Bukanlah mata yang buta
Bukanlah mata itu yang buta
Telah menceritakan kepada kami Ubaidullah bin Maisarah dia berkata, telah menceritakan kepada kami Abdurrahman bin Mahdi telah menceritakan kepada kami Hammad bin Salamah dari Tsabit al-Bunani dari Abdurrahman bin Abu Laila dari Shuhaib
dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, beliau bersabda: Bila penduduk
surga telah masuk ke surga, maka Allah berfirman: ‘Apakah kalian ingin
sesuatu yang perlu Aku tambahkan kepada kalian? ‘ Mereka menjawab,
‘Bukankah Engkau telah membuat wajah-wajah kami putih? Bukankah Engkau
telah memasukkan kami ke dalam surga dan menyelamatkan kami dari neraka?
‘ Beliau bersabda: Lalu Allah membukakan hijab pembatas, lalu tidak ada
satu pun yang dianugerahkan kepada mereka yang lebih dicintai daripada
anugrah (dapat) memandang Rabb mereka. Telah menceritakan kepada kami Abu Bakar bin Abu Syaibah telah menceritakan kepada kami Yazid bin Harun dari Hammad bin Salamah
dengan sanad ini, dan dia menambahkan, ‘Kemudian beliau membaca Firman
Allah: ‘(Bagi orang-orang yang berbuat baik, ada pahala yang terbaik
(surga) dan tambahannya) ‘ (Qs.Yunus: 26) (HR Muslim) Sumber: http://www.indoquran.com/index.php?surano=2&ayatno=258&action=display&option=com_muslim
Dalam tulisan sebelumnya pada http://mutiarazuhud.wordpress.com/2011/09/12/melihat-rabb/
telah diuraikan bahwa melihat Rabb baik di dunia maupun oleh penduduk
surga bukan dengan penglihatan mata kepala namun dengan penglihatan mata
hati (ain bashiroh).
Proses melihat dengan penglihatan mata kepala terjadi ketika cahaya
dipantulkan dari sebuah benda melewati lensa mata dan menimbulkan
bayangan terbalik di retina yang berada di belakang otak. Setelah
melewati proses kimiawi yang ditimbulkan oleh sel-sel kerucut dan batang
retina, penglihatan ini pun berubah menjadi implus listrik. Implus ini
kemudian dikirim melalui sambungan di dalam sistem syaraf ke belakang
otak. Kemudian otak menerjemahkan aliran ini menjadi sebuah penglihatan
tiga dimensi yang penuh makna.
Kita perhatikan bahwa “proses melihat terjadi ketika cahaya dipantulkan dari sebuah benda” dan Allah Azza wa Jalla bukanlah benda !
Sampai kapan pun manusia tidak akan melihat Rabb dengan kasat mata
(mata kepala) yang terproyeksikan / tergambarkan ke dalam benak (otak)
nya karena Allah Azza wa Jalla tidak serupa dengan apapun yang
terproyeksikan / tergambarkan dalam benak (otak) manusia. “Allah laysa kamitslihi syai’un”, “Allah tidak sama dengan segala sesuatu” (QS Assyura [42]:11)
Firman Allah ta’ala menegaskan bahwa, yang artinya
“Dia tidak dapat dicapai oleh penglihatan mata” (QS Al An’am [6]:103)
“Dia tidak dapat dicapai oleh penglihatan mata” (QS Al An’am [6]:103)
Sayyidina Ali r.a. pernah ditanya oleh seorang sahabatnya bernama Zi’lib Al-Yamani,
“Apakah Anda pernah melihat Tuhan?”
Beliau menjawab, “Bagaimana saya menyembah yang tidak pernah saya lihat?”
“Bagaimana Anda melihat-Nya?” tanyanya kembali.
Sayyidina Ali ra menjawab “Dia tak bisa dilihat oleh mata dengan pandangan manusia yang kasat, tetapi bisa dilihat oleh hati”
“Apakah Anda pernah melihat Tuhan?”
Beliau menjawab, “Bagaimana saya menyembah yang tidak pernah saya lihat?”
“Bagaimana Anda melihat-Nya?” tanyanya kembali.
Sayyidina Ali ra menjawab “Dia tak bisa dilihat oleh mata dengan pandangan manusia yang kasat, tetapi bisa dilihat oleh hati”
Pada akhir-akhir ini kesalahpahaman keyakinan (i’tiqod) bahwa
penduduk surga melihat Rabb dengan mata kepala semakin meluas
berdasarkan pemahaman mereka terhadap hadits pada awal tulisan ini.
Mereka berpendapat bahwa dalil penduduk surga melihat Rabb
membenarkan keyakinan mereka bahwa Allah ta’ala bertempat di langit atau
di atas ‘Arsy dan turun ke langit dunia pada setiap malam, ketika masih
tersisa sepertiga malam terakhir
Sebenarnya, keyakinan ini terimbas oleh cerita-cerita tradisional
bahwa ‘alam Tuhan’ itu berada di langit, seiring dengan ‘alam dewa-dewa’
keyakinan non muslim. Alam dewa dan alam Tuhan selalu dikaitkan dengan
alam tinggi, yang dipersepsi berada di langit, dalam arti ruang yang
sesungguhnya. Sehingga, kita sering mendengar cerita-cerita tentang
‘turunnya’ para dewa-dewi, bidadari, atau bahkan ‘Tuhan’ sendiri dari
langit nun jauh di sana menuju ke Bumi.
Sebenarnya, konsep seperti ini bukan konsep Islam. Melainkan konsep
keyakinan pagan yang justru diluruskan oleh datangnya Islam yang dibawa
oleh para Nabi dan keluarga nabi Ibrahim alaihi salam – termasuk
keturunan terakhirnya Rasulullah Muhammad Shallallahu Alaihi Wasallam
Keyakinan pagan adalah keyakinan yang menyembah dewa-dewi dan
unsur-unsur alam. Di antaranya adalah keyakinan penyembah Matahari,
Bintang, Bulan, penyembah api, penyembah pepohonan, gunung-gunung, dan
lain sebagainya. Tanpa disadari, doktrin-doktrin keyakinan kuno ini
meresap dalam pemahaman segelintir umat Islam dalam konsep keimanannya.
Termasuk keimanan kepada Allah ta’ala
Ada di antara kita, yang menganggap Allah ta’ala adalah Tuhan yang
bertempat di dalam Surga atau di alam akhirat atau di langit yang ke
tujuh, di Sidratul Muntaha, atau berada di alam tinggi, di atas awan
sana. Sebuah negeri dongeng jaman dahulu kala, yang tidak akan pernah
anda temui ketika anda naik pesawat ruang angkasa sekalipun, baik dengan
teknologi pesawat ruang angkasa pada masa kini maupun nanti. Karena
itu, ada di antara umat Islam yang berpendapat, untuk bertemu Allah kita
harus mengarungi jarak ke langit, ke luar angkasa sana. Termasuk ketika
Rasulullah shallallahu alaihi wasallam Mi’raj. Beliau datang ke
Sidratul Muntaha itu dipersepsi untuk bertemu Allah. Sebab, dalam
persepsi mereka, Allah itu di langit, jauh dari kita.
Sungguh ini bukan konsep Al Qur’an. Ini bukan konsep Islam. Ini
adalah konsep keyakinan pagan, karena di dalam Al Qur’an, Allah
digambarkan sebagai Dzat Maha Besar yang tidak menempati ruang. Justru
Dia meliputi ruang, sebesar apa pun ruang itu. Termasuk ruang alam
semesta yang tidak diketahui tepinya hingga kini.
Termasuk ketika Rasulullah shallallahu alaihi wasallam melakukan
Mi’raj, beliau bukan bertujuan untuk bertemu Allah di Sidratul Muntaha,
karena Allah ta’ala memang bukan ‘tinggal’ di Sidratul Muntaha. Allah
adalah Dzat yang digambarkan Al Qur’an ‘sangat dekat’ dengan kita.
Bahkan lebih dekat daripada urat leher kita sendiri.
Allah ta’ala sendiri yang menyampaikan tentang diriNya bahwa “Aku adalah dekat”
“Dan apabila hamba-hamba-Ku bertanya kepadamu tentang “Aku” maka (jawablah) bahwasanya Aku adalah dekat“.( Al Baqarah [2]:186 ).
“Dan Kami lebih dekat kepadanya dari pada kamu. Tetapi kamu tidak melihat” (QS Al-Waqi’ah [56]: 85 ).
“Dan Kami lebih dekat kepadanya daripada urat lehernya.” (QS. Qaaf [50] :16 )
“Dan sujudlah dan dekatkanlah (dirimu kepada Tuhan)“. (QS Al-’Alaq [96]:19 )
“Dan apabila hamba-hamba-Ku bertanya kepadamu tentang “Aku” maka (jawablah) bahwasanya Aku adalah dekat“.( Al Baqarah [2]:186 ).
“Dan Kami lebih dekat kepadanya dari pada kamu. Tetapi kamu tidak melihat” (QS Al-Waqi’ah [56]: 85 ).
“Dan Kami lebih dekat kepadanya daripada urat lehernya.” (QS. Qaaf [50] :16 )
“Dan sujudlah dan dekatkanlah (dirimu kepada Tuhan)“. (QS Al-’Alaq [96]:19 )
Di dalam berbagai ayat, justru Allah ta’ala digambarkan memenuhi
seluruh ruang. Bahkan ruang itu sendiri tidak muat untuk mewadahi
DzatNya yang Maha Besar.
Allah ta’ala berfirman dalam hadist Qudsi yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad dan Ibnu ’Umar r.a.: “Sesungguhnya langit dan bumi tidak akan/mampu menampung Aku. Hanya hati orang beriman yang sanggup menerimanya.”
Allah ta’ala berfirman dalam hadist Qudsi yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad dan Ibnu ’Umar r.a.: “Sesungguhnya langit dan bumi tidak akan/mampu menampung Aku. Hanya hati orang beriman yang sanggup menerimanya.”
Kemana pun kita menghadap kita akan berhadapan dengan Dzat Allah itu.
Firman Allah ta’ala yang artinya, “Dan kepunyaan Allah-lah timur dan barat, maka kemanapun kamu menghadap di situlah wajah Allah. Sesungguhnya Allah Maha Luas (rahmat-Nya) lagi Maha Mengetahui” (QS Al Baqarah [2]:115)
Firman Allah ta’ala yang artinya, “Dan kepunyaan Allah-lah timur dan barat, maka kemanapun kamu menghadap di situlah wajah Allah. Sesungguhnya Allah Maha Luas (rahmat-Nya) lagi Maha Mengetahui” (QS Al Baqarah [2]:115)
Salah satu kepahaman keyakinan pagan yang sangat melekat pada
kepahaman segelintir umat Islam adalah tentang keberadaan surga.
Kebanyakan kita mempersepsi surga sebagai suatu istana yang indah yang
berada di atas langit dan jauh dari bumi. Sebagaimana konsep dewa-dewi
dalam keyakinan pagan itu. Sampai-sampai ada juga yang berpendapat bahwa
Allah ta’ala itu berada di surga. Yang ini adalah konsep keyakinan kaum
Nasrani – berpendapat Tuhannya berada di Surga.
Pemahaman seperti kaum Nasrani tersebut pada hakikatnya dipengaruhi
oleh kaum Yahudi yang mengaku sebagai “murid” Nabi Isa alaihi salam
Kaum Yahudi yang hendak membunuh para Nabi termasuk Nabi Isa alaihi
salam.
Kaum Yahudi yang pada saat ini dikenal sebagai kaum Zionis Yahudi
adalah mereka yang mengikuti kembali keyakinan pada masa kerajaan
Sulaiman , peninggalan mesir kuno yakni kitab thalmud sebuah kitab yang
berasal dari para penyihir di zaman Mesir Kuno yang menganut ajaran
Kaballah (menyembah Lucifer). Mereka berpaling dari kitab suci Taurat
Allah ta’ala berfirman yang artinya,
“Dan setelah datang kepada mereka seorang Rasul dari sisi Allah yang membenarkan apa (kitab) yang ada pada mereka, sebahagian dari orang-orang yang diberi kitab (Taurat) melemparkan kitab Allah ke belakang (punggung)nya, seolah-olah mereka tidak mengetahui (bahwa itu adalah kitab Allah).” (QS Al Baqarah [2]: 101 )
“Dan setelah datang kepada mereka seorang Rasul dari sisi Allah yang membenarkan apa (kitab) yang ada pada mereka, sebahagian dari orang-orang yang diberi kitab (Taurat) melemparkan kitab Allah ke belakang (punggung)nya, seolah-olah mereka tidak mengetahui (bahwa itu adalah kitab Allah).” (QS Al Baqarah [2]: 101 )
“Dan mereka mengikuti apa yang dibaca oleh syaitan-syaitan pada
masa kerajaan Sulaiman (dan mereka mengatakan bahwa Sulaiman itu
mengerjakan sihir), padahal Sulaiman tidak kafir (tidak mengerjakan
sihir), hanya syaitan-syaitan lah yang kafir (mengerjakan sihir).” (QS Al Baqarah [2]:102 )
al-Imam Abu Sa’id al-Mutawalli asy-Syafi’i (w 478 H) dalam kitab al-Ghunyah Fi Ushuliddin menuliskan sebagai berikut:
“Kaum Karramiyyah, Hasyawiyyah dan Musyabbihah yang mengatakan bahwa Allah berada di arah atas. Bahkan sebagian dari kelompok-kelompok tersebut mengatakan bahwa Allah bertempat atau bersemayam di atas arsy. Jelas mereka kaum yang sesat. Allah Maha Suci dari keyakinan kelompok-kelompok tersebut.
Dalil akal bahwa Allah Maha Suci dari tempat adalah karena apabila ia membutuhkan kepada tempat maka berarti tempat tersebut adalah qadim sebagaimana Allah Qadim. Atau sebaliknya, bila Allah membutuhkan tempat maka berarti Allah baharu sebagaimana tempat itu sendiri baharu. Dan kedua pendapat semacam ini adalah keyakinan kufur.
Kemudian bila Allah bertempat di atas arsy, seperti yang diyakini mereka, maka berarti tidak lepas dari tiga keadaan. Bisa sama besar dengan arsy, atau lebih kecil, dan atau lebih besar dari arsy. Dan semua pendapat semacam ini adalah kufur, karena telah menetapkan adanya ukuran, batasan dan bentuk bagi Allah.
“Kaum Karramiyyah, Hasyawiyyah dan Musyabbihah yang mengatakan bahwa Allah berada di arah atas. Bahkan sebagian dari kelompok-kelompok tersebut mengatakan bahwa Allah bertempat atau bersemayam di atas arsy. Jelas mereka kaum yang sesat. Allah Maha Suci dari keyakinan kelompok-kelompok tersebut.
Dalil akal bahwa Allah Maha Suci dari tempat adalah karena apabila ia membutuhkan kepada tempat maka berarti tempat tersebut adalah qadim sebagaimana Allah Qadim. Atau sebaliknya, bila Allah membutuhkan tempat maka berarti Allah baharu sebagaimana tempat itu sendiri baharu. Dan kedua pendapat semacam ini adalah keyakinan kufur.
Kemudian bila Allah bertempat di atas arsy, seperti yang diyakini mereka, maka berarti tidak lepas dari tiga keadaan. Bisa sama besar dengan arsy, atau lebih kecil, dan atau lebih besar dari arsy. Dan semua pendapat semacam ini adalah kufur, karena telah menetapkan adanya ukuran, batasan dan bentuk bagi Allah.
Penjelasan ulama-ulama lainnya tentang kesalahpahaman-kesalahpahaman dalam i’tiqod telah dimuat dalam tulisan pada http://mutiarazuhud.wordpress.com/2011/07/28/kesalahpahaman-itiqod/
Islam sebenarnya tidak pernah mengajarkan pemahaman seperti pemahaman
kaum Nasrani. Akan tetapi, banyak di antara kita yang berpendapat
bahwa untuk bisa bertemu Allah kita harus berada di surga. Selama masih
di Bumi, pertemuan itu tidak akan pernah bisa terjadi.
Al Qur’an justru mengatakan kepada kita bahwa untuk bertemu Allah
kita tidak perlu harus ke surga dulu. Semenjak hidup di dunia ini kita
sudah bisa bertemu Allah dan melihatNya. Kemana pun kita menghadap kita
akan bertemu dengan Allah kecuali memang manusia yang ingin berpaling
dari Allah ta’ala
Di dalam shalat bertemu Allah. Di dalam dzikir bertemu Allah. Saat
puasa bertemu Allah. Saat haji pun bertemu Allah. Bahkan dalam seluruh
aktifitas kita sehari-hari kita bertemu Allah. Asalkan kita tahu
caranya, seperti yang diajarkan oleh Al Qur’an, dan disampaikan oleh
Rasulullah shallallahu alaihi wasallam kepada kita.
Syaikh Ibnu Athoillah menyampaikan diawali dengan firman Allah Azza wa Jalla
وَهُوَ القَاهِرُ فَوْقَ عِبَادِهِ وَهُوَ الحَكِيْمُ الخَبِيْرُ
Dan Dialah yang berkuasa atas sekalian hamba-hamba-Nya
Dan Dialah yang Maha Bijaksana lagi Maha mengetahui (QS. Al-An’am 18)
Dan Dialah yang berkuasa atas sekalian hamba-hamba-Nya
Dan Dialah yang Maha Bijaksana lagi Maha mengetahui (QS. Al-An’am 18)
الحَقُّ لَيْسَ بِمَحْجُوْبٍ وَإِنَّماَ المَحْجُوْبُ أَنْتَ عَنِ
النَّظْرِ إِذْ لَوْحَجَبَهُ شَيْءٌ لَسَتَرَهُ ماَحَجَبَهُ وَلَوكاَنَ
لَهُ ساَتِرٌ لَكاَنَ لِوُجُوْدِهِ حاَصِرٌ وَكُلُّ حاَصِرٍ
لِشَيْءٍ فَهُوَ لَهُ قاَهِرٌ
Allah tidak terhalang untuk dilihat, akan tetapi yang terhalang adalah anda untuk dapat melihat Allah, logikanya apabila Allah terhalang sesuatu untuk dilihat maka penghalang itu menutupi wujud Allah, apabila wujud Allah terhalang maka keberadaan Allah itu terbatas, dan setiap sesuatu yang terbatas niscaya ada sesuatu yang membatasi atau ada sesuatu yang menguasainya, ada yang menguasai Allah itu mustahil.
Allah tidak terhalang untuk dilihat, akan tetapi yang terhalang adalah anda untuk dapat melihat Allah, logikanya apabila Allah terhalang sesuatu untuk dilihat maka penghalang itu menutupi wujud Allah, apabila wujud Allah terhalang maka keberadaan Allah itu terbatas, dan setiap sesuatu yang terbatas niscaya ada sesuatu yang membatasi atau ada sesuatu yang menguasainya, ada yang menguasai Allah itu mustahil.
يَعْنِي أَنَّ الحِجاَبَ لاَ يَتَّصِفُ بِهِ الحَقُّ سُبْحاَنَهُ وَتَعاَلىَ ِلاسْتِحاَلَتِهِ فيِ حَقِّهِ
Yakni, bahwa penghalang tidak akan pernah terjadi menyertai Allah Subhanahu wa ta’ala Al-Haq Subhanallah, karena hal itu mustahil bagi Allah Subhanahu wa ta’ala.
Yakni, bahwa penghalang tidak akan pernah terjadi menyertai Allah Subhanahu wa ta’ala Al-Haq Subhanallah, karena hal itu mustahil bagi Allah Subhanahu wa ta’ala.
وَإِنَّماَ المَحْجُوْبُ أَنْتَ أَيُّهاَ العَبْدُ بِصِفاَتِكَ
النَّفْساَنِيَّةِ عَنِ النَّظْرِ إِلَيْهِ فَإِنْ رُمْتَ الوُصُوْلَ
فاَبْحَثْ عَنْ عُيُوْبِ نَفْسِكَ وَعاَلَجَهاَ
Sesungguhnya yang terhalang adalah anda, hai kawan. Karena anda sebagai manusia menyandang sifat jasad, sehingga terhalang untuk dapat melihat Allah. Apabila anda ingin sampai melihat Allah, maka intropeksi ke dalam, lihatlah dahulu noda dan dosa yang terdapat pada diri anda, serta bangkitlah untuk mengobati dan memperbaikinya, karena itu-lah sebagai penghalang anda. Mengobatinya dengan bertaubat dari dosa serta memperbaikinya dengan tidak berbuat dosa dan giat melakukan kebaikan.
Sesungguhnya yang terhalang adalah anda, hai kawan. Karena anda sebagai manusia menyandang sifat jasad, sehingga terhalang untuk dapat melihat Allah. Apabila anda ingin sampai melihat Allah, maka intropeksi ke dalam, lihatlah dahulu noda dan dosa yang terdapat pada diri anda, serta bangkitlah untuk mengobati dan memperbaikinya, karena itu-lah sebagai penghalang anda. Mengobatinya dengan bertaubat dari dosa serta memperbaikinya dengan tidak berbuat dosa dan giat melakukan kebaikan.
إِن الحِجاَبَ يَرْتَفِعُ عَنْكَ فَتَصِلُ إِلىَ النَّظْرِ إِلَيْهِ
بِعَيْنِ بَصِيْرَتِكَ وَهُوَ مَقاَمُ الإِحْساَنِ الَّذِي يُعَبِرُوْنَ
عَنْهُ بِمَقاَمِ المُشاَهَدَةِ
Pada akhirnya penghalang itu akan sirna, hilang dari anda sehingga sampai pada “Dapat Melihat Allah” dengan “Ain Bashiroh” (Pandangan mata hati) dan inilah yang disebut “Ihsan” yaitu beribadah kepada Allah seolah anda melihatNya, apabila anda tidak mampu melihatNya, sesungguhnya Allah melihat anda. Para Ulama Sufi menyebutnya Maqom Musyahadah artinya ruang kesakisan, “Aku besaksi tiada Tuhan selain Allah”.
Pada akhirnya penghalang itu akan sirna, hilang dari anda sehingga sampai pada “Dapat Melihat Allah” dengan “Ain Bashiroh” (Pandangan mata hati) dan inilah yang disebut “Ihsan” yaitu beribadah kepada Allah seolah anda melihatNya, apabila anda tidak mampu melihatNya, sesungguhnya Allah melihat anda. Para Ulama Sufi menyebutnya Maqom Musyahadah artinya ruang kesakisan, “Aku besaksi tiada Tuhan selain Allah”.
Dari uraian syaikh Ibnu Athoillah di atas dapat kita simpulkan bahwa
Manusia terhalang / terhijab melihat Rabb adalah karena dosa mereka.
Setiap dosa merupakan bintik hitam hati, sedangkan setiap kebaikan
adalah bintik cahaya pada hati Ketika bintik hitam memenuhi hati
sehingga terhalang (terhijab) dari melihat Allah. Inilah yang dinamakan
buta mata hati. Manusia melihat Rabb dengan penglihatan mata hati (ain
bashiroh), melihat dengan hati nurani, cahaya hati atau lubuk hati yang
paling dalam.
Dalam sebuah hadits qudsi, Allah Azza wa Jalla berfirman: ’Telah
Kucipta seorang malaikat di dalam tubuh setiap anak keturunan Adam. Di
dalam malaikat itu ada shadr. Di dalam shadr itu ada qalb. Di dalam qalb
itu ada fu`aad. Di dalam fu`aad itu ada syagf. Di dalam syagf itu ada
lubb. Di dalam lubb itu ada sirr. Dan di dalam sirr itu ada Aku.’
Hadits qudsi inilah yang menerangkan “man ‘arafa nafsahu faqad ‘arafa rabbahu’ , Siapa yang kenal kenal dirinya akan Mengenal Allah
Firman Allah Taala yang artinya
“Kami akan memperlihatkan kepada mereka tanda-tanda (kekuasaan) Kami di segenap ufuk dan pada diri mereka sendiri (QS. Fush Shilat [41]:53 )
“Kami akan memperlihatkan kepada mereka tanda-tanda (kekuasaan) Kami di segenap ufuk dan pada diri mereka sendiri (QS. Fush Shilat [41]:53 )
Menurut Imam Sayyidina Ali r.a. qalb mempunyai lima nama,
Pertama, disebut shadr, karena ia merupakan tempat terbitnya cahaya
Islam (nuuru-l-islaam). Hal ini sebagaimana firman Allah Subhanahu wa
ta’ala,
‘Adakah sama dengan mereka yang dibukakan shadrnya untuk Islam…. (QS 39:22)’.
‘Adakah sama dengan mereka yang dibukakan shadrnya untuk Islam…. (QS 39:22)’.
Kedua, disebut qalb, karena ia merupakan tempat terbitnya keimanan. Hal ini sebagaiamana firman-Nya,
‘Mereka itulah yang ditulis dalam hatinya terdapat keimanan. (QS 58:22)’
‘Mereka itulah yang ditulis dalam hatinya terdapat keimanan. (QS 58:22)’
Ketiga disebut fu’aad karena ia merupakan tempat terbitnya ma’rifah. Hal ini sebagaimana Firman Allah Swt,
‘Fu’aad tidak pernah mendustai apa-apa yang dilihatnya’ (QS 53:11).
‘Fu’aad tidak pernah mendustai apa-apa yang dilihatnya’ (QS 53:11).
Keempat disebut lubb, karena ia merupakan tempat terbitnya tauhid. Hal ini sebagaimana firman-Nya,
‘Sesungguhnya di dalam penciptaan langit dan bumi dan pergantian malam dan siang adalah ayat-ayat bagi ulil albaab (sang pemilik lubb)’ (QS 3:190).
‘Sesungguhnya di dalam penciptaan langit dan bumi dan pergantian malam dan siang adalah ayat-ayat bagi ulil albaab (sang pemilik lubb)’ (QS 3:190).
Kelima, disebut syagf, karena it merupakan tempat terbitnya rasa
saling menyayangi dan mencintai sesama makhluk. Hal ini sebagaimana
firman-Nya,
’Sungguh ia (Zulaikha) telah dikuasai oleh rasa cinta yang membara….’ (QS 12:30)
’Sungguh ia (Zulaikha) telah dikuasai oleh rasa cinta yang membara….’ (QS 12:30)
Selain nama-nama yang telah disebutkan, hati pun disebut juga dengan
nama habbah al-quluub. Disebut demikian, karena ia merupakan tempat
terbitnya cahaya, sebagaimana yang diterangkan Allah dalam hadis
qudsi-Nya, ’Tiada yang sanggup menampung-Ku, baik bumi maupun langit-Ku.
Hanya hati hamba-Ku yang Mukmin yang dapat menampung-Ku.’
Firman Allah ta’ala yang artinya,
“Dan barangsiapa yang buta (hatinya) di dunia ini, niscaya di akhirat (nanti) ia akan lebih buta (pula) dan lebih tersesat dari jalan (yang benar)“. (QS Al Isra [17]: 72 )
“Dan barangsiapa yang buta (hatinya) di dunia ini, niscaya di akhirat (nanti) ia akan lebih buta (pula) dan lebih tersesat dari jalan (yang benar)“. (QS Al Isra [17]: 72 )
“maka apakah mereka tidak berjalan di muka bumi, lalu mereka
mempunyai hati yang dengan itu mereka dapat memahami atau mempunyai
telinga yang dengan itu mereka dapat mendengar? Karena sesungguhnya
bukanlah mata itu yang buta, tetapi yang buta, ialah hati yang di dalam
dada.” (QS Al Hajj [22]:46 )
Wasalam
0 Response to "Bukanlah mata yang buta"
Posting Komentar