Kisah Penjajahan Jepang Era 1942 - 1945
(Studi Kasus : Lingkungan Kreyongan, Kecamatan Sumbersari, Kabupaten Jember)
Kisah ini ditulis berdasarkan sumber lisan yang diambil dari
serangkaian wawancara dengan Ibu Narty, seorang saksi sejarah kelahiran
Jember 80an tahun silam
Pendahuluan
Perjuangan Kemerdekaan Indonesia memasuki abad intelektual memang tak
lagi bernyawa Swarnabumi, Jawadwipa, atupun Borneo. Bangsa yang terdiri
dari keberagaman dan kesamaan kebudayaan dari sabang hingga merauke itu
telah berubah menjadi suatu bangsa beratribut Indonesia. Bersatu padu
tanpa harus lagi ada peperangan demi keabsolutan raja, kegemilangan satu
suku, ataupun semangat kedaerahan yang terintrodusir menghambat
persatuan. Semua bagian tersebut kemudian berhasil disatupadukan dalam
balutan ‘berbangsa satu bangsa Indonesia’, Sumpah Pemuda tertanggal 28
Oktober 1928 (Mohamad Achadi, mantan Menteri Transmigrasi dan Koperasi
Kabinet Dwikora).
Jika Karl Marx dalam pemikirannya memiliki bangunan awal sebagai
pondasi, dan bangunan yang lebih tinggi sebagai tangga menuju keadaan
tanpa pertentangan kelas hingga terbentuk communist society (Aku Bukan
Seorang Marxis, 2005). Maka sumpah pemuda dapat diibaratkan sebagai
bangunan awal dan dengung “Indonesia Merdeka” sebagai bangunan
tertinggi. Tentu untuk mencapai bangunan tertinggi ini, butuh perjuangan
total. Tak terelakan memang saat kemajuan revolusi Industri terjadi
di negeri – negeri Barat, Indonesia kemudian mereka temukan tepat
sebagai bahan bakar negara. Artinya, segalanya yang ada di tanah air loh
jinawi ini pantas untuk direbut dan dieksploitasi besar – besaran.
Begitulah praktik imperalisme dan kolonialisme Belanda lalu berlaku
hingga tiga setengah abad lamanya, untuk kemudian berganti lagi dengan
perampok lainnya. Silih berganti, Indonesia diperas! Benar – benar butuh
perjuangan total dan berlanjut. Senada dengan wacana ini, nyonya Narty
menanggapi “Masa pendudukan Jepang dan Belanda, sama saja kelakuannya!
Hanya berbeda rupa!” Sejarah memang bersifat kontinyu, hanya terjadi
sekali (einmalig) dan tak akan terulang kembali (Gottschalk, 1995). Itu
sebabnya mengapa meski Sumpah Pemuda telah ada, namun penjajahan
masihlah berlanjut, pun karena sejarah Indonesia belum juga berubah.
Biasanya, perubahan ini tidak secara serentak terjadi langsung di
seluruh sabang sampai merauke, ini bertahap. Begitupun di daerah –
daerah terpencil, termasuk tempat tinggal nyonya Narty yang ada di
Kabupaten Jember, Jawa Timur.
Masa Penjajahan Jepang
Sore itu beliau hanya seorang biasa yang melakukan rutinitas sehari –
hari. Tak tampak sedikitpun oleh penulis bahwa dirinya adalah seorang
yang pernah menyaksikan kekejaman penjajah di negeri pertiwi.
Saat itu usianya masih balita, “Ya, waktu itu saya masih memang masih
kecil sekali, saya terbiasa menjadi boneka kecil bagi Jepang. Saya
dibawa dari keluarga saya, dimandikan, dan dipakaikan baju bagus. Meski
kecil, namun masih ingat benar di pikiran saya bagaimana tingkah –
tingkah mereka terhadap orang – orang kampung, termasuk bapak – ibu
saya”.
Sembari membenahi letak duduknya, beliau kemudian melanjutkan cerita.
Dulu, dirinya masih kecil, bahkan belum mampu ikut memperjuangkan gaung
kemerdekaan. Namun terang sekali di ingatannya, mereka adalah orang –
orang paling jahat yang pernah beliau lihat. “Saya tidak terlalu ingat
tahun berapa, yang jelas Jepang baru saja datang ke Indonesia kemudian
menerapkan penjajahan yang saya kira lebih kejam daripada penjajahan
Belanda.” Beliau menuturkan, jalanan di daerah Kreyongan memang masih
berupa hutan – hutan, hanya dua tiga perkampungan penduduk yang ada.
Sisanya, berupa jalanan yang masih terjal sekali namun cukup dilewati
semacam truk – truk container milik Jepang.
“Bahkan ketika mereka (orang – orang Jepang) datang bersama kendaraan –
kendaraan mereka yang besar, kami hanya bisa berlari – lari masuk
kedalam rumah atau bersembunyi dibawah jalanan yang sengaja dilubangi
untuk tempat persembunyian. Sebelumnya, kami sirami jalanan rumah setiap
pukul 4 sore, agar jalanan tidak berdebu, lalu kami sembunyi. Bagi
kami, kedatangan jepang dengan sirine – sirinenya yang mengaum di siang,
sore ataupun malam hari, bagaikan kiamat. Kami sangat ketakutan, tak
satupun dari keluarga saya bahkan yang berani keluar saat mereka
berkeliling kampung, tutur Narty.”
Hal ini rupanya identik dengan fakta – fakta yang tertulis dalam buku
sejarah nasional Indonesia bahwa terdapat lubang – lubang kecil di
jalanan daerah - daerah bumi pertiwi sebagai tempat persembunyian padi
ataupun bangsa Indonesia yang sedang terjebak ketika para penjajah
sedang berkeliling untuk menjarah hasil bumi rakyat. Wanita paruh baya
yang tegas pembawaannya tersebut melanjutkan “Ya, saat mereka
berkeliling desa, orang – orang desa bersembunyi, takut, dan tak berani
melihat sedikitpun terhadap apa yang dilakukan oleh para penjajah itu.
Ibu saya bersembunyi di bawah kolong tempat tidur, dan saya mencoba
memberanikan diri untuk melihat mereka dibalik jendela. Ibu saya
menjerit pelan agar saya tidak mengintipnya. Namun apa yang saya lihat?
Saya terkejut. Berkata saya kepada Ibu. Bu, kendaraannya besar, dan
mengangkut banyak sekali padi dari rumah – rumah tetangga (dalam bahasa
Jawa).”
Perjuangan bangsa Indonesia umumnya terjadi melalui dua jalan, militer
atau diplomatic. Di masa yang sama, pendudukan Jepang mengundang reaksi
yang luar biasa dari rakyat. Bahkan disaat romusha masih digalakkan,
rakyat cenderung beromantika dengan penderitaan. Beruntung para elit
yang berada di pusat – pusat perjuangan rakyat seperti di daerah
Jakarta, kemudian melakukan berbagai perundingan dengan pihak Jepang
meski masih mengalami jalan buntu. Di daerah – daerah yang jauh dari
pusat perjuangan, penjajahan pun tak kalah hebatnya. Di daerah
kreyongan, kabupaten Jember, romusha juga membawa berbagai penderitaan.
Dari segi konsumsi, kesehatan, hingga upah, tak pernah sekalipun Jepang
berbaik hati kepada rakyat. Konsumsi mereka batasi atau tidak ada sama
sekali, kesehatan umumnya selalu mendekati kematian, dan upah, tidak
akan pernah ada dalam agenda Jepang.
“Dulu saat romusha, orang – orang di dekat rumah saya itu memakai
pakaian dari karung goni, makan dengan sisa – sisa nasi yang kemudian
diolah menjadi tiwul, atau hanya dijadikan ketan lalu diberi garam.
Penduduk di sekitar saya tak punya uang sepeser pun, jadi hidup hanya
untuk makan saat itu. Jika penduduk yang dipaksa romusha itu meminta
air, yang saya lihat. Mereka (Jepang) memberi mereka minum dengan
semacam selang air yang lalu disemprotkan kepada orang – orang. Siapa
yang sempat terkena cipratan air ya beruntung tidak haus, bagi yang
tidak ya sudah haus dan lapar jadi satu selama sehari semalam.”
Jepang sebagai negara imperialisme baru, bahkan lebih imperial dari
penjajah Barat.Meski sama – sama Asia, namun bangsa ini tetap menganggap
bangsa Indonesia masih berada dibawahnya. Seperti yang dianut negeri
cauvinisme lain yakni Jerman, bersama dengan Italia dan Jepang,
menganggap bahwa negerinya lahir dari ras tertinggi ‘bangsa Arya’.
Bangsa – bangsa lain adalah bangsa yang kotor, dan harus dimusnahkan.
Cukup dimengerti dasarnya mengapa Jepang ternyata menyandang predikat
jauh kebih kejam daripada para penjajah Belanda.
Wanita - Wanita Indonesia
Layaknya laki – laki, wanita - wanita di lingkungan Kreyongan kabupaten
Jember pun turut berperan untuk memperjuangkan gaung kemerdekaan.
Berdasar keterangan Nyonya Narty, dahulu sekitar tahun 1945 saat
Indonesia mulai mendapat titik terang kebebasan. Banyak sekali diantara
pemuda – pemudi yang berperan sebagai spionase Indonesia untuk mengawasi
gerak – gerik penjajah. “Markasnya sampeyan tahu mbak, ada di dekat
Rumah Sakit Paru – Paru itu, dulunya hutan disitu. Jadi, wanita – wanita
yang saya lihat sepulang sekolah itu memakai pakaian hitam, menerabas
hutan seperi tentara, begitupun laki – lakinya. Saat malam mereka
mendatangi rumah saya dan rumah penduduk – penduduk lain untuk meminta
makan dan minum, sekedar mengisi perut. Dan saya tahu, mereka rupanya
mata – mata yang terbentuk secara tiba – tiba untuk mengawasi gerak –
gerik pasukan Nippon. Saya tidak tahu, setelah beberapa bulan kemudian,
pasukan Jepang berubah nama menjadi Nippon. Begitupun, saya memanggil
mereka dengan sebutan Nippon, tuturnya.”
Sebutan ini dapat dimaksudkan ketika pasukan Jepang terdesak peperangan
di Asia Pasifik akibat tindakannya melakukan pemborbardiran besar –
besaran terhadap pangkalan laut terbesar milik Amerika Serikat, Pearl
Harbour. Keterdesakannya ini tentu membawa pengaruh besar bagi
perpolitikan dan militer Jepang ynag diterapkan kepada negara Jajahan.
Penamaan Nippon sebagai pasukan, berisi orang – orang yang lebih kejam
untuk memeras rakyat lebih dalam lagi. Penembakan bagi pribumi yang
berani meneriakkan kata – kata “Merdeka”, akan berhadiahkan tembakan
dari pasukan Jepang.
Wanita – wanita Indonesia. Peran mereka begitu besar, ada yang berperan
sebagai pahlawan, pun ada yang terjebak dalam lingkaran hitam, sebagai
pemuas hasrat pasukan Jepang. Bu Narty kembali bercerita “Ya, memang
perempuan – perempuan di Jember ini termasuk di daerah saya, Kreyongan.
Memang banyak sekali dari mereka yang dijadikan alat pemuas nafsu oleh
pasukan jepang. Jika beruntung ada yang dijadikan istri, mereka dirawat
oleh Jepang, tapi tetap saja mereka (Jepang) kejam. Istri – istri itu
mereka jadikan simpanan di negeri orang, diberi pakaian dari bahan –
bahan tikar, karung goni, dan perlak (alas untuk tidur seorang bayi).
Kalau jalan ya terdengar seperti seseorang yang sedang terseok – seok
karena bahan pakaian mereka. Jika mendapat panggilan dari Jepang, mereka
kembali tanpa membawa perempuan yang dia jadikan sebagai istri
simpanan. Ada juga seorang yang cantik dari sebuah kampung, maka akan
dibawa oleh Jepang. Diperkosa ataupun dijadikan Jugun Ianfu, tanpa dijadikan seorang istri simpanan. Ya, tapi saya tidak tahu lagi soal ini.”
Jepang meninggalkan Indonesia
Setelah kekalahan mutlak yang harus diambil Jepang saat perang Dunia
Pertama di tahun 1945, akibat serangannya terhadap Pearl Harbour.
Otomatis, mandate pemerintahan Japang di negeri – negeri jajahan
sebagian besar harus diserahkan kepada sekutu termasuk Indonesia. Meski
teks proklamasi telah dikumandangkan tertanggal 17 Agustus 1945, namun
Indonesia lagi – lagi harus legawa untuk terombang – ambing kembali
dalam penjajahan. Pasukan Jepang secara bergelombang, kemudian berangsur
– angsur pulang ke negerinya. “Saya mengintip mereka dari jendela
rumah. Saat pulang itu mereka ada di atas truk – truk container, secara
berkelompok. Namun jangan coba – coba melihat mereka secera langsung,
maka akan ditembak di tempat.” Kepulangan Jepang dari bumi pertiwi,
dari daerah terpencil di Jember. Cukup membuat traumatis yang cukup
besar bagi penduduk pribumi. Dari anak, hingga keluarga yang terbunuh
saat bekerja secara romusha, tanpa gaji dan tanpa makan. Rupanya menjadi
cerita tersendiri bagi saksi sejarah bernama Narty. Keluarganya yang
lain, sudah lama meninggal, termasuk tetangga – tetangganya terdahulu.
“Saya beruntung bisa hidup hingga hari ini, saya sudah hapal gerak -
gerik penjajah, masih lekat di ingata, meski saat itu saya masih kecil.”
Hilangnya Jepang dari tanah air, hanya membuat rakyat bernapas selama
satu hari. Karena hari berikutnya, pasukan Belanda lalu berbondong –
bondong datang ke Indonesia. Penjajahan mulai menampakkann raut mukanya
kembali, pasca Indonesia merdeka.
0 Response to "Kisah Penjajahan Jepang Era 1942 - 1945 "
Posting Komentar