TEORI EMANASI AL FARABI
TEORI EMANASI AL FARABI
Muhammad
ibn Muhammad ibn Tharhkan ibn Uzlagh Al Farabi merupakan filosof Islam
pertama yang sangat sistematis dalam membangun dasar-dasar
Neoplatonisme.[1] Berdasarkan tentang salah satu teori yang dimilikinya yaitu tentang teori emanasi. Teori
emanasi (pemancaran) Al Farabi ini titik pusatnya adalah hubungan Ilahi
dan hubungan kausalnya dengan alam duniawi dan menjadi doktrin dua
karya utama neoplatonik.[2] Teori ini menempati bagian penting dalam filsafat muslim. Teori ini menerangkan
dua dunia, yaitu langit dan bumi dan menafsirkan gejala gerakan dua
perubahan, serta merupakan dasar fisika dan astronomi. Selain itu, teori
ini juga membahas tentang keluarnya sesuatu wujud yang mumkin (alam
makhluk) dari zat yang mesti adanya, yaitu Tuhan (Zat yang wajibul
wujud). Bidang utama pemecahannya masalah Yang Esa (Satu) dan yang banyak (plural), dan pembandingan antara yang tetap dan yang berubah. Menurut Al Farabi Yang Esa adalah
Tuhan, Ada dengan sendiri-Nya dan tidak memerlukan yang lain bagi
ada-Nya atau keperluan-Nya. Mampu mengetahui diri-Nya Sendiri, sangat
unik, tidak ada yang sama dengan-Nya, dan tidak memiliki perlawanan atau
persamaan.[3]
Teori
ini sebenarnya terdapat pula dalam paham Neo-Platonisme. Perbedaan
antara keduanya terletak pada uraian Al Farabi yang ilmiah. Menurut
teori emanasi dari Al Farabi disebutkan bahwa Tuhan itu Esa. Karena itu
yang keluar daripada-Nya juga satu wujud saja, sebab emanasi itu timbul
karena pengetahuan (ilmu) Tuhan terhadap zat-Nya yang satu.[4]
Al Farabi berpendapat bahwa dari Yang Esalah memancar yang lain. Wujud
pertama yang keluar dari Tuhan disebut Akal Pertama, yang mengandung dua
segi. Pertama segi hakikatnya sendiri (tabi’at, wahiyya) yaitu
wujud yang mumkin. Kedua segi lain, yaitu wujudnya yang nyata dan yang
terjadi karena adanya Tuhan sebagai zat yang menjadikannya. Jadi,
sekalipun akal pertama tersebut satu (tunggal), namun pada dirinya
terdapat bagian-bagian yaitu adanya dua segi tersebut yang menjadi obyek
pemikirannya. Dengan adanya segi-segi ini, maka dapat dibenarkan adanya
bilangan pada alam sejak dari Akal Pertama.
Akal
pertama ini mungkin dengan sendirinya dan satu-dalam-dirinya. Dari
sinilah kemudian Al Farabi memulai langkah pertama ke arah pelipatan.
Dari pemikiran oleh akal pertama Yang Esa, lahirlah akal-akal lain,
yaitu memancarlah materi dan bentuk ‘langit pertama’, sebab setiap sphere mempunyai
bentuk sendiri, yaitu ruhnya. Beginilah rantai pemancaran berlangsung
sehingga melengkapi sepuluh akal, sembilan lingkungan dan sembilan ruh
mereka, dan akal kesepuluh dan terakhir adalah yang mengatur dunia fana
ini. Dari pemikiran Akal Pertama yang dalam kedudukannya sebagai wujud
yang wajib (yang nyata) karena Tuhan dan sebagai wujud yang mengetahui
dirinya, maka keluarlah Akal Kedua. Dari pemikiran Akal Pertama dalam
kedudukannya sebagai wujud yang mukin dan mengetahui dirinya, maka
timbullah langit pertama atau benda lanjut terjauh (as-sama al-ula atau al-falak al-a’la)
dengan jiwanya sama sekali (jiwa langit tersebut). Jadi, dari dua obyek
pengetahuan, yaitu dirinya dan wujudnya yang mumkin keluarlah dua macam
makhluk tersebut, yaitu bendanya benda langit dan jiwanya.
Dari Akal Kedua timbullah Akal Ketiga dan langit kedua atau bintang-bintang tetap (al-kawakib ats-tsabitah)
beserta jiwa dengan cara yang sama seperti yang terjadi pada Akal
Pertama. Dari Akal Ketiga keluarlah Akal Keempat dan planet Saturnus (Zuhal) juga beserta jiwanya. Dari Akal Keempat keluarlah Akal Kelima dan planet Yupiter (al-Musytara) beserta jiwanya. Dari Akal Kelima keluarlah Akal Keenam dan planet Mars (Mariiah) beserta jiwanya. Dari Akal Keenam keluarlah Akal Ketujuh dan matahari (as-Syams) beserta jiwanya. Dari Akal Ketujuah keluarlah Akal Kedelapan dan planet Venus (az-Zuharah) juga beserta jiwanya. Dari Akal Kedelapan keluarlah Akal Kesembilan dan planet Merkurius (‘Utarid) beserta jiwanya pula. Dari Akal Kesembilan keluarlah Akal Kesepuluh dan Bulan (Qamar).
Dari Akal Kesepuluh keluarlah manusia beserta jiwanya. Bersamaan dengan
timbulnya akal kesepuluh yang berwenang untuk mengatur alam fana, maka
sempurnalah proses emanasi. Dengan demikian dari satu akal keluarlah
satu akal dan satu planet beserta jiwanya.[5]
Jumlah
akal ada sepuluh, terdiri atas akal pertama dan sembilan akal planet
dan lingkungan. Jumlah akal dibataskan ada sepuluh, karena disesuaikan
dengan bintang yang berjumlah sembilan, di mana untuk tiap-tiap akal
diperlukan satu planet pula, kecuali akal pertama yang tidak disertai
sesuatu planet ketika keluar dari Tuhan. Akal-akal
dan ruh-ruh ini merupakan susunan hirarkis. Akal pertama dalam hirarki
yaitu yang paling tinggi, kemudian ruh-ruh lingkungan dan lingkungan itu
sendiri. Susunan terakhir yaitu bumi dan dunia materi. Setiap
lingkungan mempunyai akal dan ruh yang merupakan asal gerak. Akal
kesepuluh mengatur hal-hal yang berkaitan dengan bumi. Ruh adalah
penggerak lingkungan, tetapi ia memperoleh kekuatan dari akal. Ia
bergerak sesuai dengan kehendak akal dan menuju kesempurnaan dengan
menggerakkan lingkungannya.
Susunan
terakhir dari teori emanasi adalah bumi dan dunia materi. Dalam bumi
dan dunia materi ini muncul benda-benda mati yang mengalami kelahiran
dan kerusakan. Benda-benda ini merupakan komposisi dari materi dan
bentuk. Benda-benda fisik bermula dari yang paling rendah sampai yang
paling tinggi secara menyempurna dan evolusioner. Dari materi primer,
yaitu empat elemen kehidupan (api, air, udara, dan tanah) menjelma.
Kemudian, elemen kehidupan itu mengendap sebagai mineral, lantas meriap
sebagai tetumbuhan dan meregang sebagai hewan sehingga pada puncaknya
terwujudlah manusia.[6]
Orang Yunani Kuno berpendapat bahwa segala yang bercorak langit adalah
suci, sedangkan agama Islam sendiri menerangkan bahwa langit adalah
kiblat salat, sumber wahyu, dan tujuan akhir mi’raj. Segala yang ada di
langit adalah suci dan tersucikan. Dari sinilah Al Farabi menyesuaikan
ajaran agama dan filsafat.
Demikianlah,
maka jumlah akal ada sepuluh, sembilan di antaranya untuk mengurus
benda-benda langit yang sembilan dan akal kesepuluh yaitu Akal Bulan
mengawasi dan mengurangi kehidupan di bumi. Akal-akal tersebut tidak
berbeda, tetapi merupakan pikiran selamanya. Kalau pada Tuhan, yaitu
wujud yang pertama, hanya terdapat satu obyek pemikiran, yaitu Zat-Nya
maka pada akal-akal tersebut terdapat dua obyek pemikiran, yaitu Tuhan
Zat yang wajibul-wujud dan diri akal-akal itu sendiri.[7]
Kesimpulan-kesimpulan
Al Farabi tentang fisika berhubungan erat dengan teori-teori tentang
astronomi. Dari akal kesepuluh lahirlah materi-materi utama atau hyle dan bentuk-bentuk berlainan yang menyatu dengan hyle untuk
membentuk wadag. Dunia bumi hanyalah serangkaian aneka bentuk berlainan
yang menyatu dengan materi atau terpisah darinya. Sedangkan gerak
matahari menghasilkan panas dan dingin yang perlu bagi perubahan. Semua
akal yang terpisah menghasilkan gerak yang bermanfaat bagi dunia bumi.
Di sini berbaur dengan kosmologi dan dunia bumi diatur oleh dunia
langit.
Al Farabi melalui ajaran teori emansi ini memecahakan masalah garak dan perubahan. Beliau menggunakan teori ini pula ketika memecahakan masalah Yang Esa dan yang banyak dan
dalam memadukan teori materi Aristoteles dengan ajaran Islam tentang
penciptaan. Materi itu tua, setua teori akal sepuluh, tetapi ia tercipta
karena ia memancar dari akal agen. Untuk mengukuhkan ke-Esaan Tuhan, Al
Farabi memilih menengahi akal sepuluh ini antara Tuhan dan dunia bumi.
Beberapa
unsur teori emansi dapat dilacak pada sumber asal mereka yang
berbeda-beda. Aspek astronominya identik sekali dengan penafsiran
Aristoteles tentang gerak lingkungan. Teori pemancaran diperoleh dari
Plotinus dan aliran Alexandria, tetapi secara keseluruhan hal itu
merupakan suatu teori Al Farabi yang ditulis dan diformulasikan untuk
menunjukkan kesatuan kebenaran dan metodenya tentang pengelompokan dan
sintesis. Al Farabi memadukan Plato, Aristoteles, filsafat, dan agama.
Teori ini berhasil baik di kalangan filosof timur dan barat abad
pertengahan.[8]
[2] A. A. Akfan Miladi Elbiksi. 2006. Pergeseran Paradigma Filsafat Islam Klasik menuju Filsafat Islam Kontemporer. (http://www.yahoo.almustawa/253.htm, diakses 22 Maret 2009).
0 Response to "TEORI EMANASI AL FARABI "
Posting Komentar