KRISTEN Dengan KEBOHONGAN DAN KEMUNAFIKAN MUKJIZAT
KEBOHONGAN DAN KEMUNAFIKAN MUKJIZAT KRISTEN DI SNAYAN
Sudah
lama bangsa Indonesia disuguhi adegan penyebaran agama melalui
cara-cara ?penyembuhan ajaib? yang selain tidak masuk akal, juga
sebenarnya melecehkan kalangan Kristen sendiri. Logikanya, jika para
pendoa Kristen itu mampu menyembuhkan orang buta, lumpuh, pincang, dan
sebagainya, lalu buat apa mereka membangun begitu banyak rumah sakit
Kristen?
Beberapa waktu lalu, saat pro-kontra RUU Sisdiknas, beredar luas “VCD
Gus Dur” yang didoakan oleh pendeta wanita AS dan diikuti oleh ribuan
jemaat yang hadir. Mereka berdoa agar saat itu juga Tuhan membuka mata
Gus Dur, sehingga dapat melihat. Sampai berulangkali doa itu itu
dipanjatkan, ternyata Gus Dur tidak berubah.
Sekali lagi, jika formula pengobatan ajaib yang
diklaim sebagai “mukjizat” oleh kaum Kristen itu memang ampuh, maka
Depkes RI sebaiknya segera dibubarkan saja. Adalah ajaib, jika berita
itu benar, menteri agama kita yang Prof. Dr. dan pakar dalam agama, mau
menghadiri acara yang sudah begitu banyak menimbulkan pro-kontra di
kalangan umat beragama.
Beginikah cara kaum Kristen menyebarkan agamanya kepada bangsa
Indonesia? Dari segi pengembangan intelektualitas dan diskursus
keagamaan, berita yang dibanggakan oleh Majalah Kristen itu menunjukkan,
bahwa mereka sama sekali tidak mau memahami problematika teologis yang
ada dalam agama mereka sendiri. Justru ketika mereka selalu menyebut
Tuhan Yesus, maka disitulah, sejak ratusan tahun lalu, sejak awal-awal
masa Kekristenan, problematika yang paling mendasar dalam teologi
Kristen muncul. Mereka belum pernah selesai dalam mendefinisikan siapa
sebenarnya yang mereka sebut dengan Yesus itu. Apakah dia manusia, atau
dia Tuhan. Apakah dia manusia dan sekaligus Tuhan. Atau dia memang Tuhan. Sejak dulu, hingga kini, perdebatan seputar ketuhanan Yesus berlangsung sengit. Dr. C. Groenen ofm, seorang teolog Belanda, mencatat, bahwa seluruh permasalahan kristologi di dunia Barat berasal dari kenyataan bahwa di dunia Barat, Tuhan menjadi satu problem. Setelah membahas perkembangan pemikiran tentang Yesus Kristus (Kristologi) dari para pemikir dan teolog Kristen yang berpengaruh, ia sampai pada kesimpulan, bahwa kekacauan para pemikir Kristen di dunia Barat hanya mencerminkan kesimpangsiuran kultural di Barat. “Kesimpang siuran itu merupakan akibat sejarah kebudayaan dunia Barat,” tulis Groenen. Dalam buku Sejarah Dogma Kristologi: Perkembangan Pemikiran tentang Yesus Kristus pada Umat Kristen (1988).
Setelah membahas puluhan konsep para teolog besar di era Barat modern, Groenen memang akhirnya “menyerah” dan “lelah”, lalu sampai pada kesimpulan klasik, bahwa konsep Kristen tentang Yesus memang “misterius” dan tidak dapat dijangkau oleh akal manusia. Sebab itu, jangan dipikirkan. Kata dia: “Iman tidak tergantung pada pemikiran dan spekulasi para teolog. Yesus Kristus, relevansi dan kebenaran abadi-Nya, akhirnya hanya tercapai dengan hati yang beriman dan berkasih. Yesus Kristus, Kebenaran, selalu lebih besar dari otak manusia, meski otak itu sangat cerdas dan tajam sekali pun.”
Sepanjang sejarah peradaan Barat, terjadi banyak problema serius dalam perdebatan teologis Kristen. Di zaman pertengahan, rasio harus disubordinasikan kepada kepercayaan Kristen. Akal dan filosofi di zaman pertengahan tidak digunakan untuk mengkritisi atau menentang doktrin-doktrin kepercayaan Kristen, tetapi digunakan untuk mengklarifikasi, menjelaskan, dan menunjangnya. Sejumlah ilmuwan seperti Saint Anselm, Abelard, dan Thomas Aquinas mencoba memadukan antara akal (reason) dan teks Bible (revelation).
Problema yang kemudian muncul ialah, ketika para ilmuwan dan pemikir diminta mensubordinasikan dan menundukkan semua pemikirannya kepada teks Bible dan otoritas Gereja, justru pada kedua hal itulah terletak problema itu sendiri. Disamping menghadapi problema otentisitas, Bible juga memuat hal-hal yang bertentangan dengan akal dan perkembangan ilmu pengatahuan. Sejumlah ilmuwan mengalami benturan dengan Gereja dalam soal ilmu pengatahuan, seperti Gelileo Galilei (1546-1642) dan Nicolaus Copernicus (1473-1543). Bahkan Giordano Bruno (1548-1600), pengagum Nicolaus Copernicus, dibakar hidup-hidup.
Thomas Aquinas mengungkapkan konsep teologi Kristen dengan kata-katanya: “deum esse trinum et unum est solum creditum, et nullo modo potest demonstrative probari” (That God is three and one is only known by belief, and it is in no way possible for this to be demonstratively proven by reason).
Konsep ketuhanan Yesus yang dirumuskan dalam Konsili Nicea, tahun 325, sudah memunculkan problem serius dan kontroversial tentang “ketuhanan Yesus”. Bagaimana menjelaskan kepada akal yang sehat, bahwa Yesus adalah “Tuhan” dan sekaligus “manusia”. Apa yang disebut kaum Katolik sebagai “Syahadat Nicea”, secara eksplisit mengutuk pemikiran Arius, seorang imam Alexandria yang lahir tahun 280. Arius didukung sejumlah Uskup menyebarkan pemahaman bahwa Yesus bukanlah Tuhan adalah tunggal, esa, transenden, dan tak tercapai oleh manusia. Yesus adalah “Firman Allah” yang secara metafor boleh disebut “Anak Allah” bukanlah Tuhan,tetapi makhluk, ciptaan, dan tidak kekal abadi.
“Syahadat Nicea” menyatakan: “Kami percaya pada satu Allah, Bapa Yang Mahakuasa, Pencipta segala yang kelihatan maupun yang tidak kelihatan. Dan pada satu Tuhan Yesus Kristus, Putra Allah, Putra Tunggal yang dikandung dari Allah, yang berasal dari hakikat Bapa, Allah dari Allah, terang dari terang, Allah benar dari Allah Benar, dilahirkan tetapi tidak diciptakan, sehakikat dengan Bapa, melalui dia segala sesuatu menjadi ada” (Lihat, C. Groenen, Sejarah Dogma Kristologi, dan buku Konsili-konsili Gereja karya Norman P. Tanner, (Yogyakarta, Kanisius, 2003).
Simaklah, bagaimana perdebatan tentang “Syahadat Kristen” yang menjadi perbincangan dan kontroversi hebat dalam sejarah Kristen. Konsili Efesus, tahun 431, melarang perubahan apa pun pada “Syahadat Nicea”, dengan ancaman kutukan Gereja (anathema). Namun, Konsili Kalsedon, tahun 451, mengubah “Syahadat Nicea”. Kutukan terhadap Arius dihapuskan. Naskah syahadat Konsili Kalsedon berasal dari konsili local di Konstantinopel tahun 381. Sebab, naskah edisi tahun 325 dianggap sudah tidak memadai untuk berhadapan dengan situasi baru. Kalangan teolog Kristen ada yang menyebut bahwa naskah tahun 381 adalah penyempurnaan naskah tahun 325, tanpa mengorbankan disiplin teologisnya. Naskah syahadat itu di kalangan sarjana disebut “Syahadat dari Nicea dan Konstantinopel” disingkat N-C. Naskah syahadat N-C ini hingga sekarang masih menjadi naskah syahadat penting dari kebanyakan Gereja Kristiani. Namun, pada Konsili Toledo III di Spanyol tahun 589, Gereja Barat melakukan tambahan frasa “dan Putra” (Filioque), pada penggal kalimat “dan akan Roh Kudus” yang berasal dari Bapa”.
Penambahan itu dimaksudkan untuk menekankan keilahian dan kesetaraan antara Putra dengan Bapa. Paus, yang mulanya menolak penambahan itu, akhirnya menerima dan mendukungnya. Namun, Gereja Timur menolak, karena melanggar Konsili Efesus. Penambahan ini kemudian menjadi penyebab utama terjadinya “skisma”, perpecahan antara dua Gereja (Barat dan Timur) pada abad ke-11.
Konsili Vatikan II juga membuat perubahan kecil pada Syahadat N-C, dengan mengganti kata pembuka “Aku percaya” menjadi “Kami percaya”. (Norman P. Tanner, Konsili-konsili Gereja).
Perdebatan seputar Yesus bahkan pernah menyentuh aspek yang lebih jauh lagi, yakni mempertanyakan, apakah sosok Yesus itu benar-benar ada atau sekedar tokoh fiktif dan simbolik? Pendapat seperti ini pernah dikemukakan oleh Arthur Drews (1865-1935) dan seorang pengikutnya William Benjamin Smith (1850-1934). (Lihat, Howard Clark Kee, Jesus in History, (New York: Harcourt, Brace&World Inc, 1970).
Bahkan, perdebatan seputar Yesus itu kadangkala sampai menyentuh aspek moralitas Yesus sendiri dalam aspek sexual. Marthin Luther sendiri dilaporkan menyebutkan , bahwa Yesus berzina seban yak tiga kali. Arnold Lunn, dalam bukunya, The Revolda Against Reason, (London: Eyre&Spottiswoode, 1950), hal. 233, mencatat: “Weimer quoted a passage from the Table-Talk, in which Luther states that Christ committed adultary three times, first with the woman at the well, secondly with Mary Magdalene, and thirdly with the woman taken adultary, “whom he let off so lightly. Thus even Christ who was so holy had to commit adultary before he died.”
Bahkan, The Times, edisi 28 Juli 1967, mengutip ucapan Canon Hugh Montefiore, dalam konferensi tokoh-tokoh Gereja di Oxford tahun 1967: “Women were his friends, but it is men he is said to have loved. The stricking fact was that he remained unmarried, and men who did not marry usually had one of three reasons: they could not afford it; there were no girls, or they were homosexual in nature..” (Dikutip dari: Muhammad Musthafa al-A’zhami, The History of The Quranic Text, from Revelation to Compilation: A Comparative Study with the Old and New Testament, (Leicester: UK Islamic Academy, 2003)
Perdebatan seputar Yesus memang tidak berkesudahan. padahal, di atas landasan inilah, teologi Kristen ditegakkan. Pada awal-awal kekristenan, mereka ingin menonjolkan aspek ketuhanan Yesus. Tetapi, teolog-teolog modern kemudian ingin menonjolkan aspek kemanusiaan Yesus, mendekati gagasan Arius yang dulu dikutuk Gereja. Menyimak perdebatan tentang Yesus yang tiada henti itu, maka teolog Kristen seperti Groenen membuat teori “pokoknya”, bahwa meskipun pemikiran kaum Kristen tentang Yesus Kristus berbeda-beda, tetapi Yesus tetap tidak berubah. Yesus tetaplah Yesus.
Argumentasi Groenen semacam ini tentu sulit dipahami oleh kalangan teolog yang sejak dahulu kala berusaha merumuskan pemahaman tentang Yesus, namun tidak pernah mencapai titik temu. Kepelikan itu bisa dipahami, mengingat Yesus sendiri tidak pernah menyatakan, bahwa dia adalah Tuhan. Paul Young, dalam bukunya, Christianity, mencatat, bahwa seluruh penulis Perjanjian Baru menekankan hakikat kemanusiaan Yesus. Ia lapar, haus, dan lelah, sebagaimana manusia lainnya. Ia juga punya emosi, bisa sedih dan senang. Tetapi, beratus tahun kemudian, Yesus dirumuskan dan disembah sebagai Tuhan. “This Jesus, a real human being, is the focus of Christian worship. Such worship contrasts sharply with all other great world religion,” tulis Young. Tentang kepelikan seputar “misteri Yesus”, Mark Twain membuat sindiran: “It’s not the parts of the Bible which I can’t understand that bother me, it’s the parts that I can understand.” Bukan bagian Bible yang tidak dipahaminya yang meresahkannya, tetapi justru bagian yang ia pahami.
Kontroversi dalam soal teologi seperti dalam sejarah Kristen semacam itu tidak dijumpai dalam Islam. Mengingat begitu hebatnya kontroversi teologis Kristen dan trauma Barat terhadap hegemoni Gereja ketika mereka memegang doktrin eksklusivisme teologis (extra ecclesiam nulla salus), bisa dipahami jika mereka lebih menyukai pengembangan paham pluralisme agama.
Kondisi Islam sama sekali berbeda. Dasar-dasar teologi Islam sudah dirumuskan dan sudah sangat jelas, sejak awal Islam lahir, serta tidak pernah diputuskan melalui satu “kongres”, musyawarah, atau “konsili”. Karena itu, sejak awal kelahirannya, Islam memang sudah sempurna. Konsep teologi dan ibadah dalam Islam sudah selesai dirumuskan. Bahkan, sebagai agama, nama “Islam” pun sudah diberikan oleh Allah. (QS al-Maidah:3).
Sebaliknya, Konsep Kristen tentang tuhannya
dirumuskan melalui Kongres, dan hingga kini masih saja memunculkan
kontroversi, sehingga banyak memunculkan apatisme di kalangan masyarakat
Barat. Hanya sebagian kecil kalangan Kristen yang nekad, menyebarkan
agamanya kepada kaum Muslim, dengan cara-cara seperti di Stadiun Bung
Karno itu. Yang perlu diacungi jempol, meskipun berdiri di atas landasan
yang rapuh, tetapi kelompok kristen di Senayan itu nekad; alias bonek,
“bondo nekad”.
Wallahu a’lam.
0 Response to "KRISTEN Dengan KEBOHONGAN DAN KEMUNAFIKAN MUKJIZAT"
Posting Komentar