Hati melihat Allah
Ketika hati melihat Allah
Firman Allah ta’ala yang artinya
“Dia tidak dapat dicapai oleh penglihatan mata” (QS Al An’am [6]:103)
“Dialah Yang Awal dan Yang Akhir, Yang Dzahir dan Yang Bathin; dan Dia Maha Mengetahui segala sesuatu” (QS Al Hadiid [57]:3)
Allah Yang Maha Ghaib, tidak dapat dilihat dengan mata kepala namun dapat dilihat dengan mata hati (ain bashiroh).
Kata ghaib berasal dari kata Ghaba-Yaghibu-Ghaiban-Ghiyaban-Ghiyabatan-wa Mughiban yang berarti tidak tampak atau tidak hadir kebalikan dari kata hadhara yang berarti tampak atau hadir. al-Mu’jam al-Wasith menyebutkan kata ghaib berasal dari kata al-Ghaibu, yang berarti Khilaf as Syahadati, yaitu lawan dari yang terlihat, atau Majmu’u Yudroku Bilhissi, yaitu kumpulan dari yang terlihat dengan indera perasa.
Jadi Ghaib adalah sesuatu yang tidak tampak secara kasat mata atau sesuatu yang tidak tampak dengan panca indera seperti mata kepala kita.
Mata di kepala kita diciptakan untuk melihat yang dzahir. Mata membutuhkan cahaya yang mengenai sesuatu yang dilihat.
Proses melihat terjadi ketika cahaya dipantulkan dari sebuah benda melewati lensa mata dan menimbulkan bayangan terbalik di retina yang berada di belakang otak. Setelah melewati proses kimiawi yang ditimbulkan oleh sel-sel kerucut dan batang retina, penglihatan ini pun berubah menjadi implus listrik. Implus ini kemudian dikirim melalui sambungan di dalam sistem syaraf ke belakang otak. Kemudian otak menerjemahkan aliran ini menjadi sebuah penglihatan tiga dimensi yang penuh makna.
Jadi sesuatu yang dilihat oleh mata kepala adalah sesuatu yang mempunyai bentuk, warna, ukuran, batas atau sesuatu yang diliputi atau dipengaruhi dimensi ruang dan waktu yang kemudian diproses oleh akal pikiran atau otak.
Akal pikiran atau otak bekerja berdasarkan masukkan dari panca indera yakni indra penglihatan (mata), pendengaran (telinga), indra pencium (hidung), indra pengecap (lidah), dan indra peraba (kulit).
Sedangkan yang menguasai atau mengendalikan akal pikiran atau otak manusia adalah ruhani.
Diri manusia terdiri dari jasmani dan ruhani. Jasmani (jasad) adalah bagian yang dapat tampak dengan panca indera kita disebut juga lahiriah sedangkan ruhani adalah bagian yang tidak tampak dengan panca indera kita disebut juga bathiniah.
Nilai manusia tidak terletak pada jasmani (jasad) nya, akan tetapi terletak pada ruhani yang menggerakkannya. Kerena ruhani inilah, Allah memerintahkan pada malaikatnya untuk hormat kepada manusia, karena ruhani datangnya dari Allah Subhanahu wa ta’ala.
Firman Allah ta’ala yang artinya, “Ingatlah diwaktu Tuhanmu berkata kepada para malaiakat: ”Aku menciptakan manusia dari tanah, dan setelah aku sempurnakan aku tiupkan kedalamnya ruh-Ku, maka hormatlah kalian kepadanya“.(QS Shaad [38]: 71-72)
Ruhani (ruhNya) mempunyai panggilan Akal, Hati, Nafsu
Ruh ketika berperasaan seperti sedih, gembira, senang, terhibur, marah atau sebagainya, maka ia dipanggil dengan hati.
Ruh ketika ia berkehendak, berkemauan atau merangsang sama ada sesuatu yang berkehendak itu positif atau negatif, baik atau buruk, yang dibenarkan atau tidak, yang halal ataupun yang haram, di waktu itu ia tidak dipanggil hati tetapi ia dipanggil nafsu.
Ruh ketika ia berfikir, mengkaji, menilai, memahami, menimbang dan menyelidik, maka ia dipanggil akal (akal qalbu)
Oleh karenanya dikatakan bahwa hati adalah inti dan pusat kendali seluruh gerak dan aktivitas . Bersih dan kotornya hati seseorang akan segera berdampak pada perilaku dan perbuatannyaRasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda “Dan ketahuilah pada setiap tubuh ada segumpal darah yang apabila baik maka baiklah tubuh tersebut dan apabila rusak maka rusaklah tubuh tersebut. Ketahuilah, ia adalah hati” (HR Bukhari 50 , HR Muslim 2966) yang maknanya adalah apabila ia baik maka baik pula seluruh amalnya, dan apabila ia itu rusak maka rusak pula seluruh perbuatannya” Hati mempunyai makna dzahir yakni segumpal darah dan makna bathin seperti dalam kalimat “hati yang lapang” atau “hati yang sempit” atau “mata hati”
Orang gila disebut sebagai orang yang kehilangan akal walaupun secara dzahir mereka tentu masih memiliki akal pikiran atau otak namun mereka kehilangan akal qalbu.
Setan mengganggu manusia melalui bisikan ke dalam hati manusia.
Firman Allah ta’ala yang artinya “Dari kejahatan (bisikan) setan yang biasa bersembunyi, yang membisikkan (kejahatan) ke dalam dada manusia” (QS An Naas [114]:4-5)
Rasulullah bersabda, “Sesungguhnya setan berjalan di tubuh manusia pada peredaran darah, aku khawatir setan itu melontarkan kejahatan di hati kamu berdua , sehingga timbul prasangka yang buruk.” (HR Bukhari dan Muslim)
“Jangan banyak melamun, nanti kemasukan setan lhoo…!” ungkapan yang sering kita dengar.
Firman Allah ta’ala yang artinya, “Setan itu memberikan janji-janji kepada mereka dan membangkitkan angan-angan kosong pada mereka, padahal setan itu tidak menjanjikan kepada mereka selain dari tipuan belaka” (QS An Nisaa [4]:120)
Setan akan menguasai manusia melalui sepuluh pintu yakni
1. Melalui sifat bohong dan angkuh
2. Melalui sifat bakhil
3. Melalui sifat takabur
4. Melalui sifat khianat
5. Melalui sifat tidak suka menerima ilmu dan nasihat
6. Melalui sifat hasad
7. Melalui sifat suka meremehkan orang lain
8. Melalui sifat ujub atau bangga diri
9. Melalui sifat suka berangan-angan
10. Melalui sifat buruk sangka
Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda: “Barangsiapa yang bertambah ilmunya tapi tidak bertambah hidayahnya, maka dia tidak bertambah dekat kepada Allah melainkan bertambah jauh“Ilmu harus dikawal hidayah. Tanpa hidayah, seseorang yang berilmu menjadi sombong dan semakin jauh dari Allah ta’ala sehingga tidak dapat menyaksikan Allah dengan hatinya (ain bashiroh)
Sebaliknya seorang ahli ilmu (ulama) yang mendapat hidayah (karunia hikmah) maka hubungannya dengan Allah Azza wa Jalla semakin dekat sehingga meraih maqom (derajat) disisiNya sehingga dapat menyaksikan Allah dengan hatinya (ain bashiroh).
Sebagaimana diperibahasakan oleh orang tua kita dahulu bagaikan padi semakin berisi semakin merunduk, semakin berilmu dan beramal maka semakin tawadhu, rendah hati dan tidak sombong.
Rasulullah bersabda: “Kesombongan adalah menolak kebenaran dan menganggap remeh orang lain.” (Shahih, HR. Muslim no. 91 dari hadits Abdullah bin Mas’ud)
Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda , “Tiada masuk surga orang yang dalam hatinya terdapat sebesar biji sawi dari kesombongan. kesombongan adalah menolak kebenaran dan meremehkan manusia” (HR. Muslim)
Dalam sebuah hadits qudsi , Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda , “Allah berfirman, Keagungan adalah sarungKu dan kesombongan adalah pakaianKu. Barangsiapa merebutnya (dari Aku) maka Aku menyiksanya”. (HR. Muslim)
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Kemuliaan adalah sarung-Nya dan kesombongan adalah selendang-Nya. Barang siapa menentang-Ku, maka Aku akan mengadzabnya.” (HR Muslim)
Sayyidina Umar ra menasehatkan “Yang paling aku khawatirkan dari kalian adalah bangga terhadap pendapatnya sendiri. Ketahuilah orang yang mengakui sebagai orang cerdas sebenarnya adalah orang yang sangat bodoh. Orang yang mengatakan bahwa dirinya pasti masuk surga, dia akan masuk neraka“.
Para ulama tasawuf atau kaum sufi mengatakan bahwa hijab itu meliputi antara lain nafsu hijab, dosa hijab, hubbub al-dunya hijab, cara pandang terhadap fiqh yang terlalu formalistik juga hijab, terjebaknya orang dalam kenikmatan ladzatul ‘ibadah, sampai karomah juga bisa menjadi hijab, dll. Salah satu bentuk nafsu hijab terbesar itu justru kesombongan, karena sombong itu, membuat, manusia hanya melihat dirinya. Kita bisa bayangkan, kalau keadaan batin itu hanya melihat dirinya sendiri, orang lain tidak kelihatan, bagaimana dia bisa menyaksikan Allah dengan hatinya (ain bashiroh)
Tidak semua manusia dapat melihat Allah dengan hatinya.
Orang kafir itu tertutup dari cahaya hidayah oleh kegelapan sesat.
Ahli maksiat tertutup dari cahaya taqwa oleh kegelapan alpa
Ahli Ibadah tertutup dari cahaya taufiq dan pertolongan Allah Ta’ala oleh kegelapan memandang ibadahnya
Ahli maksiat tertutup dari cahaya taqwa oleh kegelapan alpa
Ahli Ibadah tertutup dari cahaya taufiq dan pertolongan Allah Ta’ala oleh kegelapan memandang ibadahnya
Siapa yang memandang pada gerak dan perbuatannya ketika taat kepada
Allah ta’ala, pada saat yang sama ia telah terhalang (terhijab) dari
Sang Empunya Gerak dan Perbuatan, dan ia jadi merugi besar.
Siapa yang memandang Sang Empunya Gerak dan Tindakan, ia akan
terhalang (terhijab) dari memandang gerak dan perbuatannya sendiri,
sebab ketika ia melihat kelemahannya dalam mewujudkan tindakan dan
menyempurnakannya, ia telah tenggelam dalam anugerahNya.
Setiap dosa merupakan bintik hitam hati, sedangkan setiap kebaikan
adalah bintik cahaya pada hati Ketika bintik hitam memenuhi hati
sehingga terhalang (terhijab) dari memandang Allah. Inilah yang
dinamakan buta mata hati.
Firman Allah ta’ala yang artinya,
“Dan barangsiapa yang buta (hatinya) di dunia ini, niscaya di akhirat
(nanti) ia akan lebih buta (pula) dan lebih tersesat dari jalan (yang
benar).” (QS Al Isra 17 : 72)
shummun bukmun ‘umyun fahum laa yarji’uuna , “mereka tuli, bisu dan
buta (tidak dapat menerima kebenaran), maka tidaklah mereka akan kembali
(ke jalan yang benar)” (QS Al BAqarah [2]:18)
shummun bukmun ‘umyun fahum laa ya’qiluuna , “mereka tuli (tidak
dapat menerima panggilan/seruan), bisu dan buta, maka (oleh sebab itu)
mereka tidak mengerti. (QS Al Baqarah [2]:171)
“maka apakah mereka tidak berjalan di muka bumi, lalu mereka
mempunyai hati yang dengan itu mereka dapat memahami atau mempunyai
telinga yang dengan itu mereka dapat mendengar? Karena sesungguhnya
bukanlah mata itu yang buta, tetapi yang buta, ialah hati yang di dalam
dada.” (al Hajj 22 : 46)
Pada hakikatnya ke dalam hati (jiwa) setiap manusia telah diilhamkan
oleh Allah Azza wa Jalla untuk menimbang antara yang Haq dan Bathil
Firman Allah ta’ala yang artinya
“Dan Kami telah menunjukkan kepadanya dua jalan” (pilihan haq atau bathil) (QS Al Balad [90]:10 )
“maka Allah mengilhamkan kepada jiwa itu (jalan) kefasikan dan ketakwaannya“. (QS As Syams [91]:8 )
Dua dimensi jiwa manusia senantiasa saling menyaingi, mempengaruhi dan berperang.
Kemungkinan jiwa positif manusia menguasai dirinya selalu terbuka,
seperti yang dialami Habil. Dan jiwa negatifpun tak tertutup kemungkinan
untuk mengontrol diri manusia, seperti yang terjadi pada Qobil.
Tataplah sosok seorang Mush’ab bin Umair ra yang hidup di masa
Rasulullah Shallallahu alaihi wasalam. Ia putera seorang konglomerat
Makkah. Namanya menjadi buah bibir masyarakat, terutama kaum mudanya.
Sebelum masuk Islam ia dikenal dalam lingkaran pergaulan jet set. Namun,
suatu hari mereka tak lagi melihat sosoknya. Mereka kaget ketika
mendengarnya sudah menjadi pribadi lain.
Benar, ia sudah bersentuhan dengan dakwah Rasulullah Shallallahu
alaihi wasallam dan hidup dalam kemanisan iman dan kedamaian risalahnya.
Sehingga cobaan beratpun ia terima dengan senyuman dan kesabaran.
Kehidupan glamour ia lepaskan. Bahkan dialah yang terpilih sebagai juru
dakwah kepada penduduk Madinah.
Disisi lain , tengoklah pribadi Musailamah Al-Khadzdzab. Setelah
mengikuti kafilah dakwah Rasulullah Shallallahu alaihi wasallam, jiwa
negatifnya masih menonjol, ketamakan akan kedudukan dan kehormatan
membawanya pada pengakuan diri sebagai nabi palsu. Akhirnya ia mati
terbunuh dalam kondisi tak beriman di tangan Wahsyi dalam suatu
peperangan.
Manusia tentu saja memiliki harapan agar jiwa positifnya bisa
menguasai dan membimbing dirinya. Sehingga ia bisa berjalan pada
garis-garis yang benar dan haq. Akan tetapi seringkali harapan ini tak
kunjung tercapai, bahkan bisa jadi justru kondisi sebaliknya yang
muncul. Ia terperosok ke dalam kubangan kebatilan.
Disinilah betapa besar peranan lingkungan yang mengelilingi diri
manusia baik keluarga kawan, tetangga, guru kerabat kerja, bacaan,
penglihatan, pendengaran, makanan, minuman, ataupun lainnya. Semua itu
memberikan andil dan pengaruh dalam mewarnai jiwa manusia.
Islam , sebagai Din yang haq, memberikan tuntunan ke pada manusia
agar ia menggunakan potensi ikhtiarnya untuk memilih dan menciptakan
lingkungan yang positif sebagai salah satu upaya pengarahan,
pemeliharaan , tazkiyah atau pembersihan jiwa dan sebagai tindakan
preventif dari hal-hal yang bisa mengotori jiwanya.
Disamping itu, diperlukan pendalaman terhadap tuntunan dan ajaran
Islam serta peningkatan pengalamnnya. Evaluasi diri dan introspeksi
harian terhadap perjalanan hidupnya, tak kalah pentingnya dalam tazkiyah
jiwa. Manakala jalan ini ditempuh dan jiwanya menjadi bersih dan suci,
maka ia termasuk orang yang beruntung dalam pandangan Allah Subhanahu wa
Ta’ala.
Sebaliknya , apabila jiwanya terkotori oleh berbagai polusi haram dan
kebatilan, maka ia termasuk orang yang merugi menurut kriteria Allah
Subhanahu wa Ta’ala
“Dan demi jiwa dan penyempurnaannya. Maka Allah mengilhamkan kepada
jiwa itu jalan kefasikan dan ketakqwaannya. Sesungguhnya beruntunglah
orang yang mesucikan jiwa itu. Dan merugilah orang yang
mengotorinya”(QS. Asy Syams [91] : 7-10).
Dua suasana jiwa yang berbeda itu akan tampak refleksinya
masing-masing perilaku keseharian manusia, baik dalam hibungannya dengan
Allah, lingkungan maupun dirinya.
Jiwa yang suci akan memancarkan perilaku yang suci pula, mencintai
Alah dan Rasul-Nya dan bermanfaat bagi lingkungan sekitarnya. Sedangkan
jiwa yang kotor akan melahirkan kemungkaran dan kerusakan, adalah benar
bahwa Allah tidak melihat penampilan lahir seseorang, tetapi yang
dilihat adalah hatinya, sebagaimana disebutkan dalam satu hadits. Tetapi
ini dimaksudkan sebagai penekanan akan pentingnya peranan niat bagi
sebuah amal, bukan untuk menafikan amal lahiriah.
Sebuah amal ibadah akan diterima Allah manakala ada kesejajaran
antara perilau lahiriah dan batiniah, disamping sesuai dengan tuntunan
Din. Lebih dari itu, secara lahiriah, manusia bisa saja tampak beribadah
kepada Allah. Dengan khusyu’ ia melakukan ruku’ dan sujud kepada-Nya.
Namun jiwanya belum tunduk ruku dan sujud kepada Allah Yang Maha Besar
dan Perkasa , kepada tuntunan dan ajaran-Nya.
Tazkiyah jiwa merupakan suatu pekerjaan yang sungguh berat dan tidak
gampang. Ia memerlukan kesungguhan, ketabahan dan kontinuitas.
Sebagaimana amal baik lainnya, tazkiyah adalah bagai membangun sebuah
gedung, disana banyak hal yang harus dikerahkan dan dikorbakan.
Sedangkan pengotoran jiwa, seperti amal buruk lainnya, adalah semisal
merobohkan bangunan, ia lebih mudah dan gampang serta tak banyak
menguras tenaga.
“Jalan menuju surga di rintangi dengan berbagai kesulitan. Sedangkan
jalan menuju neraka ditaburi dengan rangsangan hawa nafsu”, demikian
sabda Rasulullah Shallallahu alaihi wasallam
Tazkiyah jiwa ini menjadi lebih berat lagi ketika manusia hidup dalam
era informatika dan globalisasi dalam kemaksiatan dan dosa. Dimana
kreasi manusia begitu canggih dan signifikan. Mansusia seakan tak
berdaya mengikuti irama dan gelombangnya.
Sebenarnya Islam memiliki sikap yang akrab dan tidak menolak sains
dan tekhnologi, sementara sains dan tekhnologi tersebut tidak
bertentangan dan merusak lima hal prinsip (ad – dkaruriyat al khams);
Din , jiwa manusia, harta, generasi dan kehormatan. Sehingga tidak ada
paradoksal antara jiwa positif dan bersih serta nilai-nilai kebaikan
dengan perkembangan dan kemajuan zaman.
Pengalaman tuntunan dan akhlak Islami, meski tanpa pemerkosaan dalam
penafsirannya, tidak pernah bertentangan dengan alam sekitar. Lantaran
keduanya lahir dari satu sumber, Allah Subhanahu wa Ta’ala, Pencipta
alam semesta dan segala isinya.
Salah faham terhadap konsep ini akan mengakibatkan kerancuan pada
langgam kehidupan manusia.maka yang tampak adalah bukit hingar bingar
dan menonjolnya sarana pengotoran jiwa manusia. Akhirnya, nilai nilai
positif dan kebenaran seringkali tampak transparan dan terdengar
sayup-sayup. Benarlah apa yang menjadi prediksi junjungan kita, Nabi
Muhammad Shallallahu alaihi wasallam
“Orang yang sabar dalam berpegang dengan Din-nya semisal orang yang memegang bara api”.
Mereka acapkali mengalami banyak kesulitan dalam mengamalkan Din-nya.
Sehingga mereka merasa asing dalam keramaian. Namun demikian, tidaklah
berarti mereka boleh bersikap pesimis dalam hidup. Bahkan sebaliknya,
mereka harus merasa optimis. Sebab dalam situasi seperti ini, merekalah
sebenarnya orang yang meraih kemenangan dalam pandangan Islam.
“Islam mulai datang dalam keterasingan dan akan kembali dalam
keterasingan pula sebagaimana mulanya. Maka berbahagialah orang – orang
yang terasing”. (Al Hadist).
Dalam fenomena seperti ini, tak tahu entah dimana posisi kita. Yang
jelas, manusia senantiasa dianjurkan oleh Allah agar meningkatkan
kualitas dan posisi dirinya di hadapan Nya. Dan Allah tak pernah menolak
setiap hamba yang benar-benar ingin kembali kepada jalan-Nya.
Bahkan lebih dari itu, manakala hamba Nya datang dengan berjalan, maka Ia akan menjemputnya dengan berlari.
Sungguh Allah benar-benar Maha Pengasih lagi Maha Pengampun. Kita
berharap, semoga kita termasuk orang-orang yang mau mendengar
panggilan-Nya yang memiliki jiwa muthmainnah, jiwa yang tenang. Sehingga
kita akhirnya berhak meraih panggilan kasih sayang –Nya.
Firman Allah ta’ala yang artinya
“Hai jiwa yang tenang . Kembalilah kepada Rabb-mu dengan hati yang
puas dan diridhoi-Nya. Maka masuklah ke dalam jamaah hamba-hambaKu dan
masuklah ke dalam surga-Ku”.(QS.Al Fajr [89] : 27-30)
Penduduk surga kelak, ketika dosa telah tiada, ketika hijab dibuka,
mereka akan melihat Allah dengan mata kepala namun langsung menghujam ke
dalam hati sehingga terlihat bukan dalam suatu bentuk atau ukuran
karena tak ada sesuatu yang menyerupai-Nya
Al Imam Abu Ja’far ath-Thahawi -semoga Allah meridlainya- (227-321 H)
berkata: “Maha suci Allah dari batas-batas (bentuk kecil maupun besar,
jadi Allah tidak mempunyai ukuran sama sekali), batas akhir, sisi-sisi,
anggota badan yang besar (seperti wajah, tangan dan lainnya) maupun
anggota badan yang kecil (seperti mulut, lidah, anak lidah, hidung,
telinga dan lainnya). Dia tidak diliputi oleh satu maupun enam arah
penjuru (atas, bawah, kanan, kiri, depan dan belakang) tidak seperti
makhluk-Nya yang diliputi enam arah penjuru tersebut”.
Al Imam Fakhruddin ibn ‘Asakir (W. 620 H) dalam risalah aqidahnya
mengatakan : “Allah ada sebelum ciptaan, tidak ada bagi-Nya sebelum dan
sesudah, atas dan bawah, kanan dan kiri, depan dan belakang, keseluruhan
dan bagian-bagian, tidak boleh dikatakan “Kapan ada-Nya ?”, “Di mana
Dia?” atau “Bagaimana Dia ?”, Dia ada tanpa tempat”.
Al-Imâm al-Mujtahid Abu Hanifah an-Nu’man ibn Tsabit (w 150 H), salah
seorang ulama Salaf terkemuka perintis madzhab Hanafi, berkata:
وَالله تَعَالَى يُرَى فِي الآخِرَة، ويَرَاهُ الْمُؤْمِنُوْنَ وَهُمْ
فِي الْجَنّةِ بِأعْيُنِ رُؤُوْسِهِمْ بِلاَ تَشْبِيْهٍ وَلاَ كَمِّيّة،
وَلاَ يَكُوْنُ بَينَهُ وَبَيْنَ خَلْقِهِ مَسَافَة
“Allah di akhirat kelak akan dilihat. Orang-orang mukmin akan
melihat-Nya ketika mereka di surga dengan mata kepala mereka
masing-masing dengan tanpa adanya keserupaan bagi-Nya, bukan sebagai
bentuk yang berukuran, dan tidak ada jarak antara mereka dengan Allah
(artinya bahwa Allah ada tanpa tempat, tidak di dalam atau di luar
surga, tidak di atas, bawah, belakang, depan, samping kanan ataupun
samping kiri)” (al-Fiqh al-Akbar karya al-Imâm Abu Hanifah dengan
penjelasannya karya Mulla Ali al-Qari, h. 136-137 )
Al-Imâm asy-Syaikh Abu ath-Thayyib Sahl ibn Muhammad asy-Syafi’i (w 404 H), seorang mufti wilayah Nisafur pada masanya berkata:
سمعت الشيخ أبا الطيب الصعلوكي يقول: “ُتضامّون” بضم أوله وتشديد الميم
يريد لا تجتمعون لرؤيته- تعالى- في جهة ولا ينضم بعضكم إلى بعض فإنه لا يرى
في جهة
”
“Saya telah mendengar asy-Syaikh Abu at-Thayyib as-Sha’luki berkata
dalam menerangkan hadits tentang Ru’yatullâh (melihat Allah bagi
orang-orang mukmin). Dalam hadits tersebut terdapat kata “Lâ Tudlammûn”,
al-Imâm as-Sha’luki mengartikannya bahwa kelak orang-orang mukmin di
surga akan melihat Allah tanpa tempat dan tanpa arah, mereka ketika itu
tidak saling berdesakan satu sama lainnya. Orang-orang mukmin tersebut
berada di dalam surga, namun Allah tidak dikatakan di dalam atau di luar
surga. Karena Allah bukan benda, Dia ada tanpa tempat dan tanpa arah”.
(Pernyataan al-Imâm as-Sha’luki ini dikutip pula oleh al-Hâfizh Ibn
Hajar al-Asqalani dan kitab Fath al-Bâri dan disepakatinya)
Begitupulapada hari kiamat kelak, Allah akan menghisab seluruh
hamba-Nya dari bangsamanusia dan jin dengan memperdengarkan kalamNya
yang bukan huruf, suara atau bahasa. KalamNya yang tidak diliputi atau
dipengaruhi oleh dimensi ruang dan waktu.
Allah akan memperdengarkan Kalam-Nya kepada setiap orang dari mereka
namun tidak melaluitelinga yang diproses oleh akal pikiran atau otak
sehingga tidak memerlukanpenterjemah (proses penterjemahan / pemahaman
dari apa yang didengar) namun langsung menghujam ke hati sehingga
mereka yang jumlahnya banyak dalam waktu yang amat cepat akan memahami
dari kalamAllah tersebut pertanyaan-pertanyaan tentang segala apa yang
telah merekakerjakan, segala apa yang mereka katakan, dan segala apa
yang mereka yakiniketika mereka hidup di dunia.
Firman Allah ta’ala yang artinya, “Pada hari ini tiap-tiap jiwa
diberi balasan dengan apa yang diusahakannya. Tidak ada yang dirugikan
pada hari ini. Sesungguhnya Allah amat cepat hisabnya” (QS Al Mu’min
[40]:17)
Rasulullahbersabda: “Setiap orang akan Allah perdengarkan Kalam-Nya
kepadanya(menghisabnya) pada hari kiamat, tidak ada penterjemah antara
dia denganAllah”. (HR. al-Bukhari)
Begitupula Nabi Musa alaihi salam yang mendapat gelar “Kalimullah”
karena beliau pernah mendengar kalam Allah , al-Kalam adz-Dzati yang
bukan berupa huruf, bukan suara dan bukan bahasa yang langsung menghujam
ke dalam hati sehingga dapat memahami kalam Allah.
Sedangkan suara adalah gelombang yang diliputi dimensi ruang dan
waktu yang ditangkap oleh panca indera yakni indera pendengaran
(telinga) yang kemudian diolah oleh akal pikiran atau otak yang dipahami
oleh akal qalbu (hati).
Kalam yang terdiri dari suara dan huruf itu pasti diciptakan, Mengapa? Karena suara dan huruf memiliki awal atau permulaan.
Contoh dalam “Bismillah”, misalnya “i” ada setelah datang “b”,
sehingga ketika anda mengatakan Bismillah, suara “i” hanya menjadi ada
setelah ketidak adaan “b”
Begitupula perkataan “saya” menjadi ada setelah sebelumnya tiada,
artinya bahwa perkataan “saya” perlu akan pencipta. Tidak ada sesuatu
bisa ada tanpa ada yang mencipta, semua muslim percaya hal ini.
Sedangkan kalam Allah bersifat qadim, tanpa permulaan , tanpa ada
yang mencipta, bukan makhluk sementara pergantian huruf-huruf dan
suara adalah makhluk, sesuatu yang baharu (huduts / hadits) yang
memiliki permulaan; tidak Qadim.
Penduduk surga bergembira ketika menyaksikan Allah yang merupakan kenikmatan kekal abadi.
Begitupula kaum muslim yang meraih maqom (derajat) disisiNya ,
bertemu dan bersama Allah, menyaksikan Allah dengan hatinya (ain
bashiroh) sehingga menjadi kekasih Allah atau wali Allah maka tidak ada
kekhawatiran terhadap mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati.
Firman Allah ta’ala yang artinya “Ingatlah, sesungguhnya wali-wali
Allah itu, tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak (pula)
mereka bersedih hati” (QS Yunus [10]:62)
Cara memperjalankan diri kepada Allah hingga sampai (wushul) kepada
Allah, meraih maqom (derajat) disisiNya sehingga bertemu Allah dan
menyaksikan Allah dengan hati adalah dengan dzikrullah
Dalam suatu riwayat. ”Qoola A’liyy bin Abi Thalib: Qultu yaa
Rasulullah ayyun thariiqatin aqrabu ilallahi? Faqoola Rasullulahi:
dzikrullahi”. artinya; “Ali Bin Abi Thalib berkata; “aku bertanya kepada
Rasullulah, jalan/metode(Thariqot) apakah yang bisa mendekatkan diri
kepada Allah? “Rasullulah menjawab; “dzikrulah.”
Firman Allah ta’ala yang artinya “Ingatlah, hanya dengan dzikir kepada Allah-lah hati menjadi tentram”. (QS ar-Ra‘d [13] : 28)
Sholat adalah dzikrullah yang utama
Firman Allah ta’ala , “waladzikrullaahi akbaru”, “Dan sesungguhnya
mengingat Allah (shalat) adalah lebih besar (keutamaannya dari
ibadat-ibadat yang lain)” (QS al Ankabut : [29] : 45)
Nabi Muhammad shallallahu alaihi wasallam bersabda, bahwa
“Ash-shalatul Mi’rajul Mu’minin”, “sholat itu adalah mi’rajnya
orang-orang mukmin“. Yaitu naiknya jiwa meninggalkan ikatan nafsu yang
terdapat dalam fisik manusia menuju ke hadirat Allah.
Dalam sebuah hadist Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda:
“Sesungguhnya kalian apabila sholat maka sesungguhnya ia sedang
bermunajat (bertemu) dengan Tuhannya, maka hendaknya ia mengerti
bagaimana bermunajat dengan Tuhan”
Firman Allah ta’ala yang artinya“Sesungguhnya sholat itu memang
berat kecuali bagi mereka yang khusyu’ yaitu mereka yang yakin akan
berjumpa dengan Tuhan mereka, dan sesungguhnya mereka akan kembali
kepadaNya”. (QS. Al-Baqarah 2 : 45).
Dari Anas Ra, Rasulullah shallallahu alaihi wasallam berkata “….kesenanganku dijadikan dalam shalat”
Rasulullah shallallahu alaihi wasallam sangat menikmati ibadah,
bahkan beliau pernah berdiri dalam sholat malam sampai kedua kakinya
bengkak. ‘Aisyah pernah bertanya kepada beliau: “Wahai Rasulullah,
mengapa engkau lakukan hal ini, bukankah Allah telah memberikan ampunan
kepadamu atas dosa-dosa yang telah berlalu dan yang akan datang?” Beliau
menjawab: “afala akuuna ‘abadan syakuuraa” , “Tidak bolehkah aku
menjadi seorang hamba yang banyak bersyukur?”
Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda: “Sembahlah Allah
dengan senang hati. Jika kamu tidak mampu, maka hal yang terbaik bagimu
adalah bersikap sabar menghadapi nasib yang tidak kamu sukai.“
Puasa juga termasuk dzikrullah sarana bertemu dengan Allah sehingga menyaksikan Allah dengan hati.
Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda “Bagi orang yang berpuasa ada dua kegembiraan, yaitu kegembiraan ketika berbuka dan kegembiraan ketika bertemu dengan Tuhannya” (HR Bukhari).
Ulama tasawuf Syaikh Ibnu Athoillah menceritakan bahwa orang yang
tidak dapat menyaksikan Allah dengan hatinya adalah orang yang ikut
mengatur bersama Allah.
Orang yang ikut mengatur bersama Allah adalah seperti anak yang pergi
bersama ayahnya. Keduanya berjalan di malam hari.Karena menyayangi
anaknya, sang ayah senantiasa mengawasi dan memperhatikannya tanpa
diketahui sang anak.Anak itu tidak bisa melihat ayahnya karena malam
yang teramat gelap. Ia meresahkan keadaan dirinya dan tidak tahu apa
yang harus diperbuat.Ketika cahaya bulan menyinari dan ia melihat
ayahnya dekat kepadanya, keresahannya sirna. Ia tahu ayahnya begitu
dekat dengannya. Kini ia merasa tidak perlu ikut mengurus dirinya karena
segala sesuatu telah diperhatikan oleh ayahnya. Seperti itulah orang
mengatur untuk dirinya. Ia melakukannya karena berada dalam kegelapan –
terputus dari Allah. Ia tidak merasakan kedekatan Allah. Andaikata bulan
tauhid atau mentari makrifat menyinarinya, tentu ia melihat Tuhan
begitu dekat, sehingga ia malu untuk mengatur dirinya dan merasa cukup
dengan pengaturan Allah.
Syaikh Ibnu Athoillah lebih lanjut menjelaskan
****** awal kutipan *****
Perumpamaan orang yang mengatur bersama Allah Subhanahu wa Ta’ala dan orang yang tidak ikut mengatur adalah seperti dua budak milik seorang majikan.
Perumpamaan orang yang mengatur bersama Allah Subhanahu wa Ta’ala dan orang yang tidak ikut mengatur adalah seperti dua budak milik seorang majikan.
Budak yang satu sibuk dengan perintah majikan serta tidak memikirkan
masalah pakaian dan makanan. Seluruh perhatiannya terpusat pada upaya
untuk mengabdi kepada majikannya sehingga lupa memerhatikan kepentingan
dirinya.Sebaliknya, budak yang kedua, selalu memerhatikan kebutuhan
dirinya. Setiap kali sang majikan mencarinya, ia sedang mencuci baju,
memperbaiki keretanya dan menghias pakaiannya.
Tentu saja budak yang pertama lebih layak mendapat perhatian sang
majikan daripada budak kedua yang sibuk dengan kepentingan dirinya dan
melupakan kewajibannya. Seorang budak dibeli untuk mengabdi kepada
majikan, bukan untuk memuaskan kepentingan dirinya sendiri.
Firman Allah ta’ala yang artinya “Sesungguhnya Allah membeli dari orang-orang mukmin, baik diri maupun harta mereka dengan memberikan surga untuk mereka”. (QS At Taubah [9]: 111)
Orang beriman harus menyerahkan dirinya kepada Allah beserta segala sesuatu yang terkait dengan dirinya. Sebab, Allah lah yang menciptakannya dan Dia pula yang membelinya. Salah satu keniscayaan dari sikap berserah diri adalah tidak ikut mengatur atas apa yang telah kauserahkan.
Sungguh setan itu tidak akan berpengaruh terhadap orang yang beriman dan bertawakal kepada Tuhan.
Ketahuilah, musuh sejatimu, yaitu setan, akan senantiasa mengganggumu ketika kau berada dalam keadaan yang
Allah tetapkan untukmu. Kemudian setan membisikkan buruknya keadaan itu sehingga kau menghendaki keadaan lain diluar yang telah ditetapkan Allah. Akibatnya, kau selalu gelisah dan hatimu keruh.
Setan akan mendatangi orang bekerja dan mengatakan kepadanya,“Jika kau meninggalkan pekerjaanmu dan khusyuk beribadah, tentu kau akan mendapatkan cahaya dan kebeningan hati. Itulah yang dialami si fulan dan si fulan”Sementara Allah tidak menetapkannya sebagai abid yang melulu beribadah. Ia tak mampu melakukannya. Kebaikannya hanya ada dalam kerja. Jika ia mengikuti bisikan setan dan meninggalkan pekerjaannya, imannya akan goyah dan keyakinannya akan runtuh.
Pada orang yang melulu beribadah, setan mebisikan hasutan yang berbeda,”Sampai kapan kau enggan bekerja? Jika kau tidak bekerja, kau akan mengharapkan milik orang lain dan hatimu diliputi ketamakan. Tanpa kerja, kau tidak akan bisa membantu dan meendahulukan kepentingan orang lain serta tidak akan mampu menunaikan kewajibanmu. Keluarlah dari keadaanmu yang selalu menunggu pemberian makhluk. Jika kau bekerja, orang lainlah yang akan menunggu pemberianmu.”Begitulah setan membisikan godaannya.
Firman Allah ta’ala yang artinya
“Dan Tuhanmu menciptakan dan memilih apa yang Dia kehendaki. Bagi mereka (manusia) tidak ada pilihan. (QS Qashash [28] : 68)
“Barang siapa bertakwa kepada Allah niscaya Dia akan memberikan jalan keluar, dan memberinya rezeki dari arah yang tidak disangka. Dan barang siapa yang bertawakal kepada Allah niscaya Allah akan mencukupkan (keperluan)nya.” (QS. Ath Thalaaq [65]: 2-3).
Tujuan setan adalah agar manusia tidak rida atas keadaan yang Allah tetapkan untuknya. Ia berusaha mengeluarkan mereka dari pilihan Allah menuju pilihan mereka sendiri.
Ketahuilah, ketika Allah memasukkanmu ke dalam suatu keadaan, Dia pasti akan selalu membantumu.Namun, jika kau masuk ke dalamnya dengan kemauan sendiri, Dia akan membiarkanmu.
Allah ta’ala berfirman, “Katakan, “Wahai Tuhan, masukkanlah aku dengan cara masuk yang benar dan keluarkanlah aku dengan cara keluar yang benar, serta berikanlah kepadaku dari sisi-Mu kekuasaan yang menolong ” (QS Al-Israa’ [17]: 80)
Sesungguhnya engkau tidak mengetahui akhir dan akibat dari setiap urusan. Mungkin kau bisa mengatur dan merancang sebuah urusan yang baik menurutmu. Tetapi ternyata urusan itu berakibat buruk bagimu.
Mungkin ada keuntungan di balik kesulitan dan sebaliknya, banyak kesulitan di balik keuntungan. Bisa jadi bahaya datang dari kemudahan dan kemudahan datang dari bahaya.Mungkin saja anugerah tersimpan dalam ujian dan cobaan tersembunyi dibalik anugerah. Dan bisa jadi kau mendapatkan manfaat lewat tangan musuh dan binasa lewat orang yang kau cintai.
Orang yang berakal tidak akan ikut mengatur bersama Allah karena ia tidak mengetahui mana yang berguna dan mana yang berbahaya bagi dirinya.
Syekh Abu Al Hasan rahimahullah berkata, “Ya Allah, aku tidak berdaya menolak bahaya dari diri kami meskipun datang dari arah yang kami ketahui dan dengan cara yang kami ketahui. Lalu, bagaimana kami mampu menolak bahaya yang datang dari arah dan cara yang kami tidak ketahui?”
Cukuplah untukmu firman Allah, “Bisa jadi kalian membenci sesuatu padahal ia baik untuk kalian. Bisa jadi kalian mencintai sesuatu padahal ia buruk untuk kalian. Allah mengetahui, sementara kalian tidak mengetahui.” (QS al Baqarah [2]: 216)
Seringkali kau menginginkan sesuatu, namun Tuhan memalingkannya darimu. Akibatnya, kau merasa sedih dan terus menginginkannya. Namun, ketika akhir dan akibat dari apa yang kau hasratkan itu tersingkap, barulah kau menyadari bahwa Allah Subhanahu wa Ta’ala melihatmu dengan pandangan yang baik dari arah yang tidak kau ketahui, dan memilihkan untukmu dari arah yang tidak kau ketahui.
Sungguh buruk seorang hamba yang tidak paham dan tidak pasrah kepadaNya.
Engkau adalah hamba yang selalu Dia pelihara. Seorang hamba tidak boleh ragu kepada majikannya. Apalagi sang majikan selalu memberi dan tidak pernah mengabaikan.
Inti ibadah adalah percaya kepada Allah dan pasrah kepadaNya. Sikap itu berlawanan dengan hasrat ikut mengatur dan memilih bersama Allah. Seorang hamba harus mengabdi kepadaNya, dan Dia akan memberikan karunia untuknya.
Pahamilah firmanNya, “Perintahkan keluargamu untuk shalat dan bersabarlah atasnya. Kami tidak meminta rezeki. Kamilah yang memberimu rezeki.” ”[QS Thaha [20] : 132]Artinya, mengabdilah kepada Kami, tentu Kami akan memberikan bagian padamu. Ayat itu mengandung dua hal, sesuatu yang Allah jamin untukmu sehingga kau tidak perlu mencarinya dan sesuatu yang diminta darimu sehingga tidak boleh kamu abaikan.
Kami tidak memintamu untuk memberi rezeki kepada diri dan keluargamu.
Bagaimana mungkin Kami memintamu melakukan hal semacam itu?! Bagaimana mungkin Kami membebani kewajiban untuk memberi rezeki kepada dirimu, sementara kau tidak akan mampu melakukannya? Terpujikah Kami jika memerintahkanmu mengabdi, sementara kami tidak memberikan bagian untukmu?
Orang yang menyibukkan diri dengan sesuatu yang telah dijamin oleh Allah sehingga lalai dari apa yang diminta, berarti sangat bodoh dan lalai. Semestinya setiap hamba menyibukkan diri dengan apa yang dituntut darinya tanpa memikirkan apa yang telah dijamin untuknya.Allah SWT, memberi rezeki kepada kaum yang membangkang, jadi bagaimana mungkin Dia tidak memberi kepada kaum yang taat ?
Apabila Dia telah mengalirkan rezekiNya kepada orang kafir, bagaimana mungkin Dia menahannya untuk orang yang beriman ?
Kau telah mengetahui bahwa dunia telah dijamin untukmu, sedang akhirat diminta darimu.Kau memiliki akal dan mata hati, jadi kenapa kau arahkan perhatianmu kepada sesuatu yang telah dijamin untukmu sehingga kau melalaikan kewajibanmu ?
Rasulullah shallallahu alaihi wasallam membolehkan kita berusaha mencari rezeki. Seandainya usaha atau bekerja bertentangan dengan tawakal, tentu Rasulullah akan melarangnya. Rasulullah shallallahu alaihi wasallam tidak mengatakan, “Jangan mencari rezeki,” namun, “Carilah rezeki dengan cara yang baik.”
Nabi Muhammad shallallahu alaihi wasallam membolehkan kita mencari rezeki, karena itu merupakan bagian dari usaha. Nabi Muhammad shallallahu alaihi wasallam bersabda “ Makanan yang paling halal dimakan seseorang adalah yang merupakan hasil usahanya sendiri”
2. Cara mencari rezeki yang baik adalah mencarinya kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala tanpa menetapkan batasan, sebab, dan waktunya sehingga Dia akan memberikan kepadanya apa yang Dia kehendaki, dan diwaktu yang Dia kehendaki. Itulah etika meminta rezeki. Orang yang mencari rezeki seraya menetapkan kadar, sebab dan waktunya berarti telah mengatur Tuhannya, dan sikap itu menunjukkan kelalaian hatinya.
3. Cara meminta rezeki yang baik adalah memintanya kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala dan jangan jadikan apa yang kau inginkan sebagai tujuan doamu. Permintaanmu itu sesungguhnya hanyalah sarana untuk bermunajat kepada Nya.
4. Cara mencari rezeki yang baik adalah dilakukan dengan penuh kesadaran bahwa jatahmu telah ditetapkan dan akan mendatangimu, bukan permintaan dan usahamu yang mengantarkanmu kepadanya
5. Cara meminta rezeki yang baik adalah meminta kepada Allah sesuatu yang bisa mencukupimu bukan yang melenakanmu. Jangan menghendaki sesuatu secara berlebihan. Nabi Muhammad Shallallahu alaihi wasallam, mengajarkan doa yang baik “ Ya Allah, jadikanlah makanan keluarga Muhammad sekedar bisa mencukupi’.
6. Cara meminta rezeki yang baik bisa dengan cara meminta bagian dunianya. Allah berfirman “dan, diantara mereka ada yang berdoa, Ya Tuhan kami , berilah kami kebaikan didunia dan kebaikan di akhirat dan lindungilah kami dari azab neraka” (QS Al Baqarah : 201)
7. Cara meminta rezeki yang baik adalah meminta tanpa meragukan jatah yang diberikan Allah, serta tetap menjaga diri dari segala sesuatu yang dilarang.
8. Cara meminta rezeki yang baik adalah meminta tanpa menuntut untuk segera dikabulkan.
9. Cara meminta rezeki yang baik adalah meminta dan bersyukur kepada Allah jika diberi dan menyadari pilihan terbaik Nya jika tidak diberi.
10. Cara meminta rezeki dengan baik adalah meminta kepada – Nya agar kau berpegang pada pembagian-Nya yang telah ditetapkan, tidak kepada permintaanmu.
****** akhir kutipan *****
Munajat syaikh Ibnu Athoillah, Ya Allah, Engkau telah menetapkan untuk kami bagian yang Engkau sampaikan kepada kami. Maka sampaikanlah kami kepadanya dengan mudah dan tanpa kepenatan, terjaga dari keterhijaban, diliputi cahaya hubungan dengan-Mu, yang kami saksikan dari-Mu sehingga kami termasuk golongan yang bersyukur dan menyandarkan bagian kami itu kepada-Mu, bukan kepada salah satu mahluk-Mu.
Muslim yang menyaksikan Allah dengan hatinya, mereka telah
menyerahkan kendali mereka pada Allah. Mereka mempersembahkan diri
mereka di hadapanNya. Mereka tidak mau membela diri karena malu terhadap
rububiyah-Nya dan merasa cukup dengan sifat qayyum-Nya. Karenanya,
Allah memberi mereka sesuatu yang lebih daripada apa yang mereka berikan
untuk diri mereka sendiri.
Muslim yang menyaksikan Allah dengan hatinya, setiap akan bersikap
atau berbuat sehingga mencegah dirinya dari melakukan sesuatu yang
dibenciNya , menghindari perbuatan maksiat, menghindari perbuatan keji
dan mungkar sehingga terbentuklah muslim yang berakhlakul karimah atau
muslim yang sholeh atau muslim yang ihsan.
Lalu dia bertanya lagi, ‘Wahai Rasulullah, apakah ihsan itu? ‘ Beliau
menjawab, ‘Kamu takut (khasyyah) kepada Allah seakan-akan kamu
melihat-Nya (bermakrifat), maka jika kamu tidak melihat-Nya
(bermakrifat) maka sesungguhnya Dia melihatmu.” (HR Muslim 11)
Firman Allah ta’ala yang artinya “Sesungguhnya yang takut kepada
Allah di antara hamba-hamba-Nya, hanyalah ulama” (QS Al Faathir [35]:28)
Tujuan beragama adalah menjadi muslim yang ihsan atau muslim yang berakhlakul karimah
Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda “Sesungguhnya aku diutus (Allah) untuk menyempurnakan Akhlak.” (HR Ahmad)
Firman Allah ta’ala yang artinya,
“Sungguh dalam dirimu terdapat akhlak yang mulia”. (QS Al-Qalam:4)
“Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri tauladan yang
baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan
(kedatangan) hari kiamat dan Dia banyak menyebut Allah”. (QS
Al-Ahzab:21)
Muslim yang memandang Allah ta’ala dengan hati (ain bashiroh) atau
muslim yang bermakrifat adalah muslim yang selalu meyakini kehadiranNya,
selalu sadar dan ingat kepadaNya.
Imam Qusyairi mengatakan “Asy-Syahid untuk menunjukkan sesuatu yang
hadir dalam hati, yaitu sesuatu yang membuatnya selalu sadar dan ingat,
sehingga seakan-akan pemilik hati tersebut senantiasa melihat dan
menyaksikan-Nya, sekalipun Dia tidak tampak. Setiap apa yang membuat
ingatannya menguasai hati seseorang maka dia adalah seorang syahid
(penyaksi)”
Imam Sayyidina Ali r.a. pernah ditanya oleh seorang sahabatnya bernama Zi’lib Al-Yamani, “Apakah Anda pernah melihat Tuhan?”
Beliau menjawab, “Bagaimana saya menyembah yang tidak pernah saya lihat?”
Beliau menjawab, “Bagaimana saya menyembah yang tidak pernah saya lihat?”
“Bagaimana Anda melihat-Nya?” tanyanya kembali.
Sayyidina Ali ra menjawab “Dia tak bisa dilihat oleh mata dengan pandangan manusia yang kasat, tetapi bisa dilihat oleh hati”
Sebuah riwayat dari Ja’far bin Muhammad beliau ditanya: “Apakah
engkau melihat Tuhanmu ketika engkau menyembah-Nya?” Beliau menjawab:
“Saya telah melihat Tuhan, baru saya sembah”. “Bagaimana anda
melihat-Nya?” dia menjawab: “Tidak dilihat dengan mata yang memandang,
tapi dilihat dengan hati yang penuh Iman.”
Munajat Syaikh Ibnu Athoillah, “Ya Tuhan, yang berada di balik tirai
kemuliaanNya, sehingga tidak dapat dicapai oleh pandangan mata. Ya
Tuhan, yang telah menjelma dalam kesempurnaan, keindahan dan
keagunganNya, sehingga nyatalah bukti kebesaranNya dalam hati dan
perasaan. Ya Tuhan, bagaimana Engkau tersembunyi padahal Engkaulah Dzat
Yang Zhahir, dan bagaimana Engkau akan Gaib, padahal Engkaulah Pengawas
yang tetap hadir. Dialah Allah yang memberikan petunjuk dan kepadaNya
kami mohon pertolongan“
Syaikh Abdul Qadir Al-Jilany menyampaikan, “mereka yang sadar diri
senantiasa memandang Allah Azza wa Jalla dengan qalbunya, ketika terpadu
jadilah keteguhan yang satu yang mengugurkan hijab-hijab antara diri
mereka dengan DiriNya. Semua bangunan runtuh tinggal maknanya. Seluruh
sendi-sendi putus dan segala milik menjadi lepas, tak ada yang tersisa
selain Allah Azza wa Jalla. Tak ada ucapan dan gerak bagi mereka, tak
ada kesenangan bagi mereka hingga semua itu jadi benar. Jika sudah benar
sempurnalah semua perkara baginya. Pertama yang mereka keluarkan adalah
segala perbudakan duniawi kemudian mereka keluarkan segala hal selain
Allah Azza wa Jalla secara total dan senantiasa terus demikian dalam
menjalani ujian di RumahNya”.
Dr. Sri Mulyati, MA (Dosen Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah
Jakarta) dalam sebuah wawancara menyatakan bahwa “untuk dapat melihat
Allah dengan hati sebagaimana kaum sufi, tahapan pertama yang harus
dilewati adalah Takhalli, mengosongkan diri dari segala yang tidak baik,
baru kemudian sampai pada apa yang disebut Tahalli, harus benar-benar
mengisi kebaikan, berikutnya adalah Tajalli, benar-benar mengetahui
rahasia Tuhan. Dan ini adalah bentuk manifestasi dari rahasia-rahasia
yang diperlihatkan kepada hamba-Nya. Boleh jadi mereka sudah Takhalli
tapi sudah ditunjukkan oleh Allah kepada yang ia kehendaki”.
Dari kitab “Jalan Menuju Ma`rifatullah dengan Tahapan 7 M, Ust.Asrifin S.Ag.
menyampaikan bahwa untuk mencapai ma`rifatullah di kalangan sufi
setidaknya harus melalui beberapa maqam (pangkat/derajat) sebagai
berikut:
1. MUATABAH : - penyesalan atau meninggalkan dosa-dosa seketika dan bertekad untuk tidak melakukannya lagi.
6. MAHABBAH: Cinta. Cinta kepada Allah melebihi cintanya kepada yang selain-Nya.
7.MA`RIFAT: Pengetahuan yang tidak menerima keraguan lagi.
Pengetahuan tentang dzat dan sifat Allah yang tidak diragukan lagi.
Firman Allah ta’ala yang artinya,
”…Sekiranya kalau bukan karena karunia Allah dan rahmat-Nya, niscaya
tidak ada seorangpun dari kamu yang bersih (dari perbuatan keji dan
mungkar) selama-lamanya, tetapi Allah membersihkan siapa saja yang
dikehendaki…” (QS An-Nuur:21)
“Sesungguhnya Kami telah mensucikan mereka dengan (menganugerahkan
kepada mereka) akhlak yang tinggi yaitu selalu mengingatkan (manusia)
kepada negeri akhirat. Dan sesungguhnya mereka pada sisi Kami
benar-benar termasuk orang-orang pilihan yang paling baik.” (QS Shaad
[38]:46-47)
“Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah
ialah orang yang paling taqwa di antara kamu” (QS Al Hujuraat [49]:13)
“Tunjukilah kami jalan yang lurus , (yaitu) jalan orang-orang yang
telah Engkau beri ni’mat kepada mereka” (QS Al Fatihah [1]:6-7)
“Dan barangsiapa yang menta’ati Allah dan Rasul(Nya), mereka itu akan
bersama-sama dengan orang-orang yang dianugerahi ni’mat oleh Allah,
yaitu : Nabi-nabi, para shiddiiqiin, orang-orang yang mati syahid, dan
orang-orang sholeh. Dan mereka itulah teman yang sebaik-baiknya .” (QS
An Nisaa [4]: 69)
Muslim yang terbaik bukan nabi yang mendekatkan diri (taqarub) kepada
Allah sehingga meraih maqom (derajat) disisiNya dan menjadi kekasih
Allah (wali Allah) adalah shiddiqin, muslim yang membenarkan dan
menyaksikan Allah dengan hatinya (ain bashiroh) atau muslim yang
bermakrifat.
Al-Hakim al-Tirmidzi (205-320H/ 820-935M) membagi maqamat al-walayah (derajat kedekatan para Wali Allah ke dalam lima maqamat.
Kelima maqamat itu adalah:
al-muwahhidin
al-shadiqin
al-shiddiqin
al-muqarrabin
al-munfaridin
al-shadiqin
al-shiddiqin
al-muqarrabin
al-munfaridin
Pertama, al-muwahhidun (penganut faham tauhid). Seorang yang
mengesakan Allah disebut ahl al-tawhid. Seorang ahl al-tawhid telah
keluar dari kekufuran dan telah memiliki cahaya iman. Dengan modal
tauhid dan keimanan tersebut, ahl al-tawhid pada dasarnya telah
mendekatkan diri kepada Allah. Al-Hakim al-Tirmidzi menganggap hal ini
sebagai awwal manazil al-qurbah (permulaan peringkat kedekatan kepada
Allah); namun masih berada pada posisi qurbat al-’ammah (kedekatan
secara umum), bukan qurbat al-awliyâ` (kedekatan para wali)
Kedua, al-shadiqun yang juga dinamakan waliyy haqq Allah. Mereka
adalah orang yang memperoleh kewalian setelah bertobat, bertekad bulat
untuk menyempurnakan tobatnya, menjaga anggota tubuhnya dari perbuatan
maksiat, menunaikan al-faraidl (berbagai kewajiban), menjaga al-hudŭd
(hukum dan perundang-undangan Allah), dan membatasi al-mubahat (hal-hal
yang dibolehkan). Apabila berhadapan dengan al-mahdlur (hal-hal yang
dilarang) akan berpaling dan menolak sehingga jiwanya istiqamah.
Dinamakan waliyy haq Allah karena ibadah dan ketaatannya kepada Allah
serta perjuangannya dalam melawan hawa nafsu berlangsung secara terus
menerus tanpa pamrih, semata-mata karena menunaikan haqq Allah atas
diri-Nya.
Kewalian ini dinamakan walayat haqq Allah min al-shadiqin (kewalian orang-orang yang benar dalam memenuhi haq Allah).
Ada dua ciri utama yang menjadi karakteristik awliya haqq Allah,
yaitu: (1) bertaubat secara benar dan memlihara anggota tubuhnya dari
hal-hal yang dilarang, dan (2) mengendalikan diri dari hal-hal yang
dibolehkan.
Seorang waliyy haqq Allah, menurut al-Hakim al-Tirmidzi, mensucikan
batinnya setelah merasakan istiqamah dalam penyucian lahirianya. Ia
bertekad bulat untuk memenuhi dorongan rendah pada dirinya yang
berkenaan dengan al-jawarih al-sab’a (tujuh anggota tubuh), yakni mata,
lidah, pendengaran, tangan, kaki, perut, dan kemaluan.
Ketiga, al-Shiddiqin adalah orang-orang yang telah merdeka dari
perbudakan nafsu. Kemerdekaan ini bukan bebas dari nafsu atau keinginan
rendah; melainkan karena nafsunya berhasil mengambil jarak dari kalbu
mereka. Al-Shiddiqun kokoh dalam kedekatannya kepada Allah, bersikap
shidq (jujur dan benar) dalam prilakunya, sabar dalam mentaati Allah.
Menunaikan al-faraidl, menjaga al-hudŭd, dan mempertahankan posisinya
dengan sungguh-sungguh.
Mereka mencapai ghayat al-shidq (puncak kesungguhan) dalam memenuhi
hak Allah, berada pada manzil al-qurbah (posisi yang dekat dengan Allah)
dan mendapatkan khǎlish al-’ubŭdiyyah (hakikat kehambaan). Mereka
dinamakan al-muhǐbŭn (orang-orang yang kembali).
Keempat, al-muqarrabŭn mereka adalah al-shiddiqǔn yang memiliki
peluang untuk meningkatkan kualitas kedekatannya kepada Allah pada
martabat al-muqarrabin (martabat para wali yang didekatkan kepada
Allah), bahkan hingga berada di puncak kewalian.
Kelima, al-munfaridǔn. Hakim al-Tirmidzi berpandangan bahwa para wali
yang mengalami kenaikan peringkat dari maqamat al-muwahhidun,
al-shaddiqun, al-shiddiqun, hingga al-muqarrabun diatas telah sempurna
tingkat kewalian mereka.hanya saja Allah mengangkat salah seorang mereka
pada puncak kewalian tertinggi yang disebut dengan malak al-malak dan
menempatkan wali itu pada posisi bayn yadayhi (di hadapan-Nya). Pada
saat seperti itu ia sibuk dengan Allah dan lupa kepada sesuatu selain
Allah.
Kewalian, dalam pandangan Al-Hakim al-Tirmidzi dapat diraih dengan
terpadunya dua aspek penting, yakni karsa Allah kepada seorang hamba dan
kesungguhan pengabdian seorang hamba kepada Allah.
Aspek pertama merupakan wewenang mutlak Allah, sedangkan aspek kedua
merupakan perjuangan seorang hamba dengan mendekatkan diri kepada Allah.
Menurut al-Tirmidzi ada dua jalur yang dapat ditempuh oleh seorang
sufi guna meraih derajat kewalian. Jalur pertama disebut thariq ahl
al-minnah (jalan golongan yang mendapat anugerah); sedangkan jalur kedua
disebut thariq ashhab al-shidq (jalan golongan yang benar dalam
beribadah).
Melalui jalur pertama, seorang sufi meraih derajat wali di hadapan
Allah semata-mata karena karunia-Nya yang di berikan kepada siapa saja
yang dikehendaki-Nya di antara hamba-hamba-Nya. Sedangkan melalui jalur
kedua, seorang sufi meraih derajat wali berkat keikhlasan dan
kesungguhannya di dalam beribadah kepada Allah.
Derajat kewalian itu mengalami pasang surut; namun, setelah mengalami
pengumulan yang hebat, seorang wali berada di hadapan-Nya untuk
kemudian masuk dalam genggaman Tuhan. Pada situasi ini, seorang wali
melihat kumiz min al-hikmah (perbendaharaan hikmah) dan tersingkaplah
baginya ilmu Allah, sehingga naiklah horizon pengetahuan wali tersebut
dari pengenalan tentang ‘uyub al-nafs (rupa-rupa cacat dirinya) kepada
pengetahuan tentang al-shifat wa al-asma (sifat-sifat dan nama-nama
Allah), bahkan tersingkaplah baginya hakikat ilmu Allah.
Muslim yang dekat dengan Allah sehingga menjadi kekasih Allah (Wali Allah) dirindukan oleh para Nabi dan Syuhada Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda “sesungguhnya ada di
antara hamba Allah (manusia) yang mereka itu bukanlah para Nabi dan
bukan pula para Syuhada’. Mereka dirindukan oleh para Nabi dan Syuhada’
pada hari kiamat karena kedudukan (pangkat) mereka di sisi Allah
Subhanahu wa Ta’ala“ Seorang dari sahabatnya berkata, “siapa gerangan
mereka itu wahai Rasulullah? Semoga kita dapat mencintai mereka“. Nabi
shallallahu ‘alaihi wasallam menjawab dengan sabdanya: “Mereka adalah
suatu kaum yang saling berkasih sayang dengan anugerah Allah bukan
karena ada hubungan kekeluargaan dan bukan karena harta benda,
wajah-wajah mereka memancarkan cahaya dan mereka berdiri di atas
mimbar-mimbar dari cahaya. Tiada mereka merasa takut seperti manusia
merasakannya dan tiada mereka berduka cita apabila para manusia berduka
cita”. (HR. an Nasai dan Ibnu Hibban dalam kitab shahihnya)
Hadits senada, dari ‘Umar bin Khathab ra bahwa Rasulullah shallallahu
alaihi wasallam bersabda, “Sesungguhnya diantara hamba-hambaku itu ada
manusia manusia yang bukan termasuk golongan para Nabi, bukan pula
syuhada tetapi pada hari kiamat Allah ‘Azza wa Jalla menempatkan maqam
mereka itu adalah maqam para Nabi dan syuhada.” Seorang laki-laki
bertanya : “siapa mereka itu dan apa amalan mereka?”mudah-mudahan kami
menyukainya“. Nabi bersabda: “yaitu Kaum yang saling menyayangi karena
Allah ‘Azza wa Jalla walaupun mereka tidak bertalian darah, dan mereka
itu saling menyayangi bukan karena hartanya, dan demi Allah sungguh
wajah mereka itu bercahaya, dan sungguh tempat mereka itu dari cahaya,
dan mereka itu tidak takut seperti yang ditakuti manusia, dan tidak
susah seperti yang disusahkan manusia,” kemudian beliau membaca ayat : ”
Ingatlah, sesungguhnya wali-wali Allah itu, tidak ada kekhawatiran
terhadap mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati”. (QS Yunus
[10]:62)
Wassalam
0 Response to "Hati melihat Allah"
Posting Komentar