Perjalanan menuju Allah
Tujuan kita melangkahkan kaki di muka bumi ciptaan Allah ta’ala
adalah untuk sampai kepada Allah karena dicintai Allah atau menjadi
kekasih Allah (Wali Allah)
“Adapun orang-orang yang beriman kepada Allah dan berpegang teguh
kepada (agama)-Nya niscaya Allah akan memasukkan mereka ke dalam rahmat
yang besar dari-Nya (surga) dan limpahan karunia-Nya. Dan menunjuki
mereka kepada jalan yang lurus (untuk sampai) kepada-Nya.” ( QS An Nisaa’ [4]:175 )
Kita semua umat Islam dapat menjadi kekasih Allah dengan menjalankan
segala perbuatan/ibadah “yang Allah ta’ala diamkan” yakni
perbuatan/ibadah berdasarkan kesadaran sendiri dari hamba Allah atau
amal kebaikan / amal sholeh atau perkara/amalan sunnah.
Perbuatan/ibadah yang diharapkan timbul atas kesadaran/kemauan sendiri
bagi diri hamba Allah , jika tidak timbul kesadaran tsb maka Allah
ta’ala diamkan.
Dari Abu Huriroh rodhi Allahu ta’ala ‘anhu beliau berkata: Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Allah
ta’ala berfirman, barang siapa memusuhi wali-Ku maka aku izinkan untuk
diperangi. Tidaklah seorang hamba-Ku mendekatkan diri kepada-Ku dengan
suatu amal ibadah yang lebih aku cintai dari pada perkara yang Aku wajibkan. Hamba-Ku akan senantiasa mendekatkan diri kepada-Ku dengan amalan sunnah
hingga Aku mencintainya. Jika Aku mencintainya, Akulah pendengarannya
yang dia gunakan untuk mendengar, Akulah penglihatannya yang dia gunakan
untuk melihat, Akulah tangannya yang dia gunakan untuk berbuat, Akulah
kakinya yang dia gunakan untuk berjalan. Jika dia meminta kepada-Ku akan
Aku berikan, jika dia meminta perlindungan pada-Ku, akan Aku lindungi.” (HR. Bukhari)
Lawan dari perbuatan/ibadah berdasarkan kesadaran sendiri adalah
perbuatan/ibadah ketaatan atau yang disyaratkan sebagai hamba Allah
yakni perbuatan/ibadah yang harus dikerjakan dan harus ditinggalkan
yakni perkara yang hukumnya Wajib , hukumnya Haram (bentuknya
batas/pelarangan dan pengharaman).
Perbuatan/ibadah ketaatan adalah yang dimaksud oleh Allah ta’ala pada hadits diatas sebagai “perkara yang Aku wajibkan“
Rasulullah saw bersabda, “Sesungguhnya Allah telah mewajibkan
beberapa kewajiban, maka jangan kamu sia-siakan dia; dan Allah telah
memberikan beberapa batas, maka jangan kamu langgar dia; dan Allah telah
mengharamkan sesuatu, maka jangan kamu pertengkarkan dia; dan Allah
telah mendiamkan beberapa hal sebagai tanda kasihnya kepada kamu, Dia
tidak lupa, maka jangan kamu perbincangkan dia.” (Riwayat Daraquthni, dihasankan oleh an-Nawawi).
Tulisan lebih lanjut mengenai peta perbuatan/ibadah silahkan baca tulisan pada
http://mutiarazuhud.wordpress.com/2010/09/09/peta-perbuatan-ibadah/
http://mutiarazuhud.wordpress.com/2010/09/09/peta-perbuatan-ibadah/
Salah satu perbuatan/ibadah termasuk yang “Allah telah mendiamkan
beberapa hal sebagai tanda kasihnya” atau amal sholeh atau amal kebaikan
agar kita mejadi muslim yang sholeh atau muslim yang ihsan atau muslim
yang terbaik adalah zuhud
Dari Abul Abbas — Sahl bin Sa’ad As-Sa’idy — radliyallahu ‘anhu, ia
berkata: Datang seorang laki-laki kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi
wa sallam dan berkata: “Wahai Rasulullah! Tunjukkan kepadaku suatu
amalan yang jika aku beramal dengannya aku dicintai oleh Allah dan
dicintai manusia.” Maka Rasulullah menjawab: “Zuhudlah kamu di dunia niscaya Allah akan mencintaimu, dan zuhudlah terhadap apa yang ada pada manusia niscaya mereka akan mencintaimu.” (Hadist shahih diriwayatkan oleh Ibnu Majah dan lainnya)
Pahami bagian yang di bold “Zuhudlah kamu di dunia niscaya Allah akan mencintaimu”
Allah mencintai kita maka kita menjadi kekasih Allah (wali Allah).
Allah mencintai kita maka kita menjadi kekasih Allah (wali Allah).
Seluruh perkara sunnah diluar/selain yang Allah katakan sebagai
“perkara yang Aku wajibkan” pada hakikatnya jika dilaksanakan maka Allah
akan mencintai kita seperti berdzikir, berdoa, sholat sunnat rawatib,
tahajud, dhuha dan sholat sunnat lainya termasuk sekedar menjaga wudhu
(selalu berwudhu setiap kali batal) atau bahkan menyingkirkan batu di
jalan. Perbuatan/Ibadah inilah yang dilaksanakan atas kesadaran sendiri
dari hamba Allah atau amal kebaikan atau amal sholeh.
Cara dan sarana menuju Allah ta’ala
Cara dan sarana menuju Allah ta’ala
Dalam agama Islam ada 3 pokok utama yakni
Tentang Islam (rukun Islam/Fiqih), Tentang Iman (rukun Iman/Ushuluddin/I’tiqad), Tentang Ihsan (akhlak/tasawuf dalam Islam)
Tentang Islam (rukun Islam/Fiqih), Tentang Iman (rukun Iman/Ushuluddin/I’tiqad), Tentang Ihsan (akhlak/tasawuf dalam Islam)
Tasawuf dapat dikatakan sebagai perjalanan (suluk) seorang hamba Allah menuju atau agar sampai (wushul) kepada Allah.
“Adapun orang-orang yang beriman kepada Allah dan berpegang teguh
kepada (agama)-Nya niscaya Allah akan memasukkan mereka ke dalam rahmat
yang besar dari-Nya (surga) dan limpahan karunia-Nya. Dan menunjuki
mereka kepada jalan yang lurus (untuk sampai) kepada-Nya.” ( QS An Nisaa’ [4]:175 )
Pada hakikatnya Tasawuf (tentang Ihsan) bukanlah sebuah ilmu atau
sebuah pemahaman namun sebuah amal atau perbuatan atau “perjalanan” atau
dikenal dengan suluk dan “pejalan”nya disebut seorang salik.
Sedangkan Fiqih, Ushuluddin, I’tiqad dll yang merupakan
pendalaman/pengamalan rukun Iman, dan rukun Islam adalah syariat/syarat
“perjalanan”, rambu2 dan petunjuk “perjalanan”, tanpa syariat/syarat
maka “perjalanan” akan tersesat atau sebagian mengatakan termasuk
zindiq.
Pada hakikatnya setiap hamba Allah yang mempunyai kesadaran sendiri
untuk menuju kepada Allah akan dapat memahami dan merasakan bahwa Allah
ta’ala yang membimbing walaupun secara dzahir dibimbing oleh
seorang/beberapa mursyid (pembimbing)
“…Dan bertakwalah kepada Allah; Allah mengajarmu (membimbingmu/memimpinmu); dan Allah Maha Mengetahui segala sesuatu” (QS al Baqarah, 2: 282)
“Cahaya di atas cahaya (berlapis-lapis), Allah membimbing kepada cahaya-Nya siapa yang dia kehendaki, dan Allah memperbuat perumpamaan-perumpamaan bagi manusia, dan Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.” (QS An Nuur [24]:35 )
“Cahaya di atas cahaya (berlapis-lapis), Allah membimbing kepada cahaya-Nya siapa yang dia kehendaki, dan Allah memperbuat perumpamaan-perumpamaan bagi manusia, dan Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.” (QS An Nuur [24]:35 )
Beberapa sarana bimbingan adalah melalui mursyid , hati, mimpi, suatu kejadian/cobaan dan bentuk-bentuk lain atas kehendakNya
“Perjalanan” yang dilakukan seorang hamba Allah menuju kepada Allah
sebaiknya tidak dilakukan seorang diri karena kemungkinan tersesatnya
akan besar sekali dan godaan syetanpun semakin besar dan semakin halus
(semakin sukar dibedakan antara kebenaran dengan kesesatan), godaaan
syetan berbanding lurus dengan tingkat perjalanan yang telah dilampaui
atau disebut juga dengan maqam, jadi tingkatan/pangkat syetan yang
menggoda mengikuti tingkatan(maqam) salik itu sendiri.
Oleh karenanya dibutuhkan seorang/beberapa mursyid (pembimbing) yang telah mengetahui/melewati “jalan yang lurus”.
Oleh karenanya dibutuhkan seorang/beberapa mursyid (pembimbing) yang telah mengetahui/melewati “jalan yang lurus”.
Thariqat adalah jalan yang telah dilalui oleh seorang mursyid yang
mengikuti jalan mursyid yang membimbing dan seterusnya dikenal sebagai
sanad ilmu atau dengan pengijazahan thariqat.
“Jalan yang lurus” atau jalan orang-orang yang telah bersyahadat di
atasnya ada beberapa jalur/cabang/furuiyah. Inilah yang disebut dengan
thariqat atau juga untuk yang hamba Allah yang hanya mengenal tentang
syariat (rukun Islam dan rukun Iman) saja disebut dengan madzhab atau
manhaj.
Semua hamba Allah yang telah bersyahadat baik yang hanya mengenal
tentang syariat saja (rukun Iman dan rukun Islam) maupun ditambah
menjalankan Tasawuf (ihsan) adalah mereka yang berada pada jalan yang
lurus menuju kepada Allah.
Pertanyaannya adalah seberapa cepat sampai kepada Allah, seberapa cepat dapat seolah-olah melihat Allah atau melihat Allah dengan hati atau disebut Ihsan.
Pertanyaannya adalah seberapa cepat sampai kepada Allah, seberapa cepat dapat seolah-olah melihat Allah atau melihat Allah dengan hati atau disebut Ihsan.
“Tak ada satu orang pun yang bersaksi bahwa sesungguhnya tiada
tuhan selain Allah dan Muhammad rasul Allah yang ucapan itu betul-betul
keluar dari kalbunya yang suci kecuali Allah mengharamkan orang tersebut
masuk neraka“. (H.R. Bukhari dan Muslim).
Tasawuf adalah tentang akhlak , akhlak melakukan “perjalanan”
Akhlak sebagai hamba Allah terhadap Allah, akhlak sebagai hamba Allah terhadap ciptaanNya yang lain seperti alam, hewan, tumbuh2-an, dll , termasuk akhlak dengan sesama manusia apalagi akhlak dengan sesama muslim / saudara.
Akhlak sebagai hamba Allah terhadap Allah, akhlak sebagai hamba Allah terhadap ciptaanNya yang lain seperti alam, hewan, tumbuh2-an, dll , termasuk akhlak dengan sesama manusia apalagi akhlak dengan sesama muslim / saudara.
Tasawuf adalah tentang tazkiyatun nafs, menyucikan jiwa
Firman Allah ta’ala yang artinya: ”...Sekiranya kalau bukan karena karunia Allah dan rahmat-Nya, niscaya tidak ada seorangpun dari kamu yang bersih (dari perbuatan keji dan mungkar) selama-lamanya, tetapi Allah membersihkan siapa saja yang dikehendaki…” (QS An-Nuur:21)
Firman Allah ta’ala yang artinya: ”...Sekiranya kalau bukan karena karunia Allah dan rahmat-Nya, niscaya tidak ada seorangpun dari kamu yang bersih (dari perbuatan keji dan mungkar) selama-lamanya, tetapi Allah membersihkan siapa saja yang dikehendaki…” (QS An-Nuur:21)
Firman Allah yang artinya,
[38:46] Sesungguhnya Kami telah mensucikan mereka dengan (menganugerahkan kepada mereka) akhlak yang tinggi yaitu selalu mengingatkan (manusia) kepada negeri akhirat.
[38:47] Dan sesungguhnya mereka pada sisi Kami benar-benar termasuk orang-orang pilihan yang paling baik.
(QS Shaad [38]:46-47)
[38:46] Sesungguhnya Kami telah mensucikan mereka dengan (menganugerahkan kepada mereka) akhlak yang tinggi yaitu selalu mengingatkan (manusia) kepada negeri akhirat.
[38:47] Dan sesungguhnya mereka pada sisi Kami benar-benar termasuk orang-orang pilihan yang paling baik.
(QS Shaad [38]:46-47)
Tasawuf adalah mengenal Allah (ma’rifatullah). mengenal dzatNya
melalui namaNya, sifatNya dan perbuatanNya. Juga termasuk memahami
seperti contoh beberapa hadits di atas, bagaimana memahami “yang Allah
ta’ala diamkan”, “perkara yang Aku wajibkan”,beda maafNya dengan
ridhoNya Contoh perbedaan silahkan baca tulisan pada http://mutiarazuhud.wordpress.com/2011/01/11/ridho-allah-taala/
Tasawuf atau perjalanan adalah perbuatan/ibadah yang termasuk atas
kemauan/kesadaran sendiri atau amal kebaikan / amal sholeh atau perkara
sunnah yang dicintai Allah. Tasawuf targetnya adalah menjadi muslim yang
sholeh atau muslim yang ihsan (muhsin/muhsinin) atau shiddiqin atau
sufi . Semua ini hakikatnya sama.
Siapakah muslim yang ihsan ?
Firman Allah dalam (QS Lukman [31]: 1-7 )
[31:1] Alif Laam Miim
[31:2] Inilah ayat-ayat Al Quraan yang mengandung hikmat
[31:3] menjadi petunjuk dan rahmat bagi orang-orang yang berbuat kebaikan (muhsinin)
[31:4] (yaitu) orang-orang yang mendirikan shalat, menunaikan zakat dan mereka yakin akan adanya negeri akhirat.
[31:5] Mereka itulah orang-orang yang tetap mendapat petunjuk dari Tuhannya dan mereka itulah orang-orang yang beruntung.
Dari ayat-ayat tersebut dapat kita pahami muhsin/muhsinin adalah,
- Seorang muslim (diwakilkan dengan mendirikan sholat, menunaikan zakat dan yakin akan akhirat) dan
- Orang-orang yang berbuat kebaikan atau orang-orang yang beramal sholeh
[31:1] Alif Laam Miim
[31:2] Inilah ayat-ayat Al Quraan yang mengandung hikmat
[31:3] menjadi petunjuk dan rahmat bagi orang-orang yang berbuat kebaikan (muhsinin)
[31:4] (yaitu) orang-orang yang mendirikan shalat, menunaikan zakat dan mereka yakin akan adanya negeri akhirat.
[31:5] Mereka itulah orang-orang yang tetap mendapat petunjuk dari Tuhannya dan mereka itulah orang-orang yang beruntung.
Dari ayat-ayat tersebut dapat kita pahami muhsin/muhsinin adalah,
- Seorang muslim (diwakilkan dengan mendirikan sholat, menunaikan zakat dan yakin akan akhirat) dan
- Orang-orang yang berbuat kebaikan atau orang-orang yang beramal sholeh
Berbuat kebaikan dilakukan oleh orang yang melakukan perjalanan atau
orang-orang yang hanya tahu tentang rukun Iman dan rukun Islam , namun
pertanyaannya adalah seberapa cepat mampu seolah-olah melihatNya atau
melihat Allah ta’ala dengan hati karena inilah bukti bahwa telah sampai
(wushul) kepada Allah.
Selambat-lambatnya seorang muslim mendapatkan karunia Allah untuk dapat melihat Allah adalah ketika di akhirat nanti.
Sedangkan mereka yang telah sampai kepada Allah di dunia atau mampu
seolah-olah melihat Allah di dunia mereka tidak akan khawatir atau
bersedih atau mereka yang merasakan kesenangan dalam shalat (sebagaimana
yang disampaikan oleh Rasulullah), seolah berjumpa dengan Allah dalam
shalat, puasa, zakat dan ibadah haji. Hakikatnya adalah mereka yang
benar-benar telah bersaksi (syahid/menyaksikan) tiada tuhan selain
Allah.
”Ingatlah, sesungguhnya wali-wali Allah itu, tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati“. (QS Yunus [10]:62 )
Semoga kita semua bisa menjadi wali-wali Allah, Shiddiqin, muslim
yang ihsan, muslim yang sholeh. Sehingga kita bisa termasuk yang
disholawatkan oleh seluruh muslim sampai akhir zaman.
Assalaamu’alaina wa’alaa ‘ibaadillaahish shoolihiin,
“Semoga keselamatan bagi kami dan hamba-hamba Allah yang sholeh”.
Assalaamu’alaina wa’alaa ‘ibaadillaahish shoolihiin,
“Semoga keselamatan bagi kami dan hamba-hamba Allah yang sholeh”.
Sesuai janji Allah ta’ala maka setiap muslim yang sholeh (muhsin)
atau orang-orang beriman dan beramal sholeh maka akan masuk surga tanpa
di hisab,
Janji Allah swt dalam firmanNya yang artinya.
“….Dan barangsiapa mengerjakan amal yang saleh baik laki-laki
maupun perempuan sedang ia dalam keadaan beriman, maka mereka akan masuk
surga, mereka diberi rezki di dalamnya tanpa hisab.” (QS Al Mu’min [40]:40 )
“Barangsiapa yang mengerjakan amal-amal saleh, baik laki-laki
maupun wanita sedang ia orang yang beriman, maka mereka itu masuk ke
dalam surga dan mereka tidak dianiaya walau sedikitpun”. (QS An Nisaa’ [4]:124
Marilah kita berlomba-lomba menuju kepada Allah, berlarilah kepada
Allah , “Fafirruu Ilallah” berlomba-loba untuk dapat seolah melihat
Allah atau melihat Allah dengan hati.
Sayyidina Ali r.a. pernah ditanya oleh seorang sahabatnya bernama Zi’lib Al-Yamani,
“Apakah Anda pernah melihat Tuhan?”
Beliau menjawab, “Bagaimana saya menyembah yang tidak pernah saya lihat?”
“Bagaimana Anda melihat-Nya?” tanyanya kembali.
Sayyidina Ali ra menjawab, “Dia tak bisa dilihat oleh mata dengan pandangan manusia yang kasat, tetapi bisa dilihat oleh hati dengan hakikat keimanan …”.
“Apakah Anda pernah melihat Tuhan?”
Beliau menjawab, “Bagaimana saya menyembah yang tidak pernah saya lihat?”
“Bagaimana Anda melihat-Nya?” tanyanya kembali.
Sayyidina Ali ra menjawab, “Dia tak bisa dilihat oleh mata dengan pandangan manusia yang kasat, tetapi bisa dilihat oleh hati dengan hakikat keimanan …”.
Wassalam
0 Response to "Perjalanan menuju Allah"
Posting Komentar