Fitnah atas kekasihNya

Fitnah atas seorang Wali Allah

Kaum Yahudi atau yang kita kenal sekarang dengan kaum Zionis Yahudi telah menyelidiki dimana letak kekuatan umat Islam dan berkesimpulan bahwa kekuatan umat Islam terletak kepada ketaatan menjalankan perkara syariat berdasarkan apa yang telah dihasilkan oleh Imam Mazhab yang empat dan istiqomah mendekatkan diri kepada Allah dengan mengikuti tharikat-tharikat tasawuf berdasarkan pengalaman perjalanan diri ulama-ulama tasawuf yang mutakbaroh dan bermazhab dengan Imam Mazhab yang empat.

Kaum Zionis Yahudi mengupah ulama-ulama yang anti tharikat dan anti mazhab untuk menulis buku buku yang menyerang tharikat dan mazhab. Bahkan mereka menciptakan tharikat-tharikat tasawuf yang palsu.
Contoh yang terkenal adalah penyalahgunaan perkataan Imam Syafi’i ra yang dikutip dari Manaqib Al Imam As Syafi’i yang ditulis oleh Imam Al Baihaqi yakni ungkapan “Jika seorang belajar tasawuf di pagi hari, sebelum datang waktu dhuhur engkau akan dapati dia menjadi orang dungu.” Penjelasan perkataan Imam Syafi’i ra tersebut telah disampaikan dalam tulisan pada http://mutiarazuhud.wordpress.com/2012/05/06/apakah-tasawuf/

Contoh pendapat atau perkataan mereka yang korban hasutan atau korban ghazwul fikri (perang pemahaman) yang dilancarkan oleh kaum Zionis Yahudi

saya berlepas diri dari sufi, apa harus mengikuti manhajnya Ibnu arabi ?   Tidak, lebih baik mengikuti manhaj Salafush Sholeh yang sudah jelas keilmuannya

Apakah yang dimaksud dengan mengikuti manhaj Salafush Sholeh atau disingkat manhaj salaf ?

Tentu mereka tidak bertemu dengan Salafush Sholeh.  Apa yang mereka katakan dengan mengikuti manhaj salaf sebenarnya adalah mengikuti para ulama yang mengaku-aku mengikuti Salafush Sholeh namun tidak bertemu atau bertalaqqi (mengaji) dengan Salafush Sholeh.
Apa yang ulama mereka katakan sebagai pemahaman Salafush Sholeh adalah ketika mereka membaca hadits, tentunya ada sanad yang tersusun dari Tabi’ut Tabi’in , Tabi’in dan Sahabat. Inilah yang mereka katakan bahwa mereka telah mengetahui pemahaman Salafush Sholeh. Bukankah itu pemahaman mereka sendiri terhadap hadits tersebut.
Mereka berijtihad dengan pendapatnya terhadap hadits tersebut. Apa yang mereka katakan tentang hadits tersebut, pada hakikatnya adalah hasil ijtihad dan ra’yu mereka sendiri. Sumbernya memang hadits tersebut tapi apa yang mereka sampaikan semata lahir dari kepala mereka sendiri. Sayangnya mereka mengatakan kepada orang banyak bahwa apa yang mereka sampaikan adalah pemahaman Salafush Sholeh.
Tidak ada yang dapat menjamin hasil upaya ijtihad mereka pasti benar dan terlebih lagi mereka tidak dikenal berkompetensi sebagai Imam Mujtahid Mutlak. Apapun hasil ijtihad mereka, benar atau salah, mereka atasnamakan kepada Salafush Sholeh. Jika hasil ijtihad mereka salah, inilah yang namanya fitnah terhadap Salafush Sholeh. Fitnah dari orang-orang yang serupa dengan Dzul Khuwaishirah dari Bani Tamim Al Najdi yang karena kesalahpahamannya atau karena pemahamannya telah keluar (kharaja) dari pemahaman mayoritas kaum muslim (as-sawad al a’zham) sehingga berani menghardik Rasulullah shalallahu alaihi wasallam

Telah bercerita kepada kami Abu Al Yaman telah mengabarkan kepada kami Syu’aib dari Az Zuhriy berkata, telah mengabarkan kepadaku Abu Salamah bin ‘Abdur Rahman bahwa Abu Sa’id Al Khudriy radliallahu ‘anhu berkata; Ketika kami sedang bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam yang sedang membagi-bagikan pembagian(harta), datang Dzul Khuwaishirah, seorang laki-laki dari Bani Tamim, lalu berkata; Wahai Rasulullah, tolong engkau berlaku adil. Maka beliau berkata: Celaka kamu!. Siapa yang bisa berbuat adil kalau aku saja tidak bisa berbuat adil. Sungguh kamu telah mengalami keburukan dan kerugian jika aku tidak berbuat adil. Kemudian ‘Umar berkata; Wahai Rasulullah, izinkan aku untuk memenggal batang lehernya!. Beliau berkata: Biarkanlah dia. Karena dia nanti akan memiliki teman-teman yang salah seorang dari kalian memandang remeh shalatnya dibanding shalat mereka, puasanya dibanding puasa mereka. Mereka membaca Al Qur’an namun tidak sampai ke tenggorokan mereka. Mereka keluar dari agama seperti melesatnya anak panah dari target (hewan buruan). (HR Bukhari 3341)

Istilah manhaj salaf ditengarai adalah bagian hasutan atau ghazwul fikri (perang pemahaman) yang dilancarkan oleh kaum Zionis Yahudi agar kaum muslim terhasut untuk mengikuti atau lebih mempercayai para ulama yang selalu dalam dakwah menyebut “mengikuti manhaj salaf” sehingga tidak mempercayai apa yang disampaikan oleh para ulama yang sholeh setelah generasi Salafush Sholeh yang mengikuti Imam Mazhab yang empat.

Allah ta’ala berfirman yang artinya “Orang-orang yang terdahulu lagi yang pertama-tama (masuk Islam) dari golongan Muhajirin dan Anshar dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik, Allah ridha kepada mereka dan merekapun ridha kepada Allah dan Allah menyediakan bagi mereka surga-surga yang mengalir sungai-sungai di dalamnya selama-lamanya. Mereka kekal di dalamnya. Itulah kemenangan yang besar“. (QS at Taubah [9]:100)

Dari firmanNya tersebut dapat kita ketahui bahwa orang-orang yang diridhoi oleh Allah Azza wa Jalla adalah orang-orang yang mengikuti Salafush Sholeh.

Sedangkan orang-orang yang mengikuti Salafush Sholeh yang paling awal dan utama adalah Imam Mazhab yang empat karena Imam Mazhab yang empat bertemu dan bertalaqqi (mengaji) dengan Salafush Sholeh sehingga Imam Mazhab yang empat mendapatkan pemahaman Salafush Sholeh dari lisannya langsung dan Imam Mazhab yang empat melihat langsung cara beribadah atau manhaj Salafush Sholeh.

Imam Mazhab yang empat adalah para ulama yang sholeh dari kalangan “orang-orang yang membawa hadits” yakni membawanya dari Salafush Sholeh yang meriwayatkan dan mengikuti sunnah Rasulullah shallallahu alaihi wasallam

Jadi mayoritas kaum muslim (as-sawad al a’zham) cara untuk mengikuti manhaj Salafush Sholeh dengan  mengikuti para ulama yang sholeh dari kalangan “orang-orang yang membawa hadits” .

Para ulama yang sholeh dari kalangan “orang-orang yang membawa hadits” adalah para ulama yang sholeh yang mengikuti salah satu dari Imam Mazhab yang empat.

Para ulama yang sholeh yang mengikuti dari Imam Mazhab yang empat adalah para ulama yang sholeh yang memiliki ketersambungan sanad ilmu (sanad guru) dengan Imam Mazhab yang empat atau para ulama yang sholeh yang memiliki ilmu riwayah dan dirayah dari Imam Mazhab yang empat.

Jadi kalau kita telusuri guru dari guru kita terus guru dari guru-guru kita dan seterusnya maka sebaiknya terhubung kepada Imam Mazhab yang empat yang bertemu dan bertalaqqi (mengaji) dengan Salafush Sholeh yang bertemu dan bertalaqqi (mengaji) dengan Sayyidina Muhammad Rasulullah shallallahu alaihi wasallam.

Sedangkan mengenai ulama  tasawuf syaikh Ibnu Arabi, berikut kutipan yang disampaikan oleh rekan kami di Dasmaskus yang mengambil dari kitab berjudul Tanbiat Al-Ghabiy Bi Tabriat Ibn ‘Arabi (Info Buat Orang Tolol Tentang Bersihnya Ibnu ‘Arabi) karya imam besar ahli hadis dan tafsir, Jalaluddin As-Suyuthi yang ditulis untuk membantah kitab berjudul Tanbiat Al-Ghabiy Bi Takfir Ibn ‘Arabi (Info Buat Orang Tolol Tentang Kafirnya Ibnu ‘Arabi) karya Burhanuddin Al-Biqa’i.

*****  awal kutipan *****
Imam As-Suyuthi ditanya bagaimana seharusnya menyikapi kitab-kitab karangan Ibnu ‘Arabi?
Pertanyaan ini sangat perting untuk dijawab mengingat banyaknya orang yang menghukumi Ibnu ‘Arabi hanya berdasarkan kitab-kitab yang konon adalah karangan beliau.

Imam As-Suyuthi menjawab:
Pertama, harus dipastikan terlebih dahulu bahwa kitab itu adalah karangan Ibnu ‘Arabi. Cara ini tidak mungkin lagi dilakukan karena tak ada bukti yang kuat bahwa kitab-kitab itu adalah asli karangan Ibnu ‘Arabi, meskipun kitab-kitab itu sudah sangat populer di masyarakat, karena popularitas di zaman ini tidak cukup. Hal ini penting untuk memastikan bahwa perkataan itu benar-benar berasal dari penulis sendiri. Selain itu juga agar dipastikan tidak ada sisipan penambahan atau pengurangan yang tidak ilmiah yang bertendensi untuk menciptakan citra buruk terhadap penulisnya, karena ada indikasi kuat bahwa kitab-kitab karangan beliau sengaja disisipi oleh pihak-pihak yang tidak bertanggung jawab.

Kedua, istilah-istilah di dalamnya harus dipahami sesuai dengan maksud penulisnya. Cara ini juga tidak mungkin dilakukan, karena di dalamnya berisi hal-hal yang berkaitan dengan hati yang hanya diketahui oleh Allah Subhanahu wa ta’ala.  Sebagian ahli fikih pernah bertanya kepada sebagian kaum sufi, “Apa yang mendorong kalian menggunakan istilah-istilah yang secara literal mengundang rasa risih di hati?”. Mereka menjawab, “Sebagai bentuk rasa kecemburuan kami terhadap metode kami, agar orang-orang yang bukan dari golongan kami tidak dapat mengaku-ngaku bahwa mereka dari golongan kami dan supaya orang yang bukan ahlinya tidak masuk ke dalam golongan kami.”

Siapapun yang membaca atau mendengarkan isi kitab-kitab karangan Ibnu ‘Arabi pasti akan menyarankan bagi dirinya sendiri, terlebih orang lain, untuk tidak membacanya karena hanya akan membahayakan diri mereka sendiri dan kaum muslimin secara umum, terutama mereka yang masih dangkal pengetahuannya tentang ilmu syariat dan ilmu-ilmu zhohir lainnya. Mereka dapat tersesat dan menyesatkan.Bahkan, sekalipun yang membacanya adalah seseorang yang ‘arif dan ‘alim, mereka takkan mau mengajarkannya kepada murid-murid mereka, karena ilmu mereka tak bisa dipahami dari kitab-kitab.

Alangkah indahnya jawaban salah seorang wali ketika ia diminta oleh seseorang untuk membacakan kitab Taiat Ibn Al-Faridh, beliau menjawab, “Tinggalkan itu! Orang yang telah berlapar-lapar sebagaimana mereka berlapar-lapar, terjaga di malam hari sebagaimana mereka terjaga, ia akan melihat (mengetahui) apa yang mereka lihat.”

Imam As-Suyuthi pernah ditanya tentang seorang pemuda yang menyuruh membakar kitab-kitab Ibnu ‘Arabi sambil mengatakan bahwa Ibnu ‘Arabi lebih kafir dari orang Yahudi, Nasrani dan kaum yang berkeyakinan bahwa Allah punya anak.

Beliau menjawab, “Wajib bagi pemuda itu untuk bertaubat dan beristighfar serta tunduk dan kembali kepada Allah agar ia tidak termasuk orang yang memusuhi wali Allah, yang berarti telah mengumandangkan perang terhadap Allah.”
Dalam hadis Qudsi, Rasulullah shallallahu alaihi wasallam pernah bersabda:

إن الله قال من عادى لى وَلِيًّا فقد آذَنْتُهُ بالحرب

“Sesungguhnya Allah telah berfirman: Barangsiapa memusuhi wali-Ku, maka Aku telah mengumandangkan perang terhadapnya.” (HR. Al-Bukhari no. 6134)
Imam As-Suyuthi melanjutkan, “Jika ia tetap enggan bertaubat, cukuplah hukuman Allah baginya, tanpa hukuman dari makhluk. Apa kiranya yang akan diperbuat oleh hakim atau pihak yang berwajib? Inilah jawabanku mengenai masalah itu. Wallahu A’lam.”

Banyak ulama yang memuji Ibnu ‘Arabi, di antaranya adalah Asy-Syaikh Al-’Arif Shafiyyuddin bin Abi Manshur dalam Risalah-nya, beliau berkata, “Aku telah melihat di Damaskus, seorang syaikh imam yang tiada duanya, seorang alim dan amil, namanya Muhyiddin Ibnu ‘Arabi, salah seorang pembesar ulama tarekat. Ia telah menggabungkan antara ilmu-ilmu Kasbi (ilmu yang didapatkan dari proses belajar) dan ilmu-ilmu Wahbi (ilmu yang didapatkan dari anugerah Allah secara langsung). Popularitasnya tak diragukan lagi. Karya-karyanya pun terlampau banyak. Jiwanya telah dipenuhi oleh tauhid, baik dari segi ilmu maupun akhlaknya.”

Asy-Syaikh Abdul Ghaffar Al-Qushi berkata dalam kitabnya, Al-Wahid, “Syaikh Abdul ‘Aziz pernah bercerita bahwa di Damaskus terdapat seorang lelaki yang berjanji ingin melaknat Ibnu ‘Arabi setiap hari selepas Shalat Ashar sebanyak sepuluh kali. Setelah itu ia meninggal dunia. Ibnu ‘Arabi datang bersama kerumunan manusia untuk menjenguk jenazahnya, lalu pulang dan duduk di rumah salah seorang sahabatnya. Beliau lalu menghadap kiblat. Ketika waktu makan siang tiba, makanan dihidangkan untuk beliau, tapi beliau tak mau makan. Beliau masih terus berada dalam keadaan seperti itu dan melakukan shalat, hingga waktu makan malam tiba. Setelah itu beliau menoleh dengan wajah gembira, lalu meminta makanan itu. Ketika ditanya tentang yang baru saja diperbuat, beliau menjawab, “Aku berjanji kepada Allah untuk tidak makan dan tidak minum sampai Dia mau mengampuni dosa-dosa lelaki yang dulu melaknatku ini. Aku terus-menerus seperti itu sambil membaca kalimat La Ilaha Illallah sebanyak tujuh puluh ribu kali. Akhirnya aku melihat lelaki itu, ia telah diampuni dosanya.”

Salah seorang pelayan Syaikh Izzuddin bin Abdissalam pernah bertanya kepada beliau, “Bukankah tuan telah berjanji ingin mempertemukan saya dengan seorang wali?”. Syaikh Izzuddin menjawab, “Dialah wali itu.” Sambil menunjuk ke arah Ibnu ‘Arabi yang sedang duduk dalam majelis halaqohnya. Pelayan itu bertanya lagi, “Tuan, bukankah ia adalah orang yang selama ini anda ingkari?”. Syaikh tetap menjawab, “Dialah wali itu.” Beliau selalu mengulang-ulang jawaban itu setiap kali ditanya.

Imam As-Suyuthi berkomentar, “Seandainya dia bukan wali, niscaya perkataan Syaikh Izzuddin itu pun tidak bertentangan, karena beliau pernah menilainya dari segi zhohirnya (yang tampak) saja demi menjaga keselamatan syariat. Sedangkan rahasia di balik itu, diserahkan kepada Allah. Dia yang berhak melakukan apa saja yang Dia kehendaki.”
Oleh karena itu, para ulama jika menemukan hal-hal yang secara zhohir bertentangan dengan apa yang selama ini dipahami orang biasa, mereka mengingkari hal itu demi menjaga hati orang-orang yang lemah dan demi menjaga batas-batas syariat. Jadi mereka memberikan masing-masing orang haknya secara utuh.

Al-Hafizh Ibnu Hajar Al-Asqolani menyebutkan dalam kitabnya, Inba Al-Ghumur Bi Akhbar Al-’Umur, nama-nama ulama yang memuji Ibnu ‘Arabi. Di antaranya adalah sebagai berikut:
1. Syaikh Badruddin bin Ahmad bin Syaikh Syarafuddin Muhammad bin Fakhruddin bin Ash-Shahib Bahauddin bin Hana (w. 788 H)
2. Syaikh Syamsuddin Muhammad bin Ibrahim bin Ya’qub, yang lebih dikenal dengan sebutan Syaikh Al-Wudhu’
3. Abu Abdillah Muhammad bin Salamah At-Tuziri Al-Maghribi
4. Syaikh Najmuddin Al-Bahi
5. Syaikh Syamsuddin Muhammad bin Ahmad Ash-Shufi
6. Syaikh Ismail bin Ibrahim Al-Jabaruti Az-Zubaidi
7. Al-’Allamah Majduddin Asy-Syirazi
8. Syaikh Alauddin Abul Hasan bin Salam Ad-Dimasyqi Asy-Syafii (w. 829 H)
9. Qadhi Al-Qudhat Syamsuddin Al-Bisathi Al-Maliki.

Mengenai nama terakhir ini, Ibnu Hajar menyebutkannya kisah menarik dalam peristiwa yang terjadi pada tahun 831 H. Suatu hari Ibnu Hajar pergi bersama Al-Bisathi menuju Syaikh Alauddin Al-Bukhari. Dalam perbincangan, mereka menyinggung nama Ibnu ‘Arabi. Syaikh Alauddin langsung menjelek-jelekkan Ibnu ‘Arabi dan mengkafirkan orang-orang yang meyakini isi kitabnya. Al-Bisathi menyanggah tuduhan Syaikh Alauddin dan membela Ibnu ‘Arabi, “Sebenarnya orang-orang mengingkari Ibnu ‘Arabi hanya karena berdasarkan kata-kata zhohir yang beliau ucapkan itu. Jika tidak, maka tak ada satu pun dari ucapannya itu yang patut untuk diingkari jika ia mau memahaminya sesuai dengan maksud penulisnya atau dengan sedikit takwil.” Demikian sanggahnya. Lalu Syaikh Alauddin mengajukan pengingkaran terhadap konsep Al-Wihdah Al-Muthlaqah ala Ibnu ‘Arabi. Al-Bisathi menjawab, “Apakah Anda tahu apa itu Al-Wihdah Al-Muthlaqah?”. Syaikh Alauddin marah besar mendengarnya dan bersumpah kalau pemerintah tidak mau menonaktifkan Al-Bisathi dari jabatannya sebagai Qadhi (hakim), ia sendiri yang akan mengusirnya dari Mesir.

Syaikh Alauddin meminta sekretaris untuk mengajukan permasalahan ini kepada pemerintah. Hampir saja pemerintah mengabulkan permintaan itu dan mengangkat Asy-Syihab bin Taqi sebagai ganti Al-Bisathi. Namun kemudian majelis itu ternyata dibatalkan.

Imam As-Suyuthi berkomentar, “Ini adalah salah satu berkah membela salah satu wali Allah.”

Akhirnya Al-Bisathi meneruskan jabatannya dan tak seorang pun yang menonaktifkannya sampai beliau wafat setelah dua puluh satu hari sejak kejadian itu.

***** akhir kutipan *****
Begitupula Syaikh Ibnu Athoillah menyatakan bahwa “ketika Syaikh al Islam Al Izz ibn Abd Salam memahami apa yang sebenarnya diucapan dan dianalisa oleh Ibn Arabi, menangkap dan mengerti makna sebenarnya dibalik ungkapan simbolisnya, ia segera memohon ampun kepada Allah subhanahu wa ta’ala atas pendapatnya sebelumnya dan menokohkan Muhyiddin Ibn Arabi sebagai Imam Islam. Sedangkan mengenai pernyataan al Syadzili yang memojokkan Ibn Arabi, perlu anda ketahui, ucapan tersebut tidak keluar dari mulutnya, melainkan dari salah seorang murid Sadziliyah. Lebih jauh lagi, pernyataan itu dikeluarkan saat para murid membicarakan sebagian pengikut Sadziliyah. Dengan demikian, pernyataan itu diambil dalam konteks yang tak pernah dimaksudkan oleh sang pembicaranya sendiri.

Syaikh Ibnu Athoillah melanjutkan “Barangkali yang menyebabkan para ahli fiqih mengecam Ibn Arabi adalah karena kritik beliau terhdap keasyikan ahli fiqih dalam berargumentasi dan berdebat seputar masalah iman, hukum kasus-kasus yang terjadi (aktual) dan kasus-kasus yang baru dihipotesakan (dibayangkan padahal belum terjadi). Ibn Arabi mengkritik demikian karena ia melihat betapa sering hal tersebut dapat mengalihkan mereka dari kejernihan hati.  Ibn Arabi mengatakan bahwa:”Siapa saja yang membangun keyakinannya semata-mata berdasarkan bukti-bukti yang tampak dan argumen deduktif, maka ia membangun keyakinan dengan dasar yang tak bisa diandalkan. Karena ia akan selalu dipengaruhi oleh sangahan-sangahan balik yang konstan. Keyakinan bukan berasal dari alasan logis melainkan tercurah dari lubuk hati.

Rasulullah shallallahu alaihi wasallam menyampaikan bahwa para Wali Allah memang  pada umumnya mereka akan terkena fitnah.
Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda :

ِللهِ ضَنَائِنَ مِنْ عِبَادِهِ يُعْذِيْهِمْ فِى رَحْمَتِهِ وَيُحْيِيْهِمْ فِى عَافِيَتِهِ اِذَا تَوَافَّاهُمْ تَوَافاَّهُمْ اِلَى جَنَّتِهِ اُولَئِكَ الَّذِيْنَ تَمُرُّ عَلَيْهِمُ الْفِتَنُ كَقَطْعِ اللَّيْلِ الْمُظْلِمِ وَهُوَ مِنْهَا فِى عَافِيَةٍ

“Sesungguhnya bagi Allah ada orang-orang yang baik (yang tidak pernah menonjolkan diri) di antara para hamba-Nya yang dipelihara dalam kasih sayang dan dihidupkan di dalam afiat. Apabila mereka diwafatkan, niscaya dimasukkan kedalam surganya. Mereka terkena fitnah atau ujian, sehingga mereka seperti berjalan di sebagian malam yang gelap, sedang mereka selamat daripadanya“. (Hadits riwayat Abu Nu’aim dalam kitab Al Hilya jilid I hal 6).

Wassalam
  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • Twitter
  • RSS

0 Response to "Fitnah atas kekasihNya"

Posting Komentar

Copyright 2009 LOVERS of WISDOM
Free WordPress Themes designed by EZwpthemes
Converted by Theme Craft
Powered by Blogger Templates