PEMBAGIAN KAFIR
Kāfir (bahasa Arab كافر kāfir; plural كفّار kuffār) secara harfiah berarti orang yang menyembunyikan atau mengingkari kebenaran
Orang kafir dalam syari’at Islam terbagi empat :
Pertama :
Kafir dzimmy, yaitu orang kafir yang membayar jizyah (upeti) yang
dipungut tiap tahun sebagai imbalan bolehnya mereka tinggal di negeri
kaum muslimin. Kafir seperti ini tidak boleh dibunuh selama ia masih
menaati peraturan-peraturan yang dikenakan kepada mereka.
Banyak dalil yang menunjukkan hal tersebut diantaranya firman Allah Al-‘Azîz Al-Hakîm :
“Perangilah
orang-orang yang tidak beriman kepada Allah dan tidak (pula) kepada
hari kemudian dan mereka tidak mengharamkan apa yang telah diharamkan
oleh Allah dan Rasul-Nya dan tidak beragama dengan agama yang benar
(agama Allah), (yaitu orang-orang) yang diberikan Al-Kitab kepada
mereka, sampai mereka membayar jizyah dengan patuh sedang mereka dalam
keadaan shôgirun (hina, rendah, patuh)”. (QS. At-Taubah : 29).
Dan dalam hadits Buraidah radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam bersabda,
كَانَ
رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَآلِهِ وَسَلَّمَ إِذَا أَمَّرَ
أَمِيْرًا عَلَى جَيْشٍ أَوْ سَرِيَّةٍ أَوْصَاهُ فِيْ خَاصَّتِهِ
بِتَقْوَى اللهِ وَمَنْ مَعَهُ مِنْ الْمُسْلِمِيْنَ خَيْرًا ثُمَّ قَالَ
أُغْزُوْا بِاسْمِ اللهِ فِيْ سَبِيْلِ اللهِ قَاتِلُوْا مَنْ كَفَرَ
بِاللهِ أُغْزُوْا وَلاَ تَغُلُّوْا وَلاَ تَغْدِرُوْا وَلاَ تُمَثِّلُوْا
وَلاَ تَقْتُلُوْا وَلِيْدًا وَإِذَا لَقِيْتَ عَدُوَّكَ مِنَ
الْمُشْرِكِيْنَ فَادْعُهُمْ إِلَى ثَلاَثِ خِصَالٍ فَأَيَّتُهُنَّ مَا
أَجَابُوْكَ فَاقْبَلْ مِنْهُمْ وَكُفَّ عَنْهُمْ ثُمَّ ادْعُهُمْ إِلَى
الْإِسْلاَمِ فَإِنْ أَجَابُوْكَ فَاقْبَلْ مِنْهُمْ وَكُفَّ عَنْهُمْ
فَإِنْ هُمْ أَبَوْا فَسَلْهُمُ الْجِزْيَةَ فَإِنْ هُمْ أَجَابُوْكَ
فَاقْبَلْ مِنْهُمْ وَكُفَّ عَنْهُمْ فَإِنْ هُمْ أَبَوْا فَاسْتَعِنْ
بِاللهِ وَقَاتِلْهُمْ
“Adalah
Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam apabila beliau
mengangkat amir/pimpinan pasukan beliau memberikan wasiat khusus
untuknya supaya bertakwa kepada Allah dan (berwasiat pada) orang-orang
yang bersamanya dengan kebaikan. Kemudian beliau berkata :
“Berperanglah kalian di jalan Allah dengan nama Allah, bunuhlah siapa
yang kafir kepada Allah, berperanglah kalian dan jangan mencuri harta
rampasan perang dan janganlah mengkhianati janji dan janganlah
melakukan tamtsîl (mencincang atau merusak mayat) dan janganlah
membunuh anak kecil dan apabila engkau berjumpa dengan musuhmu dari
kaum musyrikin dakwailah mereka kepada tiga perkara, apa saja yang
mereka jawab dari tiga perkara itu maka terimalah dari mereka dan
tahanlah (tangan) terhadap mereka ; serulah mereka kepada Islam apabila
mereka menerima maka terimalah dari mereka dan tahanlah (tangan)
terhadap mereka, apabila mereka menolak maka mintalah jizyah (upeti)
dari mereka dan apabila
mereka memberi maka terimalah dari mereka dan tahanlah (tangan)
terhadap mereka, apabila mereka menolak maka mintalah pertolongan
kepada Allah kemudian perangi mereka”. [1]
Dan dalam hadits Al-Mughîroh bin Syu’bah radhiyallahu ‘anhu, beliau berkata,
أَمَرَنَا
رَسُوْلُ رَبِّنَا صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَآلِهِ وَسَلَّمَ أَنْ
نُقَاتِلَكُمْ حَتَّى تَعْبُدُوْا اللهَ وَحْدَهُ أَوْ تُؤَدُّوْا
الْجِزْيَةَ
“Kami
diperintah oleh Rasul Rabb kami shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa
sallam untuk memerangi kalian sampai kalian menyembah Allah satu-satunya
atau kalian membayar Jizyah”. [2]
Kedua
: Kafir mu’ahad, yaitu orang-orang kafir yang telah terjadi
kesepakatan antara mereka dan kaum muslimin untuk tidak berperang dalam
kurun waktu yang telah disepakati. Dan kafir seperti ini juga tidak
boleh dibunuh sepanjang mereka menjalankan kesepakatan yang telah
dibuat.
Allah Jalla Dzikruhu berfirman,
“Maka
selama mereka berlaku istiqomah terhadap kalian, hendaklah kalian
berlaku istiqomah (pula) terhadap mereka. Sesungguhnya Allah menyukai
orang-orang yang bertakwa”. (QS. At-Taubah : 7).
Dan Allah berfirman,
“Kecuali
orang-orang musyrikin yang kalian telah mengadakan perjanjian (dengan
mereka) dan mereka tidak mengurangi dari kalian sesuatu pun (dari isi
perjanjian) dan tidak (pula) mereka membantu seseorang yang memusuhi
kalian, maka terhadap mereka itu penuhilah janjinya sampai batas
waktunya. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertakwa”. (QS. At-Taubah : 4).
Dan Allah Jallat ‘Azhomatuhu menegaskan dalam firman-Nya,
“Jika
mereka merusak sumpah (janji) nya sesudah mereka berjanji, dan mereka
mencerca agama kalian, maka perangilah pemimpin-pemimpin kekafiran itu,
karena sesungguhnya mereka itu adalah orang-orang yang tidak dapat
dipegang janjinya, agar supaya mereka berhenti”. (QS. At-Taubah : 12).
Dan Allah ‘Azza wa Jalla menegaskan,
“Sesungguhnya
binatang (makhluk) yang paling buruk di sisi Allah ialah orang-orang
yang kafir, karena mereka itu tidak beriman. (Yaitu) orang-orang yang
kamu telah mengambil perjanjian dari mereka, sesudah itu mereka
mengkhianati janjinya pada setiap kalinya, dan mereka tidak takut
(akibat-akibatnya).” (QS. AL-Anfal : 55-56)
Dan Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa alihi wa sallam bersabda,
مَنْ قَتَلَ مُعَاهَدًا لَمْ يَرَحْ رَائِحَةَ الْجَنَّةِ وَإِنَّ رِيْحَهَا تُوْجَدُ مِنْ مَسِيْرَةِ أَرْبَعِيْنَ عَامًا
“Siapa
yang membunuh kafir Mu’ahad ia tidak akan mencium bau surga dan
sesungguhnya bau surga itu tercium dari perjalanan empat puluh tahun”.[3]
Al-Hafizh
Ibnu Hajar rahimahullah berpendapat bahwa kata Mu’ahad dalam hadits di
atas mempunyai cakupan yang lebih luas. Beliau berkata, “Dan yang
diinginkan dengan (Mu’ahad) adalah setiap yang mempunyai perjanjian
dengan kaum muslimin, baik dengan akad jizyah[4], perjanjian dari penguasa[5], atau jaminan keamanan[6] dari seorang muslim.” [7]
Dan Nabi shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam bersabda,
أَلَا مَنْ ظَلَمَ مُعَاهَدًا، أَوِ انْتَقَصَهُ، أَوْ كَلَّفَهُ فَوْقَ طَاقَتِهِ، أَوْ أَخَذَ مِنْهُ شَيْئًا بِغَيْرِ طِيْبِ نَفْسٍ، فَأَنَا حَجِيْجُهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ
“Ingatlah,
siapa yang menzholimi seorang mu’ahad, merendahkannya, membebaninya di
atas kemampuannya atau mengambil sesuatu darinya tanpa keridhaan
dirinya, maka saya adalah lawan bertikainya pada hari kiamat.” [8]
Ketiga :
Kafir musta’man, yaitu orang kafir yang mendapat jaminan keamanan dari
kaum muslimin atau sebagian kaum muslimin. Kafir jenis ini juga tidak
boleh dibunuh sepanjang masih berada dalam jaminan keamanan.
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman,
“Dan
jika seorang di antara kaum musyrikin meminta perlindungan kepadamu,
maka lindungilah ia agar ia sempat mendengar firman Allah, kemudian
antarkanlah ia ke tempat yang aman baginya. Demikian itu disebabkan
mereka kaum yang tidak mengetahui”. (QS. At-Taubah : 6).
Dan dalam hadits ‘Ali bin Abi Tholib radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam berpesan,
ذِمَّةُ الْمُسْلِمِيْنَ وَاحِدَةٌ يَسْعَى بِهَا أَدْنَاهُمْ
“Dzimmah
(janji, jaminan keamanan dan tanggung jawab) kaum muslimin itu satu,
diusahakan oleh orang yang paling bawah (sekalipun)”. [9]
Berkata Imam
An-Nawawy rahimahullah : “Yang diinginkan dengan Dzimmah di sini adalah
Aman (jaminan keamanan). Maknanya bahwa AmanAman dari seorang muslim
maka haram atas (muslim) yang lainnya mengganggunya sepanjang ia masih
berada dalam Amannya.” kaum muslimin kepada orang kafir itu adalah sah (diakui), maka siapa yang diberikan kepadanya
Dan dalam hadits Ummu Hani` radhiyallahu ‘anha, beliau berkata,
يَا
رَسُوْلَ اللهِ زَعَمَ ابْنُ أُمِّيْ أَنَّهُ قَاتِلٌ رَجُلاً قَدْ
أَجَرْتُهُ فَلاَنَ بْنَ هُبَيْرَةَ فَقَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ
عَلَيْهِ وَآلِهِ وَسَلَّمَ قَدْ أَجَرْنَا مَنْ أَجَرْتِ يَا أُمَّ
هَانِئٍ
“Wahai
Rasulullah anak ibuku (yaitu ‘Ali bin Abi Tholib,-pent) menyangka
bahwa ia boleh membunuh orang yang telah saya lindungi (yaitu) si Fulan
bin Hubairah. Maka Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa
sallam bersabda, “Kami telah lindungi orang yang engkau lindungi wahai
Ummu Hani`”.”[10]
Keempat
: Kafir harby, yaitu kafir selain tiga di atas. (kafir ini yang sering
mengganggu dan memerangi umat islam). Kafir jenis inilah yang
disyari’atkan untuk diperangi dengan ketentuan yang telah ditetapkan
dalam syari’at Islam.
Demikianlah
pembagian orang kafir telah masyhur dalam uraian para ulama seperti
Imam Empat, Syaikhul Islam Ibnu Tamiyah, Ibnul Qayyim dan lain-lainnya.
Dan dari ulama masa kini seperti Syaikh Ibnu Baz (w. 1420 H), Syaikh
Al-Albany (w. 1420 H), Syaikh Muqbil bin Hadi Al-Wadi’iy (w. 1422 H),
Syaikh Ibnu ‘Utsaimin (w. 1421 H), Syaikh Sholih Al-Fauzan, Syaikh
‘Abdullah Al-Bassam (w. 1424 H) dan lain-lainnya. Dan bagi siapa yang
menelaah buku-buku fiqih dari berbagai madzhab akan menemukan benarnya
pembagian ini tanpa perselisihan.
Dan harus
kami tegaskan disini, bahwa tiga kafir di atas, yaitu kafir dzimmi,
mu’ahad dan musta`man adalah termasuk jiwa yang diharamkan untuk dibunuh
sebagaimana yang telah lalu, dan sebagaimana yang ditegaskan dalam
firman-Nya,
“Dan janganlah kalian membunuh jiwa yang diharamkan Allah (membunuhnya) melainkan dengan sesuatu (sebab) yang benar.” (QS. Al-An’am : 151)
Berkata Syaikh ‘Abdurrahman bin Nashir As-Sa’dy rahimahullah, “Dan firman-Nya “Dan janganlah kalian membunuh jiwa yang diharamkan Allah (membunuhnya) melainkan dengan sesuatu (sebab) yang benar”
dia adalah jiwa muslim, baik laki-laki dan perempuan, kecil dan besar,
dan (jiwa) kafir yang terlindung dengan perjanjian dan keterikatan.”
Dan berkata
Syaikh Muhammad bin Sholih Al-‘Utsaimîn rahimahullah, “Dan jiwa yang
diharamkan oleh Allah adalah jiwa yang terjaga, yaitu jiwa seorang
muslim, (kafir) dzimmi, mu’ahad dan mus`tamin.” [11]
Dan berkata
guru kami, Syaikh Sholih Al-Fauzan hafizhohullah, “Jiwa yang diharamkan
oleh Allah adalah jiwa mukmin. Dan demikian pula jiwa mu’ahad, walaupun
dia kafir namun Allah mengharamkan membunuh jiwa mukminin dan juga
mengharamkan membunuh jiwa para mu’ahad dari kaum kuffar yang ada
perjanjian dengan kaum muslimin dalam masalah dzimmah atau jaminan
keamanan. Dzimmah adalah mereka membayar jizyah atau mereka yang masuk
ke negara kita dengan jaminan keamanan. Tidak boleh membunuh dan
melampaui batas terhadap mereka, karena mereka berada dalam dzimmah
kaum muslimin dan dalam jaminan keamanan kaum muslimin. Tidak boleh
mengkhianati dzimmah kaum muslimin, karena itu datang dalam hadits
“Siapa yang membunuh kafir mu’ahad ia tidak akan mencium baunya
sorga.”.” [12]
Dan berikut ini beberapa pernyataan para ulama umat. Berkata Ibnu
‘Abddil Barr (w. 463 H) rahimahullah, “Dan saya tidak mengetahui ada
silang pendapat di kalangan para ulama bahwa siapa yang memberi jaminan
keamanan kepada seorang kafir harby dengan bentuk pernyataan yang
dipahami bahwa ia memberi keamanan, maka telah (terjalin) sempurna
jaminan keamanan untuknya. Dan kebanyakan para ulama berpendapat bahwa
walaupun sekedar isyarat, namun dipahami, maka hal itu terhitung
jaminan keamanan sebagaimana halnya pernyataan.” [13]
Dan berkata
Ibnul Qayyim rahimahullah, “Adapun (kafir) musta`man, ia adalah orang
yang masuk ke negara kaum muslimin bukan untuk menetap padanya. Mereka
ini empat macam; (1) para utusan, (2) para pedagang, (3) orang-orang
yang meminta perlindungan untuk dihadapkan kepadanya keislaman dan
Al-Qur`an, kalau mereka ingin, mereka masuk ke dalam (Islam), dan kalau
mereka ingin, mereka ke negeri mereka, (4) serta orang-orang yang
punya hajat berupa kunjungan dan selainnya. Hukum terhadap mereka
adalah tidak boleh diboikot, tidak boleh dibunuh, tidak boleh dipungut
jizyah darinya, dan terhadap orang-orang yang meminta perlindungan agar
diperlihatkan kepada mereka keislaman dan Al-Qur`an, kalau mereka
masuk (Islam), maka itu (yang diinginkan), kalau mereka ingin kembali
kepada keamanannya (negaranya,pent.), mereka dibiarkan kembali.” [14]
Berkata Imam
Asy-Syaukany (w. 1250 H) rahimahullah, “Mu’ahad adalah seorang kafir
harby yang masuk ke negeri Islam dengan jaminan keamanan, maka haram
terhadap kaum muslimin untuk membunuhnya hingga ia kembali kepada
keamanannya (negaranya) tanpa ada silang pendapat di kalangan penganut
Islam.” [15]
Dan banyak
lagi ucapan para ulama dalam masalah ini, sangatlah panjang untuk
menyebutkan seluruhnya. Namun kami akan menutup pembahasan pembagian
orang kafir ini dengan beberapa fatwa para ulama abad ini, selain dari
apa yang telah disebutkan. Wallahul Musta’an.
Fatwa Syaikh Ibnu Baz Tentang Mengganggu Turis Dan Tamu Asing
Dalam kumpulan fatwa-fatwa beliau jilid 8 halaman 229, beliau ditanya,
“Apa hukum menganiaya turis-turis asing dan para tamu di negeri-negeri Islam?”.
Beliau menjawab,
“Ini tidak
boleh, menganiaya siapa saja tidak boleh. Apakah itu para turis atau
para pekerja, karena mereka adalah musta’man (orang yang mendapat
jaminan keamanan dari pemerintah). Mereka masuk dengan jaminan
keamanan, maka tidak boleh menganiaya mereka. Tetapi pemerintah
hendaknya dinasehati sehinga melarang apa-apa yang tidak patut untuk
ditampakkan. Adapun menganiaya mereka, maka itu tidak boleh. Adapun
individu-individu manusia, tidak ada hak bagi mereka untuk membunuh,
memukul dan menyakiti mereka (para turis tersebut), bahkan kewajiban
mereka untuk mengangkat perkara (yang perlu diperbaiki menurut
pandangan mereka,-pent.) kepada pemerintah, karena menganiaya mereka
adalah berarti menganiaya orang-orang yang telah masuk dengan jaminan
keamanan. Maka tidak boleh menganiaya mereka akan tetapi perkara mereka
diangkat kepada orang yang mampu menahan masuknya mereka atau menahan
mereka dari kemungkaran yang zhohir. Adapun menasehati dan mendakwahi
mereka kepada Islam atau meninggalkan kemungkaran apabila mereka telah
muslim, maka itulah perkara yang diinginkan. Dalil-dalil syari’at
meliputi hal-hal tersebut. Wallahul Musta’an wa la Haula wa la Quwwata
Illa billah, serta shalawat dan salam semoga selalu terlimpahkan kepada
Nabi kita Muhammad dan kepada keluarganya dan para shahabatnya.”
Keputusan Haiah Kibarul Ulama Saudi Arabia 13/7/1417 H
“Jiwa yang
terjaga dalam hukum syari’at Islam adalah semua (jiwa) muslim atau semua
(kafir) yang antara dia dengan kaum muslimin ada aman (jaminan
keamanan) sebagaimana firman (Allah) Ta’ala :
“Dan
barangsiapa yang membunuh seorang mu’min dengan sengaja, maka
balasannya ialah Jahannam, kekal ia di dalamnya dan Allah murka
kepadanya, dan mengutukinya serta menyediakan azab yang besar baginya”. (QS. An-Nisa` : 93)
Dan (Allah) Subhanahu berfirman tentang hukum kafir dzimmy yang terbunuh tanpa sengaja,
“Dan
jika ia (si terbunuh) dari kaum (kafir) yang ada perjanjian (damai)
antara mereka dengan kamu, maka (hendaklah si pembunuh) membayar diat
yang diserahkan kepada keluarganya (si terbunuh) serta memerdekakan
hamba sahaya yang mukmin”. (QS An-Nisa` : 92)
Maka jika
kafir dzimmy yang memiliki jaminan keamanan, bila dibunuh tanpa sengaja
padanya ada diyah dan kaffarah, maka bagaimana pula jika dibunuh
dengan sengaja?, tentunya kekejiannya lebih hebat dan dosanya lebih
besar. Dan telah shohîh dari Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa sallam
bahwa beliau bersabda,
مَنْ قَتَلَ مُعَاهَدًا لَمْ يَرَحْ رَائِحَةَ الْجَنَّةِ
“Barangsiapa yang membunuh kafir mu’ahad maka dia tidak akan mencium baunya Surga”. HR. Al-Bukhary.[16]
Maka tidak
boleh mengganggu (kafir) musta`man, apalagi membunuhnya seperti (yang
terjadi pada) kekejian yang besar dan mungkar ini. Dan ini adalah
ancaman yang keras terhadap siapa yang membunuh (kafir) mu’ahad, dan
sesungguhnya hal itu termasuk dari dosa-dosa besar yang diancam dengan
tidak masuknya si pembunuh ke dalam Surga, kita berlindung kepada Allah
dari segala kehinaan.”
Fatwa Syaikh Al-Albany Tentang Mengganggu turis Asing
Beliau
berkata dalam sebuah kaset terekam, “Apabila seorang kafir dari para
pesiar atau turis tersebut masuk, mereka tidaklah masuk ke negara kita
yang Islamy kecuali dengan izin dari seorang hakim (penguasa) muslim.
Karena itu, tidak boleh melampaui batas terhadapnya, sebab ia adalah
seorang (kafir) mu’ahad. Kemudian andaikata hal tersebut terjadi, -dan
telah terjadi lebih dari sekali dimana seorang muslim melampaui batas
terhadap salah seorang dari mereka-, maka akibat hal tersebut dia akan
terbunuh atau lebih dari itu, atau ia dipenjara, atau …, atau …,
sehingga pelampauan batas terhadap darah pesiar seperti ini dan di
negeri Islam tidaklah tercapai dibelakangnya suatu manfaat islamy,
bahkan ia telah menyelisihi hadits yang telah lalu penyebutannya,
مَنْ قَتَلَ مُعَاهَدًا فِيْ كُنْهِهِ – أَيْ فِيْ عَهْدِهِ وَأَمَانِهِ- فَلَمْ يَرَحْ رَائِحَةَ الْجَنَّةِ
“Siapa yang
membunuh (kafir) mu’ahad dalam kunhi-nya –yaitu dalam penjanjian dan
jaminan keamanan padanya-, maka ia tidak akan mencium baunya sorga.[17]” [18]
foot note
[13] Al-Istidzkar 5/36.
[15] Nailul Author 7/155.
0 Response to "PEMBAGIAN KAFIR"
Posting Komentar