Pada diri kita
Ubahlah keadaan yang ada pada diri kita sendiri
Syaikh Ibnu Athoillah dalam sebuah hikmah menegaskan sebagai berikut
مَا تَرَاكَ مِنَ الْجَهْلِ شَيْأً مَنْ اَرَادَنَ يُحْدِثُ فِى اْلوَقْتِ غَيْرَ اَظْهَرَهُ اللهُ فِيْه
Artinya : “tidak meninggalkan kedunguan sedikitpun (sangat bodoh)
orang yang menghendaki perubahan di dalam waktu (yang telah ditentukan)
menuju kelain waktu yang Allah telah menampakannya di dalam waktu itu”.
Allah Subhanahu wa Ta’ala adalah Dzat yang Maha Merajai diseluruh
alam semesta ini. Dia mengetahui segela sesuatu yang ada didalam
kerajaanNya, itu dengan kebijaksanaan dan kehendak-Nya sendiri.
Maka dari itu apa saja yang terjadi apa saja dialam semesta ini,
misalnya jatuh sakit, orang yang berada ditingkat tajrid, orang berada
ditingkat kasab, miskin serta kaya, semua itu berjalan dengan kehendak
dan iradat yang telah direncanakan sejak semula oleh Allah Subhanahu wa
Ta’ala dan juga mengikuti peraturan yang telah ditetapkan dalam alam
wujud ini.
Dalam Hal ini Allah Subhanahu wa ta’ala berfirman :
وَكُلُّ شَيْءٍ عِنْدَهُ بِمِقْدَارٍ
Artinya : “…Dan segala sesuatu pada sisi Allah adalah dengan ketentuan taqdir” (Q.S: Ar Ra’d [13]:8)
Oleh sebab itu jika ada sesorang yang ingin merubah suatu keadaan
yang telah ditentukan oleh Allah pada waktu itu juga, orang yang semacam
ini adalah sedungu-dungu atau sebodoh-bodohnya orang, yang tidak
memahami akan qudrat dan iradat Allah Subhanahu wa Ta’ala. Dengan
alasan, karena ia menghendaki suatu keadaan yang belum dikehendaki
Allah, berarti dalam garis besarnya ia tidak rela akan ketetapan dan
keputusan Allah yang telah diberikan kepadanya.
Padahal apa saja yang telah ditetapkan Allah kepadanya bukanlah termasuk suatu keadaan yang tercela.
Jadi usahanya untuk merubah suatu keadaan yang telah ditetapkan oleh
Allah itu termasuk perbuatan yang tidak sopan (tercela). Sebaiknya
setiap manusia harus menerima ketetapan (taqdir) Allah ini harus dengan
lapang dada dan rela hati yang dibarengi dengan ikhtiar.
Ketiga, pengaturan manusia dibanding pengaturan Tuhan, Syaikh Ibnu ‘Atha’illah menegaskan pula dalam hikmah sebagi berikut :
لاَ ِنهَايَةَ ِلمَذَامِكَ اِنْ أَرْجَعَكَ إِليَْكَ وَلاَ تَفْرَغُ مَدَ فَحِكَ إِنْ أَظْهَرَوُجُوْدَهُ عَلَيْكَ
Artinya “ tidak ada batas akhirnya (tidak ada selesainya)
kejelekanmu jika Allah mengembalikan kamu kepada kekuatan usaha dan daya
upayamu sendiri. Dan tidak akan ada habisnya kebaikanmu, jika Allah
memperlihatkan kemurahan-Nya kepadamu”
Tidak akan ada pangkal ujungnya atau batas akhirnya orang yang
mengerjakan kejahatan jika amal itu dikendalikan hawa nafsunya, sebab
nafsu itu cenderung pada kejelekan. Sebaliknya orang yang merasa bosan
atau tidak henti-hentinya untuk mengerjakan amal kebaikan jika Allah
memberikan sifat kemurahannya kepadanya.
Penjelasan mengenai hikmah diatas, seseorang seharusnya lepas
terhadap amal usahanya, tidak memepedulikan apa hasilnya baik atau
buruk. Artinya manusia harus bergantung pada Tuhan, jangan bergantung
pada perbuatan atau tindakan diri sendiri.
Firman Allah ta’ala yang artinya “Sesungguhnya Allah tidak mengubah keadaan sesuatu kaum sehingga mereka mengubah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri“. (QS Ar Ra’d [13]:11)
Dalam satu riwayat disebutkan bahwa seorang pencuri, yang diajukan
kepada Umar bin Khattab ra., mengatakan bahwa dirinya melakukan
pencurian karena sudah ditakdirkan Allah. Lalu dengan tangkas Umar bin
Khattab menjawab bahwa bila tangannya dipotong , juga merupakan takdir
Allah.
Allah Azza wa Jalla tidak boleh dipersamakan dengan pembuat arloji.
Setelah arloji itu dibikin dan dilempar ke pasar maka ia tak tahu lagi
bagaimana nasib arloji tersebut, apakah masih berputar atau sudah mati.
Allah Azza wa Jalla senantiasa memonitor dan mengontrol makhluk-Nya.
Allah, tidak ada Tuhan (yang berhak disembah) melainkan Dia Yang
Hidup kekal lagi terus menerus mengurus (makhluk-Nya); tidak mengantuk
dan tidak tidur. Kepunyaan-Nya apa yang di langit dan di bumi. Tiada
yang dapat memberi syafaat di sisi Allah tanpa izin-Nya. Allah
mengetahui apa-apa yang di hadapan mereka dan di belakang mereka, dan
mereka tidak mengetahui apa-apa dari ilmu Allah melainkan apa yang
dikehendaki-Nya. Kursi Allah meliputi langit dan bumi. Dan Allah tidak
merasa berat memelihara keduanya, dan Allah Maha Tinggi lagi Maha Besar. (QS Al-Baqarah [2] : 255)
“Allah tidak ada Tuhan melainkan Dia Yang Hidup Kekal lagi terus menerus mengurusi (makhluk-Nya), tidak mengantuk dan tidak tidur” (QS. 2:255).
Apakah yang dimaksud dengan “mereka mengubah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri“
Dua dimensi jiwa manusia senantiasa saling menyaingi, mempengaruhi dan berperang.
Kemungkinan jiwa positif manusia menguasai dirinya selalu terbuka,
seperti yang dialami Habil. Dan jiwa negatifpun tak tertutup kemungkinan
untuk mengontrol diri manusia, seperti yang terjadi pada Qobil.
Tataplah sosok seorang Mush’ab bin Umair ra yang hidup di masa
Rasulullah Shallallahu alaihi wasalam. Ia putera seorang konglomerat
Makkah. Namanya menjadi buah bibir masyarakat, terutama kaum mudanya.
Sebelum masuk Islam ia dikenal dalam lingkaran pergaulan jet set. Namun,
suatu hari mereka tak lagi melihat sosoknya. Mereka kaget ketika
mendengarnya sudah menjadi pribadi lain.
Benar, ia sudah bersentuhan dengan dakwah Rasulullah Shallallahu
alaihi wasallam dan hidup dalam kemanisan iman dan kedamaian risalahnya.
Sehingga cobaan beratpun ia terima dengan senyuman dan kesabaran.
Kehidupan glamour ia lepaskan. Bahkan dialah yang terpilih sebagai juru
dakwah kepada penduduk Madinah.
Disisi lain , tengoklah pribadi Musailamah Al-Khadzdzab. Setelah
mengikuti kafilah dakwah Rasulullah Shallallahu alaihi wasallam, jiwa
negatifnya masih menonjol, ketamakan akan kedudukan dan kehormatan
membawanya pada pengakuan diri sebagai nabi palsu. Akhirnya ia mati
terbunuh dalam kondisi tak beriman di tangan Wahsyi dalam suatu
peperangan.
Manusia tentu saja memiliki harapan agar jiwa positifnya bisa
menguasai dan membimbing dirinya. Sehingga ia bisa berjalan pada
garis-garis yang benar dan haq. Akan tetapi seringkali harapan ini tak
kunjung tercapai, bahkan bisa jadi justru kondisi sebaliknya yang
muncul. Ia terperosok ke dalam kubangan kebatilan.
Disinilah betapa besar peranan lingkungan yang mengelilingi diri
manusia baik keluarga kawan, tetangga, guru kerabat kerja, bacaan,
penglihatan, pendengaran, makanan, minuman, ataupun lainnya. Semua itu
memberikan andil dan pengaruh dalam mewarnai jiwa manusia.
Islam , sebagai Din yang haq, memberikan tuntunan ke pada manusia
agar ia menggunakan potensi ikhtiarnya untuk memilih dan menciptakan
lingkungan yang positif sebagai salah satu upaya pengarahan,
pemeliharaan , tazkiyah atau pembersihan jiwa dan sebagai tindakan
preventif dari hal-hal yang bisa mengotori jiwanya.
Disamping itu, diperlukan pendalaman terhadap tuntunan dan ajaran
Islam serta peningkatan pengalamnnya. Evaluasi diri dan introspeksi
harian terhadap perjalanan hidupnya, tak kalah pentingnya dalam tazkiyah
jiwa. Manakala jalan ini ditempuh dan jiwanya menjadi bersih dan suci,
maka ia termasuk orang yang beruntung dalam pandangan Allah Subhanahu wa
Ta’ala.
Sebaliknya , apabila jiwanya terkotori oeh berbagai polusi haram dan
kebatilan, maka ia termasuk orang yang merugi menurut kriteria Allah
Subhanahu wa Ta’ala
“Dan demi jiwa dan penyempurnaannya. Maka Allah mengilhamkan
kepada jiwa itu jalan kefasikan dan ketakqwaannya. Sesungguhnya
beruntunglah orang yang mesucikan jiwa itu. Dan merugilah orang yang
mengotorinya”(QS. Asy Syams [91] : 7-10).
Dua suasana jiwa yang berbeda itu akan tampak refleksinya
masing-masing perilaku keseharian manusia, baik dalam hibungannya dengan
Allah, lingkungan maupun dirinya.
Jiwa yang suci akan memancarkan perilaku yang suci pula, mencintai
Alah dan Rasul-Nya dan bermanfaat bagi lingkungan sekitarnya. Sedangkan
jiwa yang kotor akan melahirkan kemungkaran dan kerusakan, adalah benar
bahwa Allah tidak melihat penampilan lahir seseorang, tetapi yang
dilihat adalah hatinya, sebagaimana disebutkan dalam satu hadits. Tetapi
ini dimaksudkan sebagai penekanan akan pentingnya peranan niat bagi
sebuah amal, bukan untuk menafikan amal lahiriah.
Sebuah amal ibadah akan diterima Allah manakala ada kesejajaran
antara perilau lahiriah dan batiniah, disamping sesuai dengan tuntunan
Din. Lebih dari itu, secara lahiriah, manusia bisa saja tampak beribadah
kepada Allah. Dengan khusyu’ ia melakukan ruku’ dan sujud kepada-Nya.
Namun jiwanya belum tunduk ruku dan sujud kepada Allah Yang Maha Besar
dan Perkasa , kepada tuntunan dan ajaran-Nya.
Tazkiyah jiwa merupakan suatu pekerjaan yang sungguh berat dan tidak
gampang. Ia memerlukan kesungguhan, ketabahan dan kontinuitas.
Sebagaimana amal baik lainnya, tazkiyah adalah bagai membangun sebuah
gedung, disana banyak hal yang harus dikerahkan dan dikorbakan.
Sedangkan pengotoran jiwa, seperti amal buruk lainnya, adalah semisal
merobohkan bangunan, ia lebih mudah dan gampang serta tak banyak
menguras tenaga.
“Jalan menuju surga di rintangi dengan berbagai kesulitan. Sedangkan jalan menuju neraka ditaburi dengan rangsangan hawa nafsu”, demikian sabda Rasulullah Shallallahu alaihi wasallam
Tazkiyah jiwa ini menjadi lebih berat lagi ketika manusia hidup dalam
era informatika dan globalisasi dalam kemaksiatan dan dosa. Dimana
kreasi manusia begitu canggih dan signifikan. Mansusia seakan tak
berdaya mengikuti irama dan gelombangnya.
Sebenarnya Islam memiliki sikap yang akrab dan tidak menolak sains
dan tekhnologi, sementara sains dan tekhnologi tersebut tidak
bertentangan dan merusak lima hal prinsip (ad – dkaruriyat al khams);
Din , jiwa manusia, harta, generasi dan kehormatan. Sehingga tidak ada
paradoksal antara jiwa positif dan bersih serta nilai-nilai kebaikan
dengan perkembangan dan kemajuan zaman.
Pengalaman tuntunan dan akhlak Islami, meski tanpa pemerkosaan dalam
penafsirannya, tidak pernah bertentangan dengan alam sekitar. Lantaran
keduanya lahir dari satu sumber, Allah Subhanahu wa Ta’ala, Pencipta
alam semesta dan segala isinya.
Salah faham terhadap konsep ini akan mengakibatkan kerancuan pada
langgam kehidupan manusia.maka yang tampak adalah bukit hingar bingar
dan menonjolnya sarana pengotoran jiwa manusia. Akhirnya, nilai nilai
positif dan kebenaran seringkali tampak transparan dan terdengar
sayup-sayup. Benarlah apa yang menjadi prediksi junjungan kita, Nabi
Muhammad Shallallahu alaihi wasallam
“Orang yang sabar dalam berpegang dengan Din-nya semisal orang yang memegang bara api”.
Mereka acapkali mengalami banyak kesulitan dalam mengamalkan Din-nya.
Sehingga mereka merasa asing dalam keramaian. Namun demikian, tidaklah
berarti mereka boleh bersikap pesimis dalam hidup. Bahkan sebaliknya,
mereka harus merasa optimis. Sebab dalam situasi seperti ini, merekalah
sebenarnya orang yang meraih kemenangan dalam pandangan Islam.
“Islam mulai datang dalam keterasingan dan akan kembali dalam
keterasingan pula sebagaimana mulanya. Maka berbahagialah orang – orang
yang terasing”. (Al Hadist).
Dalam fenomena seperti ini, tak tahu entah dimana posisi kita. Yang
jelas, manusia senantiasa dianjurkan oleh Allah agar meningkatkan
kualitas dan posisi dirinya di hadapan Nya. Dan Allah tak pernah menolak
setiap hamba yang benar-benar ingin kembali kepada jalan-Nya.
Bahkan lebih dari itu, manakala hamba Nya datang dengan berjalan,
maka Ia akan menjemputnya dengan berlari. Sungguh Allah benar-benar Maha
Pengasih lagi Maha Pengampun. Kita berharap, semoga kita termasuk
orang-orang yang mau mendengar panggilan-Nya yang memiliki jiwa
muthmainnah, jiwa yang tenang. Sehingga kita akhirnya berhak meraih
panggilan kasih sayang –Nya.
“Hai jiwa yang tenang . Kembalilah kepada Rabb-mu dengan hati yang
puas dan diridhoi-Nya. Maka masuklah ke dalam jamaah hamba-hambaKu dan
masuklah ke dalam surga-Ku”.(QS.Al Fajr [89] : 27-30)
Wassalam
0 Response to "Pada diri kita"
Posting Komentar