Uzlah adalah Pintu Tafakur


Tiada sesuatu yang sangat berguna bagi hati
 untuk masuk ke medan tafakur kecuali uzlah

Kalam-kalam Hikmah pertama hingga ke sebelas telah memberi gambaran tentang keperibadian tauhid yang sangat lembut. Seseorang yang mencintai Allah swt dan mau berada di sisi-Nya sangat berkeinginan untuk mencapai kepribadian yang demikian. Dalam membentuk kepribadian itu, dia gemar mengikuti fondasi syariat, kuat beribadah dan menjauhkan diri dari perbuatan maksiat dan dosa. Dia sering bangun pada malam hari untuk melakukan shalat tahajud dan selalu pula melakukan puasa sunat. Dia menjaga tingkah-laku dan akhlak dengan mencontoh apa yang dilakukan Nabi saw. Hasil dari kesungguhannya itu terbentuklah kepribadian seorang Muslim yang baik. Walaupun demikian dia masih tidak mencapai kepuasan dan kedamaian. Dia masih tidak mengerti tentang Allah swt. Banyak persoalan yang timbul di dalam kepala yang tidak mampu diuraikannya. Dia bertanya kepada mereka yang alim, tetapi dia tidak mendapat jawaban yang memuaskan hatinya. Jika ada jawaban yang baik disampaikan kepadanya, dia tidak dapat menghayati apa yang telah diterangkan itu. dia mengkaji kitab-kitab tasawuf yang besar-besar. Ulama tasawuf memberikan penjelasan yang mampu diterima oleh akalnya, namun dia masih merasakan kekosongan di satu sudut di dalam dirinya. Dapat dikatakan dia kepada perbatasan akalnya.
Hikmah 12 ini memberi petunjuk kepada orang yang gagal mencari jawaban dengan kekuatan akalnya. Jalan yang disarankan ialah uzlah atau mengasingkan diri dari keramaian. Jika dalam suasana biasa akal tidak mamu memecahkan kebuntuan, dalam suasana uzlah, hati mampu membantu akal secara tafakur untuk merenungi perkara-perkara yang tidak dapat dipikirkan oleh akal biasa. Uzlah yang disarankan oleh Hikmah 12 ini bukanlah uzlah sebagai satu cara hidup yang terus-menerus tetapi ia adalah satu bentuk latihan keruhanian untuk memantapkan ruhani agar akalnya dapat menerima pancaran Nur Kalbu karena tanpa cahaya Nur Kalbu tidak mungkin akal dapat memahami hal-hal ketuhanan yang lembut, dan tidak akan memperoleh iman dan tauhid yang hakiki.
Hati adalah bangsa ruhani atau nurani yaitu hati yang berkemampuan mengeluarkan nur jika ia berada di dalam keadaan suci bersih. Nur yang dikeluarkan hati yang suci bersih itu akan menerangi otak yang bertempat di kepala yang menjadi kendaraan akal. Akal yang diterangi nur akan dapat mengimani perkara-perkara ghaib yang tidak dapat diterima oleh hukum logik. Beriman kepada perkara ghaib menjadi jalan untuk mencapai tauhid yang hakiki.
Nabi Muhammad saw sebelum diutus sebagai Rasul pernah juga mengalami kebuntuan akal tentang hal ketuhanan. Pada masa itu terdapat pendeta Nasrani dan Yahudi yang arif tentang hal tersebut, tetapi Nabi Muhammad saw tidak pergi kepada mereka untuk mendapatkan jawaban yang mengganggu fikirannya, sebaliknya Nabi saw memilih jalan uzlah. Ketika umur Nabi saw 36 tahun, ia melakukan uzlah di Gua Hira. Baginda saw tinggal sendirian di dalam gua yang sempit dan gelap, terpisah dari istri, anak-anak, keluarga, masyarakat hingga cahaya matahari pun tidak mengenainya. Amalan uzlah yang Nabi saw lakukan secara berulang-ulang sampai umur mencapai 40 tahun. Masa beruzlah di Gua Hira yang gemar baginda saw lakukan ialah pada bulan Ramadan. Latihan uzlah yang baginda lakukan dari umur 36 sampai 40 tahun telah memantapkan ruhani baginda sehingga menerima tanggung jawab sebagai Rasul. Latihan semasa uzlah telah menyucikan hati baginda saw dan meneguhkannya sehingga hati itu mampu menerangi akal untuk menafsirkan wahyu yang lembut dan lengkap. Wahyu yang dibacakan Jibril as sangat singkat tetapi Rasulullah sawt dapat menghayati, memahami dengan tepat, mengamalkannya dengan tepat dan menyampaikannya kepada umatnya dengan tepat meskipun baginda saw tidak dapat membaca dan menulis.
Begitulah kekuatan dan kebijaksanaan yang lahir dari latihan semasa uzlah. Tanpa latihan dan persiapan yang cukup, seseorang tidak dapat masuk ke dalam medan tafakur tentang ketuhanan. Orang yang masuk ke dalam medan ini tanpa persediaan dan kekuatan akan menemui kebuntuan. Jika dia masih juga menempuh tembok kebuntuan itu dia akan jatuh ke dalam kegilaan.
Orang awam hidup dalam suasana: “Tugas utama adalah mengurus kehidupan harian dan sebagai pelengkapnya menghubungkan diri dengan Allah swt”. Orang yang yang berada dalam suasana seperti ini akan kesulitan mencari kesempatan untuk bersama-sama Allah swt. Jika diperingatkan supaya mengurangi aktivitas kehidupannya dan memperbanyak aktivitas yang berhubungan dengan Allah swt, mereka memberi alasan bahwa Rasulullah saw dan sahabat-sahabatnya tidak meninggalkan dunia karena sibuk berurusan dengan Allah swt. Mereka ini lupa atau tidak mengerti bahwa hati Rasulullah saw dan para sahabat tidak berpisah dengan Allah swt walau satu detik pun. Orang yang mata hatinya masih tertutup dan cermin hatinya tidak menerima pancaran Nur Sir, tidak mungkin hatinya menghadap kepada Allah swt ketika sedang sibuk melayani makhluk Allah swt. Orang yang sadar akan kelemahan dirinya akan mengikuti jalan yang dipelopori oleh Rasulullah saw dan diikuti oleh para sahabat yaitu memisahkan diri dengan semua jenis kesibukan terutama pada sepertiga malam akhir. Tidak berhubungan dengan orang atau keramaian. Tidak berkunjung dan tidak dikunjungi. Tidak ada surat kabar, radio, dan televisi. Tidak berhubungan dengan segala sesuatu kecuali berhubungan dengan Allah swt.
Dalam perjalanan tarekat tasawuf, amalan uzlah dilakukan secara sistematik dan latihan yang demikian dinamakan suluk. Orang yang menjalani suluk dinamakan murid atau salik. Si salik menghabiskan kebanyakan waktunya di dalam bilik khalwat dengan diawasi dan dibimbing oleh gurunya. Latihan bersuluk memisahkan salik dengan hijab yang paling besar bagi orang yang baru menjalani jalan keruhanian yaitu pergaulan dengan orang umum. Imannya belum cukup teguh dan mudah menerima rangsangan dari luar yang dapat menggelincirkan untuk melakukan maksiat dan melalaikan hatinya dari mengingat Allah swt. Apabila dia dipisahkan dari dunia luar, jiwanya lebih aman dan tenteram mengadakan hubungan dengan Allah swt.
Semasa beruzlah, bersuluk atau berkhalwat, si murid bersungguh-sungguh di dalam bermujahadah memerangi hawa nafsu dan tarikan duniawi. Dia memperbanyak shalat, puasa, dan berzikir. Dia mengurangkan tidur karena memanjangkan masa beribadah. Kegiatan beribadah dan pelepasan ikatan nafsu dan duniawi menjernihkan cermin hatinya. Hati yang suci bersih bersiap memasuki alam ghaib yaitu Alam Malakut. Hati mampu menerima isyarat-isyarat dari alam ghaib. Isyarat yang diterimanya hanya sebentar tetapi cukup untuk menarik minatnya untuk mengkaji apa yang ditangkap oleh hatinya itu. terjadilah pembelajaran di antara fikiran dengan dirinya sendiri. Pada waktu yang sama dia menjadi penanya dan penjawab, murid dan pengajar. Pembelajaran dengan diri sendiri itu dinamakan tafakur.
Pertanyaan timul dalam fikirannya, namun fikirannya tidak dapat memberi jawaban. Karena fikiran meraba-raba mencari jawaban, dia mendapat bantuan dari hatinya yang sudah suci bersih. Keadaan hati yang demikian dapat mengeluarkan nur yang menerangi akal, lalu jalan fikirannya menjadi terang. Suatu persoalan yang awalnya rumit, tiba-tiba menjadi mudah dan jelas. Dia mendapatkan jawaban yang memuaskan hati terhadap persoalan yang dulunya mengacaukan fikiran dan jiwanya. Dia menjadi tambah berminat untuk bertafakur menguraikan segala kekusutan yang tidak dapat diuraikan selama ini. Dia gemar merenung segala perkara dan membahas dengan dirinya, menghubungkannya dengan Tuhan sehingga dia mendapat jawaban yang memuaskan hatinya. Semakin dia bertafakur semakin terbuka kegelapan yang menutupi fikirannya. Dia mulai memahami tentang hakikat, hubungan antara makhluk dengan Tuhan, rahasia ketuhanan dalam perjalanan alam dan sebagainya.
Isyarat-isyarat tauhid yang diterima hatinya membuat mata hati melihat bekas-bekas kekuasaan Allah swt dalam alam maya ini. Dia dapat melihat bahwa semuanya adalah ciptaan Allah swt, gubahan-Nya, lukisan-Nya, dan peraturan-Nya. Hasil dari kegiatan tafakur tentang Tuhan membawa dia berma’rifat kepada Allah swt melalui akalnya. Ma’rifat secara akal menjadi alat baginya untuk mencapai ma’rifat secara zauk.
Dalam mengkaji ketuhanan, akal hendaklah mengakui kelemahannya. Akal hendaklah sadar bahwa ia tidak mampu memahami perkara ghaib. Oleh karena itu akal perlu meminta bantuan hati. Hati perlu diasah supaya bercahaya. Dalam proses pengasahan hati, akal tidak perlu banyak mengadakan argumen. Argumen akal melambatkan proses pengasahan hati. Sebab itulah Hikmah 12 menganjurkan supata mengasingkan diri. Di dalam suasa pengasingan nafsu menjadi lemah dan akal tidak lagi mengikuti petunjuk nafsu. Barulah hati dapat mengeluarkan cahayanya. Cahaya hati menerangi kepada alam ghaib. Apabila alam ghaib sudah terang benderang barulah akal mampu memahami ketuhanan yang tidak mampu diuraikan sebelumnya.
  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • Twitter
  • RSS

0 Response to "Uzlah adalah Pintu Tafakur"

Posting Komentar

Copyright 2009 LOVERS of WISDOM
Free WordPress Themes designed by EZwpthemes
Converted by Theme Craft
Powered by Blogger Templates