hermeneutiknya Fazlur Rahman
BAB I
PENDAHULUAN
Kajian al-Qur’an hingga saat ini dan sangat mungkin di masa-masa yang akan
datang mendapatkan perhatian yang cukup signifikan dari peneliti, dosen,
pengajar dan mahasiswa, karena al-Qur’an merupakan sumber utama dalam islam,
salah satu agama yang terbesar pengikutnya.[1][1]
Al-Qur’an yang merupakan bukti kebenaran Nabi Muhammad SAW sekaligus
petunjuk untuk manusia sampai kapan dimanapun, memiliki pelbagai macam
keistimewaan. Keistimewaan-keistimewaan tersebut antara lain susunan bahasanya
yang unik dan memesonakan, sifat agung yang tidak seorangpun mampu mendatangkan
hal yang serupa, bentuk undang-undang yang komprehensif melebihi undang-undang
buatan manusia, memuat pengetahuan yang tidak bertentangan dengan pengetahuan
umum yang dipastikan kebenarannya, memenuhi segala kebutuhan manusia,
mengandung makna-makna yang dapat dipahami oleh siapa pun yang memahami
bahasanya walaupun tingkat pemahaman mereka berbeda, sesuai dengan
kecenderungan, interest, dan motivasi mufassir, sesuai denga missi yang
diemban, kedalaman dalam ragam ilmu yang dikuasai, serta kemampuan dan kondisi
soio kultural yang membangun karakter dan kondisi sosio kultural masyarakat
yang dihadapi.[2][2]
Banyak umat manusia yang melakukan interpretasi al-Qur;an. Namun siapa saja
yang menginterpretasikan al-Qur’an, kebenaran interpretasi al-Qur’an hanya
sebatas kebenaran relatif saja, karena al-Qur’an difahami sangat variatif, dan
disesuaikan dengan kodisi zaman yang terjadi saat penginterpretasian.
Fazlur Rahman adakah salah seorang pemikir dan tokoh intelektual islam
kontemporer yang terkemuka. Tantangan kehidupan moderen dan ontemporer
mengharuskan Fazlur Rahman untuk berfikir keras dalam menemukan preskripsi demi
mengatasi masalah-masalah kehidupan yang muncul, menyadarkannya untuk mengkaji
ulang beberapa pandangan yang baku di kalangan umat Islam, tetapi tidak
akomodatif bahkan “sulit” diaplikasika
dalam kehidupan masyarakat.
Fazlur Rahman memandang perlu diupayakan reinterpretasi al-Qur’an. Dalam
hal ini, beliau menawarkan metode tafsir knotemporer yang berbeda dengan
metode-metode era sebelumnya. Metode tafsir yang memiliki nuansa “unik” dan
menarik untuk dikaji secara intensif, yaitu metode yang populer dengan nama
“double movement” (Gerakan Ganda).[3][3]
Rahman menyiratkan pemahaman bahwa herneneutika merupakan alat metodologis
yang unggul. Ia pun mendalami teori-teori hermeneutika ketika sebagian besar
pemikir Muslim lainnya belum mengenalnya. Karenanya, dalam blantika pemikiran
Islam, ia dipandang sebagai tokoh yang turut merintis penerapan hermeneutika
untuk mamahami teks al-Qur’an.
Kiprah Rahman dalam memperkenalkan hermeneutika ini ternyata mendapat
sambutan di lingkungan akademik Islam. Ide-ide hermeunetisnya banyak dijadikan
referensi oleh pemikir-pemikir Muslim. Paling tidak, pemikir-pemikir semisal
Amina Wadud dan Riffat Hassan mengikuti alur hermeneutisnya. Dua tokoh feminis
ini menemukan pemahaman baru tentang jender, da berhasil merekonstruksi
pemahaman mereka secara labih rasional dan egaliter setelah menerapkan
hermeneutika.
Pada gilirannya hermeneutika menjadi disiplin yang diajarkan di sejumlah
lembaga pendidikan. Namun ironisnya ketika keilmuan islam mulai menunjukkan
kembali geliat awal kemajuannya ini, sekelompok Muslim lain tidak merestui
kedatangan hermeneutika. Alasan sederhananya, bahwa hermeneutika berasal dari
Barat-Kristen, sehingga tidak menutup kemungkinan nilai-nilai Barat-Kristen itu disusupkan ke
dalam Islam, khususnya dalam memahami Al-Qur’an.kelahiran hermeneutika
sesunggunya dimaksudkan hanya untuk mencari kebenaran-kebenaran Injil, kitab
suci kristen yang tidak diakui orisinilitas dan otentitasnya. Karena al-Qur’an
sudah diyakini otentitas dan orisinilitasnya maka ia tidak butuh hermeneutika.
Pada implikasi yang lebih buruk, hermeneutika akan merusak pemahaman umat Islam
yang selama ini telah mapan.[4][4]
Tulisan ini tidak bermaksud merespons secara khusus penolakan ini, karena
apa yang hendak dilakukan disini adalah menelusuri ide-ide hermeneutika Fazlur
Rahman. Berbekal dengan analisis atas hermeneutika tokoh ini.
BAB II
PEMBAHASAN
A. BIOGRAFI FAZLUR RAHMAN
Ia dilahirkan pada hari Minggu, 21 September 1919 M, di sebuah daerah yang
bernama Hazzara, barat laut Pakistan. Ayahnya bernama Maulana Syahab al-Din dan
nama keluarganya adalah Malak. Ia dibesarkan dalm dalam sebuah lingkungan
keluarga Muslim yang taat, yang mempraktekkan ajaran fundamental Islam seperti,
shalat, puasa dan sebagainya. Maka tidak heran jika Fazlur Rahman pada waktu
berusia 10 tahun telah menguasai teks Al-Qur’an di luar kepala. Orang yang
sangat berjasa dalam menanamkan dan mebentuk kepribadiannya adalah ayah dan
ibunya sendiri. Ayahnya adalah seorang alim yang bermadzhab Hanafi[5][5], sebuah madzhab sunni
yang relatif lebih rasioanl ketimbang madzhab sunni lainnya (Syafi’i, Maliki,
dan Hanbali)[6][6] yang berlatar belakang
pendidikan dari Deoband, sebuah madrasah tradisional terkemuka di anak benua
Indo-Pakistan saat itu.[7][7]
Tidak seperti kebanyakan ulama di zamannya yang menentang dan menganggap
pendidikan moderen dapat meracuni keimanan dan moral, Maulana Syahab meyakini
bahwa Islam harus menghadapi realitas kehidupan moderen, tidak saja sebagai
sebuah tantangan tetapi juga merupakan kesempatan. Keyakinan inilah yang kelak
dipraktekkan ayahnya pada diri Fazlur Rahman dan bahkan terus bertahan dalam menanamkan
nilai-nilai kebenaran, kasih sayang dan kejujuran, terutama nilai cinta yang
dicmpakkan pada Fazlur Rahman sewaktu kecil.[8][8]
Pendidikan dasar yang dilalui Fazlur Rahman pada usia sekolah adalah dalam
bidang wacana Islam tradisional di bawah bimbingan ayahnya. Wacana pendidikan
Islam tradisional biasanya diawali dengan menghafal teks al-Qur’an, disamping
mempelajari Bahasa Arab, bahasa Persia, Ilmu retorika, sastra, logika,
filsafat, kalam, fiqih, hadits dan tafsir. Tentu saja harus diakui, wacana-wacana
ini prosentasi dan muatannya relative berbeda pada masing-masing madrasah.
Ketika Fazlur Rahman berusia 14 tahun (1933 M), keluarganya hijrah ke
Lahore, kota dimana Fazlur Rahman menerima pendidikan modern, disamping tetap
menimba pengetahuan Islam tradisional dibawah asuhan ayahnya. Pada tahun 1940
M, ia menyelesaikan Sarjana Muda (B.A.) dalam jurusan Bahasa Arab di
Universitas Punjab. Dua tahun kemudian ia memperoleh gelar Master of Arts
(M.A.) dalam jurusan dan universitas yang sama. Pada tahun 1946 M, ia
melanjutkan studi pada progran doctor (Ph.D Program) di Universitas Oxford,
Inggris. Pada program ini Fazlur Rahman mengkonsentrasikan kajiannya dalam
jurusan Filsafat Islam. Ia merampungkan studi Doktornya dalam waktu 3 tahun
(1946-1949) dengan disertasi yang ditulisnya berjudul Avicenna’s Psychology.[9][9]
Setamat dari Oxford University, rahman tidak langsung pulang ke Pakistan.
Selama beberapa tahun, ia memilih mengajar di Eropa. Ia menjadi dosen bahasa
persia dan filsafat Islam di Durha University Inggris pada 1950-1958.
Selanjutnya, atas berbagi pertimbangan, ia pindah ke McGill University Kanada
untuk menjadi associate professor pada bidang Islamic Studies. Namun,
tiga tahun kemudian, semangat patriotik kenegaraannya mengalahkan segalanya.[10][10]
Situasi ketika ia dilahirkan memberi pengaruh bagi perkembangan
pemikirannya dikemudia hari. Perdebatan publik di natara berbagai golongan
Muslim yang terjadi sebelum kelahirannya mewarnai kehidupan sosial negerinya.
Perdebatan ini mulai menanjak ketika Pakistan dinyatakan berpisah dari
India. Pakistan berdaulat sebagai sebuah
negara merdeka pada 14 Agustus 1947. Akibatnya, gologan-golongan yang berseteru
semakin mendapatkan angin segar untuk mewujudkan ide-ide mereka. Ide-ide untuk
memberi identitas “Islam” bagi negara barunya.
Paling tidak, ada tiga kubu yang berseteru: kaum modernis, kaum
tradisionalis, dan kaum fundamentalis.[11][11] Diantara ide dan
gagasan yang diperdebatkan oleh ketiga kelompok yang berseteru berkisar masalah
bagaimana membentuk negara Pakistan pasca merdeka dari India. [12][12]Kaum modernis
merumuskan konsep kenegaraan Islam dalam bingkai term-term ideologi modern.
Kaum tradisionalis menawarkan konsep kenegaraan yang berdasarkan atas
teori-teori politik tradisional Islam: khalifah dan imamah. Sedangkan kaum
fundamentalis mengusulkan konsep kenegaraan “kerajaan Tuhan”. Perdebatan ini
terus berlanjut hingga melahirkan berbagai konstitusi dengan amandemennya.
Di tengah perdebatan inilah, Rahman kelak tampil dan mengemukakan
gagasannya. Latar belakang ini, dengan demikian, menjadi pemicu baginya untuk
mendalami seluk beluk keilmuan islam dan menguasai berbagai arus metodologi
pemikiran.[13][13]
B.
RESPON FAZLUR RAHMAN TERHADAP GERAKAN-GERAKAN PEMBAHARUAN
Kepindahan Rahman ke Chicago adalah akibat dari fakta
bahwa negaranya belum siap menampung ide-ide pembaharuannya. Sekslipun di India
atau Pakistan telah terjadi pembaharuan, namun sifatnya masih dalam lingkup
yang sangat terbatas. Rahman belum melihat perkembangan signifikan yang
benar-benar selaras dengan harapannya. Pembahruan ini memiliki tingkatan dan
perkembangan. Rahman membagi sifat pembaharusn ini secata umum menjadi empat
kelompok gerakan:[14][14]
Kehadiran Rahman dalam daftar nama-nama pemikiran
Islam membawa sesuatu yang baru terhadaap pemikiran Islam. Meskipun sebebnarnya
pembaharuan dalam Islam telah dilakukan oleh beberapa pemikir Islam sebelum
Rahman, namun pembaharuan yang mereka dengungkan masih dalam taraf yang sangat
dangkal, bukan tidak mu gkin penafsiran mereka masih berbentuk tekstual, sehingga
kemunculannya banyak mempunyai kelemahan-kelemahan serta tidak mampu
menyelesaikan persoalan-persoalan umat yang kekinian.[19][19]
Karenanaya, dalam konteks ini Rahman mencanangkan
suatu penyusunan metodologi yang tepat dan logis untuk mengkaji al-Qur’an. Metodologi
yang tak lain adalah hermeneutika al-Qur’annya. Rahman yakin bahwa metodologi
yang ia maksudkan itu semaksimal mungkin terhindar dari ijtihad yang tidak
bertanggung jawab. Metodologi tersebut diharapkan dapat melakukan rekonstruksi
sistematis atas Islam namun tetap berpegang pada akar-akar spiritualnya.[20][20]
C.
HERMENEUTIKA FAZLUR RAHMAN
1. MENGUSUNG EPISTEMOLOGI
QURANI
Sebelum melihat ide-ide teoritis hermenetika Rahman, hal mendasar yang
perlu dikemukakan adalah konsep epistemologinya. Hal itu dirasa penting sebaba
ia menjadi landasan bagi titik tolak pemekiran hermeneutikanya. Epistemologi
merupakan persoalan yang paling mendasar dalam setiap bangunan keilmuan, karena
ia mempertanyakan secara filosofis dasar-dasar yang menopang tegaknya suatu
pengetahuan. Epistemologi sering didefinisikan sebagai cabang filsafat yang
mengadakan penyelidikan terhadap sumber, susunan, metode, validitas, teori dan
segala sesuatu yang membentuk pengetahuan.[21][21]
Dalam bahasan umum terdapat tiga sumber pengetahuan: akal, indera, dan
intuisi. Ketiganya membentuk formasi yang paralel. Namun dalam Islam
paralelitas itu tidak ditemukan. Paralelitas itu tidak ada, kecuali hanya
sebuah hierarki. Ketiga sumber itu dikategorikan sebagai sumber sekunder.
Adapun sumber primernya adalah Teks (dengan T besar) dalam hal ini adlah
al-Qur’an. Al-Qur’an inilah yang mempunyai tingkat validitas paling sahih
dibanding sumber lainnya. Sifat yang dibawanya otoritatif. Ini dimaklumi karena
Islam adalah agama wahyu. Agama yang dibentuk dari sebuah realitas yang
mengandaikan Al-Qur’an sebagai pedoman utama ajarannya.[22][22]
Maka tidak heran ketika berbicara tentang epistemologi Islam, pembicaraan
awalnya biasanya tertuju pada upaya untuk memposisikan hubungan antara
al-Qur’an dan akal. Karena sifat otoritatif teks tersebut. Epistemologi Islam
kontemporer Mohamed Abed al-Jabiri mengklaim bahwa karakteristik Islam yang
menonjolkan peran teks itu dipadakan dengan karakteristik Yunani yang
menonjolkan filsafat dan karakteristik Eropa yang menonjolkan ilmu pengetahuan
dan teknologi. Karakteristik Islam ini pada gilirannya membawa implikasi pada
kesulitan untuk menyuguhkan epistemologi sebagai teori pengetahuan dslam napas
objaktivitas dan netralitas. Rumusan teori pun, karenanya, tidak banyak
ditemukan. Ada paradoks ketika teori-teori epistemologi yang terbebas dari
wahyu diusung kedalam diskursus sebuah budaya yang menonjolkan wahyu.[23][23]
a. Dominasi Al-Qur’an
Hubungan antara wahyu dengan akal dalam epistemologi Islam bukanlah
hubungan yang setara atau sebanding. Demikian pula, hubungan antara wahyu
dengan sumber-sumber pengetahuan lainnya meniscayakan hierarki. Proses yang
terjalin dalam epistemologi Islam tidak bisa disamakan dengan proses yang
terjalin dalam epistemologi Barat, yang menyetarakan akal dengan indra atau
intuisi.[24][24]
b. Persoalan di seputar
Sunah dan Hadis
Setelah Al-Qur’an, Hadis atau Sunah Nabi menempati posisi kedua sebagai
sumber ajaran Islam. Ini tidak dinafikan Rahman. Namun ada persoalan yang harus
dijelaskan terlebih dahulu di sini, yakni menyangku kritisme yang sering
dimunculkan kalangan orientalis terhadap Sunah atau Hadis. Mereka meragukan
bahkan menegasikan keberadaan Hadis atau Sunah. Setidaknya, Ignaz Goldziher dan
Margoliouth adalah orientalis-orientalis yang direspons oleh Rahman.[25][25]
Rahman yakin bahwa kajian para orientalis itu pada dasarnya bermuara pada
sikap skeptis mereka terhadap otentisitas dan eksistensi konsep Sunah dan Hadis
Nabi. Bila demikian, menurut Rahman, otentisitas dan eksistensi itulah yang
harus segera dijelaskan.[26][26]
c. Peran akal
Rahman memberikan apresiasi yang cukup tinggi terhadap akal. Ia memberikan
kebebasan kepada akal untuk mengekplorasi kebenaran ilmiah. Ia yakin, penciptaan
gagasan ilmiah lewat akal merupakan aktifitas yang nilainya paling tinggi
menurut al-Qur’ab. Indikasiya, Al-Qur’an sendiri memerintahka Nabi untuk terus
berdoa dalam upaya peningkatan ilmuya; Al-Qur’an berulang kali menekankan
perlunya manusia merenungi dan mengamati alam, sejarah, dan kebutuhan batinnya.[27][27]
2. Metode interpretasi
sistematis
Gagasan untuk
menjadikan al-Qur’an universalitas dan fleksibilitas, al-Qur’an tidak bisa
dipahami secara atomistik, melainkan harus sebagai kesatupaduan yang berjalin
berkelindan sehingga menghasilkan suatu weltanschauung yang pasti. Pemahaman
seperti ini yang tidak didapatkan dalam penafsiran-penafsiran klasik, mereka
terlalu asyik bermain dengan kata-kata yang menyebabkan mereka terjebak dalam
penafsiran literal tekstual. Bagi Rahman fenomena ini terjadi dikarenakan
ketidaktepatan dan ketidaksempurnaan alat-alat yang disebabkan kegersangan
metode penafsiran.[28][28]
Menurut Fazlur Rahman,
prosedur yang benar untuk memahami al-Qur’an setidaknya mufassir harus menempuh
dua pendekatan, yaitu: pertama, mempelajari al-Qur’an dalam ordo
historis (Asbabun Nuzul) umtuk mengapresiasi tema-tema dan gagasan-gagasannya
sehingga diketahui makna yang tepat dari Firman Allah. Tidak dilakukannya
pendekatan ini berdampak pada tersesatnya dalam memahami butir penting tertentu
dari ajaran-ajarannya. Kedua, mengkaji al-Qur’an dalam konteks latar
belakang sosio historisnya. Dengan pendekatan ini akan diketahui laporan
tentang bagaimana orang-orang di lingkungan Nabi memahami perintah-perintah
al-Qur’an.[29][29]
Untuk mengantisipasi
persoalan tersebut, Rahman menawarkan suatu metode yang logis, kritis, dan
komprehensif, yaitu hermeneutika double movement (gerak ganda
interpretasi). Metode ini memberikan pemahaman yang sistematis dan kon-tekstualis,
sehingga menghasilkan suatu penafsiran yang mampu menjawab persoalan-persoalan
kekinian. Adapun yang dimaksud dengan gerakan ganda adalah: dimulai dari
situasi sekarang ke masa al-Qur’an diturunkan dan kembali lagi ke masa kini.
Persoalan mengapa harus mengetahui masa al-Qur’an diturunkan? Sedangkan masa
dahulu dengan masa sekarang tidak mempunyai kesamaan. Untuk menjawab persoalan
ini, Rahman mengatakan: al-Qur’an adalah respon Ilahi melalui ingatan dan
pikiran Nabi, kepada situasi moral-sosial masyarakat Arab pada masa Nabi.
Artinya, signifikansi pemahaman setting-social Arab pada masa Al-Qur’an
diturunkan disebabkan adanya proses dialektika antara al-Qur’an dengan
realitas, baik itu dalam bentuk tahmil (menerima dan melanjutkan),
tahrim (melarang keberadaannya), dan taghiyyur (menerima dan merekontruksi
tradisi).
Adapun mekanisme
hermeneutika double movement yang diusulkan Fazlur Rahman dalam
menginterpretasi al-Qur’an adalah:
1. Gerak Pertama
Gerakan pertama, yakni
dari situasi sekarang ke masa al-Qur’an diturunkan,[30][30] bertolak dari situasi
kontemporer menuju ke Al-Qur’an diwahyukan, dalam pengertian bahwa perlu
dipahami arti atau makna dari sesuatu pernyataan dengan cara mengkaji situasi
atau problem historis dimana pernyataan al-Qur’an tersebut hadir sebagai
jawabannya.[31][31]
Dalam beberapa karya
intelektualnya yang lain, yang ditulis ketika menetap di Pakistan, Rahman juga
secara berulang kali memberi penekanan yang tegas terhadap pentingnya pemahaman
kondisi aktual masyarakat Arab pra –Islam
dan masa Nabi dalam rangka menafsirkan pernyataan-pernyataan legal dan
sosio-ekonomik al-Qur’an. Pendekatan historis ini bahkan telah dipandangnya
sebagai satu-satunya cara yang dapat diterima dan dapat berlaku adil kepada
tuntutan intelektual ataupun integritas moral: “Hanya dengan cara semacam
inilah suatu apresiasi sejati terhadap tujuan-tujuan al-Qur’an dan sunnah dapat
dicapai.”[32][32] Terdiri dari dua
langkah:
Langkah pertama, merupakan tahap
pemahaman arti atau makna dari suatu pernyataan dengan mengkaji ayat-ayat
spesifik dalam sinaran situasi-situasi spesifikasinya, suatu kajian mengenai
situasi makro dalam batasan-batasan masyarakat agama, adat istiadat,
lembaga-lembaga bahkan mengenai kehidupan secara menyeluruh di Arabia pada saat
turunnya Islam di kota Mekkah akan dilakukan. Jadi langkah pertama dari gerakan
yang pertama adalah memahami makna al-Qur’an sebagai suatu keseluruhan
disamping dala batas-batas ajaran yang khusus yang merupakan respon terhadap
situasi-situasi khusus.
Langkah kedua, mengeneralisasikan
jawaban-jawaban spesifik itu da menyatakan sebagai pernyataan-pernyataan yang
memiliki tujuan-tujuan moral-sosial umum yang dapat “disaring” dari teks-teks
spesifik dalam sinaran latar belakang sosio histories dan ratio legis (ilat
hokum) yang sering di-nyatakan. Sesungguhnya langkah pertama itu –pemahaman
teks spesifik- sendiri mengimplikasikan langkah kedua dan akan mengantar kearah
itu.[33][33]
Ide pokok yang
terkandung dalam gerakan pertama, sebagaimana dikutip di atas, adalah penerapan
metode berfikir induktif: “berpikir dari ayat-ayat spesifik menuju kepada
prinsip”, atau dengan kata lain adalah “berpikir dari aturan-aturan legal
spesifik menuju kepada moral sosial yang bersifat umum yang terkandung di
dalamnya”.[34][34]
2. Gerak Kedua
Gerakan kedua merupakan
proses yang berangkat dari pandangan umum ke pandangan khusus yang harus
dirumuskan dan direalisasikan sekarang. Yakni, yang umum harus diwujudkan dalam
konteks sosio histories konkret sekarang. Ini sekali lagi memerlukan kajian
teliti terhadap situsi sekarang dan analisis terhada berbagai unsure komponen
sehingga kita dapat menilai situasi mutakhir dan mengubah yang sekarang sejauh
yang diperlukan, dan sehingga kita bisa menentukan prioritas-prioritas baru
untuk bisa mengimplementasikan nilai al-Qur’an secara baru.
Dengan demikian,
metodologi yang diintrodusir
oleh Rahman adalah metode berpikir yang bersifat reflektif, mondar-mandir
antara deduksi dan induksi secara timbal balik. Metodologi semacam ini tentu
saja akan membawa implikasi, bahwa yang namanya hukum Allah dalam pengertian
seperti yang dipahami oleh manusia itu tidak ada yang abadi. Yang ada dan abadi
hanyalah prinsip moral. Dengan demikian, hukum potong tangan,, misalnya,
hanyalah satu model hukuman yang di-istimbathkan (digali) dari prinsip moral,
demikian para hukum-hukum yang lain, seperti jilid seratus kali bagi pezina
ghair muhsan (belum menikah), dan sebagainya.
Jika dicermati teori double
movement Fazlur Rahman, tampaknya mencoba mendialektikan teks, author, dan
reader. Sebagai author, Fazlur Rahman tidak memaksa teks
berbicara sesuai dengan keinginan author, melainkan membiarkan teks
berbicara sendiri. Untuk mengajak teks berbicara, Fazlur Rahman menelaah
historisitas teks. Histories yang diaksudkan di sini bukanlah semata-mata asbab
al-nuzul sebagaimana yang pahami oleh ulama konvensional, yait peristiwa yang
menyebabkan al-Qur’an diturunkan. Melainkan lebih luas dari itu, yaitu setting-sosial
masyarakat Arab dimana al-Qur’an
dituurunkan atau lebih tepat disebut qira’ah al-tarikhiyyah. Tujuan
menelaah histories teks disini yaitu untuk mencari nilai-nilai universal, dalam
bahasa Rahman menyebutnya dengan ideal moral, sebab ideal moral berlaku
sepanjang masa dan tidak berubah-rubah. Dalam hal ini, Rahman membedakan antara
ideal moral dengan legal spesifik. Ideal moral adalah tujuan dasar moral yang
diesankan al-Qur’an. Sedangkann legal spesifik ketentuan hukum yanng diterapkan
secara khusus. Ideal moral lebih patut diterapkan ketimbang ketentuan legal
spesifik. Sebab, ideal moral bersifat universal. Al-Qur’an dipandang elastis
dan fleksibel. Sesangkan legal spesifik lebih bersifat particular.[35][35]
Proses pengaplikasian ideal
moral, sebagai author, Rahman juga mempertimbangkan kehadiran reader
yang dilingkup oleh berbagai peraturan dan latar belakang, seperti
pengaplikasian hukum potong tangan, disini Rahman turut mempertimbangkan
nilai-nilai kemanusiaan agar tidak bertentangan dengan hak asasi manusia, jadi,
reader disini adalah hak asasi manusia. Begitu juga dalam poligami dan
mawaris, pertimbangan Fazlur Rahman dalam kedua hukum tersebut adalah
nilai-nilai feminism. Jadi, reader yang menjadi pertimbangan Rahman
sebagai author bukan hanya reader lokal- untuk tidak mengatakan islam-
melainkan internasional (world citizenship). Disisnilah teori double
movement dikategorisasikan sebagai
sebuah metode hermeneutis yang tidak mendominasi salah satu unsur, melainkan
adanya keseimbangan antara tiga unsur, yaitu tex, author, dan reader.[36][36]
Selain teori double
movement, Rahman juga menggunakan teori lain dalam menginterpretasikan
al-Qur’an, khususnya ayat-ayat metafisika. Metode tersebut adalah metode sintesis
logis. Hal ini sebagaimana disinyalir oleh rahman sendiri:
“Kecuali dalam penggarapan beberapa tema penting semisal aneka ragam
komunitas agama, kemungkinan dan aktualitas mu’jizat, serta jihad, yang
kesemuanya menunjukkan evolusi melalui al-Qur’an, prosedur yang digunakan dalam
mensintesis-kan tema-tema, lebih bersifat logis ketimbang kronologis.” [37][37]
3. Melacak akar teori Double
Movement
Jika dicermati, teori double
movement yang diusulkan Rahman
merupakan perpaduan antara tradisionalis muslim dengan hermeneutika Barat
kontemporer. Ini menunjukkan, Fazlur Rahman dalam membangun teori double
movement tidak terlepas dari pengaruh –atau minimal memiliki horizon yang
sama dengan kedua pemikiran tersebut.
Pengaruh atau kesamaan
tradisionalis muslim terhadap teori double movement jelas sekali nampak
pada langkah pertama dalam gerakan pertama. Pada langkah terebut Rahman
menyebutkan “dalam memahami suatu pernyataan, terlebih dahulu memeperhatikan
konteks mikro dan makro ketika al-Qur’an diturunkan”. Ide tentang konteks mikro
dan makro sebenarnya sudah digagas oleh Syah Waliyullah al-Dahlawi dalam
karyanya “Fazlur al-Kabir fi Ushul al-Tafsir”. Dalam karyanya,
sebagaimana dikutip oleh Hamim Ilyas, al-Dahlawi menyebutkan kedua konteks
tersebut dengan asbab al-nuzul al-khasaah dan asbab al-nuzul al-‘ammah.[38][38] Disamping itu,
kesamaannya adalah pernyataan al-Dahlawi bahwa al-Qur’an turun merespons
kehidupan masyarakat Arab dengan mendidik jiwa manusia dan memberantas
kepercayaan yang keliru dan perbuatan jahat lainnya. Senada dengan pernyataan
tersebut, Rahman juga mengatakan al-Qur’an merupakan respon Ilahi melalui
ingatan dan pikiran Nabi Muhammad, kepada situasi moral-masyarakat dagang
Mekkah dari segi kepercayaan dan kehidupan sosial.
Meskipun ada kesamaan,
namun Rahman mengkritik pemikiran al-Dahlawi, sebagaimana yang terlihat dari
pemetaan kelompok pembaharuan. Menurut Rahman, al-Dahlawi termasuk dalam
kelompok revitalis pra-modernis, yaitu kelompok yang mengembankan
pembaharuan namun penafsirannya masih literal-tekstual. Oleh karena ketiadaan
data yang original, maka penulis kesulitan mencari untuk bisa membuktikan atau
membantah pernyataan Rahman. Meskipun demikian, penulis berasumsi,
pengkategorisasian penafsiran al-Dahlawi literal-tekstual disebabkan oleh
keterbatasan metode. Artinya al-Dahlawi menggunakan asbab al-nuzul ‘ammah namun
hanya sebatas menelaah sosio-historis tanpa mengkaji ideal moralnya dan tanpa
adanya upaya untuk mengkontekstualisasikan.
Jauh sebelum
al-Dahlawi, teori ini juga pernah dikemukakan oleh Syatibi, merupakan
salah seorang ahli ushul fiqh, yang terkenal dengan teori “maqasid
al-syari’ah”.[39][39]
Selain kedua tokoh
muslim tersebut, Double movement Fazlur Rahman juga dipengaruhi oleh
hermeneutika Hans Georg Gadamer, sebab dalam teori Gadamer subjektivis adalah pra
pemahaman (Wirkungsgeschichte) yang ada pada diri pembaca teks. Artinya ketika
seorang membaca teks terlebih dahulu dipengaruhi oleh pra-pemahaman
(Wirkungsgeschichte) dan ini harus ada pada seseorang agar mampu mendialogkan
teks, sebab tanpa adanya pra pemahaman tidaka akan mampu mendialogkan teks
dengan baik. Ini menunjukkan bahwa pembaca mempunyai horizon tersendiri, begitu
juga dengan sebuah teks mempunyai horizon tersendiri. Untuk mendapatkan
pesan-pesan teks secara objektif, pembaca harus membatasi horizonnya sendiri
dan lebih mengutamakan horizon teks dengan mengkaji historis dimana teks
tersebut muncul. Di sinilah pertemuan antara subjektifitas dengan objektivitas,
dimana horizon teks lebih di utamakan.
Pentingnya mengetahui
historis teks disebabkan kondisi sosial teks jauh berbeda dengan pembaca, baik
ekonomi, sosial, dan kemasyarakatan.[40][40]
Dalam teori double
movement, pra-pemahamn (Wirkungsgeschichte) adalah sosial melingkupi si
penafsir, seperti yang disebut dalam langkah yang pertama, yaitu “dari masa
sekarang” atau situasi dan kondisi yang elingkupi penafsir. Oleh karena
pra-pemahaman mendahulu pada diri penafsir, maka untuk mengungkap pesan-pesan
teks supaya objektif, penafsir dituntut untuk meninggal pra pemahaman dengan
mengutamakan teks dengan menyalami historisitas di mana munculnya teks. Di sini
Rahman juga memandang bahwa teks mempunyai konteks tersendiri, maka untuk
menafsir dan memahami teks di perlukan kajian setting-sosial di mana
teks tersebut muncul. Dalam tahap aplikasi Rahman juga tidak menggunakan makna
literal teks tapi ideal moral dari teks tersebut.
Dari penjelasan di
atas, jelas sekali pengaruh hermeneutika Gadamer dalam teori double movement
Rahman, maka oleh sebab itu double movement dapat dikategorikan
dalam hermeneutika subjektifitas-objektifitas. Meskipun keterpengaruhan itu
tidak diakui oleh Rahman. Menurut Rahman, Gadamer adalah tokoh hermeneutika
subjektif yang tidak ketulungan.[41][41]
D. KONSEP METAFISIKA
AL-QUR’AN MENURUT FAZLUR RAHMAN
1. TUHAN
Sebuah pertanyaan
pertama yang perlu kita utarakan adalah: mengapa kita harus memepercayai adanya
Tuhan? Mengapa kita tidak membiarkan alam beserta berbagai proses dan segala
isinya berdiri sendiri tanpa perlu meyakini adanya yang lebih tinggi dari pada
alam, yang hanya merumitkan realitas serta memberatkan akal pikiran dan jiwa
manusia? Al-Qur’an mengatakan keyakinan kepada yang lebih tinggi dari pada alam
itu sebagai “keyakinan dan kesadarann terhadap yang gaib” (2:3; 5:94; 21:49;
35:18; 36:11; 50:33; 57:25; 67:12).[42][42]
Pembahasan Rahman
tentang Tuhan meniscayakan pembahasan tentang makhluk-Nya, terutama manusia dan
alam semesta. Ada keterkaitan logis di dalamnya lantaran ketika sebagian orang
memahami konsep-konsep ini secara tidak utuh maka misinterpretasi akan terjadi.
Misinterpretasi ini pulalah yang melatarbelakangi rumusan Rahman dalam hal ini.
Rumusan ketuhanan Rahman hendak merespons interpretasi Barat dan Muslim
sendiri. Pertama, terhadap interpretasi Barat. Banyak diantara mereka
menggambarkan ketuhanan al-Qur’an sebagai suatu konsentrasi kekuatan semata,
bahkan sebagai kekuatan yang kejam: sosok “raja zalim”. Kedua, terhadap
interpretasi kalangan ulama: (a) kaum Mu’tazilah dan Asy’ariyah telah mereduksi
makna perhubungan Tuhan dan manusia. Muktazilah memberi peran yang sangat besar
kepada manusia dan menyangkal peran Tuhan sehingga manusia tampak benar-benar
“bertanggung jawab”, sedang Asy’ariyyah memandang manusiantidak memiliki
kekuatan sama sekali, sehingga Allah tampak tetap sebagai “Yang Maha Kuasa”;
(b) kalangan sufi ortodoks telah menganut konsep Panteisme, paham bahwa semua
adalah Tuhan.
Untuk melihat jawaban
Rahman atas kritisismenya, terlebih dahulu dipaparkan bahwa berbagai argumen
yang biasanya dipakai para filsuf untuk membuktikn adanya Tuhan (ontologis,
kosmologis, teleologis, dan moral) tidak direspek Rahman. Sebab menurutnya
Al-Qur’an sudah sedemikian gamblang menyeruka pada manusia agar senantiasa
beriman kepada Tuhan (lihat misalnya QS. Al-Maidah [5]: 94; Al-Anbiya [21]: 49;
Fathir [35]: 18; Yasin [36]:11; Qaf [50]: 33; Al-Hadid [57]: 25). Upaya kaum
filsuf dan teolog untuk membuktikan adanya Tuhan dengan cara memaparkan
bukti-bukti teologis yang panjang tidaklah diperlukan. Yang diperlukan adalah
bagaimana membuat manusia beriman dengan mengalihkan perhatiannya kepada
berbagai fakta yang jelas dan mengubah fakta-fakta itu menjadi hal-hal yang
mengingatkan mereka kepada eksistensi Tuhan, konsepsi ini pulalah yanng
selanjutnya mendasari al-Qur’an untuk menamakan dirinya sebagai “sebuah peringatan”.
Dalam konteks ini, ada
tiga hal yang sering ditekankan al-Qur’an sebagai upaya pemberian peringatan
kepada manusia: (a) segala sesuatu selain Tuhan tergantung kepada Tuhan, (b)
Tuhan adalah Maha Pengasih, dan (c) aspek-aspek ini mensyaratkan hubungan yang
tepat antar Tuhan dan manusia, hubungan yang dipertuan dan hamba-Nya, yang pada
akhirnya mengkonsekuensikan hubungan yang tepat pula diantara sesama manusia.
Pertanyaan mengapa
Tuhan diperlukan, jawabannya adalah karena manusia ataupun alam bergantung
kepada Tuhan. Sesuatu yang tergantung, tidak dapat dibayangkan tanpa adanya
tempat ia bergantung. Sebagai ciptaan Tuhan, alam semesta adalah sebuah
struktur yang kokoh dan terpadu tanpa celah dan retak, yang bekerja menurut
hukumnya sendiri yang bersumber dari Tuhan. Alam semesta bersifat otonom, tapi
tidak otokratis karena dala dirinya tidak ada jaminan terhadap eksistensinya
sendiri, dan karena ia tidak dapat menerangkan dirinya sendiri, ketergantugkan
itu diperlukan.
Ketergantungan dua
makhluk ini jelas berbeda, sebab manusia memiliki akal. Manusia dibebankan
tanggung jawab. Karena itu dalam proses ketergantungannya, mabusia
diperintahkan untuk merenungi darimana dan bagaimana alam semesta ini. Bila
oerintah ini dipenuhi, manusia akan menemui Tuhan. Pernyataan ini bukan
merupakan bukti terhadap eksistensi Tuhan, karena menurut al-Qur’an: jika
engkau tidak menemui Tuhan, maka engkau tidak dapat membuktikan eksistensi-Nya
(selanjutnya lihat QS. Al-Naahl [16]:9)
Maka konsep relativisik
yang enafikan kebenaran mutlak ditolak oleh Rahman. Sebab walaupun ada
pernyataan al-Qur’an bahwa semua jalan yang ditempuh manusia tidak dapat
menunjukkan kebenaran tentang Tuhan, tapi ada sebuah jalan lurus yag mengakhiri
persoalan ini, yaitu jalan enuju Tuhan, sementara jalan lain adalah menyimpang.
Untuk itu, manusia dianjurkan selalu merenungi penciptaan-Nya. Implikasi yang
dicapai dari proses perenunngan ini, manusia akan memperoleh pemahaman,
sehingga eksistensi Tuhan tidak lagi diyakini sebagai sesuatu yang tidak masuk
akal, tetapi berubah menjadi Kebenaran Tertinggi. Perubahab inilah yang menurut
Rahman sebagai tujuan al-Qur’an. Dan bila tidak tercapai, akan menjadi suatu
kesia-siaan. Agar tercapai tujuan tersebut, manusia harus mendengarkan seruan
al-Qur’an.[43][43]
2. ESKATOLOGI
Eskatologi adalah
doktrin tentang akhirat, sebuah doktrin yang membahas tentang keyakinan yang
berhubungan dengan kejadian-kejadian akhir hidup manusia.[44][44]
Terma-terma al-Qur’an
yang standar mengenai akibat amal perbuatan manusia bukanlah keselamatan dan
kutukan tetapi keberhasilan (falah) dan kegagalan (khusron), baik
di dunia maupun di akhirat nanti.
Itulah sebabnya
al-Qur’an terus menerus menyerukan agar manusia “mengirimkan sesuatu untuk masa
mendatang (59:18), karena apapun juga yang menimpa adalah hasil perbuatannya
terdahulu. Al-Qur’an aca kali mengatakan bahwa bila bencana menimpa diri
seseorang karena apa-apa “yang telah dipersiapkan oleh tangannya sendiri”, maka
ia akan mengalami frustasi (misalnya lihat yat-ayat 2:95; 3:182; 4:92; 5:80;
8:51; 18:57; 22:10; 28:47; sehubungan dengan akhirat secara eksklusif lihat
ayat-ayat 2:95; 62:7; 78:40; 82:5). Sesungguhnya esensi “akhirat” adalah
“akhir” kehidupan akibat jangka panjang dari amal perbuatan manusia di atas
dunia.
Catatan amal perbuatan
manusia yang akan berbicara (23:62; 45:29) dan tak dapat disangkal itu cukup
merupakan bukti yang membela atau mencelakakan dirinya. Selain itu: Di saat
tersebut akal pikiran kita diketahui oleh semua orang, kita tidak dapat
menyembunyikannya, bahkan kuburan-kuburab akan mengeluarkan isinya (100: 9-10).
Dab anggota-anggota tubuh lita akan berbicara dengan sendirinya (41:19-24).[45][45]
E.
CONTOH HERMENEUTIKA AL-QUR’AN FAZLUR RAHMAN
Gagasan hermeneutika
al-Qur’an Rahman merupakan suatu tawaran yang menarik, ketika kita mencoba
mencermati dan mengaitkannya dengan persoalan kontemporer. Sebagai contohnya
adalah ayat yang membicarakan tentang poligami.[46][46]
Langkah awal, penulis mencoba memahami makna poligami dalam al-Qur’an
dengan menelaah bagaimana al-Qur’am merespon realitas poligami pada saat itu.
Kemudian, respon al-Qur’an di generalisir dan dinyatakan sebagai pernyataan
yang mempunyai tujuan-tujuan moral sosial yang umum (prinsip-prinsip umum,
nilai-nilai dan tujuan jangka panjang) yang dapat “disaring” dari ayat-ayat
spesifik yang berkaitan dengan latar belakang sosio-historis dan ratio legis
yang sering diungkapkan. Dari prinsip-prinsip umum tersebut kita bawa pada era
sekarang, kita analisa persamaan dan perbedaannya untuk dapat diformulasikan
hukum yang tepat dan mampu menjawab hingar bingar poligami yang menimbulkan
polemik pro dan kontra.[47][47]
وَإِنْ خِفْتُمْ أَلا
تُقْسِطُوا فِي الْيَتَامَى فَانْكِحُوا مَا طَابَ لَكُمْ مِنَ النِّسَاءِ مَثْنَى
وَثُلاثَ وَرُبَاعَ فَإِنْ خِفْتُمْ أَلا تَعْدِلُوا فَوَاحِدَةً أَوْ مَا
مَلَكَتْ أَيْمَانُكُمْ ذَلِكَ أَدْنَى أَلا تَعُولُوا
Ayat tersebut turun
sebagai respon terhadap perilaku para wali dari anak yatim, baik laki-laki
ataupun perempuan yang sering menyelewengkan harta kekayaan mereka. Kemudian al-Qur’an
menyerukan agar mereka (para wali) tidak menyelewengkan harta kekayaan itu, dan
mereka boleh mengawini (perempuan yatim) sampai empat orang diantara mereka,
asalkan mereka dapat berlaku adil. Seruan ini juga didukung oleh Q.S al-Nisa’
(4): 127.[48][48]
Pernyataan diatas
dengan melihat asbab al-nuzul-nya menunjukkan bahwa masalah ini muncul
dlam konteks perempuan-perempuan yatim. Tapi kemudian al-Qur’an juga
mengatakan: “Betapapun kalian menginginkannya, namun kalian tidak akan dapat
berlaku adil kepada perempuan-perempuan tersebut” (4:129).[49][49]
Tampaknya ada sebuah
kontradiksi di antara izin untuk beristri sapai empat orang (aspek legal) dan
keharusan untuk berlaku adil kepada mereka (ajaran moral al-Qur’an) itu dengan
pernyataan tegas bahwa keadilan terhadap isteri-isteri tersebut adalah
mustahil.[50][50]
Tampaknya memang benar
bahwa izin berpoligami itu adalah taraf legal atau hukum, sementara
sanksi-sanksi yang diberikan kepadanya pada hakekatnya adalah ideal moral yang
ahrus diperjuangkan masyarakat --sebuah cita-cita moral yang mana masyarakat
diharapkan bergerak kearahnya--,karena poligami itu tidak dapat dihilangkan
dengan begitu saja.[51][51]
Tampaknya demikianlah
prosedur yang biasa terjadi di dalam perbuatan hukum yang berdasarkan
al-Qur’an. Secara garis besarnya, setiap pernyataan yang legal atau quasi-legal
disertai oleh sebuah ratio legis yang menjelaskan mengapa sebuah hukum
dinyatakan. Untuk dapat memahami sebuah ratio legis secara sempurna pertama sekali
kita harus mempelajari latar belakang sosio-historis (yang oleh
komentator-komentator al-Qur’an dikatakan sebagai “alasan-alasan penurunan
wahyu”). Ratio legis merupakan inti, sedang legislasi yang aktual merupakan
perwujudannya asalkan tepat dan benar merealisasikan ratio legis tersebut; Jika
tidak demikian maka hukum tersebut harus diubah. Jika situasi berubah
sedemikian rupa sehingga hukum tidak lagi mencerminkan ratio legis tersebut,
maka hukum tersebut pun harus diubah. Tetapi walaupun mengetahui ratio legis
tersebut, ahli-ahli hukum tradisional Muslim umumya mempertahankan hukum yang
harfiah dan mereka menegaskan sebuah prinsip bahwa “walaupun sebuah hukum
terjadi karena situasi yang spesifik tetapi aplikasinya adalah universal”.[52][52]
BAB III
PENUTUP
Fazlur Rahman adalah
tokoh pemikir dari Pakistan yang mempunyai kepiyawaian berfikir dan
intelektualnya.
Melihat para mufassir
klasik yang masih menginterpretasikan al-Qur’an yang sebagian besar masih
terkungkung dengan penginterpretasian yang menurutnya sudah tidak relevan di
era sekarang ini, karena banyak konsep-konsep islam yang sulit di aplikasikan
atau banyak masalah jika diformulasikan untuk menjawab problem-problem yang
terjadi dewasa ini.
Fazlur Rahman mengusungkan metode hermeneutiknya
yaitu double movement, Gerakan Ganda. Karena menurutnya metide ini dapat
menjawab problem-problem masyarakat yang sedang terjadi.
Metode double
movement, Gerakan Ganda, adalah model penafsiran al-Qur’an yang menggunakan
langkah pemahaman al-Qur’an dari situasi sekarang ini menuju ke situasi dimana
al-Qur’an diturunkan, kemudian kembali ke masa sekarang guna mengaplikasiakan
dan formulasikan dengan apa yang terjadi di situasi yang sedang terjadi.
Dengan digunakannya
metode yang di usung oleh Fazlur Rahman ini, diharapkan agar Manusia dapat
menggunakan al-Qur’an sebagaiman mestinya, yakni menjadiak al-Qur’an sebagai
sumber hukum yang relevan dimasa sekarang ini.
Wallahu a’lam
bishshowab......
DAFTAR PUSTAKA
Amal, Taufik Adnan . 1989. Islam dan Tantangan Modernitas Studi atas
Pemikiran Hukum Fazlur Rahman, Bandung: Mizan.
Kurdi dkk, 2010. Hermeneutika al-Qur’an dan Hadits.
Yogyakarta: eLSAQ Press.
Mas’adi, Ghufron A. 1998. Metodologi Pembaharuan Hukum Islam, Jakarta:
PT Raja Grafindo Persada.
Rahman, Fazlur.
1996. Major Themes of the Qur’an, Terj. Anas Mahyuddin, Bandung: Pustaka.
Rahman, Fazlur. 1995. Islam & Modernity,
Transformation Of An Intellectual Tradition. Terj. Ahsin Mohammad. Bandung:
Ganesha.
Rodiah Dkk. 2010.
Studi al-Qur’an metode dan konsep. Yogyakarta: eLSAQ press.
Sibawaihi, 2007. Hermeneutika Alquran Fazlur
Rahman. Bandung: Jalasutra.
0 Response to "hermeneutiknya Fazlur Rahman "
Posting Komentar