Kajian Islam dan Ilmu Tasawuf

 
Seiring dengan munculnya kritik-kritik tajam terhadap tasawuf yang menimbulkan ketegangan di dalam dunia pemikiran islam, nampakya sudah timbul berbagai argumentasi tentang, apakah tasawuf benar-benar ilmu keislaman atau ia hanya sekedar pengislamisasian unsur-unsur non-islam? Kontroversi pendapat itu bermula sejak tampilnya ftasawuf falsafati dan semakin dipertajam kemudian dengan masuknya pendapatm orientalis, yang secara generalisasi mengatakan, bahwa tasawuf bersumber dari luar islam.
Mereka yang menyatakan tasawuf diluar islam bersumber dari luar islam, apakah dari Persia, Hindu, Nashrani, filsafat Yunani dan atau dari sumber lainya, atau juga mendasarkan pendapatnya hanya kaarena adanya kesamaan tipologinya belaka. Pendapat yang demikian nampaknya tidak jujur dan tidak obyektif. Sebab tidak ada satu paradigma keilmuan yang memastikan, bahwa setiap yang sama atau yang mirip adalah karena terjadi saling pengaruh atau karena plagiat untuk adanya dibenarkan adanya hubungan interaksi historis antara satu nilai dengan nilai lainya, haruslah dapat dibuktikan dengan adanya kontak yang riel antara keduanya.
Sedangkan keserupaan atau kemiripan bukanlah suatu bukti yang riel. Alangkah banyaknya suatu bentuk-bentuk keserupaan di alam semesta ini, padahal satu sama lainya tidak ada hubungan, baik dalam kesejarahan ataupun substansinya. Alasan lain yang mereka kemukakan dalah, bahwa tokoh-tokoh sufi kebanyakan dari Persia yang asalnya beragama Majusi atau bengsa lain yang tadinya beragama Kristen.
Argumen ini pun sangat lemah dan goyah, mengingat bahwa cikal bakal tasawuf lahir dari jazirah Arab dan dari bangsa Arab itu sendiri. Memang satu hal yang jelas, bahwa tasawuf merupakan masalah yang sangat kompleks karena ia termasuk dalam jajaran mistisisme, sehingga hampir tidak bisa diberijawaban yang sangat memuaskan semua pihak. Akan tetapi sepanjang penelitian penulis, dapat dipastiakn bahwa sumber awal dan asas tasawuf adalah islam, sehingga ia digolongkan salah satu aspe kebudayaan islam yang khas.
Filsafat Islam dan Tasawuf
Pembahasan tentang filsafat adalah pembahasan yang identik dengan polemik, debat dan kritik. Banyak kalangan yang menuduh kajian filsafat sebagai sesuatu yang tiada guna. Belajar filsafat pun sering diibaratkan seperti mencari kucing hitam di dalam ruangan yang gelap, bahkan tidak sedikit yang menyebut kajian filsafat dalam Islam identik dengan kekufuran.
Memang kajian filsafat dalam Islam tidak lepas dari polemik, terutama jika pembahasannya terkait dengan masalah Ketuhanan, kenabian dan alam akhirat. Imam al-Ghazali misalnya, telah menulis sebuah buku yang berjudul Tahafut al Falasifah dan al Munqidh min al Dalal yang isinya adalah kritik terhadap pemikiran beberapa filosuf muslim atas beberapa masalah yang dianggap telah menyesatkan umat Islam.
Tuduhan negatif yang diarahkan kepada filsafat juga dirasakan oleh Muhammad ‘Abduh, di mana ketika hendak melanjutkan studinya di Universitas al-Azhar Kairo pada jurusan filsafat, ia mendapat teguran dari orang tuanya dan menasehatinya agar mengurungkan niatnya belajar filsafat. Padahal, sebagaimana dikemukakan oleh Abu Hayyan al-Tawhidi, berfilsafat adalah salah satu bentuk dari pemanfa’atan nikmat Allah yang berupa akal sesuai dengan fungsinya, di mana akal oleh al-Tawhidi diibaratkan sebagai cahaya bagi kehidupan manusia, sehingga dengan menggunakan akal untuk berpikir, manusia menjadi lebih mulia dari binatang.
Ahmad Amin dalam Mabadi’ al Falsafah mengatakan bahwa semua manusia di dunia ini tanpa terkecuali sedang berfilsafat. Alasannya, semua manusia di dunia ini pasti berpikir, dari mulai yang sederhana hingga pada masalah yang mendalam, karena berpikir adalah bagian dari kehidupan manusia. Berpikir adalah arti sederhana dari berfilsafat, sehingga seseorang yang menolak filsafat dengan berbagai macam argumentasinya, sesungguhnya tanpa disadari ia sendiri telah berfilsafat.
Memang filsafat dalam Islam lahir dari spekulasi filosofis tentang warisan filsafat Yunani yang diterjemahkan ke dalam bahasa Arab pada sekitar abad ke-3 H atau abad ke-9 M ketika puncuk kekuasaan khilafah dalam Islam dipegang oleh al-Ma’mun. Akan tetapi terdapat perbedaan di antara keduanya, di mana filsafat Islam menjadikan al-Qur’an dan hadith atau wahyu sebagai sumber sentral bagi spekulasi filosofisnya, sementara filsafat Yunani menjadikan akal sebagai sumber tunggal bagi spekulasi filosofisnya. Maka inti daripada kajian filsafat dalam Islam sebenarnya adalah mengantarkan umat Islam untuk memahami keberadaan Tuhan, sehingga bisa menjadi semakin dekat dengan Allah bukan sebaliknya.
Maka dalam filsafat Islam ditemukan sebuah kajian yang bertujuan untuk mengajak manusia agar selalu dekat dengan Allah. Kajian itu biasa disebut dengan tasawuf. Oleh karena itu kajian tentang hubungan antara filsafat Islam dengan tasawuf sungguh sangat menarik untuk dilakukan, sehingga tuduhan negatif yang diarahkan kepada filsafat Islam dapat segera dilurushkan. Tulisan ini mencoba untuk mengupas pembahasan tersebut sehingga dapat ditemukan pemahaman minimal yang dapat dijadikan sebagai salah satu bahan untuk kajian lanjutan.
Hubungan antara Filsafat dan Tasawuf
‘Abd al-Halim Mahmud, dalam al Tafkir al Falsafi fi al Islam, memunculkan sebuah pertanyaan, apakah terdapat korelasi antara filsafat dan tasawuf? Jika ada, bagaimana bentuk korelasinya?
Dalam beberapa literatur dinyatakan bahwa kata filsafat (al falsafah) berasal dari bahasa Yunani yang sudah mengalami Arabisasi, yaitu berasal dari kata philo yang berarti mencintai dan Sophia yang berarti kebijaksanaan. Lalu apa yang disebut dengan kebijaksanaan? ‘Abd al-Halim Mahmud dengan merujuk pada pemikiran Ibn Sina mengatakan bahwa kebijaksanaan (hikmah) adalah penyempurnaan jiwa manusia dengan cara menganalisa segala perkara yang dihadapinya dan meyakini segala bentuk kebenaran teoritik maupun praktis sesuai dengan kemampuan dirinya sebagai manusia, sehingga dapat memahami dengan baik bagaimana hidup bermasyarakat, berkeluarga, mana yang baik dan mana yang buruk.
Semua itu, menurut ‘Abd al-Halim Mahmud dapat dilakukan oleh manusia jika ia mengetahui keberadaan Allah (al ma’rifah bi Allah), karena dengan mengetahui keberadaan Allah, manusia akan menjauhi perbuatan yang buruk untuk melakukan perbuatan yang baik. Maka inti daripada filsafat Islam adalah mengungkap kebaradaan Allah. Artinya, filsafat adalah sarana untuk mencapai pengenalan diri dengan Allah. Sementara tasawuf atau sufisme dapat dideskripsikan sebagai interiosasi dan intensifikasi dari keyakinan dan praktik Islam.
Memang belum ditemukan kata sepakat di antara peneliti tentang arti sebenarnya dari sufisme, baik pada tataran etimologis maupun terminologis. Tidak adanya kesepakatan definisi dari tasawuf itu dapat dilihat dari beberapa istilah yang beragam, terkadang disebut sebagai mistisisme Islam, terkadang pula disebut sebagai esoterisisme Islam. Pada tataran etimologis sering ditemukan pendapat yang menyebut tasawuf berasal dari kata sawf yang berarti wol, artinya seorang sufi adalah seseorang yang berbusana wol.
Pada abad ke-8 kata tersebut digunakan untuk menyebut orang muslim yang karena kecenderungan asketisnya menggunakan pakaian wol yang kasar dan tidak nyaman. Tetapi secara bertahap istilah ini digunakan untuk menunjuk sekelompok orang muslim yang membedakan dirinya dari yang lain dengan cara menekankan ajaran-ajaran dan praktik-praktik khusus dari al-Qur’an dan sunnah. Tidak ditemukannya kata sepakat terhadap definisi tasawuf, menyulitkan kita untuk membedakan mana yang sufi dan mana yang bukan. Menjadi sufi tentu saja tidak berkaitan dengan pemisahan diri dari Sunni atau Shi’ah ataupun dengan madzhab-madzhab fiqh dalam Islam.
Secara umum, istilah tasawuf sering digunakan untuk menyebut sekelompok muslim yang memperhatikan dengan sungguh-sungguh seruan Allah untuk menyadari kehadiranNya, baik di dunia maupun di akhirat, di mana mereka lebih menekankan hal-hal batiniah di atas lahiriah, kontemplasi di atas tindakan, perkembangan spiritual di atas aturan hukum dan pembinaan jiwa di atas interaksi sosial. Pada tingkat teologi misalnya tasawuf berbicara perihal ampunan, keagungan dan keindahan Tuhan.
Intinya adalah mendekatkan diri kepada Allah sehingga dapat selalu merasakan bahwa Allah selalu hadir bersama manusia. Keyakinan ini biasa digambarkan dalam konsep yang biasa disebut dengan istilah ihsan. Untuk menumbuhkan konsep ihsan pada diri setiap muslim, Nabi mengajarkannya melalui hadithnya an ta’bud Allah ka annaka tarahu fa in lam takun tarahu fa innahu yaraka (beribadah kepada Allah seakan-akan kita melihatNya, jika tidak mampu, dengan menumbuhkan keyakinan bahwa Allah Melihat kita). Konsep ini dimunculkan berdasarkan pada kayakinan bahwa sebab manusia melakukan keburukan adalah karena kurang memiliki keyakinan bahwa Allah selalu melihatnya.
Pentingnya ajaran tasawuf dalam Islam tidak lepas dari adanya dua unsur yang saling melengkapi, yaitu unsur lahir dan unsur batin. Unsur lahir diwakili oleh shari’ah, sementara unsur batin diwakili oleh haqiqah. Shari’ah merupakan pintu masuk menuju haqiqah, dan haqiqah merupakan tujuan yang dari pelaksanaan shari’ah.
Perbedaan antara shari’ah dan haqiqah dapat diibaratkan seperti kulit dan isi atau lingkaran dan titik tengahnya. Rene Guenon, seorang tokoh ternama dalam mistisisme Kristen yang kemudian masuk Islam melalui pendekatan sufisme mengatakan bahwa antara shari’ah dan haqiqah tidak dapat dipisahkan. Demikian pula dengan Abu ‘Ali al-Daqqaq juga mengatakan bahwa antara shari’ah dan haqiqah tidak dapat dipisahkan dalam Islam. Ia menggambarkan bahwa ayat iyyaka na’bud sebagai ayat yang berkonotasi shari’ah, sementara iyyaka nasta’in sebagai ayat yang berkonotasi haqiqah.
Memang banyak kalangan, terutama orientalis, mengatakan bahwa ajaran tasawuf bersumber dari agama Hindu atau Budha. Adapula yang menyebut bahwa tasawuf bersumber dari ajaran Kristen. Memang tuduhan itu sangat berasalan, karena antara ajaran tasawuf dalam Islam dan mistisisme dalam Kristen, Hindu dan Budha terdapat kesamaan, seperti konsep wahdat al wujud, yang dalam ajaran Hindu atau Budha disebut dengan Vedanta. Selain itu banyak tokoh sufi dalam Islam yang berasal dari non-Arab, seperti Ibrahim bin Adham, Shaqiq al-Balkhi, Abu Yazid al-Bustami, Yahya bin Mu’adh dan lain sebagainya. Di samping itu ajaran tasawuf tumbuh dan berkembang di Khurasan, sebuah kawasan di Persia yang erat sekali dengan budaya Hindu dan Budha.
Kesimpulannya. Jika dilihat tujuan dari kajian filsafat dalam Islam dan tasawuf dapat ditarik kesimpulan bahwa keduanya sama-sama berupaya untuk mengantarkan manusia memahami keberadaan Allah, sehingga mau melakukan kebaikan dan meninggalkan keburukan. Upaya untuk melakukan kebaikan dan meninggalkan keburukan itulah yang dapat mengantarkan manusia kepada kesempurnaan jiwa.
Secara sederhana dapat disimpulkan bahwa korelasi antara filsafat dalam Islam dan tasawuf adalah sebagai berikut; filsafat lebih bersifat teoritik, sementara tasawuf lebih bersifat praktis. Artinya, antara filsafat Islam dan tasawuf sama-sama berupaya untuk mengantarkan manusia agar memahami keberadaan Allah, di mana filsafat sebagai sarana teoritis yang dapat mengantarkan manusia kepada keyakinan praktis. Keyakinan praktis inilah yang menjadi wilayah tasawuf. Jadi tujuan belajar filsafat Islam adalah untuk mencapai wilayah tasawuf.
Prinsip Tasawuf
Fondasi dari amalan tasawwuf adalah memakan makanan yang halal dan mengikuti sunnah Rasulullah baik dalam akhlak, perbuatan, dan perintah-perintahnya. Barangsiapa yang tidak menjaga Alquran dan tidak dapat menulis hadis, dia tidak akan bisa meng¬ikuti tasawwuf, karena ilmu kita berkaitan dengan Alquran dan As-sunnah. Mengikuti paham ini harus-lah dengan sikap wara’ dan ketakwaan, karena hal ini bukan sekadar ajakan-ajakan. Dalam tasawwuf, permulaannya adalah ilmu, tengahnya adalah amal, dan akhirnya adalah mawhibah (anugerah). Dengan ilmu maksud yang dikandungnya akan tersingkap, sedangkan amal mewujudkan apa yang dicari, sementara mawhibah merupakan tercapainya maksud dan tujuan.
Ahli tasawwuf terdiri dari tiga tingkatan. Tingkat pertama disebut murid talib. Yang kedua disebut mutawassit sair. Dan ketiga, wasil. Adapun murid, adalah seorang yang mampu memegang kendali waktunya, sedangkan mutawassit. yang mengamalkan perbuatan, sementara wasil, orang yang telah memiliki keteguhan keyakinan. Keutamaan bagi mereka adalah ketika melawan hawa nafsu. Maqam seorang Murid adalah mujahadah (bergiat melawan hawa nafsu) dengan segala upaya, mukabadah (mengekang nafsu), menikmati kepahitan dan kesengsaraan hidup, menjauhi segala bagian-bagian nafsu, dan semua hal yang dapat menghantarkan pada nafsu duniawi.
Maqam mutawassit, adalah menaiki bahtera cobaan dan ujian untuk dapat mencapai apa yang dicari, dengan menjaga kejujuran, dan selalu beradab dalam setiap fase. Dia juga disebut dengan sahibut at-talwin, karena ia telah melakukan dakian dari satu fase ke fase selanjutnya, dari satu perilaku ke perilaku lain. Inilah yang disebut dengan pertambahan karunia (ziyadah).  Dan maqamah wasil adalah kembali pada perasaan inderawi setelah lebur dalam kegaiban, dan mapan dengan aturan-aturan ibadah, dan menjawab panggilan dari Yang Maha-Haqq, karena ia telah berhasil melewati tahapan-tahapan sebelumnya.
Dia berada dalam posisi tetap yang tidak dipengaruhi oleh ujian dan cobaan, dan tidak pula dipengaruhi oleh keadaan apapun. Tidak ada lagi perbedaan, apakah ia dalam kondisi susah atau senang, dilarang atau diberikan, gagal ataupun berhasil. Kenyangnya sama seperti ketika ia merasa lapar, tidurnya pun sama seperti ketika ia terjaga. Dimensi kedirian telah sirna. Dimensi lahirnya hadir bersama manusia, namun dimensi badaniahnya larut bersama Yang Haqq. Ini semua termasuk laku (hal) Nabi.
Seseorang yang telah mencapai tahap muntaha (final) diibaratkan seperti busur anak panah yang dilepaskan di atas puncak bukit yang tinggi mengenainya, dan angin kencang menerpanya, maka tak sedikit pun ia bergeming karenanya, meski sehelai rambut pun. Ada yang mensinyalir bahwasanya orang-orang dinamakan sufi karena mereka menempad barisan utama dan pertama di sisi Rabb-nya lantaran hasrat mereka yang luhur, di samping kepasrahan mereka terhadap Allah Swt.  Atas segala rahasia-rahasia mereka.
Sumber Ajaran Tasawuf
Tasawuf merupakan keinginan kuat untuk mendapatkan ridho Allah dalam bentuk perkataan, perbuatan, niat, dan dalam pemikiran dunia dan akhirat. Tasawuf dalam pengertian ini menempatkan manusia pada kedududkan yang tinggi. Inilah bagian dari wahyu ilahi dan agama itu sendiri karena dengan karakteristik ajaran ini akan munculpencarian kesempurnaan dari dalam.
Ajaran ini merupakan penyembuhan dari penyakit jiwa. Tiada suatu manusiapun kecuali mereka yang terlindungi, pasti terjangkit penyakit jiwa dan moral ini, sedikit atau banyak. Seluruh risalah ilaahiyah datang untuk mengobati penyakit jiwa dan moral yang merupakan penyakit pertama pada keturunan Adam. Para orientalis dan para oran-orang yang menulis tentang tasawuf islam berusaha untuk mengembalikan sejarah kehidupan rohani para sufi dalam islam pada suatu sumber islam lain, diantaranya Al-Qur’adan kehidupan Rasulullah saw.
Sebagian dari mereka berusaha untuk bersifat moderat (tengah-tengah). Mereka berpendapat bahwa faktor pertama timbulnya ajaran tasawuf adalah Al-Qur’an dan kehidupan rasulullah saw./ dari keduanya, terambil benih-benih tasawuf yang pertama. Kemudian diikui kebudayaan asing, yaitu india, Yunani, dan Persia. Itulah yang mempengaruhi tasawuf dan menjadikanya berkembang. Hingga muncul berbagai pendapat yang menurut sangkaan mereka, tasawuf jauh sekali dari roh (jiwa) dan watak islam.
Pendapat yang mengatakana bahwa umat islam tidak mengenal tasawuf sebelum abad ke-3 Hijriyah merupakan pemutarbalikkan pengetahuan dan fakta sejarah tanpa alasan yang dibenarakan.Jika yang dimaksud adalah tidak dikenalnyua ilmu tasawuf sebelum asbad ke-3 Hijriyah, juga tidak dapat dibenarkan.
Para linguistik dan ahli sejarah bangsa Arab sepakat bahwa kata tasawuf telah dikenal jauh sebelum datangnya islam. Hanya saja penggunaan istilah tasawuf bagi ahli sufi muncul pada ” kodifikasi ilmu-ilmu islam. Ketika itu, mereka dikenal dengan semangat yang keras dan kejantananya, simbol pemakaiaan pakaian yang terbuat dari bulu domba yang kasar, dan semangat berjihat.
Pada masa ini praktik ilmu tasawwuf yang dipakai umat islam adalah ajakan memperkuat diri, kebebasan persamaan, solidaritas, persaudaraan, persatuan, dan ajakan-ajakan lain untuk membangun kepribadian muslim yang sempurna. Masa kodifikasi ilmu-ilmu islam ini ditandai dengan penulisan hadis Nabi saw. Masa ini berkembang hingga mencapai puncaknya dipenghujung abad pertama dan permulaan abad kedua, yang ditandai dengan penulisan hadis, tafsir, fiqih dan bahasa.Jika yang dimaksud pndapat tersebut tidak dikenalnya titik materi, hakekat, dasar-dasar, dan pokok bahasan ajaran tasawuf, pandangan ini juga tidak benar.
Materi ajaran tasawuf dilihat dari segi ibadah dan akhlaq, dalam pemngertian yang luas, sudah terdapat dalam Al-Qur’an dan sunnah sebagaiiman keberadan ilmu agama yang lain. Jika ilmu taswuf tidak ditemukan pada masa ini, ajaran tentang ibadah, akhlaq, pendidikan jiwa, hubungan dengan Allah, dan ketinggian nilai-nilai kemanusiaan, semuanya diatur dalam Islam. Ajaran-ajaran itulah yang disebut dengan tasawuf sebagaimaman yang dikenal oleh masyarakat pada waktu itu. Bisa jadi ilmu tasawuf itu menjadi ilmu yang baru, tetapi materi dan cakupan bahasanya merupakan sesuatu yang lama, seiring lamanya Al-Qur’an dan Sunnah. Demikian juga dengan keberadaan ilmu islam lainya.Hal ini bukanlah sesuatu yang baru.
Pada awal abad islam, belum ada ilmu-ilmu yang dinamakan fiqih, ushul fiqih, dan mustalakhul hadis. Namun, materi ilmu itu sudah ada dalam Al-Qur’an dan Sunah. Ketika ilmu itu dikodifikasin dan dirumuskan kaidah-kaidah dan istilah-istilah keilmuanya, lahirlah berbagai nama dan istilah ilmu sesuai dengan cakupan bahsanya masing-masing. Oleh karena itu, mengapa kita harus mengingkari penamaan tasawuf, sedangkan kita kita tidak mengingkari penamaan ilmu-ilmu agama lainya, padahal keberadaan ilmu-ilmu tersebutadalah satu kesatuan. Mengapa pula kita mengingkari penamaan tasawuf, sedangkan kita tidak mengingkari penamaan tasawuf?
Dalam kitab Lisanul Arab karya Ibnu Mundzur, kata suf bermakna bulu domba, sedagkan kata sufah bermakna lebih khusus, yakni digunakan bagi orang-orang yang mengurusi pekerjaan Al-Bait Al-Haram. Maka mereka biasa disebut dengan istilah as-Sufan. Pada masa jahiliyah, sufah daerah suku Mudar biasa mengabdikan dirinya untuk mengurusi Ka’bah, dan pekerjaan ini pada waktu itu umumnya dipimpin oleh mereka. Demikian pula dengan sufah daereh suku Tamim, mereka biasa membantu para haji pada masa jahiliah yang datang dari Mina, bahkan mereka adalah orang pertama yang membantu mereka.
Muhammmad bin Naser menuturkan dari Abu Ishaq Ibrahim bin Sa’id Al-Habbal bahwa Abu Muhammad bin sa’id Al-Hafidz bertanya kepaada Walid bin Qasim, “pada kata apakah kata sufi disandarkan?” Ia menjawab, “pada orang-oarng yang menganut ajaran Nabi Ibraim, yaitu pada masa jahiliyah. Mereka disebut sufah. Mereka semua mencurahkan hidupnya untuk Allah, dan memakai kain katun pada Ka’bah. Orang-orang yang menyerupai mereka yang disebut dengan sufiyah”. Kemudia ia berkata, “mereka itulah yang disebut sufah…”.
Dalam Mu’jam Al-Wasit, kalimat sawafa fulanan bermakna menjadikan sufi. Kalimat tasawafa fulanan bermakna ia telah menjadi sufi. Jadi, tasawuf adalah suatu jalan sulukiyah (ibadah), yang mendasarkan ajaran pada pembersihan dan penghiasan diri dengan moral yang terpuji agar jiwa menjadi bersih, dan roh menjadi tinggi.
Adapun ilmu tasawuf merupakan sekumpulan prinsip-prinsip yang diyakini kebenaranya oleh para sufi, baik hubungan vertikal maupun horizontal. Jadi, sufi ialah manusia yang mengikuti prinsip-prinsip jalan tasawuf. Kata tasawuf sebenarnya merupakan istilah bahasa Arab lama. Jadi, pendapat yang merujuk kata tasawuf pada istilah yunani, sufyah telah picik dalam berpendapat, menyeleweng dari makna tasawuf yang sebenarnay dan telah mengikuti pendapat yang buta arah. Adapun yang berpendapat bahwa tasawuf adalah istilah baru, mereka lebih picik, bahkan telah keluar dari arah yang sebenarnya.
Tasawuf sebagai ajaran moral, ibadah, dakwah jihad, dan ibadah secara teknis, merupakan dari kebenaran wahyu dan ajarn islam itu sendiri.Kata tasawuf sangat jauh dari pengaruh Yunani, baik dari sisi makna teks maupun konstek. Kta ini telah digunakan sebelum akhir abad II Hijriyah untuk sebutan Abu Hasyim (w. 150 H.).
Sesungguhnya bentuk tasawuf adalah manifestasi dari gerakan islam itu sendiri. Selain itu masyarakat Arab menyandarkan pengetahuan mereka-pertama kali- pada filsafat Aristoteles melalui pemikiran plotinus modern, tidak langsung dari buku Anthology Aristoteles yang telah diterjemahkan kedalam bahasa Arab sekitar tahun 840 Masehi. Pengetahuan mereka hanyalah ringkasan pemikiran Aristoteles dalam perspektif madzhab Plotinus modern (new-plotinus).
Pendapat ini diperkuat oleh Abbas Mahmud Aqqad dalam bukunya Al-Falsafah Al-Qur’aniyah. Ia mengatakan, “pada hakikatnya, tasawuf tidak termasuk dalam kaidah islam sebagaimana yang telah kami kemukakan dalam buku Atsar Al-Arab fi Al-HadarahAl-Urubuiyah, yang terampil dari ayat-ayat Al-Qur’an dan dasar-dasar pemikiran yang terkait dengan akidah yang jelas. Seorang muslim selalu membaca kitab sucinya bahwa “tidak ada yang serupa dengan-Nya. Dia maha mendengar dan melihat” (QS Asy-Syura:11). Dan membaca dan memahami simpulan pengetahuan yang diajarkan oleh Allah, tuhan pengajar Al-Hikmah Al-Ilahiyah. Dia juga membaca “maka larilah menuju Allah. Sesunguhnya aku bagi kalian (dari-Nya) sebagai pemberi peringatan yang jelas” (QS Adz-Dzariat: 50.).
Oleh karena itu, dia mengetahui sesuatu sebagaimana yang diketahui para murid Asketis yang beraghama Budha, yaitu ketika mereka meyakini bahwa pakaian-pakaian ilmuan (dari sisi fisik) akan mengotori kebahahiaan roh. Jadi, menjauh darinya atau lari menuju Allah adalah pintu keselamatan. Muslim yang membaca ayat-ayat ini akan terpatri untuk mengikuti jalan tasawuf dan mengetahui rahasia-rahasia serta kedalaman hikmah ajaran agama Islam.
Prof. Louis Masignon mengatakan dengan jelas, “pengkajian sumber tasawuf masih sangat jauh bagi kita (para peneliti) untuk menyempurnakannya”. Hal ini karena para orientalis dan orang-orang yang mengikuti jejak mereka berusaha dengan penuh sungguh untuk menghubungkan tasawuf denagn satu sumber yang pasti, atau pada sumber lain termasuk didalamnya sumber islam.
Jika demikian, sebagian diantara mereka berpendapat bahwa tasaawuf adalah satu bagian yang asuing dalam islam dan keungkinan berasal dari pendeta di Syam (sebagaimana pendapat yang dikemukakan Marks), atau dan ajaran Plato dari Zoroaster di Parsi, atau dari Weda Hindu.Prof. Dr Abul ‘Ala’ ‘Arifi berkata, “paada pertengahan abad ke ke-19 Masehi, dimulailah pencetakan buku-buku di Mesir dan India serta di negara lainya kemudian menyebar, Khususnya d percetakan Bulaq Al-Amiriyah. Akibatnya, berubahlah jalan pembahasanya secara ilmiah. Bukan saja dalam masalah tasawuf, bahkan dalam semua pembahasan islam.Pendapat Thulke pun berubah sehinga berubah pulalah dalil serta argumenya.
Pada permulaan pendapatnya, ia menyatakan bahwa dalil dan argumenya dalam hal yang berkaitan dengan sumber ajaran Majusi bagi tasawuf Islam adalah pasti, adapun pada pendapat selanjutnya, ia mengatakan bahwa sumber islam bagi tasawuf juga pasti.Jika pendapat tersebut berkaitan dengan orientalis Thulke, hal itu dikarenakan pada mas-masa trsebut kitab-kitab tasawuf sulit didapat. Hal yang dialami Thulke juga dialami oelah orientalis lainya, seperti Nicholson, yang walaupun telah membicarakan tasawuf, ia beranggapan bahwa timbulnya tasawuf berasl dari faktor luar islam, dan berkembang dari awal abad ke-3 Hijriyah. Hal yang terpenting dari faktor-faktor yang nyata daalam pandanganya ialah yang bersifat Neo-Plonisme, yang pernah tersiarkan di negeri syam, Mesir, sampai masa Dzun Nuun Al-Mishri, dan Ma’ruf Al-Karkhi.
Pendapat Nicholson tersebut kemudian berubah ketika ia menulis mengenai bahan tasawuf yang meliputi pengetahuan agama dan akhlaq. Ia berkata, “selama ini timbulnya tasawuf islam telah dibahas dengan cara yang salah. Akibatnya, banyak peneliti yang mengatakan bahwa hidup dan kekuatanya berasal dari semua bangsa dan golongan yang membentuk suatu kerajaan islam, yang memungkinkan penafsiran pertumbuhanya dengan penafsiran ilmiah yang cermat dengan pengembalianya pada satu asal, seperti Wedanata Hindu, atau Neo-Platonisme, atau menetapkan pemikiran dari sebagian hakikat yang bukan sepenuh hakikat.Dikatakan juga oleh Louis Masignom mengenai pendapat Nicholson “.
Meskipun materi tasawuf islam adalah Arab yang asli, ada baiknya bila kami dapat mengetahui kebaikan pengaruh islam yang dimasukkan kedalamnya dan tumbuh dalam lingkunganya. Imam Al-Ghazali telah membaca kitab-kitab kaum sufi maupun kitab-kitab filsafat Yunani serta membahasnya yang dalam. Hal ini diceritakan dalam kitabnya Al-Munqidz Minadh Dhalal. namun tidak menjadikanya seorang sufi. Maka jelas baginya, bahwa yang terpenting diantara kekhususan-kekhususan mereka, menurut batas ungkapanya, adalah apa yang tidak mungkian dicapai dengan mengajar, melainkan dzauqiyah (perasaan batin) maupun dengan praktik.
Hal itu berarti tasawuf bukan merupakan suatu kebudayan praktis yang bisa dicapai dengan usaha dan cenderung terpengaruh oleh suatu hal. Akan tetapi, tasawuf adalah dzauqiyah (perasan batin) dan masyahadah (penyaksian) yang dapat dicapai manusia dengna jalan khalwah (mengasingkan diri dari pengaruh dunia), riyadha (melatih diri), perjuangan, kerinduan, mensucikan hati, mendidik akhlaq, mengikhlaskan hati untuk berzikir kepada Allah. Kekhusussan yang paling khusus dan utama diantara kekhusussan tasawuf adalah perasaan batin yang tidak mungkin diungkapkan. Seseorang dsapat mencapainya hingga derajat yang tidak dapat diuraikan dengan tulisan. Menurut imam Al-Ghazali orang yang mengalami keadaan tersebut tidak layak berkata melebihi.
Ilmu Tasawuf
Tasawuf merupakan ilmu halus yang sangat tinggi dan tidak bisa dengan mudah dipelajari. Tasawuf bukan ilmu hapalan yang dipelajari dengan otak akan tetapi merupakan ilmu praktek dan merupakan teknologi Al-Qur’an yang Maha Dahsyat. Hasil pengamalan tasawuf akan melahirkan manusia-manusia berkualitas tinggi, tidak pernah lepas sedetikpun hubungan dengan Allah sebagai sumber kebaikan. Salah satu tujuan Allah mengutus para nabi adalah untuk memperbaiki akhlak manusia.
Para nabi bukan sekedar menyampaikan firman Allah, akan tetapi juga berfungsi sebagai pembawa wasilah (wasilah carrier) sebagai media penyambung antara manusia dengan Tuhan. Nabi adalah teknolog Al Qur’an yang mengerti bagaimana menyalurkan power maha dahsyat menjadi sesuatu yang bisa bermanfaat untuk manusia. Kemampuan nabi Musa membelah laut, kehebatan Nabi Isa menghidupkan orang mati dan menyembuhkan segala jenis penyakit dan kehebatan Nabi Muhammad SAW membelah bulan bukan terjadi dengan serta merta. Mereka diajarkan oleh Allah teknologi Maha Dahsyat, teknologi metafisika dan siapapun menggunakan teknologi yang sama maka hasilnya pasti akan sama.
Kalau kita perhatikan bagaimana hebatnya teknologi fisika. Air yang tenang bisa diubah menjadi listrik lewat teknologi turbin. Air dipanaskan menjadi uap mampu menggerakkan gerbong kereta api yang beratnya ratusan ton. Air juga bisa mendongkrak mobil yang dengan memakai ujung jari tentu saja lewat teknologi hidrolika. Air juga apabila di pisahkan inti atomnya akan terjadi ledakan sangat hebat, menjadi  sebuah bom yang daya rusaknya luar biasa. Air sifat dasarnya memadamkan api bisa berubah menjadi bahan bakar yang hebat. Masih banyak teknologi lain yang hebat hasil penemuan manusia.
Berbicara tentang teknologi al-Qur’an, alam metafisika tentu hasilnya berpuluh, beratus bahkan berjuta kali lebih hebat dari teknologi fisika. Sampai saat ini belum ada teknologi yang mampu membelah laut seperti yang dilakukan oleh nabi Musa atau menghidupkan orang mati. Teknologi fisika akan selalu tertinggal jauh oleh teknologi metafisika.
Menyadari potensi yang sangat hebat terkandung dalam al-Qur’an maka para kaum orientalis berusaha memisahkan ummat Islam dengan teknologi Al-Qur’an. Al-Qur’an hanya untuk di baca dan dilombakan, dialun-alunkan dengan suara merdu. Ilmu untuk mengeluarkan power Al-qur’an itu tidak lain adalah Tarekatullah dibawah bimbingan Mursyid Kamil Mukamil, yang ahli di bidangnya, ahli tentang teknologi Al Qur’an. Kalau Mursyidnya tidak ahli dan tidak mendapat izin dari guru-guru sebelumnya, tidak mempunyai silsilah bersambung kepada Rasulullah SAW maka Tarekat hanyalah sebuah praktek zikir kosong tanpa power.
Sudah sekian lama tarekat dikucilkan, tasawuf didebatkan terus menerus bahkan dengan tanpa rasa bersalah memasukkan tasawuf sebagai ajaran di luar Islam, sungguh sangat menyedihkan. Sangat berbahaya mendalami tarekat kalau Gurunya tidak mendapat izin dari Allah. Ibarat pilot pesawat tanpa izin terbang dan tidak mempunyai sama sekali pengalaman terbang tentu sangat berbahaya, bukan rahmat kita dapat tapi malah celaka.
Orientalis dengan sekuat tenaga berusaha agar ummat Islam berpandangan buruk terhadap tasawuf dengan menciptakan tarekat-tarekat palsu. Tarekat palsu tersebut kemudian disebarkan keseluruh dunia dengan tujuan untuk menjelekkan tarekat. Ajaran-ajaran yang menyimpang dari nilai-nilai Al-Qur’an dan hadist sehingga dengan mudah kalangan yang selama ini miring melihat tarekat mendapat angin segar. Pilihlah Gurumu yang kamil mukamil khalis mukhlisin, yang dicerdikkan Tuhan, tidak setengah kasih akan dunia, kuat berpegang teguh kepada Tali Allah dan tentu saja mempunyai silsilah sebagai tanda sah ilmu yang diajarkannya.
Tasawuf bukan ilmu hapalan, bukan pula ilmu yang dipelajari lewat membaca. Tasawuf adalah ilmu rasa dan rasa itu datang dari Allah SWT atas ikhtiar sungguh2 dari sang murid. Sebagai contoh, kalau hanya sekedar dibaca, letak maqam yang 7 tempat bisa dibaca dalam satu malam bahkan seluruh kaji dalam suluk selesai dipelajari dalam 1 malam. Pertanyaannya apakah bisa “duduk” amalan tersebut dalam satu malam? Jawabannya tidak, membutuhkan waktu bertahun-tahun baru bisa amalan tersebut melekat dalam diri kita.  Mungkin kita telah berulang kali suluk, kalau masih ada unsur sombong dalam diri, berarti belum sempurna maqam ke-5, begitu juga kalau masih suka memperturutkan hawa nafsu berarti suluk kita masih belum benar.
Mungkin banyak tarekat yang menulis tentang amalan dari awal suluk sampai selesai. Tapi Guru saya sangat melarang karena amalan itu datang dulu baru dijelaskan. Sebagai kiasan, seorang anak lahir dulu kedunia baru diberi nama. Beliau mengatakan biarlah amalan berupa karunia dari Allah datang dengan sendirinya. Lebih baik karunia itu datang tanpa mengetahui namanya dari pada menghapal nama tapi tidak pernah merasakan karunia.
Kita wajib berterima kasih kepada  Almarhum Prof. Dr. Kadirun Yahya MA M.Sc Mursyid Tarekat Naqsyabandi atas jasa Beliau yang mampu menjelaskan ilmu tasawuf lewat ilmu eksakta (fisika klasik) sehingga tidak bisa dibantah sama sekali oleh siapapun. Ilmu tarekat selama ini dianggap kolot dan ketinggalan zaman ternyata merupakan ilmu yang sangat hebat tiada tanding menjadi senjata ampuh ummat Islam diseluruh dunia.  Beliau juga yang pertama kali mempopulerkan istilah Teknologi Al-Qur’an. Kalau Imam Al-Ghazali berjasa mendamaikan tasawuf dengan syariat dan menyatukan keduanya lewat ilmu sosial maka Prof. Dr. Kadirun Yahya MA M.Sc berhasil mendamaikan lewat ilmu metafisika eksakta.
Akhirnya, kita semua berharap bisa berjumpa dengan Guru Mursyid Kamil Mukamil Khalis Mukhlisin yang bisa mengajarkan kita tentang Teknologi Al-qur’an sehingga bisa kita salurkan kepada keluarga, lingkunagn, kampung, Negara bahkan seluruh jagad raya ini sebagai bukti bahwa Islam Mulia Raya adalah Agama yang membawa Rahmatan Lil Alamin. (Tulisan oleh Kandjeng Pangeran Karyonagoro dan Dr Hammis Syafaq, M.Fil.  Telah disunting ulang oleh Ali Ridwan, 30/12/13)
  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • Twitter
  • RSS

0 Response to "Kajian Islam dan Ilmu Tasawuf "

Posting Komentar

Copyright 2009 LOVERS of WISDOM
Free WordPress Themes designed by EZwpthemes
Converted by Theme Craft
Powered by Blogger Templates