Makalah Islam & Multikultural
BAB I
PENDAHULUAN
Multikulturalisme merupakan
tantangan utama yang dihadapi oleh agama-agama di dunia sekarang ini, mengingat
setiap agama sesungguhnya muncul dari lingkungan keagamaan dan kebudayaan yang
plural. Indonesia
merupakan salah satu negara di dunia yang sangat prularis dan bahkan
multikulturalis sebab negeri ini terdiri atas berbagai etnis, bahasa, agama, budaya, kultur dan lain
sebagainya. Keragaman kultur tersebut dirumuskan dalam bentuk semboyan
“Bhinneka Tunggal Ika” yang artinya sekalipun berbeda-beda tetapi tetap satu.
Masyarakat yang multikulturalis sudah pasti memiliki
budaya, aspirasi dan perbedaan-perbedaan yang beraneka ragam, namun mereka
tetap sama, tidak ada yang merasa paling hebat atau paling kuat dari yang lain.
Mereka juga memiliki hak dan kewajiban yang sama baik dalam bidang sosial
maupun politik. Namun akibat dari perbedaan-perbedaan tersebut, tidak menutup
kemungkinan atau bahkan sering menimbulkan pro dan kontra di antara sesama
mereka, yang pada dapat menimbulkan terjadinya konflik baik antar etnis maupun
antar agama.
Diantara factor pemicu konflik dalam multikulturalisme
adalah perbedaan agama, sebab agama adalah merupakan sesuatu yang paling asasi
dalam diri seseorang dan paling mudah menimbulkan gejolak emosional. Sejarah
mencatat bahwa konflik-konflik yang terjadi di Indonesia pada dasarnya bukanlah
disebabkan oleh agama saja, melainkan disebabkan oleh faktor-faktor sosial, ekonomi dan politik, namun agama
dijadikan sebagai simbol bahkan sebagai motor penggerak untuk terjadinya
konflik antar ummat beragama.
BAB II
ISLAM DAN MULTIKULTURALISME
A.
Pengertian
Kata kebudayaan berasal dari
sansekerta, budhaiyah ialah berntuk jamak dari buddhi yang
berarti budi atau akal. Kebudayaan atau kulture adalah segala hasil dari
segala cipta karsa dan rasa.[1]
Menurut DR. M. Hatta, kebudayaan
adalah ciptaan hidup dari suatu bangsa. Dari definisi di atas dapat disimpulkan
bahwa kebudayan adalah keseluruhan sistem gagasan, tindakan dan hasil cipta,
karsa dan rasa manusia untuk memenuhi kebutuhan kehidupannya dengan cara
belajar, yang semua tersusun dalam kehidupan masyarakat. Sedangkan menurut E.B. Taylor (Bapak
Antropologi Budaya) mendefinikan Budaya sebagai : ”Keseluruhan Kompleks yang
meliputi pengetahuan, kepercayaan, seni, moral, hukum, adat istiadat, dan
kemampuan-kemampuan atau kebiasaan-kebiasaan lain yang diperoleh
anggota-anggota suatu masyarakat”.[2]
Multikulturalisme adalah keberanekaragaman dari budaya yang ada di suatu
negara.
Undang-undang Dasar memberikan
kebebasan dalam beragama, dan pemerintah pada umumnya menghargai pemakaian hak
ini. Tidak ada perubahan dalam status penghargaan pemerintah terhadap kebebasan
beragama selama periode pembuatan laporan, dan kebijakan pemerintah kian
memberikan kebebasan secara umum dalam beragama. Namun, saat sebagian besar
penduduk menikmati tingkat kebebasan beragama yang tinggi, pemerintah hanya mengakui
enam agama besar. Beberapa larangan hukum terus berlaku pada beberapa jenis
kegiatan keagamaan tertentu dan pada agama-agama yang tidak diakui.
Beberapa larangan Pemerintah terkadang
memberikan toleransi terhadap diskriminasi dan perlakuan kejam atas kelompok-kelompok
agama yang dilakukan oleh kelompok-kelompok individu dan seringkali gagal
menghukum para pelakunya. Sementara itu, Aceh adalah satu-satunya propinsi yang
diberikan wewenang untuk melaksanakan hukum Islam (Syariah), beberapa
pemerintah daerah di luar Aceh mengeluarkan peraturan daerah yang melaksanakan
elemen-elemen Syariah yang menghapuskan hak-hak para perempuan dan agama
minoritas. Pemerintah tidak menggunakan wewenang konstitusionalnya atas
masalah-masalah agama untuk meninjau atau membatalkan peraturan-peraturan
daerah ini. Orang-orang dari kelompok-kelompok agama minoritas dan atheis terus
mengalami diskriminasi dari negara, seringkali dalam konteks pencatatan sipil
untuk pernikahan dan kelahiran atau berkenaan dengan pengeluaran kartu
identitas. [3]
Dari gambaran tersebut di
atas, setidaknya dapat dilihat bagaimana sebenarnya perbedaan kultutalisme
dengan multikulturalisme. Dr. Turnomo
Rahardjo membedakan keduanya sebagai berikut :[4]
a.
Kulturalisme
a)
Bertujuan
mengembangkan interdependensi pada aspek-aspek pragmatis dan instrumental dalam
kontak antarbudaya.
b)
Memberikan
penekanan pada pemeliharaan identitas kultural
c)
Mengkombinasikan
pendekatan etic (memperoleh data) dan pendekatan emic (mendapatkan
data) dalam pertukaran antarbudaya.
b.
Multikulturalisme
a)
Bertujuan
mempertahankan dan mentransmisikan budaya yang tidak dapat diubah oleh
kekuatan-kekuatan relasional maupun eksternal.
b)
Berusaha
memelihara identitas kultural dengan segala konsekuensinya.
c)
Merupakan
proses emic (mendapatkan data) karena mensyaratkan pemeliharaan terhadap
keberadaan setiap budaya.
B. Islam Multikultural
Multikulturalisme adalah kesediaan
menerima kelompok lain secara sama sebagai kesatuan, tanpa mempedulikan
perbedaan budaya, etnik, jender, bahasa, ataupun agama.[5] Dalam konteks
tersebut, memperbincangkan diskursus Islam multikultural di Indonesia
menemukan momentumnya. Sebab, selama ini Islam secara realitas seringkali
ditafsirkan tunggal bukan jamak atau multikultural.
Padahal, di
Nusantara realitas Islam multikultural sangat kental, baik secara
sosio-historis maupun glokal (global-lokal). Secara lokal, misalnya, Islam di
nusantara dibagi oleh Clifford Geertz dalam trikotomi: santri, abangan dan
priyayi; atau dalam perspektif dikotomi Deliar Noer, yaitu Islam tradisional
dan modern; dan masih banyak lagi pandangan lain seperti liberal, fundamental,
moderat, radikal dan sebagainya.
Secara
sosio-historis, hadirnya Islam di Indonesia juga tidak bisa lepas dari konteks
multikultural sebagaimana yang bisa dibaca dalam sejarah masuknya Islam ke
Nusantara yang dibawa oleh Walisongo. Selanjutnya, menjadikan Islam multikultural
sebagai topik atau wacana masih menarik dan perlu disebar-luaskan. Hal ini
setidaknya karena tiga alasan.
Pertama, situasi
dan kondisi konflik. Di tengah-tengah keadaan yang sering konflik, Islam
multikultural menghendaki terwujudnya masyarakat Islam yang cinta damai,
harmonis dan toleran. Karenanya, cita-cita untuk menciptakan dan mendorong
terwujudnya situasi dan kondisi yang damai, tertib dan harmonis menjadi agenda
penting bagi masyarakat dunia, termasuk Indonesia. Di tanah air, kasus
konflik sosial di Poso, Ambon, Papua dan
daerah lain merupakan pekerjaan rumah yang harus segera diselesaikan bersama.
Kedua, realitas
yang bhinneka. Ke-bhinneka-an agama, etnis, suku, dan bahasa menjadi keharusan
untuk disikapi oleh semua pihak, terutama umat Islam di Indonesia. Sebab,
tanggung jawab sosial bukan hanya ada pada pemerintah tapi juga umat beragama.
Dengan lain kata, damai-konfliknya masyarakat juga bergantung pada kontribusi
penciptaan suasana damai oleh umat beragama, termasuk kaum Muslimin di negeri
ini. Robert N. Bellah, sosiolog agama dari Amerika serikat, mengatakan bahwa
melalui Nabi Muhammad SAW di Jazirah Arab, Islam telah menjadi peradaban multikultural
yang amat besar, dahsyat dan mengagumkan hingga melampaui kebesaran negeri
lahirnya Islam sendiri, yaitu Jazirah Arab. Pada konteks ini, toleransi dan
sikap saling menghargai karena perbedaan agama, sebagaimana diungkap Wilfred
Cantwell Smith, perlu terus dijaga dan dibudayakan.
Ketiga, norma
agama. Sebagai sebuah ajaran luhur tentu agama menjadi dasar yang kuat bagi
kaum agamawan pada umumnya untuk membuat kondisi agar tidak carut-marut. Dalam
hal ini, tafsir agama diharapkan bukan semata-mata mendasarkan pada teks,
tetapi juga konteks agar maksud teks bisa ditangkap sesuai makna zaman.
Perdebatan antara aliran ta`aqqully yang mendasarkan pada kekuatan rasio/akal
dan aliran ta`abbudy yang menyandarkan pada aspek teks telah diwakili oleh dua
aliran besar, yaitu Mu`tazilah dan Asy`ariyah, bisa menjadi pelajaran masa lalu
yang amat menarik.
C.
Hikmah dan Tujuan
Multikulturalisme
Hikmah dan tujuan-tujuan
multikulturalisme dapat dilihat dari ajaran-ajaran agama Islam yang termuat
dalam Al-Qur’an, antara lain adalah sebagai berikut,
- Sebagai simbol atau tanda kebesaran Tuhan
"Dan diantara tanda - tanda kekuasaannya adalah
dia menciptakan kamu dari tanah, kemudian tiba - tiba kamu ( menjadi ) manusia
yang berkembangbiak". (Q.S. Ar. Rum : 20)
- Sebagai sarana berinteraksi dan berkomunikasi antara sesama ummat manusia
"hai manusia, sesungguhnya kamu dari seorang
laki - laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa - bangsa dan
bersuku - suku supaya kamu saling kenal - mengenal. Sesungguhnya orang yang
paling mulia diantara kamu di sisi Allah adalah orang yang paling bertakwa di
antara kamu. Sesungguuhnya Allah maha mengetahui lagi maha mengenal". (Q.S. Al-Hujurat : 13)
- Sebagai ujian dan sarana manusia dalam berlomba menuju kebaikan dan prestasi
"…untuk tiap - tiap umat diantara kamu, kami
berikan aturan dan jalan yang terang. Sekiranya Allah menghendaki, niscaya kamu
dijadikannya satu uma (saja), tetapi Allah hendak menguji kamu terhadap
pemberiannya kepadamu, maka berlomba - lombalah berbuat kebajikan hanya kepada
Allah-lah kembali kamu semuanya, lalu diberitahukannya kepadamku apa yang telah
kamu perselisihkan itu". (Q.S. Al-Maidah :
48);
- Sebagai motivasi beriman dan beramal sholeh
"dan ( ingatlah ), ketika musa memohon air untuk
kaumnya, lalu Allah berfirman: "pukullah batu itu dengan tongkatmu."
Lalu memancarlah daripadanya dua belas mata air. Sungguh tiap - tiap suku telah
mengetahui tempat minumnya masing - masing makan dan minumlah rezeki (yang
diberikan) Allah, dan janganlah kamu berkeliaran di muka bumi dengan berbuat
kerusakan". (Q.S. Al-Baqarah : 60).
Multikulturalisme sangat penting dan
menarik untuk diulas lebih detail karena dilatarbrlakangi oleh pemikiran bahwa
:
1.
Perlunya sosialisasi bahwa pada
dasarnya semua agama datang untuk mengajarkan dan menyebarkan damai dan
perdamaian dalam kehidupan ummat manusia.
2.
Wacana agama yang toleran dan
inklusiv merupakan bagian tak terpisahkan dari ajaran agama itu sendiri, sebab
multi kultur, semangat toleransi dan inklusivisme adalah hukum Tuhan atau
Sunnatullah yang tidak bisa diubah, dihalang-halangi dan ditutup-tutupi.
3.
Adanya kesenjangan yang jauh
antara cita-cita ideal agama-agama dan realitas empirik kehidupan ummat
beragama di tengah masyarakat.
4.
Semakin menguatnya
kecenderungan eksklusivisme dan intoleransi di sebagian ummat beragama yang
pada gilirannya memicu terjadinya konflik dan permusuhan yang berlabel agama.
5.
Perlu dicari upaya-upaya untuk
mengatasi masalah-masalah yang berkaitan dengan kerukunan dan perdamaian antar
ummat beragama.
Multikulturalisme merupakan salah
satu ajaran Tuhan yang sangat berguna dan bermanfaat bagi ummat manusia dalam
rangka untuk mencapai kehidupan yang damai di muka bumi, hanya saja prinsip-prinsip multikulturalisme
itu sering tercemari oleh perilaku-perilaku radikalisme, eksklusivisme,
intoleransi dan bahkan “fundamentalisme”. Hal ini dapat diatasi apabila kita
bisa menjadikan iman dan taqwa berfungsi dalam kehidupan yang nyata bagi bangsa
dan negara.
Bila iman dan taqwa itu telah
berfungsi dalam kehidupan kita masing-masing dan agama telah berfungsi dalam
kehidupan masyarakat , berbangsa dan bernegara, maka perilaku-perilaku
radikalisme, ekseklusivisme, intoleransi dan “fundamentalisme” akan terhindar
dari diri ummat beragama dan kita akan menjalani hidup yang demokratis yang
penuh dengan kebersamaan dan persaudaraan. Dengan demikian akan tercipta
keharmonisan hidup berbangsa dan bernegara dan terhindar dari konflik-konflik
yang bernuansa agama.
D.
Keanekaragaman Dalam
Islam
Dalam
tulisannya yang berjudul Islam dan Multikulturalisme, Samsul Rizal Panggabean memberikan gambaran mengenai pandangan
Islam tentang Multikulturalisme. Rizal membahas multikulturalisme dalam dua arah
pembicaraan, yaitu : multikulturalisme dari komunitas Muslim (Multikulturalisme
Internal) dan komunitas agama-agama lain (Multikulturalisme Eksternal).[6]
a) Multikulturalisme Internal
Multikultuiralisme
Internal adalah keanekaragaman internal dikalangan umat Islam, ini menunjukkan
bahwa kebudayaan Islam itu majemuk secara internal. Dalam hal ini, kebudayaan
Islam serupa dengan kebudayaan-kebudayaan lainnya kecuali kebudayaan yang
paling primitif.
Kemajemukan internal ini mencakup antara lain :
Bidang pengelompokan sosial; Bidang fiqh; Bidang teologi, Bidang tasawuf dan
dimasa modern seperti politik kepartaian.
b) Multikulturalisme Eksternal
Multikultural
eksternal ditandai dengan pluralitas komunal-keagamaan, merupakan fakta yang
tidak dapat dihindari dalam kehidupan masyarakat Muslim.
Lebih dari itu, multikulturalisme juga menjadi semangat, sikap,
dan pendekatan terhadap keanekaragaman budaya dan agama.
Sebagai bagian dari
kondisi yang majemuk, umat Islam terus berinteraksi dengan umat dari
agama-agama lain. Melalui proses interaksi ini, umat Islam memperkaya dan
diperkaya tradisi keagamaan lain, dan umat agama lain memperkaya dan diperkaya
tradisi keagamaan Islam.
E. Faktor-faktor yang Menyebabkan Terjadinya
Konflik
Multikulturalisme
di suatu Negara khususnya di Indonesia dapat menimbulkan konflik apabila antara
budaya yang satu dengan yang lainnya tidak ada rasa kebersamaan dalam segala
hal. Faktor pemicunya yaitu sebagai berikut :
1.
Faktor ekonomi dan politik.
Faktor ini sangat dominan sebab terjadinya kerusuhan sosial di
berbagai daerah pada negeri ini adalah disebabkan ketidakpuasan kalangan
masyarakat terhadap terjadinya kesenjangan sosial yang sangat tajam antara si
kaya dengan si miskin, antara pejabat dengan rakyat jelata, antara ABRI dengan
sipil, antara majikan dengan buruh, antara pengusaha besar dengan pedagang
kecil, sebagai akibat dari
kebijakan-kebijakan pemerintah dalam bidang sosial, politik dan ekonomi
yang tidak memihak kepada rakyat kecil. Ketidakpuasan tersebut diwujudkan dalam
bentuk protes-protes sosial yang mengakibatkan terjadinya kerusuhan sosial,
ditambah lagi dengan agama yang menopang untuk membolehkan aksi-aksi tersebut.
2.
Faktor agama itu sendiri yang meliputi :
a.
Pendirian Rumah Ibadah yang
tidak didirikan atas dasar pertimbangan situasi dan kondisi ummat beragama
serta peraturan perundang-undangan yang berlaku.
b.
Penyiaran Agama yang dilakukan
secara berlebihan dan memaksakan kehendak bahwa agamanyalah yang paling benar,
sedangkan agama lain adalah salah. Lebih berbahaya lagi manakala penyiaran
agama itu sasaran utamanya adalah penganut agama tertentu.
c.
Bantuan Luar Negeri baik berupa
materi maupun berupa tenaga ahli yang tidak mengikuti ketentuan yang berlaku,
apalagi sering terjadi manipulasi bantuan keagamaan dari luar negeri.
d.
Perkawinan Berbeda Agama yang
sekalipun pada mulanya adalah urusan peribadi dan keluarga, namun bisa menyeret
kelompok ummat beragama dalam satu hubungan yang tidak harmonis, apalagi jika
menyangkut akibat hukum perkawinan, harta benda perkawinan, warisan dan
sebagainya.
e.
Perayaan Hari Besar Keagamaan
yang kurang memperhatikan situasi, kondisi, toleransi dan lokasi tempat
pelaksanaan perayaan itu. Apalagi perayaan itu dilakukan besar-besaran dan menyinggung perasaan.
f.
Penodaan Agama dalam bentuk
pelecehan atau menodai doktrin dan keyakinan suatu agama tertentu baik
dilakukan oleh perorangan maupun kelompok. Penodaan agama ini paling sering
memicu terjadinya konflik antar ummat beragama.
g.
Kegiatan Aliran Sempalan, baik
dilakukan perorangan maupun oleh kelompok yang didasarkan atas sebuah keyakinan
terhadap agama tertentu namun menyimpang dari ajaran agama pokoknya.
3.
Faktor lokalitas dan
etnisitas. Faktor ini terutama muncul sebagai
akibat dari migrasi penduduk, baik dari desa ke kota maupun antar pulau. Selanjutnya masalah
etnisitas, Indonesia
memiliki potensi disintegratif yang tinggi sebab terdiri dari 300 kelompok
etnis yang berbeda-beda dan berbicara lebih dari 250 bahasa. Faktor ini akan
menjadi pemicu dengan menguatnya
etnisitas seperti penduduk asli atau putra daerah dan pendatang yang
dengan mudah dapat menyulut perbedaan-perbedaan yang tak jarang berujung pada
konflik, bahkan kerusuhan sosial.
Ketiga faktor tersebut akan dapat
diatasi dengan meningkatkan semangat pluralisme dan multikulturalisme yang
dasar-dasarnya terdapat dalam
ajaran-ajaran agama yang hidup dan berkembang di negeri ini. Apalagi
seperti kata ahli sosiologi Durkheim, agama ibarat “Lem Perekat” yang mengikat
warga masyarakat supaya berada dalam kebersamaan, persatuan dan kesatuan.
F.
Masalah Lingkungan
Budaya
Tentang adanya kaitan antara kondisi
geografis, dan iklim suatu daerah dengan watak penghuninya telah lama menjadi
kajian sarjana muslim. Menurut Ibnu Khaldun dalam bukunya Mukodimah, membagi
bola bumi menjadi tujuh daerah klimatologis dengan pengaruhnya masing-masing
dalam watak para penghuninya. Ia memaparkan tentang pengaruh keadaan udara
suatu daerah terhadap akhlak serta tingkah laku orang-orang setempat.
Faktor pengaruh kultural terwujud
dalam bentuk pengaruh budaya Arab dan budaya Persia merupakan suatu ungkapan
yang diterima secara umum bahwa kaum muslim sendiri mampu membedakan antara
yang benar-benar Islam universal dan Arab yang lokal.
Ada kemungkinan
akulturasi timbal balik antara Islam dan budaya lokal yang diakui dalam suatu
kaidah atau ketentuan dasar ilmu ushul fiqih bahwa “ada adalah syariat yang
di hukumkan”. Artinya adat dan kebiasaan suatu masyarakat, yaitu budaya
lokalnya adalah sumbur hukum dalam Islam. Asalkan unsur-unsur budaya lokal
tersebut minimal tidak bertentangan dengan prinsip – prinsip Islam, unsur yang
bertentangan dengan prinsip Islam dengan sendirinya harus di hilangkan.
G.
Multikulturalisme Dalam
Perspektif Ekonomi
Layaknya penjelasan hubungan antara
agama dan ilmu, ekonomi yang diyakini sebagai salah satu cabang ilmu secara
otomatis tidak dapat dipisahkan dengan agama. Terlebih lagi Al-Quran dan
As-sunnah sebagai sumber hukum dari semua perkara memberikan porsi yang cukup
besar dalam membahas berbagai hal yang berkaitan dengan ekonomi. Bahkan
prinsip, metodologi dan hukum pengaturan perekonomian dalam Islam tidak bisa
dipisahkan dengan Islam sebagai agama.
Islam merupakan nilai atau sistem koprehensif
yang mampu mengatur secara baik semua aktifitas hidup dan kehidupan manusia. Perbedaan
letak geografis dan iklim disuatu daerah menyebabkan pula adanya perbedaan cara
dalam melakukan kegiatan ekonomi. Seperti halnya dibeberapa daerah terpencil di
Indonesia
masih menggunakan sistem barter atau tukar barang dalam kegiatan ekonominya.
Sistem tersebut oleh pemerintah
dibolehkan atau tidak dilarang karena merupakan suatu adat atau kebudayaan yang
masih melekat pada masyarakat di daerah tersebut. Seperti halnya yang diakui
dalam suatu kaidah atau ketentuan dasar dalam ilmu ushul al-Fiqh, bahwa adat
kebiasaan bisa dijadikan suatu hukum bagi masyarakat tersebut selama adat atau
budaya tersebut tidak bertentangan dengan nilai – nilai Islam. Artinya Islam
memiliki fleksibilitas dalam penerapan hukum yaitu disesuaikan dengan situasi
kondisi kultur budaya pada daerah tertentu, termasuk di Indonesia yang memiliki beragam
budaya dengan semboyan “Bhineka Tunggal Ika” yang artinya meskipun berbeda-beda
namun tetap satu jua. Seperti halnya perbedaan mata uang antar negara yang
disebabkan tingkat kesejahteraan ekonomi yang berbeda pula, namun semua
perbedaan itu tidak menghambat jalannya transaksi ekonomi antar negara.
Keberanekaragaman budaya menimbulkan keanekaragaman pula dalam kegiatan
ekonomi.
KESIMPULAN
Negara
dan agama sudah seharusnya tetap menjalin komunikasi dan sinergi dalam
mengelola realitas multikultural di negeri ini. Komunikasi merupakan jalan
dialog sebagai upaya saling mengenal dan memahami maksud-tujuan eksistensi dan
relasi agama-negara. Hal itu juga merupakan sinergi sebagai gerakan bersama
dalam mewujudkan cita-cita masyarakat berkeadilan dan berkesetaraan, sesuai
visi UUD 1945 dan Pancasila.
Akhirnya,
gagasan Islam multikultural menghendaki kesediaan menerima perbedaan lain
(others), baik perbedaan kelompok, aliran, etnis, suku, budaya dan agama. Lebih
dari sekadar merayakan perbedaan (more than celebrate multiculturalism), Islam
multikultural juga mendorong sinergi untuk menciptakan tatanan masyarakat yang
adil, damai, toleran, harmonis dan sejahtera. Pertanyaan akhir sebagai penutup
tulisan ini adalah, beranikah kita ber-Islam secara multikultural?
Sesuai
dengan pembahasan di atas dapat di simpulkan secara garis besar bahwa Islam
bersifat fleksibel dalam berbagai budaya asalkan masih dalam koridor prinsip –
prinsip Islam yang benar.
DAFTAR PUSTAKA
·
Majid Nurcholish, Islam
Dokrin dan Peradaban. Yayasan Wakaf Paramadina. Jakarta. 1992
·
Notowidagdo Rohiman, Ilmu
Budaya Dasar Berdasarkan Al-Quran dan Hadist. PT. Raja Grafindo Persada. Jakarta. 1996
·
P.J. Zoetmulder, dalam bukunya cultuur,
dikutip Prof. DR. Koentjaraningrat, dalam Pengantar Antopologi (Aksara
Bru); Jakarta: cet. V, 1982
0 Response to "Makalah Islam & Multikultural"
Posting Komentar