Sejarah Gerakan Mahasiswa
Gerakan Mahasiswa Indonesia
Boedi Oetomo, adalah suatu wadah perjuangan yang pertama kali memiliki struktur pengorganisasian modern. Didirikan di Jakarta, 20 Mei 1908
oleh pemuda-pelajar-mahasiswa dari lembaga pendidikan STOVIA, wadah ini
merupakan refleksi sikap kritis dan keresahan intelektual terlepas dari
primordialisme Jawa yang ditampilkannya.
Pada konggres yang pertama di Yogyakarta,
tanggal 5 Oktober 1908 menetapkan tujuan perkumpulan : Kemajuan yang
selaras buat negeri dan bangsa, terutama dengan memajukan pengajaran,
pertanian, peternakan dan dagang, teknik dan industri, serta kebudayaan.
Dalam 5 tahun permulaan Budi Oetomo sebagai perkumpulan, tempat
keinginan-keinginan bergerak maju dapat dikeluarkan, tempat kebaktian
terhadap bangsa dinyatakan, mempunyai kedudukan monopoli dan oleh karena
itu BU maju pesat, tercatat akhir tahun 1909 telah mempunyai 40 cabang
dengan lk.10.000 anggota.
Disamping itu, para mahasiswa Indonesia yang sedang belajar di Belanda, salah satunya Mohammad Hatta yang saat itu sedang belajar di Nederland Handelshogeschool di Rotterdam mendirikan Indische Vereeninging
yang kemudian berubah nama menjadi Indonesische Vereeninging tahun
1922, disesuaikan dengan perkembangan dari pusat kegiatan diskusi
menjadi wadah yang berorientasi politik dengan jelas. Dan terakhir untuk
lebih mempertegas identitas nasionalisme yang diperjuangkan, organisasi
ini kembali berganti nama baru menjadi Perhimpunan Indonesia, tahun 1925.
Berdirinya Indische Vereeninging dan organisasi-organisasi lain,seperti: Indische Partij yang melontarkan propaganda kemerdekaan Indonesia, Sarekat Islam, dan Muhammadiyah yang beraliran nasionalis demokratis dengan dasar agama, Indische Sociaal Democratische Vereeninging (ISDV) yang berhaluan Marxisme,
menambah jumlah haluan dan cita-cita terutama ke arah politik. Hal ini
di satu sisi membantu perjuangan rakyat Indonesia, tetapi di sisi lain
sangat melemahkan BU karena banyak orang kemudian memandang BU terlalu
lembek oleh karena hanya menuju "kemajuan yang selaras" dan terlalu
sempit keanggotaannya (hanya untuk daerah yang berkebudayaan Jawa)
meninggalkan BU. Oleh karena cita-cita dan pemandangan umum berubah ke
arah politik, BU juga akhirnya terpaksa terjun ke lapangan politik.
Kehadiran Boedi Oetomo,Indische Vereeninging, dll pada masa itu
merupakan suatu episode sejarah yang menandai munculnya sebuah angkatan
pembaharu dengan kaum terpelajar dan mahasiswa sebagai aktor
terdepannya, yang pertama dalam sejarah Indonesia : generasi 1908,
dengan misi utamanya menumbuhkan kesadaran kebangsaan dan hak-hak
kemanusiaan dikalangan rakyat Indonesia untuk memperoleh kemerdekaan,
dan mendorong semangat rakyat melalui penerangan-penerangan pendidikan
yang mereka berikan, untuk berjuang membebaskan diri dari penindasan
kolonialisme.
1928
Pada pertengahan 1923, serombongan mahasiswa yang bergabung dalam
Indonesische Vereeninging (nantinya berubah menjadi Perhimpunan
Indonesia) kembali ke tanah air. Kecewa dengan perkembangan
kekuatan-kekuatan perjuangan di Indonesia, dan melihat situasi politik
yang di hadapi, mereka membentuk kelompok studi yang dikenal amat
berpengaruh, karena keaktifannya dalam diskursus kebangsaan saat itu.
Pertama, adalah Kelompok Studi Indonesia (Indonesische Studie-club) yang dibentuk di Surabaya pada tanggal 29 Oktober 1924 oleh Soetomo. Kedua, Kelompok Studi Umum (Algemeene Studie-club) direalisasikan oleh para nasionalis dan mahasiswa Sekolah Tinggi Teknik di Bandung yang dimotori oleh Soekarno pada tanggal 11 Juli 1925.
Diinspirasi oleh pembentukan Kelompok Studi Surabaya dan Bandung, menyusul kemudian Perhimpunan Pelajar Pelajar Indonesia
(PPPI), prototipe organisasi yang menghimpun seluruh elemen gerakan
mahasiswa yang bersifat kebangsaan tahun 1926, Kelompok Studi St.
Bellarmius yang menjadi wadah mahasiswa Katolik, Cristelijke Studenten
Vereninging (CSV) bagi mahasiswa Kristen, dan Studenten Islam
Studie-club (SIS) bagi mahasiswa Islam pada tahun 1930-an.
Dari kebangkitan kaum terpelajar, mahasiswa, intelektual, dan aktivis
pemuda itulah, munculnya generasi baru pemuda Indonesia yang
memunculkan Sumpah Pemuda
pada tanggal 28 Oktober 1928. Sumpah Pemuda dicetuskan melalui Konggres
Pemuda II yang berlangsung di Jakarta pada 26-28 Oktober 1928, dimotori
oleh PPPI.
1945
Dalam perkembangan berikutnya, dari dinamika pergerakan nasional yang
ditandai dengan kehadiran kelompok-kelompok studi, dan akibat pengaruh
sikap penguasa Belanda yang menjadi Liberal, muncul kebutuhan baru untuk
menjadi partai politik, terutama dengan tujuan memperoleh basis massa
yang luas. Kelompok Studi Indonesia berubah menjadi Partai Bangsa Indonesia (PBI), sedangkan Kelompok Studi Umum menjadi Perserikatan Nasional Indonesia (PNI).
Secara umum kondisi pendidikan maupun kehidupan politik pada zaman
pemerintahan Jepang jauh lebih represif dibandingkan dengan kolonial
Belanda, antara lain dengan melakukan pelarangan terhadap segala
kegiatan yang berbau politik; dan hal ini ditindak lanjuti dengan
membubarkan segala organisasi pelajar dan mahasiswa, termasuk partai
politik, serta insiden kecil di Sekolah Tinggi Kedokteran Jakarta yang
mengakibatkan mahasiswa dipecat dan dipenjarakan.
Praktis, akibat kondisi yang vacuum tersebut, maka mahasiswa
kebanyakan akhirnya memilih untuk lebih mengarahkan kegiatan dengan
berkumpul dan berdiskusi, bersama para pemuda lainnya terutama di
asrama-asrama. Tiga asrama yang terkenal dalam sejarah, berperan besar
dalam melahirkan sejumlah tokoh, adalah Asrama Menteng Raya, Asrama
Cikini, dan Asrama Kebon Sirih. Tokoh-tokoh inilah yang nantinya menjadi
cikal bakal generasi 1945, yang menentukan kehidupan bangsa.
Salah satu peran angkatan muda 1945 yang bersejarah, dalam kasus gerakan kelompok bawah tanah yang antara lain dipimpin oleh Chairul Saleh dan Soekarni
saat itu, yang terpaksa menculik dan mendesak Soekarno dan Hatta agar
secepatnya memproklamirkan kemerdekaan, peristiwa ini dikenal kemudian
dengan peristiwa Rengasdengklok.
1966
Sejak kemerdekaan, muncul kebutuhan akan aliansi antara kelompok-kelompok mahasiswa, di antaranya Perserikatan Perhimpunan Mahasiswa Indonesia (PPMI), yang dibentuk melalui Kongres Mahasiswa yang pertama di Malang tahun 1947.
Selanjutnya, dalam masa Demokrasi Liberal (1950-1959), seiring dengan
penerapan sistem kepartaian yang majemuk saat itu, organisasi mahasiswa
ekstra kampus kebanyakan merupakan organisasi dibawah partai-partai
politik. Misalnya, GMKI Gerakan Mahasiswa kristen Indonesia, PMKRI Perhimpunan Mahasiswa Katholik Republik Indonesia dengan Partai Katholik,Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (GMNI) dekat dengan PNI, Concentrasi Gerakan Mahasiswa Indonesia (CGMI) dekat dengan PKI, Gerakan Mahasiswa Sosialis Indonesia (Gemsos) dengan PSI, Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) berafiliasi dengan Partai NU, Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) dengan Masyumi, dan lain-lain.
Di antara organisasi mahasiswa pada masa itu, CGMI lebih menonjol
setelah PKI tampil sebagai salah satu partai kuat hasil Pemilu 1955.
CGMI secara berani menjalankan politik konfrontasi dengan organisasi
mahasiswa lainnya, bahkan lebih jauh berusaha memengaruhi PPMI,
kenyataan ini menyebabkan perseteruan sengit antara CGMI dengan HMI dan,
terutama dipicu karena banyaknya jabatan kepengurusan dalam PPMI yang
direbut dan diduduki oleh CGMI dan juga GMNI-khususnya setelah Konggres V
tahun 1961.
Mahasiswa membentuk Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia (KAMI) tanggal
25 Oktober 1966 yang merupakan hasil kesepakatan sejumlah organisasi
yang berhasil dipertemukan oleh Menteri Perguruan Tinggi dan Ilmu
Pendidikan (PTIP) Mayjen dr. Syarief Thayeb, yakni PMKRI,
HMI,PMII,Gerakan Mahasiswa Kristen Indonesia (GMKI), Sekretariat Bersama
Organisasi-organisasi Lokal (SOMAL), Mahasiswa Pancasila (Mapancas),
dan Ikatan Pers Mahasiswa (IPMI). Tujuan pendiriannya, terutama agar
para aktivis mahasiswa dalam melancarkan perlawanan terhadap PKI menjadi
lebih terkoordinasi dan memiliki kepemimpinan.
Munculnya KAMI diikuti berbagai aksi lainnya, seperti Kesatuan Aksi
Pelajar Indonesia (KAPI), Kesatuan Aksi Pemuda Pelajar Indonesia
(KAPPI), Kesatuan Aksi Sarjana Indonesia (KASI), dan lain-lain.
Pada tahun 1965 dan 1966, pemuda dan mahasiswa Indonesia banyak terlibat dalam perjuangan yang ikut mendirikan Orde Baru.
Gerakan ini dikenal dengan istilah Angkatan '66, yang menjadi awal
kebangkitan gerakan mahasiswa secara nasional, sementara sebelumnya
gerakan-gerakan mahasiswa masih bersifat kedaerahan. Tokoh-tokoh
mahasiswa saat itu adalah mereka yang kemudian berada pada lingkar
kekuasaan Orde Baru, di antaranya Cosmas Batubara (Eks Ketua Presidium KAMI Pusat), Sofyan Wanandi, Yusuf Wanandi ketiganya dari PMKRI,Akbar Tanjung dari HMI dll. Angkatan '66 mengangkat isu Komunis
sebagai bahaya laten negara. Gerakan ini berhasil membangun kepercayaan
masyarakat untuk mendukung mahasiswa menentang Komunis yang ditukangi
oleh PKI (Partai Komunis Indonesia). Setelah Orde Lama
berakhir, aktivis Angkatan '66 pun mendapat hadiah yaitu dengan banyak
yang duduk di kursi DPR/MPR serta diangkat dalam kabibet pemerintahan
Orde Baru.
1974
Realitas berbeda yang dihadapi antara gerakan mahasiswa 1966 dan
1974, adalah bahwa jika generasi 1966 memiliki hubungan yang erat dengan
kekuatan militer, untuk generasi 1974 yang dialami adalah konfrontasi
dengan militer.
Sebelum gerakan mahasiswa 1974 meledak, bahkan sebelum menginjak awal
1970-an, sebenarnya para mahasiswa telah melancarkan berbagai kritik
dan koreksi terhadap praktek kekuasaan rezim Orde Baru, seperti:
- Golput yang menentang pelaksanaan pemilu pertama pada masa Orde Baru pada 1972 karena Golkar dinilai curang.
- Gerakan menentang pembangunan Taman Mini Indonesia Indah pada 1972 yang menggusur banyak rakyat kecil yang tinggal di lokasi tersebut.
Diawali dengan reaksi terhadap kenaikan harga Bahan Bakar Minyak
(BBM), aksi protes lainnya yang paling mengemuka disuarakan mahasiswa
adalah tuntutan pemberantasan korupsi. Lahirlah, selanjutnya apa yang
disebut gerakan "Mahasiswa Menggugat" yang dimotori Arif Budiman yang progaram utamanya adalah aksi pengecaman terhadap kenaikan BBM, dan korupsi.
Menyusul aksi-aksi lain dalam skala yang lebih luas, pada 1970 pemuda
dan mahasiswa kemudian mengambil inisiatif dengan membentuk Komite Anti
Korupsi (KAK) yang diketuai oleh Wilopo.
Terbentuknya KAK ini dapat dilihat merupakan reaksi kekecewaan
mahasiswa terhadap tim-tim khusus yang disponsori pemerintah, mulai dari
Tim Pemberantasan Korupsi (TPK), Task Force UI sampai Komisi Empat.
Berbagai borok pembangunan dan demoralisasi perilaku kekuasaan rezim
Orde Baru terus mencuat. Menjelang Pemilu 1971, pemerintah Orde Baru
telah melakukan berbagai cara dalam bentuk rekayasa politik, untuk
mempertahankan dan memapankan status quo dengan mengkooptasi
kekuatan-kekuatan politik masyarakat antara lain melalui bentuk
perundang-undangan. Misalnya, melalui undang-undang yang mengatur
tentang pemilu, partai politik, dan MPR/DPR/DPRD.
Muncul berbagai pernyataan sikap ketidakpercayaan dari kalangan
masyarakat maupun mahasiswa terhadap sembilan partai politik dan
Golongan Karya sebagai pembawa aspirasi rakyat. Sebagai bentuk protes
akibat kekecewaan, mereka mendorang munculnya Deklarasi Golongan Putih (Golput) pada tanggal 28 Mei 1971 yang dimotori oleh Arif Budiman, Adnan Buyung Nasution, Asmara Nababan.
Dalam tahun 1972, mahasiswa jtyang bernama aji uga telah melancarkan
berbagai protes terhadap pemborosan anggaran negara yang digunakan untuk
proyek-proyek eksklusif yang dinilai tidak mendesak dalam
pembangunan,misalnya terhadap proyek pembangunan Taman Mini Indonesia Indah (TMII) di saat Indonesia haus akan bantuan luar negeri.
Protes terus berlanjut. Tahun 1972, dengan isu harga beras naik,
berikutnya tahun 1973 selalu diwarnai dengan isu korupsi sampai dengan
meletusnya demonstrasi memprotes PM Jepang Kakuei Tanaka yang datang ke Indonesia dan peristiwa Malari pada 15 Januari 1974.
Gerakan mahasiswa di Jakarta meneriakan isu "ganyang korupsi" sebagai
salah satu tuntutan "Tritura Baru" disamping dua tuntutan lainnya
Bubarkan Asisten Pribadi dan Turunkan Harga; sebuah versi terakhir
Tritura yang muncul setelah versi koran Mahasiswa Indonesia di Bandung
sebelumnya. Gerakan ini berbuntut dihapuskannya jabatan Asisten Pribadi Presiden.
1977-1978
Setelah peristiwa Malari, hingga tahun 1975 dan 1976, berita tentang
aksi protes mahasiswa nyaris sepi. Mahasiswa disibukkan dengan berbagai
kegiatan kampus disamping kuliah sebagain kegiatan rutin, dihiasi dengan
aktivitas kerja sosial, Kuliah Kerja Nyata (KKN), Dies Natalis, acara
penerimaan mahasiswa baru, dan wisuda sarjana. Meskipun disana-sini aksi
protes kecil tetap ada.
Menjelang dan terutama saat-saat antara sebelum dan setelah Pemilu
1977, barulah muncul kembali pergolakan mahasiswa yang berskala masif.
Berbagai masalah penyimpangan politik diangkat sebagai isu, misalnya
soal pemilu mulai dari pelaksanaan kampanye, sampai penusukan tanda
gambar, pola rekruitmen anggota legislatif, pemilihan gubernur dan
bupati di daerah-daerah, strategi dan hakekat pembangunan, sampai dengan
tema-tema kecil lainnya yang bersifat lokal. Gerakan ini juga
mengkritik strategi pembangunan dan kepemimpinan nasional.
Awalnya, pemerintah berusaha untuk melakukan pendekatan terhadap
mahasiswa, maka pada tanggal 24 Juli 1977 dibentuklah Tim Dialog
Pemerintah yang akan berkampanye di berbagai perguruan tinggi. Namun,
upaya tim ini ditolak oleh mahasiswa. Pada periode ini terjadinya
pendudukan militer atas kampus-kampus karena mahasiswa dianggap telah
melakukan pembangkangan politik, penyebab lain adalah karena gerakan
mahasiswa 1978 lebih banyak berkonsentrasi dalam melakukan aksi
diwilayah kampus. Karena gerakan mahasiswa tidak terpancing keluar
kampus untuk menghindari peristiwa tahun 1974, maka akhirnya mereka
diserbu militer dengan cara yang brutal. Hal ini kemudian diikuti oleh
dihapuskannya Dewan Mahasiswa dan diterapkannya kebijakan NKK/BKK di seluruh Indonesia.
Soeharto terpilih untuk ketiga kalinya dan tuntutan mahasiswa pun
tidak membuahkan hasil. Meski demikian, perjuangan gerakan mahasiswa
1978 telah meletakkan sebuah dasar sejarah, yakni tumbuhnya keberanian
mahasiswa untuk menyatakan sikap terbuka untuk menggugat bahkan menolak
kepemimpinan nasional.
Gerakan bersifat nasional namun tertutup dalam kampus, Oktober 1977
Gerakan mahasiswa tahun 1977/1978 ini tidak hanya berporos di Jakarta
dan Bandung saja namun meluas secara nasional meliputi kampus-kampus di
kota Surabaya, Medan, Bogor, Ujungpandang (sekarang Makassar), dan Palembang. [1]
28 Oktober 1977, delapan ribu anak muda menyemut di depan kampus ITB.
Mereka berikrar satu suara, "Turunkan Suharto!". Besoknya, semua yang
berteriak, raib ditelan terali besi. Kampus segera berstatus darurat
perang. Namun, sekejap kembali tentram.[2]
Peringatan Hari Pahlawan 10 November 1977, berkumpulnya mahasiswa kembali
10 November 1977, di Surabaya dipenuhi tiga ribu jiwa muda. Setelah peristiwa di ITB pada Oktober 1977, giliran Kampus ITS
Baliwerti beraksi. Dengan semangat pahlawan, berbagai pimpinan
mahasiswa se-Jawa hadir memperingati hari Pahlawan 1977. Seribu
mahasiswa berkumpul, kemudian berjalan kaki dari Baliwerti menuju Tugu
Pahlawan.
Sejak pertemuan 28 Oktober di Bandung, ITS didaulat menjadi pusat
konsentrasi gerakan di front timur. Hari pahlawan dianggap cocok
membangkitkan nurani yang hilang. Kemudian disepakati pusat pertemuan
nasional pimpinan mahasiswa di Surabaya.
Sementara di kota-kota lain, peringatan hari Pahlawan juga semarak.
Di Jakarta, 6000 mahasiswa berjalan kaki lima kilometer dari Rawamangun
(kampus IKIP) menuju Salemba (kampus UI), membentangkan spanduk,"Padamu
Pahlawan Kami Mengadu". Juga dengan pengawalan ketat tentara.
Acara hari itu, berwarna sajak puisi serta hentak orasi. Suasana
haru-biru, mulai membuat gerah. Beberapa batalyon tempur sudah
ditempatkan mengitari kampus-kampus Surabaya. Sepanjang jalan ditutup,
mahasiswa tak boleh merapat pada rakyat. Aksi mereka dibungkam dengan
cerdik.
Konsolidasi berlangsung terus. Tuntutan agar Soeharto turun masih
menggema jelas, menggegerkan semua pihak. Banyak korban akhirnya jatuh.
Termasuk media-media nasional yang ikut mengabarkan, dibubarkan paksa.
Pimpinan Dewan Mahasiswa (DM) ITS rutin berkontribusi pada tiap
pernyataan sikap secara nasional. Senat mahasiswa fakultas tak henti
mendorong dinamisasi ini. Mereka bergerak satu suara. Termasuk mendukung
Ikrar Mahasiswa 1977. Isinya hanya tiga poin namun berarti. "Kembali
pada Pancasila dan UUD 45, meminta pertanggungjawaban presiden, dan
bersumpah setia bersama rakyat menegakan kebenaran dan keadilan".[2]
Peringatan Tritura 10 Januari 1978, dihentikannya gerakan oleh penguasa
Peringatan 12 tahun Tritura, 10 Januari 1978, peringatan 12 tahun
Tritura itu jadi awal sekaligus akhir. Penguasa menganggap mahasiswa
sudah di luar toleransi. Dimulailah penyebaran benih-benih teror dan
pengekangan.
Sejak awal 1978, 200 aktivis mahasiswa ditahan tanpa sebab. Bukan
hanya dikurung, sebagian mereka diintimidasi lewat interogasi. Banyak
yang dipaksa mengaku pemberontak negara.
Tentara pun tidak sungkan lagi masuk kampus. Berikutnya, ITB
kedatangan pria loreng bersenjata. Rumah rektornya secara misterius
ditembaki orang tak dikenal.
Di UI, panser juga masuk kampus. Wajah mereka garang, lembaga
pendidikan sudah menjadi medan perang. Kemudian hari, dua rektor kampus
besar itu secara semena-mena dicopot dari jabatannya. Alasannya, terlalu
melindungi anak didiknya yang keras kepala.
Di ITS, delapan fungsionaris DM masuk "daftar dicari" Detasemen
Polisi Militer. Sepulang aksi dari Jakarta, di depan kos mereka sudah
ditunggui sekompi tentara. Rektor ITS waktu itu, Prof Mahmud Zaki,
ditekan langsung oleh Menteri Pendidikan dan Kebudayaan untuk segera
membubarkan aksi dan men-drop out para pelakunya. Sikap rektor seragam,
sebisa mungkin ia melindungi anak-anaknya.
Beberapa berhasil tertangkap, sisanya bergerilya dari satu rumah ke
rumah lain. Dalam proses tersebut, mahasiswa tetap "bergerak". Selama
masih ada wajah yang aman dari daftar, mereka tetap konsolidasi,
sembunyi-sembunyi. Pergolakan kampus masih panas, walau Para Rektor
berusaha menutupi, intelejen masih bisa membaca jelas.[2]
Era NKK/BKK
Setelah gerakan mahasiswa 1978, praktis tidak ada gerakan besar yang
dilakukan mahasiswa selama beberapa tahun akibat diberlakukannya konsep
Normalisasi Kehidupan Kampus/Badan Koordinasi Kemahasiswaan (NKK/BKK)
oleh pemerintah secara paksa.
Kebijakan NKK dilaksanakan berdasarkan SK No.0156/U/1978 sesaat setelah Dooed Yusuf dilantik tahun 1979.
Konsep ini mencoba mengarahkan mahasiswa hanya menuju pada jalur
kegiatan akademik, dan menjauhkan dari aktivitas politik karena dinilai
secara nyata dapat membahayakan posisi rezim. Menyusul pemberlakuan
konsep NKK, pemerintah dalam hal ini Pangkopkamtib Soedomo
melakukan pembekuan atas lembaga Dewan Mahasiswa, sebagai gantinya
pemerintah membentuk struktur keorganisasian baru yang disebut BKK.
Berdasarkan SK menteri P&K No.037/U/1979 kebijakan ini membahas
tentang Bentuk Susunan Lembaga Organisasi Kemahasiswaan di Lingkungan
Perguruan Tinggi, dan dimantapkan dengan penjelasan teknis melalui
Instruksi Dirjen Pendidikan Tinggi tahun 1978 tentang pokok-pokok
pelaksanaan penataan kembali lembaga kemahasiswaan di Perguruan Tinggi.
Kebijakan BKK itu secara implisif sebenarnya melarang dihidupkannya
kembali Dewan Mahasiswa, dan hanya mengijinkan pembentukan organisasi
mahasiswa tingkat fakultas (Senat Mahasiswa Fakultas-SMF) dan Badan
Perwakilan Mahasiswa Fakultas (BPMF). Namun hal yang terpenting dari SK
ini terutama pemberian wewenang kekuasaan kepada rektor dan pembantu
rektor untuk menentukan kegiatan mahasiswa, yang menurutnya sebagai
wujud tanggung jawab pembentukan, pengarahan, dan pengembangan lembaga
kemahasiswaan.
Dengan konsep NKK/BKK ini, maka peranan yang dimainkan organisasi
intra dan ekstra kampus dalam melakukan kerjasama dan transaksi
komunikasi politik menjadi lumpuh. Ditambah dengan munculnya UU
No.8/1985 tentang Organisasi Kemasyarakatan maka politik praktis semakin
tidak diminati oleh mahasiswa, karena sebagian Ormas bahkan menjadi
alat pemerintah atau golongan politik tertentu. Kondisi ini menimbulkan
generasi kampus yang apatis, sementara posisi rezim semakin kuat.
Sebagai alternatif terhadap suasana birokratis dan apolitis wadah
intra kampus, di awal-awal tahun 80-an muncul kelompok-kelompok studi
yang dianggap mungkin tidak tersentuh kekuasaan refresif penguasa. Dalam
perkembangannya eksistensi kelompok ini mulai digeser oleh kehadiran
wadah-wadah Lembaga Swadaya Masyarakat
(LSM) yang tumbuh subur pula sebagai alternatif gerakan mahasiswa.
Jalur perjuangan lain ditempuh oleh para aktivis mahasiswa dengan
memakai kendaraan lain untuk menghindari sikap represif pemerintah,
yaitu dengan meleburkan diri dan aktif di Organisasi kemahasiswaan ekstra kampus seperti HMI (himpunan mahasiswa islam), PMII (Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia), GMNI (Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia), PMKRI (Perhimpunan Mahasiswa Katolik Republik Indonesia), GMKI (Gerakan Mahasiswa Kristen Indonesia) atau yang lebih dikenal dengan kelompok Cipayung. Mereka juga membentuk kelompok-kelompok diskusi dan pers mahasiswa.
Beberapa kasus lokal yang disuarakan LSM dan komite aksi mahasiswa antara lain: kasus tanah waduk Kedung Ombo, Kacapiring, korupsi di Bapindo, penghapusan perjudian melalui Porkas/TSSB/SDSB.
1990
Memasuki awal tahun 1990-an, di bawah Mendikbud Fuad Hasan kebijakan
NKK/BKK dicabut dan sebagai gantinya keluar Pedoman Umum Organisasi
Kemahasiswaan (PUOK). Melalui PUOK ini ditetapkan bahwa organisasi
kemahasiswaan intra kampus yang diakui adalah Senat Mahasiswa Perguruan
Tinggi (SMPT), yang didalamnya terdiri dari Senat Mahasiswa Fakultas
(SMF) dan Unit Kegiatan Mahasiswa (UKM).
Dikalangan mahasiswa secara kelembagaan dan personal terjadi pro
kontra, menamggapi SK tersebut. Oleh mereka yang menerima, diakui konsep
ini memiliki sejumlah kelemahan namun dipercaya dapat menjadi basis
konsolidasi kekuatan gerakan mahasiswa. Argumen mahasiswa yang menolak
mengatakan, bahwa konsep SMPT tidak lain hanya semacam hiden agenda
untuk menarik mahasiswa ke kampus dan memotong kemungkinan aliansi
mahasiswa dengan kekuatan di luar kampus.
Dalam perkembangan kemudian, banyak timbul kekecewaan di berbagai
perguruan tinggi karena kegagalan konsep ini. Mahasiswa menuntut
organisasi kampus yang mandiri, bebas dari pengaruh korporatisasi negara
termasuk birokrasi kampus. Sehingga, tidaklah mengherankan bila
akhirnya berdiri Dewan Mahasiswa di UGM tahun 1994 yang kemudian diikuti
oleh berbagai perguruan tinggi di tanah air sebagai landasan bagi
pendirian model organisasi kemahasiswaan alternatif yang independen.
Dengan dihidupkannya model-model kelembagaan yang lebih independen,
meski tidak persis serupa dengan Dewan Mahasiswa yang pernah berjaya
sebelumnya upaya perjuangan mahasiswa untuk membangun kemandirian
melalui SMPT, menjadi awal kebangkitan kembali mahasiswa pada tahun
1990-an.
Gerakan yang menuntut kebebasan berpendapat dalam bentuk kebebasan akademik dan kebebasan mimbar akademik di dalam kampus pada 1987 - 1990
sehingga akhirnya demonstrasi bisa dilakukan mahasiswa di dalam kampus
perguruan tinggi. Saat itu demonstrasi di luar kampus termasuk
menyampaikan aspirasi dengan longmarch ke DPR/DPRD tetap terlarang.
1998
Gerakan 1998 menuntut reformasi dan dihapuskannya "KKN" (korupsi, kolusi dan nepotisme) pada 1997-1998, lewat pendudukan gedung DPR/MPR oleh ribuan mahasiswa, akhirnya memaksa Presiden Soeharto
melepaskan jabatannya. Berbagai tindakan represif yang menewaskan
aktivis mahasiswa dilakukan pemerintah untuk meredam gerakan ini di
antaranya: Peristiwa Cimanggis, Peristiwa Gejayan, Tragedi Trisakti, Tragedi Semanggi I dan II , Tragedi Lampung. Gerakan ini terus berlanjut hingga pemilu 1999.
0 Response to " Sejarah Gerakan Mahasiswa "
Posting Komentar