Tasawuf dan Zuhud
Tasawuf dan Zuhud
Mereka adalah hasil pengajaran para ulama korban hasutan atau korban
ghazwul fikri (perang pemahaman) yang dilancarkan oleh kaum Zionis
Yahudi.
Salah satu contoh penghasutnya adalah perwira Yahudi Inggris bernama
Edward Terrence Lawrence yang dikenal oleh ulama jazirah Arab sebagai
Laurens Of Arabian. Laurens menyelidiki dimana letak kekuatan umat Islam
dan berkesimpulan bahwa kekuatan umat Islam terletak kepada ketaatan
dengan mazhab (bermazhab) dan istiqomah mengikuti tharikat-tharikat
tasawuf.
Laurens mengupah ulama-ulama yang anti tharikat dan anti mazhab untuk
menulis buku buku yang menyerang tharikat dan mazhab. Buku tersebut
diterjemahkan ke dalam berbagai bahasa dan dibiayai oleh pihak
orientalis.
Contoh yang terkenal adalah penyalahgunaan perkataan Imam Syafi’i ra
yang dikutip dari Manaqib Al Imam As Syafi’i yang ditulis oleh Imam Al
Baihaqi yakni ungkapan “Jika seorang belajar tasawuf di pagi hari, sebelum datang waktu dhuhur engkau akan dapati dia menjadi orang dungu.” Penjelasan perkataan Imam Syafi’i ra tersebut telah disampaikan dalam tulisan pada http://mutiarazuhud.wordpress.com/2012/05/06/apakah-tasawuf/
Silahkan periksa kurikulum atau silabus pada perguruan tinggi Islam maka tasawuf adalah tentang ihsan atau tentang akhlak
Ahmad Shodiq, MA-Dosen Akhlak & Tasawuf, UIN Syarif Hidayatullah
Jakarta mengatakan dahulu di pesantren, pendidikan akhlak diajarkan
bukan hanya level teoritis, tetapi praktis, sehari-hari, membentuk
sub-kultur yang berbeda dengan hedonisme masyarakat luar pesantren.
Pendidikan akhlak (tasawuf) terlembaga, tidak dalam kurikulum formal,
tetapi dalam tradisi wirid, keberanian mengutamakan motivasi keilahian
diatas tarikan ego, menjadikan standar minimalis bagi materi, dan
maksimalis bagi spiritualitas. Dan setelah itu, tidak perlu nilai : C,
untuk mata pelajaran akhlak.
Pendidikan akhlak (tasawuf) merupakan dilema, antara jauhnya standar
akhlak menurut kualitas hidup sufi, dengan angkuh sistem pendidikan.
Dilema sistemik ini dipersedih oleh fakta bahwa para gurupun ternyata
jauh dari standar akhlak, dalam sebuah ruang kelas, dimana para murid
hanya mencari coretan nilai, atau sebatas titik absensi. Selengkapnya
telah disampaikan dalam tulisan pada http://mutiarazuhud.wordpress.com/2010/06/07/pendidikan-akhlak/
Pada hakikatnya upaya kaum Zionis Yahudi menjauhkan kaum muslim dari
tasawuf adalah dalam rangka merusak akhlak kaum muslim sebagaimana
mereka menyebarluaskan pornografi, gaya hidup bebas, liberalisme,
sekulerisme, pluralisme, hedonisme dan lain lain.
Imam Sayyidina Ali ra menasehatkan puteranya “Sejak awal aku
bermaksud menolong mengembangkan akhlak yang mulia dan mempersiapkanmu
menjalani kehidupan ini. Aku ingin mendidikmu menjadi seorang pemuda
dengan akhlak karimah, berjiwa terbuka dan jujur serta memiliki
pengetahuan yang jernih dan tepat tentang segala sesuatu di
sekelilingmu”
Nasehat selengkapnya dalam tulisan pada http://mutiarazuhud.wordpress.com/2012/06/26/2010/11/04/nasehat-sayyidina-ali-ra/
Imam Sayyidina Ali ra dalam nasehatnya telah menegaskan bahwa
pengembangan akhlak yang mulia adalah hal yang utama dalam menjalankan
kehidupan ini.
Salafush Sholeh artinya kaum muslim terdahulu yang sholeh pada masa tiga generasi.
Tujuan untuk mengikuti Salafush Sholeh atau mengikuti manhaj Salaf
adalah mengikuti kesholehan mereka karena tujuan beragama adalah untuk
menjadi muslim yang ihsan yakni manusia yang berakhlakul karimah
Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda “Sesungguhnya aku diutus (Allah) untuk menyempurnakan Akhlak.” (HR Ahmad)
Firman Allah ta’ala yang artinya,
“Sungguh dalam dirimu terdapat akhlak yang mulia”. (QS Al-Qalam:4)
“Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri tauladan yang
baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan
(kedatangan) hari kiamat dan Dia banyak menyebut Allah”. (QS
Al-Ahzab:21)
Imam Syafi’i ~rahimahullah menasehatkan kita agar mencapai
ke-sholeh-an sebagaimana salaf yang sholeh adalah dengan menjalankan
perkara syariat sebagaimana yang mereka sampaikan dalam kitab fiqih
sekaligus menjalankan tasawuf untuk mencapai muslim yang baik, muslim
yang sholeh, muslim yang berakhlakul karimah atau muslim yang Ihsan
Imam Syafi’i ~rahimahullah menyampaikan nasehat (yang artinya)
,”Berusahalah engkau menjadi seorang yang mempelajari ilmu fiqih
(menjalani syariat) dan juga menjalani tasawuf, dan janganlah kau hanya
mengambil salah satunya. Sesungguhnya demi Allah saya benar-benar ingin
memberikan nasehat padamu. Orang yang hanya mempelajari ilmu fiqih
(menjalani syariat) tapi tidak mau menjalani tasawuf, maka hatinya tidak
dapat merasakan kelezatan takwa. Sedangkan orang yang hanya menjalani
tasawuf tapi tidak mau mempelajari ilmu fiqih (menjalani syariat), maka
bagaimana bisa dia menjadi baik (ihsan)?” [Diwan Al-Imam Asy-Syafi'i,
hal. 47]
Imam Malik ~rahimahullah menasehatkan agar kita menjalankan perkara
syariat sekaligus menjalankan tasawuf agar tidak menjadi manusia yang
rusak (berakhlak tidak baik).
Imam Malik ~rahimahullah menyampaikan nasehat (yang artinya) “Dia
yang sedang tasawuf tanpa mempelajari fiqih (menjalankan syariat) rusak
keimanannya , sementara dia yang belajar fiqih (menjalankan syariat)
tanpa mengamalkan Tasawuf rusaklah dia, hanya dia siapa memadukan
keduanya terjamin benar“
Sebelum belajar Tasawuf, Imam Ahmad bin Hambal menegaskan kepada
putranya, Abdullah ra. “Hai anakku, hendaknya engkau berpijak pada
hadits. Anda harus hati-hati bersama orang-orang yang menamakan dirinya
kaum Sufi. Karena kadang diantara mereka sangat bodoh dengan agama.”
Namun ketika beliau berguru kepada Abu Hamzah al-Baghdady as-Shufy, dan
mengenal perilaku kaum Sufi, tiba-tiba dia berkata pada putranya “Hai
anakku hendaknya engkau bermajlis dengan para Sufi, karena mereka bisa
memberikan tambahan bekal pada kita, melalui ilmu yang banyak,
muroqobah, rasa takut kepada Allah, zuhud dan himmah yang luhur (Allah)”
Beliau mengatakan, “Aku tidak pernah melihat suatu kaum yang lebih
utama ketimbang kaum Sufi.” Lalu Imam Ahmad ditanya, “Bukanlah mereka
sering menikmati sama’ dan ekstase ?” Imam Ahmad menjawab, “Dakwah
mereka adalah bergembira bersama Allah dalam setiap saat…”
Salah satu tanda seorang muslim yang dekat dengan Allah ta’ala adalah
mereka bergembira bersama Allah tidak ada kekhawatiran terhadap mereka
dan tidak (pula) mereka bersedih hati
Firman Allah ta’ala yang artinya ” Ingatlah, sesungguhnya wali-wali Allah itu, tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati”. (QS Yunus [10]:62)
Syaikh Ibnu Athoillah melukiskan “Ibarat seorang anak kecil yang
pergi bersama ayahnya. Keduanya berjalan di malam hari. Karena
menyayangi anaknya, sang ayah senantiasa mengawasi dan memperhatikannya
tanpa diketahui sang anak. Anak itu tidak bisa melihat ayahnya karena
malam yang teramat gelap. Ia meresahkan keadaan dirinya dan tidak tahu
apa yang harus diperbuat. Ketika cahaya bulan menyinari dan ia melihat
ayahnya dekat kepadanya, keresahannya sirna. Ia tahu ayahnya begitu
dekat dengannya. Kini ia merasa tidak perlu ikut mengurus dirinya karena
segala sesuatu telah diperhatikan oleh ayahnya“.
Firman Allah ta’ala yang artinya
“Siapa yang bersandar kepada Allah, berarti ia telah diberi petunjuk ke jalan yang lurus” (QS Al Imran : 101 )
”Siapa yang bertawakal kepada Allah, Dia akan mencukupinya” (QS Al Thalaq : 3)
“Allah membimbing kepada cahaya-Nya siapa yang dia kehendaki, dan
Allah memperbuat perumpamaan-perumpamaan bagi manusia, dan Allah Maha
Mengetahui segala sesuatu.” (QS An Nuur [24]:35)
“Barangsiapa yang tiada diberi cahaya (petunjuk) oleh Allah tiadalah dia mempunyai cahaya sedikitpun”. (QS An Nuur [24]:40)
“Maka apakah orang-orang yang dibukakan Allah hatinya untuk
(menerima) agama Islam lalu ia mendapat cahaya dari Tuhannya (sama
dengan orang yang membatu hatinya) ? Maka kecelakaan yang besarlah bagi
mereka yang telah membatu hatinya untuk mengingat Allah. Mereka itu
dalam kesesatan yang nyata.” (QS Az Zumar [39]:22)
Imam Nawawi ~rahimahullah berkata : “Pokok-pokok metode ajaran
tasawuf ada lima : Taqwa kepada Allah di dalam sepi maupun ramai,
mengikuti sunnah di dalam ucapan dan perbuatan, berpaling dari makhluk
di dalam penghadapan maupun saat mundur, ridha kepada Allah dari
pemberian-Nya baik sedikit ataupun banyak dan selalu kembali pada Allah
saat suka maupun duka “. (Risalah Al-Maqoshid fit Tauhid wal Ibadah wa
Ushulut Tasawuf halaman : 20, Imam Nawawi)
Salah satu pelopor tasawuf dari kalangan Tabi’in , Al Hasan al-Basri ra (Madinah,21H/642M – Basrah,110 H/728M) , berkata: ”Barangsiapa
yang memakai tasawuf karena tawaduk (kepatuhan) kepada Allah akan
ditambah Allah cahaya dalam diri dan Hatinya, dan barang siapa yang
memakai tasawuf karena kesombongan kepadanya akan dicampakkan kedalam
neraka”.
Al Hasan al-Basri ra masyhur dengan kezuhudannya yang berlandaskan
khauf (takut kepada kemurkaan Allah Subhanahu wa Ta’ala) dan diiringi
dengan rajā (senantiasa mengharapkan Rahmat Allah Subhanahu wa Ta’ala).
Saking takutnya kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala ia selalu membayangkan
bahwa neraka itu seakan-akan diciptakan oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala
semata-mata hanya untuk dirinya. Oleh sebab itu al Hasan al-Basri
mengatakan: ”Jauhilah dunia ini karena ia sebenarnya serupa dengan ular, licin pada perasaan tangan, tetapi racunnya mematikan.”
Al Hasan al-Basri ra membuka madrasah al Hasan al-Basri, Ia menyampaikan pesan-pesan pendidikannya melalui 2 cara:
1. Ia mengajak murid-muridnya menghidupkan kembali kondisi masa
salaf, seperti yang terjadi pada masa para sahabat nabi Muhammad
Shallallahu ‘Alaihi Wasallam, terutama masa umar bin Khattab, yang
selalu berpegang teguh kepada kitabullah dan sunah Rasulullah
Shallallahu ‘Alaihi Wasallam;
2. Ia menyerukan kepada murid-muridnya untuk bersikap zuhud dalam
menghadapi kemewahan dunia, zuhud dalam pengertiannya adalah tidak tamak
terhadap kemewahan dunia dan tidak pula lari dari persoalan dunia,
tetapi selalu merasa cukup dengan apa yang ada
Dari Abul Abbas — Sahl bin Sa’ad As-Sa’idy — radliyallahu ‘anhu, ia
berkata: Datang seorang laki-laki kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi
wa sallam dan berkata: “Wahai Rasulullah! Tunjukkan kepadaku suatu
amalan yang jika aku beramal dengannya aku dicintai oleh Allah dan
dicintai manusia.” Maka Rasulullah menjawab: “Zuhudlah kamu di dunia
niscaya Allah akan mencintaimu, dan zuhudlah terhadap apa yang ada pada
manusia niscaya mereka akan mencintaimu.” (Hadist shahih diriwayatkan
oleh Ibnu Majah dan lainnya).
Al Hafizh Ibnu Rojab ketika beliau menjelaskan hadits ini dalam
Jami’ul ‘Ulum wal Hikam (2/186) dari Abu Sulaiman Ad Daaroniy. Beliau
mengatakan: “para ‘alim ulama di Iraq berselisih pendapat mengenai
pengertian zuhud. Di antara mereka ada yang mengatakan bahwa zuhud
adalah menjauhi dari manusia. Ada pula yang mengatakan bahwa zuhud
adalah meninggalkan berbagai nafsu syahwat. Ada juga yang mengatakan
bahwa zuhud adalah meninggalkan diri dari kekenyangan. Semua definisi
ini memiliki maksud yang sama” Kemudian Ad Daaroniy mengatakan bahwa
beliau cenderung berpendapat bahwa zuhud adalah meninggalkan segala
sesuatu yang dapat melalaikan dari mengingat Allah ‘Azza wa Jalla.
Orang yang zuhud adalah tidak adanya ketergantungan dan terpusatnya
perhatian terhadapnya. Bersikap qanaah terhadap rizki yang halal dan
ridho terhadapnya serta bersikap ‘iffah dari perbuatan haram dan
hati-hati atau bahkan menghindari terhadap syubhat. Jiwa yang merasa
cukup dan iffah serta berkorban dengan harta dan jiwa di jalan Allah
merupakan hakikat zuhud.
Zuhud terhadap apa yang dimiliki manusia, berarti menjauhkan diri
dari merasa iri hati terhadap apa yang dimiliki oleh manusia serta
mengosongkan hati dari mengingati harta milik orang..
Firman Allah ta’ala yang artinya… (Kami jelaskan yang demikian
itu) supaya kamu jangan berduka cita terhadap apa yang luput dari kamu,
dan supaya kamu jangan terlalu gembira terhadap apa yang diberikan-Nya
kepadamu. Dan Allah tidak menyukai setiap orang yang sombong lagi
membanggakan diri. (QS Al-Hadiid :23)
Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda, ”Untuk apa dunia
itu! Hubungan saya dengan dunia seperti pengendara yang mampir sejenak
di bawah pohon, kemudian pergi dan meninggalkannya.” (HR At-Tirmidzi)
Kehidupan zuhud ini dicontoh oleh para Sahabat Rasulullah shallallahu
alaihi wsallam : Abu Bakar ra, Umar ra, Utsman bin Affan ra , dan
Abdurrahman bin Auf. Mereka adalah beberapa sahabat yang kaya raya,
tetapi tidak mengambil semua harta kekayaannya untuk diri sendiri dan
keluarganya. Sebagian besar harta mereka habis untuk dakwah, jihad, dan
menolong orang-orang beriman.
Pada masa pemerintahan Umar bin Abdul Aziz, salah satu pemimpin yang
paling zuhud, masyarakat merasakan ketentraman, kesejahteraan, dan
keberkahan. Tidak ada lagi orang yang miskin yang meminta-minta, karena
kebutuhannya sudah tercukupi.
Mereka adalah tokoh pemimpin dunia yang dunia ada dalam genggamannya,
namun tidak tertipu oleh dunia. Bahkan, mereka lebih mementingkan
kehidupan akhirat dengan segala kenikmatannya. Abu Bakar ra berkata, ”Ya Allah, jadikanlah dunia di tangan kami, bukan di hati kami.”
Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda, “Sungguh demi
Allah, bukanlah kefakiran yang aku khawatirkan dari kalian. Akan tetapi
yang aku khawatirkan atas kalian adalah bila kalian telah dibukakan
(harta) dunia sebagaimana telah dibukakan kepada orang-orang sebelum
kalian lalu kalian berlomba-loba untuk memperebutkannya sebagaimana
mereka berlomba-lomba memperebutkannya sehingga harta dunia itu
membinasakan kalian sebagaimana telah membinasakan mereka.” (HR Bukhari 2924).
Firman Allah ta’ala yang artinya,
“Ketahuilah, bahwa sesungguhnya kehidupan dunia ini hanyalah
permainan dan suatu yang melalaikan, perhiasan dan bermegah-megah antara
kamu serta berbangga-banggaan tentang banyaknya harta dan anak, seperti
hujan yang tanam-tanamannya mengagumkan para petani; kemudian tanaman
itu menjadi kering dan kamu lihat warnanya kuning kemudian menjadi
hancur. Dan di akhirat (nanti) ada azab yang keras dan ampunan dari
Allah serta keridhaan-Nya. Dan kehidupan dunia ini tidak lain hanyalah
kesenangan yang menipu.” (QS al Hadid [57] : 20)
“Dan tiadalah kehidupan dunia ini melainkan senda gurau dan
main-main. Dan sesungguhnya akhirat itulah yang sebenarnya kehidupan,
kalau mereka mengetahui.” (QS Al-Ankabut [29] : 64)
Wassalam
0 Response to "Tasawuf dan Zuhud"
Posting Komentar