahwa ia menyangkal ‘kebetulan’ sama sekali. Ini adalah salah satu definisi yang diberikan dalam Physics mengenai The Healing:
‘Kebetulan’ merupakan penyebab peristiwa alami dan tiada kehendak (amr) yang tidak mengharuskan selalu atau sering terjadi, berkaitan dengan demi sesuatu (tujuan) dan tidak memiliki penyebab yang mengharuskan secara esensial.[8]
Argumen di atas secara eksplisit menyatakan bahwa ‘kebetulan’ ada pada peristiwa yang memiliki sebab final, sebanyak ia memiliki sebab final itu. Artinya, ‘kebetulan’ tidak muncul pada peristiwa yang tidak memiliki tujuan. Selain itu, Ibn Sina mengikuti pandangan Aristotelian bahwa ‘kebetulan’ tidak muncul pada peristiwa yang selalu atau sering terjadi, seperti yang dilakukannya dalam bagian al-Najat yang dikutip di atas. Dia juga tampaknya menerima bahwa tidak ada penyebab esensial untuk peristiwa ‘kebetulan.’ Juga, menurut definisi ini, ‘kebetulan’ menjadi penyebab yang tidak selalu atau sering memerlukan faktor lain. Dalam argumen-argumennya, Ibn Sina tampak berbeda-beda dan bertentangan dalam mendefinisikan ‘kebetulan’; kadang-kadang menerima model statistik, pada kesempatan lain menolaknya. Pada kutipan berikut, ia tampak menolaknya:
Kita dapat mengatakan bahwa [peristiwa] ini dan itu terjadi secara ‘kebetulan’ bahkan jika peristiwa (al-amr) digunakan untuk peristiwa yang sering terjadi; seperti perkataan seseorang, “Aku mencari Zaid untuk berbisnis dan ia ditemukan di rumah.” Fakta bahwa Zaid sering ditemukan di rumah tidak mencegah [orang ini] untuk melontarkan perkataan di atas. Jawabannya adalah orang ini mengatakan hal itu tidak berkaitan dengan apa yang diucapkannya, melainkan dengan apa yang dia percaya tentang hal itu. Karena jika pendapat umum bahwa Zaid harus di rumah, orang tersebut tidak akan mengatakan bahwa ia ‘kebetulan’ [menemukan Zaid]. Sebaliknya, akan dikatakan terjadi secara ‘kebetulan’ jika orang tersebut tidak menemukannya.[9]
Dalam contoh di atas, Ibn Sina mempertahankan ‘kebetulan’ yang tidak objektif dihubungkan dengan frekuensi dari suatu peristiwa, tetapi hanya subjektif. ‘Kebetulan’ terjadi dalam situasi di mana subjek bertindak dengan hasil yang spesifik dan hasil dari tindakan adalah hal lain dari apa yang diharapkan.
[1] Ibn Sina, al-Sama’ al-Tabi’i, hal: 63. Bacalah idha, bagian 1 hal: 14, dan wujud, bagian 1 hal: 15 dengan Zayid dan Madkur. (Al-Yasin, hal: 119-120). Pada bagian lain, Ibn Sina menyatakan bahwa kebanyakan orang terlahir kidal. Lihat: Ibn Sina, al-Hayawan, hal: 172.
[2] Ibn Sina, al-Sama’ al-Tabi’i, hal: 63. (Al-Yasin, hal: 120).
[3] Aristoteles, Physics, 197a31-197a35. Oposisi antara ‘kebetulan’ dan peristiwa yang selalu atau sering terjadi juga dinyatakan dalam: Ibn Sina, al-Syifa tentang al-Burhan (On Demonstration) sehubungan dengan pandangannya tentang eksperimentasi.
[4] Ibn Sina, al-Najat, hal: 251-252.
[5] Aristoteles, Physics, 197a19-197a20. Lihat juga bagian: 198b34-198b36.
[6] Aristoteles terlihat berhati-hati dalam membedakan antara realitas di bumi dan alam ghaib yang berhubungan dengan ‘kebetulan’; ia menekankan bahwa peristiwa ‘kebetulan’ hanya dapat diamati dalam bentuk.
[7] Ketika Ibn Sina berbicara tentang peristiwa-peristiwa “yang sering terjadi”, ia tidak lepas dari teori “memerlukan”. Adapun pengecualian terhadap keteraturan alam, karena gangguan dalam hal itu dapat dijelaskan secara kausal. Marmura, The Metaphysics of Efficient Causality in Avicenna, hal: 185.
[8] Ibn Sina, ­al-Sama’ al-Tabi’i, hal: 65. (Al-Yasin, hal: 120). Aristoteles menyatakan bahwa ‘kebetulan’ merupakan penyebab peristiwa yang memiliki tujuan dalam peristiwa yang tidak mengharuskan selalu atau sering terjadi. Lihat terjemahan dalam bahasa Arab untuk: Physics, 197a13-197a14, 197a31-197a32, masing-masing hal: 122 dan 124.
[9] Ibid, hal: 65. (Al-Yasin, hal: 120).
  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • Twitter
  • RSS

0 Response to " ‘Kebetulan’ dalam Perspektif Ibn Sina"

Posting Komentar

Copyright 2009 LOVERS of WISDOM
Free WordPress Themes designed by EZwpthemes
Converted by Theme Craft
Powered by Blogger Templates